Anda di halaman 1dari 89

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1.

Anak dalam Pembangunan Anak merupakan potensi yang sangat penting, generasi penerus masa depan bangsa, penentu kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang akan menjadi pilar utama pembangunan nasional, sehingga perlu ditingkatkan kualitasnya dan mendapatkan perlindungan secara sungguhsungguh dari semua elemen masyarakat. SDM yang berkualitas tidak dapat lahir secara alamiah, bila anak dibiarkan tumbuh dan berkembang tanpa perlindungan, maka mereka akan menjadi beban pembangunan karena akan menjadi generasi yang lemah, tidak produktif dan tidak kreatif, sedangkan jumlah mereka lebih dari sepertiga penduduk Indonesia. Makanan dan pakaian saja belum cukup untuk menjadikan anak sebagai media persemaian SDM yang berkualitas, kreatif, berdaya saing tinggi yang memiliki jiwa nasionalisme dan pekerti luhur. Perlu adanya kesadaran yang tinggi dan kemauan politik yang kuat untuk menciptakan lingkungan yang peduli terhadap kepentingan dan kebutuhan anak. Terdapat kesenjangan yang lebar antara kondisi anak-anak Indonesia saat ini dengan kondisi yang seharusnya sudah kita capai dalam rentang waktu 63 tahun kemerdekaan bangsa ini. Setiap kali kita menelaah masalah sosial anak selalu timbul keprihatinan yang mendalam, seperti banyak anak-anak yang terpaksa menanggung resiko akibat dari kelalaian atau ketidakmampuan orang dewasa dalam melindungi mereka, kebijakan pemerintah dalam merencanakan pembangunan yang tidak peduli anak. Secara individu, jutaan anak menghadapi resiko busung lapar dan ketidakcukupan nutrisi yang mengancam pertumbuhan

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

dan masa depannya. Angka kematian bayi 32 perseribu kelahiran hidup (2005), masih sangat tinggi. Mereka menghadapi ketidakpastian untuk hal-hal mendasar yang seharusnya menjadi hak mereka seperti kepemilikan akta kelahiran, akses terhadap pendidikan yang terjangkau, terbebas dari perlakuan salah, kekerasan ekonomi, seksual dan psikis. Secara sosial, anak-anak tidak berdaya menghadapi gelombang sajian iklan dan pemandangan kehidupan konsumerisme yang sangat kapitalistik yang merugikan perkembangan jiwa anak-anak secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya saat ini terdapat 43 juta anak mejadi perokok pasif. Komnas perlindungan anak melaporkan bahwa 99,7 persen anak-anak terpapar iklan rokok, hasil survey Global Youth Tobacco Survey di Indonesia 12,6% siswa SMP adalah perokok, 3,2 % diantaranya tergolong kecanduan. Umur perokok pemula bergeser dari usia 10 tahun menjadi 7-9 tahun. Sejak tahun 2006 hingga saat ini rata-rata terdapat 2 sampai 4 anak mengalami tindak kekerasan setiap hari. Lebih dari seperempat anak perempuan mengalami perkosaan. Jumlah anak yang berkonflik dengan hukum mencapai 4.277 anak, hal ini berarti setiap hari terdapat 11 s.d 12 anak berkonflik dengan hukum (Bareskrim Polri), sementara itu anak yang hidup di penjara hingga saat ini mencapai 13.242 anak. Di sektor pendidikanpun anak-anak masih banyak yang tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan. Angka partisipasi murni sekolah menengah pertama sebesar 65,37% tahun 2005. Padahal seharusnya dengan program wajib belajar 9 tahun, semua anak Indonesia bisa bersekolah. Kota-kota di Indonesia, saat ini, mengalami pertumbuhan setiap tahun rata-rata 4,4% (UNICEF, 2007: 123), akibat dari pertumbuhan penduduk dan migrasi penduduk desa ke kota sehingga kota yang tidak terkendali. Akibatnya penyediaan pelayanan dasar, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan peluang untuk kerja semakin sulit. Jumlah penduduk dalam kategori anak, yaitu <18 tahun, saat ini 75.641.000 anak, jumlah anak yang berusia dibawah lima tahun 21.571.000 anak, Mereka merupakan kelompok yang

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

rentan mengalami berbagai masalah social (UNICEF, 2007: 123), karena mereka selalu mengahadapi resiko kekerasan baik di rumah, di sekolah, di tempat bermain, maupun ditempat-tempat umum seperti tempat rekreasi, terminal, stasiun, tempat-tempat ibadah dll. Selain itu, ruang bermain anak belum tersedia dalam jumlah yang cukup karena belum menjadi prioritas pembangunan pemerintah kabupaten/kota, belum adanya rute yang aman bagi anak ke sekolah maupun ke tempat-tempat aktivitas anak lainnya, yang ditandai dengan merebaknya berbagai kasus kekerasan terhadap anak. Hal lain, masih terbatasnya kebijakan pemerintah untuk menyatukan isu hak ke dalam perencanaan pembangunan kabupaten/kota, serta belum teritegrasinya hak perlindungan anak ke dalam pembangunan kabupaten/kota. Salah satu penyebab dari munculnya berbagai masalah sosial tersebut antara lain adalah belum adanya kebijakan pemerintah mengenai kabupaten dan kota layak anak (KLA) yang mengintegrasikan sumberdaya pembangunan untuk memenuhi hak anak. Lahirnya kebijakan KLA, diharapkan dapat menciptakan keluarga yang sayang anak, rukun tetangga dan rukun warga atau lingkungan yang peduli anak, kelurahan dan desa layak anak dan kecamatan atau kabupaten/kota yang layak bagi anak sebagai prasyarat untuk memastikan bahwa anak-anak tumbuh dan berkembang dengan baik, terlindungi haknya dan terpenuhi kebutuhan pisik dan psikologisnya. Untuk mewujudkan KLA tersebut, maka pemerintah kabupaten/kota perlu melakukan berbagai upaya pengintegrasian sumber daya, isu-isu perlindungan dan peningkatan kualitas anak ke dalam dokumen perencanaan dan implementasi pembangunan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Oleh karena itu maka perlu adanya panduan kebijakan KLA. 1.1.2. Perlunya Kebijakan KLA Bagi Indonesia Dengan pertimbangan tersebut bangsa Indonesia memerlukan adanya suatu model pembangunan yang mempertimbangkan pemenuhan hak dan kebutuhan anak sejak proses perencanaan, implementasi hingga pengawasan dan

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

penilaiannya. Oleh karena itu pemerintah memandang perlu adanya Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak sebagai langkah awal dalam rangka menciptakan pembangunan yang peduli terhadap hak, kebutuhan dan kepentingan anak. Karena prinsip kebijakan KLA adalah mendorong kabupaten/kota agar menghormati hak anak yang diwujudkan dengan cara: (Innocenti Digest No.10/10/02:22): a. menyediakan akses pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih, sanitasi yang sehat dan bebas dari pencemaran lingkungan. menyediakan kebijakan dan anggaran khusus untuk anak. menyediakan lingkungan yang aman dan nyaman, sehingga memungkinkan anak dapat berkembang, anak dapat berekreasi, belajar, berinteraksi sosial, berkembang psikososial dan ekspresi budayanya. keseimbangan di bidang sosial, ekonomi, dan terlindungi dari pengaruh kerusakan lingkungan dan bencana alam. memberikan perhatian khusus kepada anak seperti yang tinggal dan bekerja di jalan, eksploitasi seksual, hidup dengan kecacatan atau tanpa dukungan orang tua. menyediakan wadah bagi anak-anak untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan yang berpengaruh langsung pada kehidupan mereka.

b.

c.

d.

e.

f.

Dalam perspektif KHA, hak anak ditegaskan secara khusus yang meliputi hal-hal sebagai berikut:(Save the Children, 1996:13-15): a. mempunyai hak untuk tempat tinggal pasal 27 menegaskan hak setiap anak atas kehidupan untuk pengembangan fisik, mental, spritual, dan moral. Untuk itu orang tua bertanggung jawab mengupayakan kondisi kehidupan yang diperlukan untuk mengembangkan anak sesuai dengan kemampuan. Kondisi seperti ini sangat

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

berbeda yang dialami oleh anak jalanan yang tidak mempunyai tempat tinggal dan terputus dengan orang tua. b. mempunyai hak untuk mendapatkan keleluasaan pribadi tempat tinggal padat dan tumpang tindih di kota menjadikan anak merasa terganggu keleluasaan pribadinya. Kondisi seperti ini banyak dialami oleh anakanak yang berasal dari keluarga miskin di kota, sehingga dampaknya adalah perasaan tertekan dan ketegangan pada diri anak. Keadaan ini dapat dikurangi bila orang tua peduli terhadap keluarganya. Perumahan padat dapat menjadi salah satu faktor dalam perlakuan buruk terhadap anak atau kekejaman dan perlakuan salah secara seksual. mempunyai hak untuk mendapatkan rasa aman keamanan fisik dan psikososial merupakan hal penting bagi anak yang ada di kota. Lemahnya penegakan hukum, meluasnya kekejaman dan kejahatan mempunyai dampak yang kuat terhadap anak dan remaja. mempunyai hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat sanitasi buruk, kurangnya air bersih, kurangnya fasilitas toilet, dan banyaknya sampah memberi dampak yang serius terhadap kesehatan anak. Kondisi kota seperti ini menghadapi masalah serius terhadap tumbuh kembang anak, karena mereka mudah terjangkit penyakit cacar, diare, ISPA, TBC, dan penyakit lain yang sering dialami oleh warga yang tinggal di wilayah kumuh. mempunyai hak untuk bermain ini artinya tersedia areal hijau dan ruang terbuka untuk bermain. Lokasi tempat bermain dengan rumah khususnya untuk anak kecil dan anak dengan kecacatan. mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan setiap anak mempunyai hak dan kesempatan yang sama memperoleh pendidikan, sehingga perlu mendapat perhatian pemerintah kota kepada anak-anak yang tinggal di tempat illegal, karena tempat mereka tidak

c.

d.

e.

f.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

dilengkapi sekolah, begitu juga dengan anak yang ada di wilayah kumuh biasanya kualitas sekolahnya sangat buruk. g. mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan transportasi umum mengakses tranportasi umum yang baik untuk semua merupakan hal yang esensial. Untuk memenuhi hak anak, bagaimana pun transportasi yang aman adalah berjalan kaki, naik sepeda atau mengakses transportasi yang tidak menghasilkan polusi dan ramah anak.

1.2. Maksud dan Tujuan 1.2.1. Maksud Untuk membangun inisiatif pemerintahan kabupaten/kota yang mengarah pada upaya transformasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Anak dari kerangka hukum ke dalam definisi, strategi, dan intervensi pembangunan seperti kebijakan, kelembagaan dan program yang peduli anak. 1.2.2. Tujuan Tujuan kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak adalah: a. Untuk meningkatkan komitmen pemerintah, masyarakat dan dunia usaha di kabupaten/kota dalam upaya mewujudkan pembangunan yang peduli terhadap hak, kebutuhan dan kepentingan terbaik bagi anak; Untuk mengintegrasikan potensi sumber daya manusia, keuangan, sarana prasarana, metoda dan teknologi yang ada pada pemerintah, masyarakat serta dunia usaha di kabupaten/kota dalam mewujudkan hak anak; Untuk mengimplementasikan kebijakan perlindungan anak melalui perumusan strategi dan perencanaan pembangunan kabupaten/kota secara menyeluruh dan berkelanjutan sesuai dengan indikator KLA; dan

b.

c.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

d.

Untuk memperkuat peran dan kapasitas pemerintah kabupaten/kota dalam mewujudkan pembangunan di bidang kesejahteraan dan perlindungan anak.

1.3. Ruang Lingkup Ruang lingkup Kebijakan KLA meliputi pembangunan di bidang kesehatan, pendidikan, perlindungan, infrastruktur, lingkungan hidup dan pariwisata baik secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan implementasi hak anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Kebijakan KLA mencakup aspek kelembagaan, pembiayaan, ketenagaan, pengawasan dan penilaian, penelitian dan pengembangan serta keterwakilan aspirasi dan kepentingan anak dalam pengambilan keputusan pembangunan kabupaten/kota. 1.4. Sasaran 1.4.1. Sasaran antara a. b. c. d. e. f. 1.4.2. Lembaga eksekutif. Lembaga legislatif. Lembaga yudikatif. Organisasi non pemerintah. Dunia usaha. Masyarakat

Sasaran akhir a. b. Keluarga. Anak.

1.5. Pengertian Dalam kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) ini yang dimaksudkan dengan: a. b. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Kabupaten/kota adalah pembagian wilayah administrasi di

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Indonesia setelah provinsi yang dipimpin oleh seorang bupati/walikota. Dalam konteks KLA Kabupaten/kota adalah pembagian wilayah administrasi dan geografi termasuk kecamatan, kelurahan/desa, kawasan tertentu, rumah tangga dan keluarga. c. Layak adalah kondisi fisik dan non fisik suatu kabupaten/kota dimana aspek-aspek kehidupannya memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam konvensi Hak Anak dan/atau Undang-Undang Perlindungan Anak sebagaimana diuraikan dalam indikator KLA. Layak adalah kondisi fisik suatu wilayah yang di dalamnya terdapat sarana dan prasarana yang dikekola sedemikian rupa sehingga memenuhi persyaratan minimal untuk kepentingan tumbuh kembang anak secara sehat dan wajar, tidak mengandung unsur yang membahayakan anak. Kelayakan tersebut dapat berupa infrastruktur seperi jalanan raya, jembatan, trotoar, sarana transportasi, rekreasi dan bermain, lingkungan hidup yang hijau dan ketersediaan perangkat hukum yang mendukungnya. Ramah adalah kondisi non fisik suatu wilayah yang di dalamnya terdapat nilai budaya, etika, sikap dan perilaku masyarakat yang secara sadar dipraktikkan atau digunakan dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga memenuhi hak anak. Keramahan tersebut dapat berupa tata cara orang dewasa dalam menghadapi dan memperlakukan anak sehingga anak merasa nyaman, senang dan gembira seperti dalam bertegur sapa, memberi salam, memilih dan menggunakan kata-kata bijak untuk anak, kebiasaan memuji anak, mengucapkan terima kasih, sabar dan tidak memaksakan kehendak, mendengarkan pendapat anak, memberi contoh hal-hal yang baik dan positif Layak dan ramah bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Layak identik dengan perangkat keras (hardware) sedangkan ramah identik dengan perangkat lunak (software). Software hanya bisa bekerja bila didukung hardware yang memadai dan sebaliknya hardware tidak member manfaat bila tidak didukung software

d.

Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) adalah model pembangunan kabupaten/kota yang mengintegrasikan komitmen dan

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

sumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam rangka memenuhi hak anak yang terencana secara menyeluruh (holistik) dan berkelanjutan (sustainable) melalui pengarusutamaan hak anak.

Fasilitas pengenalan ilmu pengetahuan dan teknologi terlihat 3 anak berfoto di pusat peragaan ilmu pengetahuan. Kabupaten/kota layak anak perlu memfasilitasi pemenuhan kebutuhan anak terhadap informasi yang sesuai.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Pendirian Childrens centre sebagai upaya perlindungan anak di lokasi bencana

Outbond sebagai alternative trauma healing bagi anak-anak di lokasi bencana

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Dalam situasi darurat anak menjadi sangat rentan Terhadap berbagai tindakan kekerasan dan pelecehan mereka memerlukan perlindungan khusus

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

BAB II ANALISIS SITUASI Kebijakan KLA sangat diperlukan mengingat kondisi obyektif anak-anak Indonesia baik secara historis, filosofis, sosiologis maupun antropologis berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Kekhawatiran tersebut semakin kuat dengan melihat fakta global yang berubah sangat cepat baik karena perkembangan teknologi informasi, adanya agenda-agenda politik global maupun karena munculnya fenomena kehidupan baru seperti krisis pangan, krisis energi serta pemanasan global, perubahan iklim yang membawa anak-anak pada posisi yang semakin rentan. Kebijakan KLA hanya bisa dilaksanakan apabila ada kemauan politik dari pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, untuk mendengar dan mengetahui kebutuhan anak sesuai dengan situasi, kondisi dan permasalahan anak; misalnya anak yang berhadapan dengan hukum, anak yang mengalami tindak kekerasan, masalah sosial anak, pendidikan dan kesehatan anak, hak sipil dan partisipasi anak. 2.1. Tinjauan Sejarah KLA Upaya pengintegrasian hak anak ke dalam isu sentral pembangunan suatu negara bukanlah hal yang baru. Berbagai Negara telah sejak lama melakukan upaya serupa dengan satu harapan yang sama yaitu memberikan yang terbaik bagi kepentingan anak. Mengetahui sejarah dan proses perkembangan integrasi hak anak ke dalam pembangunan dari Negara lain dapat menyakinkan kita tentang perlunya kesungguhan kita dalam melaksanakan perlindungan anak. Pembangunan KLA diawali dengan penelitian mengenai Childrens Perception of the Environment oleh Kevin Lynch (arsitek dari Massachusetts Institute of Technology) di 4 kota Melbourne, Warsawa, Salta, dan Mexico City tahun 1971-1975. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan kota yang terbaik untuk anak adalah yang mempunyai masyarakat yang kuat secara fisik dan sosial; masyarakat yang mempunyai aturan yang jelas dan tegas; yang memberi kesempatan pada anak; dan fasilitas pendidikan yang memberi kesempatan anak untuk mempelajari dan menyelidiki lingkungan dan dunia mereka. Penelitian tersebut dilakukan dalam rangka program Growing Up In Cities (GUIC) tumbuh kembang di perkotaan yang disponsori oleh UNESCO. Salah satu tujuan GUIC adalah mendokumentasikan persepsi dan prioritas anak, sebagai basis program peran serta, bagi perbaikan kota. Hasil penelitian ini telah

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

dipublikasikan oleh UNESCO dan MIT Press dengan judul Growing Up In Cities 1977. Pada perkembangan selanjutnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Konvensi Hak Anak pada tahun 1989, dengan memasukan salah satu ketentuan mengenai hak anak untuk mengekspresikan pendapatnya. Ini artinya anak mempunyai suara, disamping adanya prinsip lain seperti non-diskriminasi; kepentingan terbaik untuk anak; dan hak untuk hidup dan mengembangkan diri. Pada KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992, para kepala pemerintahan dari seluruh dunia menyepakati prinsip-prinsip Agenda 21 yaitu Program Aksi untuk Pembangunan Berkelanjutan. Bab 25 Agenda 21 menyatakan bahwa, anak dan remaja sebagai salah satu Major Group Kelompok Utama yang dilibatkan untuk melindungi lingkungan dan kegiatan masyarakat yang sesuai dan berkelanjutan. Bab 28 Agenda 21 juga menjadi rujukan bahwa, remaja berperan serta dalam pengelolaan lingkungan. Akan tetapi yang paling mendesak adalah agar pemerintah kota melibatkan warga dalam proses konsultasi untuk mencapai konsensus pada Agenda 21 Lokal, dan mendorong pemerintah kota menjamin bahwa anak dan remaja terlibat dalam proses pembuatan keputusan, perencanaan, dan pelaksanaan. Setelah 25 tahun, hasil penelitian Kevin Lynch ditinjau kembali, dan dilakukan penelitian serupa oleh Dr Louise Chawla dari the Children and Environment Program of the Norwegian Centre for Child Research - Trondheim, Norwegia tahun 1994-1995. Penelitian yang disponsori oleh UNESCO dan Child Watch International, dilakukan di Buenos Aires dan Salta, Argentina; Melbourne, Australia; Northampton, Inggris; Bangalore, India; Trondheim, Norwegia; Warsawa, Polandia; Johannesburg, Afrika Selatan; dan Oaklands, California, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini menjadi indikator bagi UNICEF dalam mengawasi pemenuhan hak anak di kota sebagai bagian dari Child Friendly City Initiative untuk pemerintah kota. Pada Konferensi Habitat II atau City Summit, di Istambul, Turki tahun 1996, perwakilan pemerintah dari seluruh dunia bertemu dan menandatangani agenda habitat, yakni sebuah program aksi untuk membuat permukiman lebih nyaman untuk ditempati dan berkelanjutan. Paragraf 13 dari pembukaan Agenda Habitat, secara khusus menegaskan bahwa anak dan remaja harus mempunyai tempat tinggal yang layak; terlibat dalam proses mengambilan keputusan, baik di kota maupun di masyarakat; terpenuhi kebutuhan dan peran anak dalam bermain di masyarakatnya. Melalui City

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Summit itu, UNICEF dan UNHABITAT memperkenalkan Child Friendly City Initiative, terutama menyentuh anak kota, khususnya yang miskin dan yang terpinggirkan dari pelayanan dasar dan perlindungan untuk menjamin hak dasar mereka. Pada UN Special Session on Children, Mei 2002, para walikota menegaskan komitmen mereka untuk aktif menyuarakan hak anak, pada pertemuan tersebut mereka juga merekomendasikan kepada walikota seluruh dunia untuk: a. b. mengembangkan rencana aksi untuk kota mereka menjadi Kota Ramah dan melindungi hak anak, mempromosikan peran serta anak sebagai aktor perubah dalam proses pembuatan keputusan di kota mereka terutama dalam proses pelaksanaan dan evaluasi kebijakan pemerintah kota.

Upaya UNICEF dan UNHABITAT ini terus menerus dipromosikan ke seluruh dunia dengan upaya meningkatkan kemampuan penguasa lokal (UN Special Session on Children, 2002). Pada World Summit on Sustainable Development di Johannesburg, Afrika Selatan tahun 2002, para pemimpin negara dari seluruh dunia antara lain menyepakati untuk mewujudkan perbaikan yang signifikan pada kehidupan bagi sedikitnya 100 juta masyarakat penghuni kawasan kumuh, seperti yang diusulkan dalam prakarsa Kota tanpa Permukiman Kumuh (Cities without Slums) pada tahun 2020. Hal ini mencakup tindakan pada semua tingkatan untuk: a. meningkatkan akses pada tanah dan properti, permukiman yang memadai dengan pelayanan dasar bagi masyarakat miskin di perkotaan dengan perhatian khusus pada kepala rumah tangga perempuan; mendukung otoritas lokal dalam menjabarkan program perbaikan daerah kumuh dalam kerangka rencana pengembangan perkotaan dan mempermudah akses, khususnya bagi masyarakat miskin, pada informasi mengenai peraturan tentang perumahan.

b.

Melalui pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), pemerintah membuat suatu upaya nyata untuk menyatukan isu hak anak ke dalam perencanaan dan pembangunan kabupaten/kota. Mengingat program pelayanan dasar perkotaan dipandang sebagai program

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

khusus dan merupakan kerangka kerja dari pemerintahan kabupaten/kota, Pengembangan KLA diimplementasikan melalui pemerintah kabupaten/kota yang digabungkan ke dalam mekanisme dan kerangka kerja institusi yang ada. Pengembangan KLA secara terus menerus diimplementasikan ke sejumlah bagian kabupaten/kota yang terbatas dengan program pelayanan dasar perkotaan yang secara maksimum didukung oleh sumber daya yang ada. Dengan mengintegrasikan konsep perlindungan anak ke dalam program pembangunan kabupaten/kota akan lebih mudah dibandingkan dengan merealisasikan Konvensi Hak Anak secara langsung. 2.2. Aspek Filosofis Sila kedua dari Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab dan sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia secara filosofis telah mengamanatkan kepada kita untuk mempertimbangkan secara sungguh-sungguh aspek kemanusiaan, keadilan dan keberadaban dalam melaksanakan pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia. Makna kata bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung prinsipprinsip non-diskriminasi, pemerataan, dan tidak ada dominasi kepentingan dalam pembangunan dan kehidupan sosial khususnya bagi anak. Tanggung jawab pemerintahan kabupaten/kota didasarkan pada ketentuan : a. Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa Tujuan Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia; Bab X A Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28B ayat (2) yang berbunyi Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

b.

2.3. Aspek Sosiologis Fenomena sosial yang ada memperlihatkan kondisi yang tidak kondusif bagi tumbuh kembang anak, terutama dalam kehidupan

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

keluarga, teman sebaya, masyarakat, media massa dan politik. Pada kehidupan keluarga terjadi pelunturan nilai-nilai kekeluargaan; merenggangnya hubungan antara anak dan orang tua; anak dengan anak; dan antar keluarga atau tetangga. Hal ini menyebabkan perlindungan anak belum terpenuhi. Sikap permisif terhadap nilai-nilai sosial yang selama dianut mulai ditinggalkan. Pada kenyataannya hubungan sosial sebaya telah menyebabkan kekhawatiran orang tua terhadap anak, ketika mereka berada di luar lingkup keluarga. Beberapa kasus yang ditemukan menunjukkan bahwa banyak teman sebaya melakukan tindakan di luar kepatutan seperti keterlibatan dalam kasus narkoba, seks bebas, tindakan amoral dan asosial lainnya. Pada kehidupan masyarakat, nilai-nilai kebersamaan dan kegotongroyongan, serta kesetiakawanan sosial sudah menjadi sesuatu yang langka. Gejala ini, terlihat dari ketidakpedulian pada kehidupan lingkungan sekitar, sehingga hal ini menyebabkan kepedulian terhadap kesejahteraan dan perlindungan anak kurang optimal. Media massa dengan pewartaan dan penayangan kekerasan dan eksploitasi terhadap anak menjadi hal yang biasa, tidak hanya di kotakota besar tetapi juga di pelosok. Hal ini menambah sederet persoalan yang juga mengganggu tumbuh kembang anak. Pada kehidupan politik, anak belum menjadi isu utama. Partai politik sebagai agen perubahan belum mengakomodir kepentingan anak dalam programnya. Sehingga isu kesejahteraan dan perlindungan anak kurang mendapat perhatian. 2.4. Aspek Antropologis Memudarnya nilai-nilai kebersamaan, paguyuban, dan kekerabatan, merupakan salah satu faktor yang membuat menurunnya nilai-nilai yang selama ini memberikan rasa nyaman bagi anak dalam masyarakat. Gejala ini tergambar dari tanggungjawab masyarakat yang hanya lebih memfokuskan pada keluarga inti, sehingga berbagai hal yang terjadi pada kerabat atau paguyuban kurang mendapat perhatian pada masing-masing keluarga. Pranata sosial tidak mampu mengakomodir kepentingan masyarakatnya, hal ini berdampak pada semakin tidak optimalnya perlindungan anak. Berkurangnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan menyebabkan masyarakat menjadi tidak toleran dan lebih individual,

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

sehingga akan muncul kecemburuan sosial dengan persaingan yang tidak sehat. Lebih lanjut warga menjadi semakin permisif dengan berbagai hal yang menyangkut nilai-nilai yang selama ini tidak layak bagi anak. Kerentanan sosial juga berawal dari semakin permisifnya atau semakin longgarnya nilai-nilai agama, adat istiadat, budaya dan tata karma sosial dari para orang tua dan masyarakat terhadap berbagai kebiasaan yang selama ini tidak layak dihadapi atau dilakukan oleh anak. Pengaruh lingkungan sosial yang permisif ini sangat mempengaruhi kesejahteraan dan perlindungan anak.Akibatnya, warga masyarakat dalam berinteraksi dengan sesama lebih didasarkan kepada kepentingan dan bukan tumbuh sebagaimana yang selama ini hidup dalam sebuah masyarakat yang komunal. Relasi sosial didasarkan pada solidaritas mekanik, dia ada karena adanya kepentingan dari warga yang berelasi. Oleh karena itu dengan merenggangnya nilai-nilai kebersamaan menyebabkan masing-masing warga lebih terfokus kepada kehidupan masing-masing, tidak saling mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi pada warga lain bahkan tidak saling tegur. 2.5. Sarana dan Prasarana Pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi di perkotaan menuntut adanya perencanaan pengembangan kabupaten/kota yang lebih cermat, baik secara fisik maupun non fisik. Kenyataan yang ada, secara fisik lahan di perkotaan sangat terbatas, sementara pemenuhan akan sarana dan prasarana yang layak merupakan hal yang menjadi kebutuhan penduduk kabupaten/kota. Fakta menunjukan kualitas pelayanan publik kepada anak di kabupaten/kota masih terbatas, khususnya bila ditinjau dari sisi sarana dan prasarana dasar, antara lain: a. b. beralih fungsinya ruang terbuka hijau menjadi ruang terbangun yang tidak berorientasi pada kepentingan anak; tidak seimbangnya sarana dan prasarana kabupaten/kota untuk kepentingan anak bila dibandingkan dengan jumlah penduduk; dan pembangunan sarana dan prasarana kabupaten/kota untuk kepentingan anak tidak merata, akibat dari perencanaan yang belum peduli anak dan perkembangan wilayah pemukiman baru yang tidak terkendali. sarana dan prasarana yang tersedia perawatannya, kualitasnya

c.

d.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

semakin menurun. Anak, sebagai salah satu bagaian dari masyarakat kabupaten/kota, sering mengalami dampak dari penurunan daya dukung sarana dan prasarana kabupaten/kota, beberapa hal yang saat ini terlihat antara lain: a. minimnya sarana pendidikan, kesehatan, bermain, ruang terbuka hijau, transportasi yang murah, aman dan nyaman bagi anak; terbatasnya aksesibilitas anak terhadap sarana tersebut; dan polusi dan tingkat kebisingan kota yang berpengaruh terhadap kesehatan dan perkembangan jiwa anak.

b. c.

2.6. Anak dan Pembangunan Lingkungannya Orang dewasa pada umumnya berpendapat bahwa pembangunan yang cocok bagi dirinya, maka cocok pula bagi anak-anak, sehingga anak dipandang tidak penting untuk didengarkan pendapat dan aspirasinya dalam merencanakan dan menentukan arah pembangunan. Sesungguhnya melalui wadah partisipasi anak, anak dapat diajak bekerjasama dalam mengatasi persoalan-persoalan yang berhubungan dengan (pembangunan) lingkungannya (Adams & Ingham, 1998:51). Pemerintah dapat berkomunikasi dengan mereka, karena mereka mempunyai persepsi, pandangan dan pengalaman mengenai lingkungan kota tempat mereka tinggal, sehingga pemerintah dapat menemukan kebutuhan atau aspirasi mereka. Anak dapat membantu pemerintah dalam mendapatkan data mengenai lingkungan tempat tinggal, lingkungan masyarakat, lingkungan sekolah, tempat bermain, pelayanan transportasi dan pelayanan kesehatan. Mereka memperoleh pengalaman yang tak ternilai dari pelibatan mereka. Melalui kegiatan pelibatan ini mereka menjadi berfikir mengenai persoalan lingkungannya, dan dapat mengidentifikasi persoalan yang ada untuk didiskusikan dan dipecahkan bersama. Mereka juga dapat memberikan kontribusi dalam proses perencanaan dan pengembangan kota yang mereka harapkan (Adams & Ingham, Ibid).

2.6.1. Anak dan Lingkungan Tempat Tinggal

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Hal yang perlu dilakukan agar anak akrab dengan lingkungan tempat tinggalnya antara lain adalah: a. keluarga perlu melakukan penerapan kombinasi pola asuh antara otoriter, bebas dan demokratis secara seimbang dan konsisten, supaya kepercayaan diri anak tinggi. rumah yang layak huni adalah rumah yang menjamin keamanan, ketenangan dan kenyamanan penghuni. syarat rumah layak huni adalah status kepemilikan jelas (milik sendiri, sewa, menumpang), kemudahan akses ke air bersih, listrik, adanya pengelolaan sampah dan perawatan saluran pembuangan air kotor. selanjutnya, rumah itu berada di lingkungan yang bebas polusi dan memiliki standar ventilasi yang cukup.

b.

Menurut Sheridan Bartlett, ahli perkotaan dari City University Of New York dan The International Institute For Environment And Development, London (Bartlett, 2002), perlu adanya intervensi pencegahan terjadinya bahaya terhadap anak di tempat tinggal mereka, yaitu dengan melakukan modifikasi dan perbaikan di lingkungan tempat tinggal. Modifikasi atau perbaikan tersebut antara lain: menggunakan penerangan listrik daripada lilin atau minyak tanah yang mempunyai resiko besar terhadap terjadinya kebakaran; mengumpulkan sampah agar tidak menumpuk sehingga bibit-bibit penyakit tidak berkembang biak; mendesain kompor dan dapur yang aman, agar terhindar dari asap dan kebakaran; dan memperbaiki konstruksi pagar, tembok dan lain-lain. Upaya perbaikan ini menurut Bartlett, perlu disusun suatu program kampanye untuk menyadarkan orang-tua dan orang dewasa tentang pentingnya perlindungan keselamatan anak. Program kampanye dapat memanfaatkan berbagai media, seperti media massa koran dan televisi, pamflet, brosur dan lain-lain. Selain itu dapat dilakukan pula pelatihan terhadap orang-tua, polisi, jaksa dan petugas lapangan tentang perlindungan dan hak anak. 2.6.2. Anak dan Lingkungan Masyarakat Pada lingkungan masyarakat, diharapkan anak dapat lebih menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat, untuk itu

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

perlu dilakukan adalah: a. perlu ada inisiatif dan kemauan keras ketua RT dan RW untuk menjalankan organisasi dengan membentuk kegiatan-kegiatan yang berdampak langsung pada warga, khususnya anak-anak, seperti kerja bakti (membersihkan sampah dan saluran pembuangan air kotor), dan siskamling. Tanpa inisiatif dan kemauan tersebut, warga kota, menurut Prof. Parsudi Suparlan (Suparlan, 1996:3-44) menjadi bercirikan individualisme tinggi. Warga kota dengan ciri ini sangat sukar untuk diajak bekerjasama; menjaga sanitasi lingkungan, karena berdampak langsung pada kesehatan lingkungan, terutama terhadap anak-anak yang rentan terhadap berbagai resiko yang ditimbulkan oleh lingkungan; dan untuk menjadikan lingkungan masyarakat sebagai tempat yang baik bagi anak untuk tumbuh dan kembang, pemerintah kota perlu melakukan perbaikan-perbaikan. Menurut Bartlett, anak-anak memahami apa yang menjadi kebutuhan mereka di lingkungannya. Anak-anak merekomendasikan dan memprioritaskan hal-hal penting yang perlu mendapat perhatian dari orang dewasa, assosiasi masyarakat dan pemerintah kota. Untuk memperbaiki masyarakat mereka. Perlu ada perbaikan, perawatan dan pembaharuan terhadap saluran air, toilet yang tidak bau, bebas bau sampah; tempat bermain dan rekreasi yang terang, bersama anak menentukan lokasi yang sesuai untuk tempat bermain yang dekat dengan rumah dan sekolah; dan perlu melakukan pengamanan yang ekstra di lingkungan yang pendapatan rendah, dan memasang pengumuman tentang pemberian perlindungan terhadap anak dari pembunuhan, kekerasan dan abuse. 2.6.3. Anak dan Lingkungan Sekolah Lingkungan sekolah yang diharapkan anak adalah sebagai berikut: a. mempunyai ruang WC yang menjadi salah satu fasilitas yang penting di sekolah, sehingga perlu dipertimbangkan

b.

c.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

keberadaan dan kebutuhannya. Anak-anak keberatan jika ruang WC anak perempuan dan anak laki-laki disatukan. Dengan demikian akan melindungi anak-anak perempuan dari pelecehan seksual; b. desain bangunan sekolah bertingkat perlu dilengkapi ruang bermain bagi anak yang aman dan nyaman di setiap lantai; waktu sekolah pagi dan petang dipertimbangkan untuk diterapkan secara bergantian, karena sangat berpengaruh pada proses belajar mengajar dan kualitas murid. Sebagian besar murid-murid sekolah petang kurang optimal mengikuti pelajaran, karena energi yang berkurang dan udara panas mempengaruhi daya serap anak terhadap pelajaran; perlu menggunakan metode Cara Belajar Siswa Aktif atau metode lain yang memberi kesempatan anak untuk berdiskusi, perlu diterapkan agar anak-anak terlatih mengemukakan pendapat atau gagasannya; penyusunan peraturan dan tata tertib sekolah, pimpinan sekolah dan guru perlu mengikutsertakan murid-murid, sehingga memiliki legitimasi yang kuat saat diterapkan dan ditegakkan. Kegiatan ini melatih anak-anak mengenai kehidupan berdemokrasi yang saling mendengar, dan menghargai pendapat orang lain; Anak memiliki potensi dalam menyusun peraturan dan tata tertib yang menyangkut kehidupan sendiri; contoh, melalui bermain mereka menyusun peraturan yang disepakati dan dijalankan bersama, dan jika ada yang melanggar, jelas ada sanksinya. Contoh lain adalah pembagian tugas piket kebersihan yang mereka susun bersama ketua kelas, dijalankan secara bersama-sama; dan mempunyai program makan di sekolah, karena anak banyak mendapatkan keuntungan yang dapat diperoleh dari program tersebut, selain mengembalikan energi anak yang terpakai selama belajar, juga dapat meningkatkan gizi anak, yang mungkin di rumah kurang memperoleh asupan makan yang bergizi. Kegiatan tersebut menjadi ajang anak-anak saling bersosialisasi baik dengan teman sekelas atau lain kelas. Di Indonesia, program ini pernah dilaksanakan melalui program Pemberian Makanan

c.

d.

e.

f.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Tambahan Anak Sekolah, tetapi dihentikan sejalan dengan berakhirnya program Jaring Pengaman Sosial. Program makan di sekolah semacam itu juga dilaksanakan oleh sekolah-sekolah seperti di Jepang dan Malaysia. g. Adanya program sekolah ramah anak

2.6.4. Anak dan Lingkungan Bermain Pemerintah perlu mempelajari cara anak memenuhi hasratnya mendapatkan tempat bermain dengan mengikuti cara anak, dan bersedia bekerjasama dengan anak untuk menata ruang yang ada. Menurut Hendricks (Hendricks: 2002:14) perencanaan taman bermain yang ramah terhadap anak harus mempertimbangkan hasil konsultasi dengan anak, seperti bagaimana mereka menggunakan ruang dan apa yang mereka ingin lakukan, sehingga dalam proses pengembangannya tidak perlu melakukan pengekangan terhadap anak. Proses konsultasi dengan anak harus dilakukan dengan baik seperti yang dilakukan terhadap orang dewasa. Di beberapa negara seperti Inggris, Belgia dan Belanda, telah banyak contoh konsultasi yang dilakukan dengan anak mengenai tempat bermain (Hendricks: 2002:14). Topik penting yang perlu diperhatikan oleh perencana dan perancang ketika melakukan diskusi dengan anak mengenai pembangunan taman bermain adalah masalah keselamatan anak. Ada dua persoalan yang terkait dengan keselamatan anak: a. dibutuhkan tindakan pencegahan dan tenaga profesional yang berpengalaman untuk menjamin bahwa ruangan terbebas dari hal-hal berbahaya yang bisa menyebabkan anak-anak mendapatkan luka serius; dan orang dewasa, khususnya orang-tua anak dan pengawas tempat bermain diduga juga berpotensi untuk membahayakan keselamatan anak dan membuat anak takut. Persoalan ini menyangkut kasus child abuse.

b.

Selain itu, perencana dan perancang perlu mempertimbangkan pengamanan dan pengawasan terhadap anak. Menurut Sheridan Bartlett, dengan mempertimbangkan

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

pengamanan dan pengawasan terhadap tempat bermain anak, sehingga memungkinkan mereka merasa tenang dan nyaman. Pemerintah kota perlu mempertimbangkan pengamanan dan pengawasan di tempat bermain; meningkatkan keselamatan anak di tempat bermain; dan termasuk melakukan kampanye terhadap larangan penggunaan bahan berbahaya pada alat-alat permainan. 2.6.5. Anak dan Pelayanan Transportasi Pemerintah kota agar menyediakan layanan transportasi yang mempertimbangkan kebutuhan anak. Selain itu pemerintah kota dalam membuat kebijakan mengenai transportasi umum, menurut Jill Swart Kruger dan Louise Chawla (Kruger, 2002:85) perlu: a. b. c. memperkenalkan jarak, jenis dan ukuran transportasi umum; mempertimbangkan pembuatan tiket tunggal untuk semua jenis transportasi umum; dan mempertimbangkan penggunaan bus khusus pada hari minggu dan libur untuk anak dan keluarganya ke tempat rekreasi.

2.6.6. Anak dan Pelayanan Kesehatan Informasi mengenai kesehatan anak merupakan hal yang perlu diketahui oleh seorang anak, supaya mereka mengetahui sumber penyakit, jenis penyakit dan upaya pencegahannya. Melalui pemberian informasi kesehatan, seorang anak secara bertahap belajar memahami mengapa seorang anak bisa sakit, dan bagaimana mencegahnya Hasil belajar anak mengenai kesehatan anak, menghasilkan persepsi anak mengenai kesehatan anak. Kehidupan anak berpusat pada rumah, sekolah dan lingkungan sekitarnya. Karena itu, wilayah tersebut harus menjadi tempat yang aman dan sehat bagi anak. Kenyataan, tak jarang tempat-tempat itu tidak aman bahkan menjadi penyebab timbulnya penyakit bagi anak. Menurut WHO, sebagian besar penyakit anak-anak berhubungan erat dengan lingkungan tempat mereka tinggal (rumah), belajar (sekolah) dan bermain (masyarakat) (WHO, 2002:7). Resiko utama

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

ditimbulkan oleh lingkungan seperti air yang kurang bersih, sanitasi buruk, polusi udara, dan higiene makanan yang buruk. Resiko lainnya ditimbulkan oleh serangga yang menjadi perantara bibit penyakit; sedangkan tanah dan air merupakan perantara infeksi cacing. Bahaya lain adalah kecelakaan dan kekerasan. Selain itu, permukiman yang padat, ventilasi yang buruk, dan kurang air bersih untuk mencuci, mempercepat penyebaran berbagai penyakit (UNICEF & UNEP, 1990:25). Bagi masyarakat perkotaan, resiko juga ditimbulkan dari kekurang hati-hatian dalam menggunakan bahan kimia yang berbahaya, pembuangan sampah toxic dan degradasi lingkungan. Pemakaian zat kimia yang tidak aman untuk produk rumah tangga dan alat permainan anak seperti boneka, bisa pula menjadi sebuah ancaman. Upaya kesehatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko lingkungan terhadap kesehatan anak dan warga kota lainnya menurut Jorge E. Hardoy, dkk. penulis buku Environmental Problems in an Urbanizing World: Finding Solution for Cities in Africa, Asia, dan Latin America, adalah pencegahan penyakit yang disebabkan oleh resiko lingkungan. Tindakannya dapat dilakukan di dua tingkatan yakni rumah tangga dan masyarakat. Tingkat rumah tangga yang dapat dilakukan dengan: a. b. c. d. e. menyediakan air bersih; tempat penampungan/tanki air selalu dibersihkan untuk menjaga higiene; menyediakan fasilitas WC yang bersih; mengatur pembuangan sampah dan air buangan; dan melakukan kampanye dengan menyebarkan poster atau leaflet tentang desain kompor dan dapur.

Sedangkan tindakan di masyarakat hampir sama dengan tindakan di rumah tangga, tetapi sifatnya lebih ditingkatkan pada pengawasan dan penyediaan fasilitas yang tidak tersedia di tingkat rumah tangga seperti sumur umum dan MCK. Upaya lain yang dapat dilakukan pemerintah, menurut Dr. David Satterthwaite, dari International Institute for Environment and Development, London (Satterthwaite,

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

2002:1-2) adalah, memberikan pengawasan, perlindungan terhadap anak dan melakukan tindakan pada sektor air, sanitasi, saluran air, sekolah, perumahan, taman, transportasi umum, manajemen sampah, serta mempertimbangkan tanggung jawab terhadap anak: a. institusi bertanggung jawab terhadap peraturan tentang polusi yang bisa merusak perkembangan otak dan tubuh anak; pemerintah bertanggungjawab terhadap keadaan jalan yang bisa menimbulkan kecelakaan dan luka; peraturan mengenai air dan sanitasi yang dapat menjadi sumber penyakit diare dan infeksi cacing; dan polisi mengatur taman dan tempat umum lain yang banyak dikunjungi anak.

b. c. d.

2.7. Anak dan Masalah Sosialnya 2.7.1. Anak yang Berhadapan Dengan Hukum Berdasarkan hasil analisis situasi, dalam sistem peradilan anak di Indonesia ditemukan lebih dari 4.000 anak dibawa ke pengadilan setiap tahunnya. Sebagian besar pelanggaran yang dilakukan adalah kejahatan ringan dengan jumlah kerugian yang sedikit. Tetapi hampir 9 dari 10 anak tersebut berakhir dipenahanan atau penjara anak, dan sebagian besar harus tinggal bersama/dicampur dengan orang-orang dewasa (Sumber: Media Perlindungan Anak Konflik Hukum, RESTORASI, edisi 9-IV/2008). Anak yang berkonflik dengan hukum sebanyak 4.277 anak < 16 tahun sedang menjalani proses pengadilan, anak yang dipenjara sebanyak 13.242 anak dengan variasi usia antara 16-18 tahun, 98% diantaranya adalah anak laki-laki dan 83% yang menjalani pengadilan di hukum penjara, jumlah anak di penjara usia < 18 tertinggi di Jakarta, Jabar, Jatim. Sumsel (Sumber: Bareskrim, Polri). Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM, tahun 2008 menunjukkan bahwa penghuni Lapas, Rutan dan anak binaan sebanyak 127.995 orang yang terdiri dari narapidana (73.686 orang) dan tahanan (54.309 orang). Dari jumlah tersebut sebanyak

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

121.845 pria dan 6.150 wanita. Sedangkan jumlah narapidana dan tahanan anak sebanyak 4.301 (3.36%) dengan rincian jumlah narapidana anak 2.282 (Laki-laki 2.161; Perempuan 121). Tahanan anak sebanyak 2.019 orang (Laki-laki 1.838; Perempuan 181). Anak-anak tersebut ditempatkan di 20 lapas anak pria dan 1 lapas anak wanita. Perlindungan anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, menjamin terpenuhinya hak anak sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Berdasar atas Pasal 64 Undang-Undang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa pemerintah dan masyarakat berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus yang salah satunya adalah perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum, baik yang berkonflik dengan hukum maupun anak korban tindak pidana. Perlindungan khusus bagi Anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan antara lain melalui perlakuan atas anak secara manusiawi, sesuai dengan martabat dan haknya, penyediaan petugas pendamping khusus sejak dini, penyediaan sarana dan prasarana khusus, penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak, pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum, pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarganya, dan perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media masa serta untuk menghindari labelisasi. Anak dalam menjalani proses hukum sering mengalami permasalahan terutama terhadap pemenuhan haknya antara lain tidak adanya kesempatan sekolah karena harus ditahan, akses pelayanan kesehatan yang tidak memadai, kondisi hidup anak sangat tidak baik misalnya tempat tidur yang tidak memadai, dan sanitasi yang tersedia juga kurang baik. Anakanak dibawah usia yang ditahan bersama dengan orang dewasa sangat rentan terhadap kekerasan. Penahanan anak sering menyebabkan anak mengalami stres berat. Perlu peningkatan pemahaman aparat penegak hukum bahwa anak yang berhadapan hukum (pelaku tindak pidana) tidak diperlakukan sama seperti orang dewasa. Hal ini mengingat bahwa anak yang berhadapan dengan hukum memiliki hak atas perlindungan khusus, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Anak. Bagi anak yang menjadi korban tindak pidana, dilaksanakan melalui upaya-upaya rehabilitasi, baik di dalam maupun di luar lembaga, perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa untuk menghindari lebelisasi, pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli baik fisik, mental, maupun sosial dan pemberian akses untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. Persoalan yang masih sering dipertanyakan publik tentang anak yang berhadapan dengan hukum adalah sejauhmana penerapan atas kebijakan-kebijakan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum telah dilaksanakan dan berjalan sesuai harapan sebagaimana diamanatkan dalam prinsipprinsip perlindungan anak. Sudahkah perspektif kepentingan terbaik bagi anak menjadi fokus perhatian dalam proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum? Hal lain yang mendasar adalah, apakah aparat penegak hukum sudah memahami bahwa setiap anak memiliki hak dan martabat yang harus dihormati dan dihargai sebagaimana orang dewasa? Hal ini bukan merupakan masalah yang sederhana, tetapi membutuhkan pendekatan yang komprehensif. Ketika menangani anak sebagai pelaku, solusi yang terbaik melalui Diversi atau Peradilan Restorative, bukan melalui Sistem Peradilan Formal atau Pemenjaraan. Diversi dirancang untuk mengalihkan anak dari proses peradilan formal dan mengarahkannya pada dukungan komunitas baik formal maupun informal, yang melibatkan pelaku, pihak korban, masyarakat, orang tua pelaku dan orang tua korban, tokoh agama, tokoh masyarakat, guru untuk mencari solusi yang terbaik yang memberikan rasa adil dan merasa puas bagi semua pihak. 2.7.2. Kekerasan Terhadap Anak Anak rentan menjadi obyek kekerasan, eksploitasi dan perlakuan salah. Banyak kasus yang menjadikan anak sebagai korban kekerasan baik secara seksual, fisik, psikis, maupun penelantaran, selain itu, ada juga kekerasan yang diakibatkan oleh kondisi sosial-ekonomi. Anak dianggap sebagai komoditas, tenaga kerja murah, diperdagangkan, dilacurkan, dan terjerat dalam sindikat pengedar narkoba, atau yang

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

dipaksa berada di jalanan karena berbagai sebab. Sementara itu, penculikan terhadap anak-anak terjadi diberbagai tempat mulai dari dijemput di sekolah, anak sedang bermain, anak sedang berekreasi, dan sedang berada dalam rumah dengan berbagai modus operandi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh UNICEF menunjukkan bahwa Dua per tiga anak laki-laki dan sepertiga anak perempuan pernah dipukul. Lebih dari seperempat anak perempuan mengalami perkosaan. Pada tahun 2003 yang melibatkan sekitar 1.700 anak, terungkap bahwa Sebagian besar anak mengaku pernah ditampar, dipukul, atau dilempar dengan benda. Awal 2006, terungkap kekerasan terhadap anak di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. Di Jawa Tengah, sebanyak 80 persen guru pernah menghukum anakanak dengan berteriak di depan kelas. Sebanyak 55 persen guru pernah menyuruh murid berdiri di depan kelas. Di Sulawesi Selatan, sebanyak 90 persen guru pernah menyuruh murid berdiri di depan kelas, 73 persen pernah berteriak kepada murid, dan 54 persen pernah menyuruh murid untuk membersihkan atau mengelap toilet. Di Sumatera Utara, lebih dari 90 persen guru pernah menyuruh murid berdiri di depan kelas, dan 80 persen pernah berteriak pada murid. Fakta-fakta di atas memperlihatkan bahwa potensi terjadinya kekerasan berada disekitar kehidupan anak. Tidak tempat yang membuat anak terbebas dari ancaman kekerasan dan eksploitasi. Kekerasan dan eksploitasi terhadap anak akan melahirkan sederet penderitaan yang berkepanjangan yang tertanam dalam benak anak baik secara fisik maupun psikis. Sebagian besar dari pelaku tindak kekerasan, ternyata dilakukan oleh orang-orang terdekat korban, bahkan oleh orang tua sendiri, baik ibu maupun bapak. Statistik menunjukkan bahwa, ternyata pelaku tindak kekerasan terhadap anak dilakukan oleh lebih 80 % pelaku yang dikenal korban. Hal ini sesuai dengan apa yang dilansir oleh Komnas Perlindungan Anak bahwa, lebih dari 69 % pelaku tindak kekerasan terhadap anak adalah orang yang dikenal baik oleh korban. Kenyataan ini setidaknya mengindikasikan bahwa pada sebagian keluarga, rumah yang seharusnya menjadi tempat yang paling aman bagi anak, kini bukan lagi

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

merupakan tempat yang aman dan nyaman bagi anak, karena justru di rumah sering terjadi tindak kekerasaan terhadap anak. 2.7.3. Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus a. Anak di Lokasi Bencana Anak di lokasi bencana menjadi sangat rentan karena mereka memerlukan bantuan orang dewasa untuk: menyelamatkan diri, mendapatkan pertolongan medis, shelter; dan kebutuhan emergensi lainnya; rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. Antisipasi perlindungan anak di lokasi bencana harus disiapkan sebelum bencana terjadi. Saat ini sebagian besar anak tidak mengetahui kemana dan bagaimana memperoleh bantuan bila bencana datang. Lingkungan yang layak anak akan memperhitungkan dengan cermat hal-hal semacam itu, termasuk antisipasi anak-anak menjadi korban perdagangan orang. Anak merupakan kelompok yang mendapat proritas sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 55 ayat (2). b. Anak di Daerah Konflik Bersenjata Di daerah konflik bersenjata umumnya anak-anak dimanfaatkan oleh kelompok yang sedang berkonflik untuk menjadi kurir, benteng manusia dan tentara anak, biasanya yang memiliki badan besar walaupun usianya masih belasan tahun. Selain bertentangan dengan undang-undang, hal tersebut secara psikologis berdampak buruk pada anak, menimbulkan trauma yang sangat panjang dan bisa jadi seumur hidupnya. Menyuburkan tumbuhnya budaya kekerasan dari dan pada anak. Pelecehan seksual, perkosaan dan pedofilia, merupakan bentuk kekerasan yang sangat ditakuti anak-anak. Strategi pembangunan yang peduli anak di daerah konflik dapat mengurangi berbagai resiko fatal tersebut.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

c.

Anak Cacat Kondisi anak cacat relatif telah mendapat perhatian dengan didirikannya berbagai panti dan pusat rehabilitasi, khususnya di perkotaan. Namun akses anak cacat terhadap fasilitas umum masih memprihatinkan, misalnya; tidak semua gedung, pasar, pusat perbelanjaan, stasiun, terminal dan pelabuhan dilengkapi dengan akses bagi anak cacat secara memadai. Dalam kehidupan sosialpun anak-anak cacat diperlakukan sebagai warga Negara kelas dua atau kelas tiga. Terlihat jelas adanya diskriminasi pada anak cacat. Undang-Undang mengamanatkan agar negara memberikan perlindungan khusus pada anak cacat. Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 6 huruf b disebutkan bahwa anak penyandang cacat mempunyai hak yang san antuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

d.

Anak Jalanan Anak jalanan identik dengan masalah anak di perkotaan, masalah ini semakin kompleks karena bukan saja faktor kemiskinan yang menyebabkan anak menjadi anak jalanan, selain itu faktor sosial budaya juga mempengaruhi. Anak jalanan menghadapi resiko yang lebih besar menjadi obyek eksploitasi, kekerasan dan pelecehan seksual, kehidupannya sangat rentan terhadap narkoba, premanisme dan kejahatan lainnya.

Selain itu anak dalam dalam keadaan darurat, anak dalam kelompok minoritas, anak dengan kemampuan berbeda dan anak dalam komunitas adat terpencil, juga memerlukan perlindungan khusus. 2.8. Kekuatan, Peluang dan Tantangan 2.8.1. Kekuatan

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

a.

Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA) dan Rativikasi KHA. Adanya UU PA dan rativikasi konvensi hak anak merupakan kekuatan yang dapat dijadikan sebagai faktor pendorong pelaksanaan kebijakan KLA.

b.

Peraturan Daerah Beberapa daerah telah memiliki peraturan daerah yang mendukung, secara langsung maupun tidak, terhadap upaya perlindungan anak. Hal ini merupakan indikasi yang positif terhadap pelaksanaan kebijakan KLA

c.

Renstra Kesejahteraan dan Perlindungan Anak Isu kesejahteraan dan perlindungan anak telah masuk dalam rencana strategis Kemeterian Negara Pemberdayaan Perempuan RI sehingga pelaksanaan kebijakan KLA mendapat kepastian dari sisi prioritas dan keberlanjutannya.

2.8.2. Peluang a. Pengetahuan masyarakat meningkat Semaraknya jumlah lembaga-lembaga sosial yang bergerak di bidang pendidikan anak, seperti pendidikan anak usia dini (PAUD), Taman Kanak-Kanak, Kelompok bermain merupakan indikasi meningkatnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat di bidang perlindungan anak. b. Dukungan lembaga internasional kuat. Dukungan internasional, baik lembaga PBB maupun Internasional NGO di bidang anak, telah memberikan dukungan kepada Pemerintah Indonesia. c. Jumlah ahli di bidang anak meningkat. Semakin banyaknya jumlah ahli di bidang perlindungan anak, semakin terbuka peluang bagi pelaksanaan kebijakan KLA yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah kabupaten/kota. 2.8.3. Hambatan

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

a.

Kemauan politik terbatas Isu anak belum menjadi prioritas bagi pembuat kebijakan dan pengambil keputusan. Hal ini dikarenakan isu anak kurang laku di jual, bila dibandingkan dengan isu ekonomi dan politik lainnya.

b.

Belum tersosialisasinya konvensi dan peraturan perundang-undang di bidang anak Rendahnya frekuensi sosialisasi dan advokasi konvensi dan peraturan perundang-undangan di bidang anak menyebabkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya perlindungan dan pemenuhan hak anak sangat terbatas.

2.8.4. Ancaman a. Kondisi sosial ekonomi yang belum kondusif Kebijakan KLA merupakan implementasi dari perlindungan anak, jika kondisi sosial ekonomi tidak kondusif seperti kemiskinan, krisis energi, maka pelanggaran terhadap hak anak meningkat, misalnya anak putus sekolah, meningkatnya jumlah anak bekerja, kekerasan terhadap anak meningkat dan asupan gizi yang rendah. b. Adanya resistensi budaya Hingga saat ini masih banyak dijumpai adanya kebiasaan mendidik anak dengan cara kekerasan, terutama pada pendidikan informal, seperti semboyan ada mutiara di ujung rotan pada pendidikan; mendisiplinkan anak dengan cara hukuman dan tindakan fisik. c. Perubahan global Perubahan global di bidang teknologi informasi dan iklim (climate change) berdampak pada sosial ekonomi masyarakat yang dapat mengancam upaya pemenuhan hak anak.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Lingkungan yang bersih merupakan tempat yang ideal bagi tumbuh kembang anak. Kota yang layak anak lingkungannya tertata dan terpelihara dengan baik

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

BAB III LANDASAN KEBIJAKAN, STRATEGI DAN ARAH

3.1. LANDASAN KEBIJAKAN 3.1.1. Peraturan Perundang Undangan 3.1.1.1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B Ayat (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 3.1.1.2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 4 Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 10 Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan. Pasal 24 Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak. 3.1.1.3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 2 ayat (1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi: (a). suami, isteri, dan anak; (b). orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

menetap dalam rumah tangga; dan/atau (c). orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Pasal 4 Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan antara lain : (a). mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; (b) melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; c. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Pasal 5 Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga. Pasal 11 Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga. 3.1.1.4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 27 (1) Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya peristiwa kelahiran paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran. 3.1.1.5. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 Tujuan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025 untuk memberikan arah sekaligus menjadi acuan bagi seluruh komponen bangsa (pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha) di dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional melalui visi, misi, dan arah pembangunan yang disepakati bersama sehingga seluruh upaya yang dilakukan oleh pelaku pembangunan bersifat sinergis, koordinatif, dan saling melengkapi satu dengan lainnya di dalam satu

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

pola sikap dan pola tindak. Dalam lampiran undang-Undang tersebut disebutkan bahwa pemerintah menetapkan arah pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak yang diarahkan pada peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan, kesejahteraan, dan perlindungan anak di berbagai bidang pembangunan; penurunan jumlah tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak; serta penguatan kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak di tingkat nasional dan daerah, termasuk ketersediaan data dan statistik gender. 3.1.1.6. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 17 Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga). 3.1.1.7. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal Pasal 2 (1) Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM menjadi acuan dalam penyusunan SPM oleh Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah NonDepartemen dan dalam penerapannya oleh Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota. (2) SPM disusun dan diterapkan dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pelayanan dasar sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 4 (1) Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen menyusun SPM sesuai dengan urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). (2) Penyusunan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada peraturan

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

perundang-undangan yang mengatur urusan wajib. (3) Dalam penyusunan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan jenis pelayanan dasar, indikator SPM dan batas waktu pencapaian SPM. Dalam menentukan indikator KLA telah disesuaikan dengan SPM yang dikeluarkan oleh masing-masing instansi teknis. 3.1.1.8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) adalah semua urusan pemerintahan yang antara lain Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak merupakan urusan wajib Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan teknis untuk masingmasing sub bidang atau sub sub bidang urusan pemerintahan diatur dengan peraturan menteri/kepala lembaga pemerintahan non departemen yang membidangi urusan pemerintahan yang bersangkutan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri. 3.1.1.9. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah Untuk pengaturan penanganan urusan pemerintahan pada Pasal 22 ayat (5) huruf i ditetapkan Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana. 3.1.1.10. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional 2004-2009 Dalam lampiran Peraturan Presiden ini terutama yang menyangkut tentang agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat, dimana salah satu programnya adalah Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Peran

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Perempuan serta Kesejahteraan dan Perlindungan Anak. Untuk program peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak kegiatan pokoknya adalah: a. mengembangkan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan dalam rangka pemenuhan hak hak anak terutama di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, hukum dan ketenagakerjaan di tingkat nasional dan daerah; melakukan komunikasi informasi dan edukasi peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak; melaksanakan kebijakan dan peraturan perundang-undangan untuk menjamin dan melindungi hak hak anak; c. meningkatkan upaya-upaya dalam rangka pemenuhan hak hak anak seperti penyediaan akta kelahiran dan penyediaan ruang bermain yang aman; mengembangkan mekanisme perlindungan bagi anak dalam kondisi khusus seperti konflik bersenjata dan konflik sosial; mengembangkan sistem prosedur penanganan hukum yang ramah anak termasuk peningkatan upaya perlindungan khusus terhadap anak dalam situasi darurat, konflik dengan hukum, eksploitasi, trafiking dan perlakuan salah lainnya; membentuk wadah-wadah guna mendengarkan dan menyuarakan pendapat dan harapan anak sebagai bentuk partisipasi anak dalam proses pembangunan; dan melaksanakan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan peraturan perundang-undangan di tingkat nasional dan propinsi.

b.

d.

e.

g.

h.

3.1.2. Kesepakatan Internasional 3.1.2.1. Konvensi PBB Hak Anak Tahun 1989

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Konvensi PBB Hak Anak yang ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Resolusi No. 44/25 tanggal 20 November 1989. Konvensi ini secara tegas menetapkan hal-hal penting tentang: a. hak yang melekat pada diri anak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan diri mereka; hak atas sebuah nama dan kewarganegaraan sejak lahir; hak perlindungan dari penelantaran dan kekerasan fisik atau pun mental, termasuk siksaan dan eksploitasi; hak atas pemeliharaan, pendidikan, dan perawatan khusus; hak atas standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai dengan menitikberatkan pada upaya-upaya preventif, pendidikan, kesehatan, dan penurunan angka kematian anak; hak atas pendidikan dasar yang harus disediakan oleh negara, dengan penerapan disiplin dalam sekolah yang menghormati harkat dan martabat anak; hak untuk beristirahat dan bermain, dan mempunyai kesempatan yang sama atas kegiatan-kegiatan budaya dan seni; hak memperoleh perlindungan dari eksploitasi ekonomi dan pekerjaan yang dapat merugikan pendidikan mereka, atau membahayakan kesehatan dan kesejahteraan mereka; hak atas perlindungan dari penyalahgunaan obat-obat terlarang dan keterlibatan dalam produksi atau peredarannya; hak memperoleh perlindungan dari upaya penculikan dan perdagangan anak;

b. c.

d. e.

f.

g.

h.

i.

j.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

k.

hak memperoleh perawatan atau pelatihan khusus untuk penyembuhan dan rehabilitasi bagi korban perlakuan buruk, penelantaran dan eksploitasi; dan hak mendapat perlakuan manusiawi dalam proses hukum sehingga memajukan rasa harkat dan martabat anak-anak yang terlibat kasus hukum untuk kepentingan mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat.

l.

3.1.2.2. Agenda 21 bab 25 Pada KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brasil 1992, para Kepala Pemerintahan dari seluruh dunia menyepakati prinsip-prinsip Agenda 21 yaitu Program Aksi untuk Pembangunan Berkelanjutan. Kesepakatan di Bab 25 Agenda 21 ditujukkan untuk anak dan remaja yang secara khusus mendesak pemerintah: a. melaksanakan program-program untuk menjangkau sasaran-sasaran yang ditetapkan oleh pertemuan puncak dunia untuk anak; menekankan partisipasi anak dalam pengelolaan lingkungan; melaksanakan Konvensi Hak Anak; memperluas pendidikan bagi anak, terutama anak perempuan; dan memasukkan semua kepentingan anak ke dalam semua kebijakan dan strategi yang sesuai dengan pembangunan berkelanjutan.

b. c. d. e.

3.1.2.3. Agenda Habitat Pada Konferensi Habitat II atau City Summit, Istambul, Turki tahun 1996, perwakilan pemerintah dari seluruh dunia bertemu dan menandatangani Agenda Habitat, yakni sebuah Program Aksi untuk membuat permukiman lebih nyaman untuk ditempati dan berkelanjutan. Paragraf 13 dari pembukaan

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Agenda Habitat, secara khusus menegaskan bahwa anak dan remaja harus mempunyai tempat tinggal yang layak; terlibat dalam proses mengambilan keputusan, baik di kota maupun di masyarakat; terpenuhi kebutuhan dan peran anak dalam bermain di masyarakatnya. Melalui City Summit itu, UNICEF dan UNHABITAT memperkenalkan Child Friendly City Initiative (Inisiatif Kota Ramah Anak), terutama menyentuh anak kota, khususnya yang miskin dan yang terpinggirkan dari pelayanan dasar dan perlindungan untuk menjamin hak dasar mereka. Kota Ramah Anak adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Sebagai warga kota, anak dapat: a. b. c. d. berkontribusi terhadap kebijakan yang akan mempengaruhi kotanya; mengekspresikan pendapat mereka tentang kota yang mereka inginkan; dapat berpartisipasi dalam kehidupan keluarga, komunitas, dan sosial; dan berpartisipasi dalam kegiatan budaya dan sosial.

3.1.2.4. World Fit For Children Pada UN Special Session on Children, Mei 2002, para walikota menegaskan komitmen mereka untuk aktif menyuarakan hak anak, dan merekomendasikan kepada walikota seluruh dunia untuk: a. b. mengembangkan rencana aksi untuk menjadi kota ramah anak; dan mempromosikan partisipasi anak sebagai aktor perubah dalam proses pembuatan keputusan di kota terutama dalam proses pelaksanaan dan evaluasi kebijakan pemerintah kota.

Pertemuan ini mendeklarasikan Gerakan Global yang membantu membangun suatu dunia yang layak bagi anak dengan 10 komitmen:

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. 3.2. STRATEGI a. b. c. d. e. f. g. h.

dahulukan kepentingan anak; berantas kemiskinan: tanamkan investasi pada anak; jangan sampai seorang anak tertinggal; perawatan bagi setiap anak; didiklah setiap anak; lindungi anak terhadap penganiayaan dan eksploitasi; lindungi anak dari peperangan; berantas HIV/AIDS; dengarkan anak dan pastikan partisipasi mereka; dan lindungi bumi untuk anak.

Menumbuhkan pemahaman stakeholders di bidang perlindungan anak. Memaksimalkan peran kepemimpinan kabupaten/kota dalam memenuhi hak anak. Mengembangkan pendidikan dan kesadaran publik mengenai visi baru tentang anak. Mengembangkan kebijakan pemenuhan hak anak yang komprehensif. Melakukan analisis situasi anak secara berkelanjutan untuk advokasi, perencanaan, monitoring dan evaluasi. Membuat laporan tahunan kabupaten/kota tentang anak. Membangun kemitraan dan memperluas aliansi untuk anak. Memberdayakan keluarga melalui kelembagaan dan program pembangunan masyarakat.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

i. j. k.

Memperkuat jaringan untuk pemantauan pelaksanaan perlindungan anak dalam situasi khusus. Memperkuat peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan penegakan hukum. Memberikan penghargaan kepada pimpinan daerah yang berhasil dalam melaksanakan kebijakan KLA.

3.3. ARAH KEBIJAKAN KLA Kebijakan KLA diarahkan pada upaya secara sadar, terencana dan sungguh-sungguh untuk mewujudkan: a. b. Bupati/Walikota yang mengembangkan Kabupaten/Kota Layak Anak di wilayah kerjanya. Kesadaran publik mengenai visi baru tentang anak, yaitu anak dipandang sebagai investasi masa depan dan bukan sebagai asset atau factor produksi. Kebijakan pemenuhan hak anak secara komprehensif. Hasil analisis situasi anak di setiap kabupaten/kota yang telah dipergunakan secara efektif dalam penyusunan program. Adanya laporan kemajuan kabupaten/kota tentang pemenuhan hak anak. Kemitraan semua pihak dan aliansi untuk anak. Pemberdayaan keluarga melalui kelembagaan dan program pembangunan masyarakat. Jaringan untuk pemantauan pelaksanaan perlindungan anak dalam situasi khusus. Peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum yang kuat. Bupati/Walikota yang mendapatkan penghargaan sebagai pejuang Kabupaten/Kota Layak Anak. Institusi perlindungan anak

c. d. e. f. g. h. i. j. k.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

BAB IV PRINSIP, PRA-SYARAT DAN LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN KLA

4.1.

Prinsip Kota Layak Anak Empat prinsip kunci Konvensi Hak Anak yang menjadi dasar membangun KLA: a. Non-diskriminasi; Pelaksanaan dan pengembangan kebijakan KLA dilaksanakan dalam rangka perlindungan anak tanpa membedakan suku, ras, agama, jenis kelamin, status social, asal daerah, kondisi pisik maupun psikis anak. b. Kepentingan yang terbaik bagi anak; Menjadikan kepentingan yang terbaik bagi anak sebagai pertimbangan utama dalam setiap pengambilan keputusan yang dilakukan oleh, pemerintah, badan legislatif, badan yudikatif dan lembaga lainnya yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan anak. c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; Perlindungan hak asasi anak sebagai hak yang paling mendasar dalam kehidupan anak yang perlu dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. d. Penghargaan terhadap pendapat anak. Penghormatan atas hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam penambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupan anak.

4.2.

Pra-syarat Kota Layak Anak Pra-syarat pengembangan KLA adalah: a. Adanya Kemauan dan komitmen pimpinan daerah: membangun dan memaksimalkan kepemimpinan daerah dalam mempercepat pemenuhan hak dan perlindungan anak yang dicerminkan dalam dokumen peraturan daerah.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

b.

Baseline data: tersedia sistem data dan data dasar yang digunakan untuk perencanaan, penyusunan program, pemantauan dan evaluasi. Sosialisasi hak anak: menjamin adanya proses penyadaran hak anak pada anak dan orang dewasa secara terus menerus. Produk hukum yang ramah anak: tersusunnya peraturan perundangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan hak anak. Partisipasi anak: tersedia wadah untuk mempromosikan kegiatan yang melibatkan anak dalam program-program yang akan mempengaruhi mereka; mendengar pendapat mereka dan mempertimbangkannya dalam proses pengambilan keputusan. Pemberdayaan keluarga: adanya program untuk memperkuat kemampuan keluarga dalam pengasuhan dan perawatan anak. Kemitraan dan jaringan: adanya kemitraan dan jaringan dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak. Institusi Perlindungan Anak: Adanya kelembagaan yang mengkoordinasikan semua upaya pemenuhan hak anak. Program peduli anak: Adanya program-program yang peduli anak.

c. d.

e.

f. g. h. i. 4.3.

Langkah-Langkah Pengembangan Kebijakan KLA 4.3.1. Pembentukan Gugus Tugas KLA Gugus Tugas KLA merupakan lembaga koordinatif yang beranggotakan wakil dari unsur eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang membidangi anak, perguruan tinggi, organisasi non pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, sektor swasta, orang tua, dan anak. Bagi kabupaten/kota yang telah mempunyai Gugus Tugas/Tim/Pokja terkait dengan perlindungan anak tidak perlu membentuk gugus tugas baru namun harus menyesuaikan dengan keanggotaan dan uraian tugas Gugus Tugas KLA (terlampir). Tugas Pokok Gugus Tugas KLA adalah: a. Mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan dan

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

pengembangan KLA; b. c. d. e. f. g. Menetapkan tugas-tugas dari anggota Gugus Tugas; Melakukan sosialisasi, advokasi, fasilitasi dan KIE konsep KLA; Mengumpulkan data dasar; Melakukan analisis kebutuhan yang bersumber dari data dasar; Melakukan deseminasi data dasar; Menentukan fokus dan prioritas program dalam mewujudkan KLA, yang disesuaikan dengan potensi daerah (masalah utama, kebutuhan, dan sumber daya); Menyusun Rencana Aksi Daerah KLA (5 tahun) dan mekanisme kerja pelaksanaannya; Menyiapkan Peraturan Daerah atau Surat Keputusan Bupati/Walikota tentang Rencana Aksi Daerah KLA; dan Melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan minimal 1 tahun sekali.

h. i. j. 4.3.2.

Pengumpulan Data Dasar Pengumpulan data dasar dimaksudkan untuk mengetahui kondisi obyektif awal sebuah kabupaten/kota sebagai dasar pertimbangan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pembangunan KLA. Pengumpulan data dasar dilakukan oleh lembaga yang memiliki kompetensi dan otoritas di daerah yaitu Badan Pusat Statistik Kabupaten/Kota dan melakukan updating secara berkala.

4.3.3.

Penentuan Fokus dan Prioritas Program Memperhatikan hasil analisis data dasar, permasalahan dan potensi kabupaten/kota ditentukan fokus dan prioritas program dalam mewujudkan KLA. Program ini dimaksudkan supaya setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), pemangku kepentingan di bidang anak dan dunia usaha dapat berperan aktif sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

4.3.4.

Rencana Aksi Daerah (RAD) KLA Untuk mempercepat pelaksanaan Program KLA secara terfokus dan berdasarkan prioritas diperlukan adanya pembagian peran dan fungsi dari setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah, pemangku kepentingan di bidang anak dan dunia usaha diuraikan secara sistematis, terstruktur dan terukur dalam Rencana Aksi Daerah KLA. Untuk memperkuat kedudukan Rencana Aksi Daerah KLA ditetapkan melalui Keputusan Bupati/Walikota. Rencana Aksi Daerah KLA meliputi substansi pokok perlindungan anak di kabupaten/kota yang meliputi: a. b. c. telaah kebutuhan atau need assessment KLA; harmonisasi kebijakan perlindungan anak; pelayanan dasar, rujukan, penyelidikan epidemiologi, penanggulangan KLB dan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan; pelayanan pendidikan dasar, menengah umum dan kejuruan, formal dan informal; perlindungan anak di bidang hak sipil dan partisipasi, program bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus; pelayanan bidang perumahan, sarana dan prasarana lingkungan dan pelayanan fasilitas umum; pelayanan lingkungan hidup, kebutuhan dasar sanitasi dan penanganan akibatnya.

d. e.

f. g

Format RAD KLA dapat disesuaikan dengan matriks RAD dalam lampiran d. 4.3.5. Monitoring dan Evaluasi a. Monitoring dilakukan sejak awal proses perencanaan sampai dengan pelaksanaan RAD KLA yang dilaksanakan di tingkat kabupaten/kota. Evaluasi dilakukan secara periodik untuk melihat kemajuan pembangunan KLA yang telah dicapai dalam

b.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

kurun waktu satu tahun sebagai masukan bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan periode berikutnya dan sebagai bahan laporan. c. Laporan hasil monitoring dan evaluasi KLA diberikan kepada Bupati/Walikota, Gubernur dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan sebagai wakil Pemerintah yang menjadi koordinator di bidang kesejahteraan dan perlindungan anak.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

BAB V INDIKATOR PROGRAM KLA Indikator keberhasilan pengembangan kebijakan KLA dibagi dalam dua kategori yaitu indikator umum dan indikator khusus. Indikator umum adalah dampak jangka menengah dan jangka panjang dari pengembangan kebijakan KLA dimana Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP) dan Badan Pemberdayaan Perempuan di provinsi dan kabupaten/kota tidak terlibat secara langsung dalam upaya mencapai indikator tersebut. Dalam hal ini peran KPP lebih pada pembuatan kebijakan agar tercipta suatu keadaan yang kondusif dalam rangka mempercepat pencapaian indikator tersebut. Indikator khusus adalah dampak jangka pendek dan jangka menengah dari pengembangan kebijakan KLA dimana Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP) dan Badan Pemberdayaan Perempuan di provinsi dan kabupaten/kota terlibat secara langsung dalam upaya mencapai indikator tersebut.

Dalam perspektif kota layak anak, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan melalui Deputi Bidang Perlindungan Anak antara lain mempunyai dua tugas membuat kebijakan KLA dan mempromosikan pelaksanaan kebijakan tersebut. Kebijakan perlindungan anak antara lain meliputi: Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah, Keputusan Bupati/Walikota, Instruksi Bupati/Walikota, nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) dengan lembaga-lembaga yang secara langsung berhubungan dengan kegiatan KLA. Dengan demikian maka fokus kegiatan KLA yang akan diukur adalah pembuatan kebijakan dan promosi pelaksanaan kebijakan perlindungan anak dan/atau kota layak anak. Masing-masing kabupaten/kota dapat mengembangkan indikator yang ada sesuai dengan spesifikasi daerahnya. Upaya tersebut meliputi: 1. 2. 3. 4. Pembuatan kebijakan KLA Promosi kebijakan KLA Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE KLA) Fasilitasi di bidang 1. Ketenagaan 2. Anggaran.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

3. Sarana dan prasarana. 4. Metoda, 5. Pemanfaatan teknologi informasi 5. 6. 7. 8. 9. 10. Advokasi kebijakan KLA Sosialisai hak anak Bimbingan teknis Penelitian dan pengembagan (research and development) Pengembangan model/ percontohan (pilot project) Mediasi

Sedangkan indikator umum KLA meliputi bidang; kesehatan, pendidikan, perlindungan, infrastruktur dan lingkungan hidup. 5.1. Indikator Umum 5.1.1. Bidang Kesehatan Jenis Pelayanan Dasar Pelayanan Dasar Indikator Cakupan kunjungan ibu hamil Cakupan ibu hamil dengan komplikasi yang ditangani Cakupan pertolongan persalinan oleh bidan atau tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan Cakupan pelayanan ibu nifas Cakupan neonatal dengan komplikasi yang ditangani Cakupan kunjungan bayi Cakupan desa/kelurahan universal child immunization (UCI) Cakupan pelayanan anak balita* Cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada anak usia 6-24 bulan keluarga miskin

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Jenis Pelayanan Dasar

Indikator Cakupan balita gizi buruk mendapat perawatan Cakupan penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat Cakupan peserta KB aktif Cakupan penemuan dan penanganan penderita penyakit Cakupan pelayanan kesehatan dasar masyarakat miskin

Pelayanan Cakupan pelayanan kesehatan rujukan pasien kesehatan rujukan masyarakat miskin Cakupan pelayanan gawat darurat level 1 yang harus diberikan sarana kesehatan (RS) di kabupaten/kota Penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan KLB Cakupan desa/kelurahan mengalami KLB tang dilakukan penyelidikan epidemiologi <24 jam

Promosi kesehatan Cakupan desa siaga aktif dan pemberdayaan masyarakat Data dasar Adanya profil kesehatan anak kabupaten/kota

Sumber: Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota

5.1.2.

Bidang Pendidikan

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Jenis Pelayanan Dasar Taman Penitipan Anak, Kelompok bermain

Indikator Ada kegiatan bermain bagi anak 0-4 tahun Adanya tempat penitipan anak, Adanya kelompok bermain anak sebaya Jumlah anak usia 4-6 tahun yang belum terlayani pada program PAUD jalur formal mengikuti program PAUD jalur non formal Guru PAUD jalur non formal telah mengikuti pelatihan bidang PAUD

Pendidikan Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI)

Anak dalam kelompok usia 7-12 tahun bersekolah SD/MI Angka putus sekolah (APS) Lulusan SD/MI melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs)

Sekolah Menengah Anak dalam kelompok usia 13-15 tahun Pertama (SMP) bersekolah di SMP/MTs atau Madrasah Angka putus sekolah (APS) Tsanawiyah (MTs) Lulusan SMP/MTs melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Sekolah Menengah Anak dalam kelompok usia 16-18 tahun Atas (SMA)/ bersekolah di SMA/MA/SMK Madrasah Aliyah Angka putus sekolah (APS) (MA)/Sekolah Menengah Lulusan SMA/MA melanjutkan perguruan tinggi Kejuruan (SMK) yang terakreditasi Lulusan SMK diterima di dunia kerja sesuai dengan keahliannya Pendidikan Non Formal Jumlah penduduk usia sekolah yang belum bersekolah SD/MI menjadi peserta didik Program Paket A Lulusan Program Paket A ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (SMP/MTs/Paket B)
Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Sumber: Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 129a/U/2004 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan

5.1.3.

Bidang Perlindungan

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Jenis Pelayanan Dasar Kelembagaan perlidungan anak

Indikator Ada lembaga perlindungan anak Adanya pusat informasi dan konsultasi anak dan keluarga yang melayani aspek kesehatan dan psikososial. Adanya data terpilah bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus; anak berhadapan dengan hokum, anak jalanan, anak korban bencana,anak dalam situasi darurat, anak minoritas, pekerja anak dll Ada lembaga bantuan hukum anak Adanya satgas penanggulangan pekerja anak, ESKA, PESKA dan korban trafficking anak Ada mekanisme kerja perlindungan anak Ada uraian tupoksi/pelayanan yang diberikan pada anak Adanya rencana aksi perlindungan anak Adanya alokasi anggaran perlindungan anak minimal 20 persen dari total alokasi anggaran di kab/kota Adany alokasi anggaran perlindungan anak pada dokumen Alokasi Dana Desa (ADD) dan block grant kelurahan Adanya pengawasan terhadap usia pernikahan untuk menghindari pernikahan pada usia anak Adanya rumah pintar/rumah cerdas yang dapat diakses anak-anak Adanya tempat penitipan anak di lokasi yang memerlukan Adanya pengawasan terhadap lembaga yang menanangani anak

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

5.1.4.

Bidang Infrastruktur5

1 Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan


Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009. Pada Bab 12 lampiran Perpres (Peningkatan Kualiatitas Kehidupan dan Peran Perempuan serta Kesejahteraan dan Perlindungan Anak, khususnya pada Program Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak). Huruf g. Pembentukan wadah-wadah guna mendengarkan dan penyuarakan pendapat dan harapan anak sebagai bentuk partisipasi anak dalam proses pembangunan.

2 SKB antara Menteri Sosial RI Nomor: 75/HUK/2002, Menteri Kesehatan Nomor: 1329/
Menkes/SKB/X/2002, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI Nomor: 14/Men PP/Dep.V/X/2002, dan Kepala Kepolisian Negara RI, Nomor: B/3048/X/2002 tentang Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.

3 SKB antara Menteri Sosial RI Nomor: 75/HUK/2002, Menteri Kesehatan Nomor: 1329/
Menkes/SKB/X/2002, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI Nomor: 14/Men PP/Dep.V/X/2002, dan Kepala Kepolisian Negara RI, Nomor: B/3048/X/2002 tentang Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.

4 Standar Pelayanan Minimal Terapi Medik Ketergantungan Narkotika, Psikotropika Dan


Bahan Adiktif Lainnya (Narkoba), Badan Narkotika Nasional, 2003.

5Sumber: Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor


534/KPTS/M/2001 tentang Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal Bidang Bidang Perumahan dan Permukiman

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Jenis Pelayanan Dasar Perumahan Kondisi fisik rumah

Indikator

Harga satuan (beli dan sewa) Rumah layak huni Adanya pengaturan nomor rumah Adanya pengaturan nama jalan Adanya peta perumahan di kelurahan/desa atau pemukiman Adanya subsistem pengamanan perumahan Lingkungan yang aman, sehat, harmonis dan berkelanjutan Lingkungan bebas pencemaran Adanya pemisahan penggunaan ruang untuk pemukiman, mendidikan, perdagangan dan idustri Pengendalian polusi udara, suara/kebisingan dan dan bau, menempatkan TPA sampah pada lokasi yg ideal, menentukan jam pengangkutan sampah dll. Ruang terbuka hijau 30 persen dari luas wilayah Promosi gaya hidup ramah lingkungan (green life style) misalnya mengurangi penggunaan tas/kantong plastic Adanya inisiatif penggunaan produk daur ulang Adanya gerakan menanam pohon yang melibatkan anak-anak dengan memanfaatkan momen-momen sosial seperti Hari Anak Nasional, Hari Ibu, 17 Agustus, Sumpah Pemuda, Tahun Baru, Ulang Tahun Kab/Kota dll. Adanya sistem pengamanan berbasis masyarakat dan menggunakan teknologi

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

5.1.5.

Bidang Lingkugan Hidup6 Jenis Pelayanan Dasar Pelayanan perlindungan sumber air Indikator Jumlah sumber air di hutan lindung yang dilindungi Jumlah mata air di luar hutan lindung yang dilindungi Jumlah kawasan tertentu yang ditetapkan sebagai kawasan penyangga Pelayanan Jumlah promosi standar pencegahan pencemaran pencegahan air pencemaran air Jumlah kegiatan sosialisasi pencegahan pencemaran air Adanya sangsi bagi pelanggar pencemaran air Adanya pusat pengecekan atau kontrol kualitas air Pelayanan Jumlah sumber air yang telah dipulihkan akibat pemulihan pencemaran air pencemaran air pada sumber air Pelayanan pencegahan pencemaran udara 10% Ruang Terbuka Hijau (RTH) di lokasi permukiman, industri, pusat perdagangan dan lokasi padat lalu lintas Jumlah kendaraan wajib uji yang secara administratif terdaftar di Kabupaten/Kota yang bersangkutan dipantau emisinya Jumlah kendaraan tidak wajib uji yang secara administratif terdaftar di Kabupaten/Kota yang bersangkutan dipantau emisinya

6 Sumber: Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 197 Tahun 2004 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup Di Daerah Kabupaten Dan Daerah Kota

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Jenis Pelayanan Dasar

Indikator Jumlah usaha dan atau kegiatan sumber tidak bergerak yang memenuhi persyaratan administratif dan teknis pengendalian pencemaran udara Kualitas udara yang memenuhi baku mutu udara ambient sesuai peraturanperundang-undangan yang berlaku

Pelayanan Jumlah TPS dan TPA dioperasikan sesuai pencegahan dan persyaratan teknis dan lingkungan penanggulanga Ada pemisahan sampah basah dan sampah kering n dampak lingkungan Ada tempat khusus sampah berbahaya, sampah akibat sampah rumah sakit, bahan kimia, bengkel, industry, termasukindustri rumah tangga Ada penghargaan bagi wilayah yang berhasil mengelola sampah Pelayanan tindak lanjut laporan masyarakat akibat pencemaran dan atau kerusakan lingkungan Jumlah laporan masyarakat akibat pencemaran dan atau kerusakan lingkungan yang ditindaklanjuti Jumlah waktu yang diperlukan antara pengaduan dan pelayanan Jumlah pengaduan yang berHasil ditindaklanjuti

5.2. Indikator Khusus 5.2.1. Pembuatan Kebijakan Variabel yang diukur Indikator Keberhasilan

Komitmen Pemerintah Jumlah Bupati/Walikota yang Kabupaten/Kota mengembangkan KLA.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

1.

Bidang hukum

Jumlah produk hukum tentang kebijakan perlindungan dan pemenuhan hak anak secara menyeluruh (holistic) antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Peraturan daerah Peraturan bupati/walikota Instruksi bupati/walikota Surat keputusan bupati/walikota Surat edaran bupati/walikota Lainnya

Jenis dokumen tentang perlindungan anak dalam situasi khusus; Jumlah juklak, juknis, pedoman, panduan dan sejenisnya 2. Data basis (baseline data) Jumlah dokumen hasil analisis, hasil penelitian, observasi, survey atau study tentang situasi anak yang telah dipergunakan secara efektif dalam penyusunan program dan kegiatan perlindungan anak. Jumlah laporan SKPD kepada bupati tentang pemenuhan hak anak. Jumlah laporan bupati/walikota kepada gubernur tentang pemenuhan hak anak. 3. 4. Pemberdayaan keluarga Partisimasi masyarakat Pengorganisasian Jumlah keluarga miskin yang mempunyai anak yang memperoleh bantuan khusus. Jumlah institusi perlindungan anak seperti; KPAID, LBH anak, LSM bidang perlindungan anak

5.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

KLA 1. Gugus tugas (GT) KLA Jumlah pertemuan gugus tugas KLA

2. Sekretariat GT Adanya ruang kerja sekretariat GT KLA KLA 3. Forum Anak Jumlah forum anak Jumlah kegiatan forum anak 4. P2TP2A Jumlah P2TP2A Jumlah kegiatan P2TP2A di bidang perlindungan anak 5. Rakor KLA 6. Perencanaan Rencana Aksi Daerah Jumlah kab/kota yang mempunyai dokumen rencana aksi daerah perlindungan anak Jumlah SKPD yg mempunyai program khusus bagi anak Jumlah desa/kelurahan yg mempunyai perencanaan kegiatan perlindungan anak Jumlah kegiatan perlindungan anak dalam dokumen rencana pembangunan desa. 7. Penelitian dan pengembangan Jumlah penelitian di bidang perlindungan anak Jumlah subjek atau isu penelitian di bidang perlindungan anak Jumlah lembaga yang melakukan penelitian di bidang perlindungan anak 8. Pengembangan percontohan kawasan atau lokasi KLA Jumlah kelurahan/desa/kawasan atau lokasi percontohan KLA Jumlah rapat koordinasi KLA

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

9.

Mediasi

Jumlah program perlindungan anak di kab/kota hasil mediasi Jumlah lembaga yang terlibat dalam KLA hasil mediasi

5.2.2.

Promosi pelaksanaan kebijakan KLA Variabel yang diukur Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) 1. Bahan / Jenis KIE 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Poster Baliho Jumlah poster yang diproduksi Jumlah baliho yang diproduksi Indikator Keberhasilan

Booklet/leaflet Jumlah booklet/leaflet yang diproduksi Sticker Jumlah sticker yang diproduksi

Iklan di media Jumlah iklan di media cetak cetak Iklan di radio/tv Aksesibilitas informasi di website Jumlah iklan di radio/tv Jumlah kab/kota yg mengembangkan penyebarluasan informasi berbasis web Jumlah dan ragam informasi yang bisa diperoleh di website Jumlah pengunjung website kota layak anak

8.

Lainnya

Jumlah bahan KIE lainnya yang diproduksi Jumlah lembaga non pemerintah yg mengembangkan sarana KIE perlindungan

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

anak 2. Distribusi bahan KIE 1. Poster 2. Baliho Jumlah kabupaten/kota penerima bahan KIE Jumlah penerima poster Jumlah lokasi pemasangan baliho

3. Booklet/leaflet Jumlah penerima booklet/leaflet 4. Sticker Jumlah penerima stiker

5. Iklan di media Jumlah penerbitan di media cetak cetak 6. Iklan di radio/tv 3. Advokasi Jumlah penayangan iklan di radio/tv Jumlah atau frekuensi advokasi KLA Jumlah bahan advokasi Jumlah kelompok sasaran advokasi 4. Sosialisasi Jumlah stake holders yang mengerti visi baru7 tentang anak, yaitu anak sebagai investasi dan bukan sebagai asset atau faktor produksi. Frekuensi sosialisasi hak anak Jumlah peserta sosialisasi Jumlah kelompok sasaran sosialisasi 5. Fasilitasi 1. Ketenagaan Jumlah tenaga yang telah dilatih hak anak Jumlah kelompok sasaran pelatihan hak anak

7 Paradigma lama anak dipandang dan diperlakukan sebagai asset atau faktor produksi
yang dapat diberdayakan untuk menambah penghasilan keluarga, dalam visi baru anak adalah unsur investasi yang memerlukan modal untuk meningkatkan kualitasnya melalui pemenuhan haknya.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Jumlah wilayah sasaran pelatihan hak anak 2. Anggaran Jumlah dana stimulan perlindungan anak Jumlah APBD untuk kegiatan/program anak Jumlah dana dari unsur swasta 3. Sarana/prasara Adanya sekretariat gugus tugas KLA na Rasio jumlah taman bermain terhadap jumlah anak Jumlah taman bermain anak 4. Metoda Jumlah modul pelatihan hak anak Jumlah panduan perlindungan anak Jumlah juklak KLA Jumlah juknis KLA Jumlah katalog KLA Jumlah seminar KLA Jumlah workshop KLA Jumlah metoda lainnya 5. Pemanfaatan teknologi informasi Jumlah tenaga PP dan KPA yang terlatih di bidang website KLA Jumlah tenaga PP dan KPA yang aktif memanfaatan website KLA Jumlah bimbingan teknis Jumlah rapat konsultasi teknis

4. Asistensi

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

BAB VI PERAN PARA PIHAK 6.1. Pemerintah Pemerintah bertanggung jawab dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan nasional dan memfasilitasi kebijakan KLA. Selain itu pemerintah juga melakukan koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan KLA. 6.2. Asosiasi Pemerintahan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia APKSI/APEKSI sebagai jaringan komunikasi antar kabupaten/kota mempunyai posisi strategis untuk wadah bertukar pengalaman dan informasi antar anggota untuk memperkuat pelaksanaan KLA di masing-masing kabupaten/kota. 6.3. Pemerintah Kabupaten/Kota Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab dalam membuat kebijakan dan menyusun perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, pelaporan, dan memobilisasi potensi sumber daya untuk pengembangan KLA. 6.4. Organisasi Non Pemerintah dan Organisasi Kemasyarakatan Organisasi Non Pemerintah dan Organisasi Kemasyarakatan mempunyai peran penting dalam menggerakkan masyarakat untuk mendukung pelaksanaan KLA. 6.5. Sektor Swasta dan Dunia Usaha Sektor swasta dan dunia usaha merupakan kelompok potensial dalam masyarakat yang memfasilitasi dukungan pendanaan yang bersumber dari alokasi Corporate Social Responsibility untuk mendukung terwujudnya KLA. 6.6. Lembaga Internasional Lembaga internasional sebagai lembaga memfasilitasi dukungan sumber daya internasional dalam rangka mempercepat terwujudnya KLA. 6.7. Masyarakat Masyarakat bertanggung jawab mengefektifkan pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi program KLA dengan memberikan masukan

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

berupa informasi yang obyektif dalam proses monitoring dan evaluasi. 6.8. Keluarga Keluarga merupakan wahana pertama dan utama memberikan pengasuhan, perawatan, bimbingan, dan pendidikan dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak.

Contoh taman pintar di Yogyakarta dan Jambi

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

BAB VII PENUTUP

Anak merupakan investasi sumber daya manusia yang menentukan masa depan bangsa dan negara Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai pelaksanaan Konvensi PBB Hak Anak mengamanatkan agar Negara melindungi keberadaan dan terpenuhinya hak anak, maka pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai kebijakan perlindungan anak, antar lain Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI), Penanganan anak dalam situasi darurat, pelayanan anak melalui telepon (hotline services) TESA 129, wajib belajar 9 tahun, gerakan sayang ibu (GSI), pos pelayanan kesehatan terpadu, dan bina keluarga balita. Diketahui bahwa perlindungan anak merupakan isu pembangunan lintas program (cross-cutting issues) sehingga perlu adanya kebijakan yang mengintegrasikan berbagai program pembangunan yang berhubungan dengan anak di kabupaten/kota. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan kebijakan Kota Layak Anak (KLA) yaitu kebijakan untuk mengintegrasikan berbagai sumber daya pembangunan dan pengintegrasian berbagai kebijakan perlindungan anak yang sudah ada di kabupaten/kota secara terencana dan menyeluruh untuk memenuhi hak anak melalui pengarusutamaan hak anak. Pengintegrasian sumberdaya pembangunan dan pengintegrasian pelaksanan kebijakan perlindungan anak yang sudah ada dalam suatu wadah dan semangat menciptakan kabupaten/kota layak anak, memerlukan adanya pemahaman dan kesadaran yang sama tentang

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Undang-Undang Perlindungan Anak, Konvensi Hak Anak dan kebijakan kota layak anak. Pemahaman dan kesadaran tersebut harus dibangun secara sinergis antar dan sesama pemangku kepentingan pembangunan kabupaten/kota di bidang anak antara lain aparat pemerintah termasuk hakim, jaksa dan polisi, lembaga swadaya masyarakat, khususnya yang bekerja di bidang perlindungan anak, sektor swasta dan dunia usaha, tokoh masyarakat pemerhati anak, organisasi kepemudaan, pramuka, guru, orang tua, dan anak-anak. Keberhasilan pelaksanaan kebijakan KLA akan sangat ditentukan oleh adanya saling pengertian dan kerjasama seluruh pemangku kepentingan di setiap tingkatan pembangunan dengan kepemimpinan pemerintah kabupaten/kota yang memiliki komitmen terhadap investasi sumber daya manusia. Pelaksanaan kebijakan KLA memerlukan berbagai persyaratan, namun demikian inisiatif pelaksanaan kebijakan tersebut tidak perlu menunggu seluruh persyaratan tersebut terpenuhi. Apabila prasyarat KLA sudah terpenuhi, maka pelaksanaan substansi kebijakan KLA sudah dapat dimulai, meskipun dalam skala yang sangat kecil, misalnya di lingkungan rumah tangga atau keluarga, di lingkungan sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan informal, di tempat-tempat pelayanan umum seperti rumah sakit, klinik, terminal, stasiun kereta api, pelabuhan laut dan udara, dan perpustakaan. Kebijakan KLA bersifat dinamis sehingga memungkinkan untuk dilaksanakan di wilayah yang infrastrukturnya telah lengkap maupun yang masih kurang. Hal-hal yang secara operasonal diperlukan namun belum diatur dalam kebijakan KLA ini maka terbuka kemungkinan untuk diadakan perbaikan sesuai dengan perubahan sosial dan dinamika kebutuhan masyarakat dan anak.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Contoh perpustakaan keliling sebagai upaya memberikan akses kepada anak-anak untuk memperoleh informasi

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Adams, Eillen & Sue Ingham. (1998). Changing Places: Childrens Participation in Environmental Planning. London: The Childrens Society. Ahier, John. (1988). Industry Children and the Nation: an Analysis of National Identity in School Textbooks. London, New York, Philadelphia: The Falmer Press. Australian Institute of Family Studies Family Matters. (1998). About Growing Up. No.49 Autumn 1998. Bartlett, Sheridan. (2002). Urban Children and the Physical Environment. Amman, Jordan: International Conference on Children and The City. Burhan, Merina. (1999). Kondisi Lingkungan Bermain Anak di Kota-kota Besar Sebagai Dampak Proses Urbanisasi. Tokyo: Tokyo Institute of Technology. Chawla, Louise. (2001). Evaluating Childrens Participation: Seeking Areas of Concensus. PLA Notes, Oktober No.42. Christencen, Pia & Margaret OBrien (edit.). (2003). Children in the City Home, Neighbourhood and Community. New York & London: Routledge Falmer. Departemen Kesehatan RI. (2003). Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta: Depkes.RI. Hendricks, Barbara. (2002) Child Friendly Environments in the City. di Brescia: Ordine degli Achitetti. Innocenti Digest. (No.2-Nov.2002). Poverty and Exclusion Among Urban Children. Florence Italy: UNICEF Innocenti Research Centre. Johnson, Victoria, dkk. (2002). Anak-anak Membangun Kesadaran Kritis. Jakarta: Read Book. Patilima, Hamid. (2004). Persepsi Anak Mengenai Lingkungan Kota Studi Kasus Di Kelurahan Kwitan, Jakarta Pusat. (Tesis). Jakarta: Kajian Pengembangan Perkotaan, Pascasarjana Universitas Indonesia Satterthwaite, David, Dr. (2002). City Governance for and with Children. Amman, Jordan: International Conference on Children and The City. Save the Childern. (1996). Children on Their Housing. Swedia: Radda Barnen. UNICEF & UNEP. (1990). Children and Environment. New York:UNICEF.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Lampiran a: PEMBENTUKAN GUGUS TUGAS KLA

NO 1

UNSUR Sekretaris Daerah 1.

PERANANNYA

Keterangan

Menggalang sumber daya Koordinasi dan mitra potensial, merencanakan, mengembangkan, mengimplementasikan dan memonitor program pengembangan KLA Mengkoordinasikan Ketua Gugus perencanaan program yang Tugas terkait dengan anak dari masing-masing dinas Mengkoordinasikan program untuk anak yang pendanaannya bersumber dari dunia usaha dan lembaga internasional Mengkoordinasikan pelaksanaan program di bidang perlindiungan anak Mengkoordinasikan penganggaran programprogram untuk anak di masing-masing dinas Melaksanakan pelayanan di Ketua Gugus bidang kesehatan dan Tugas Bidang pengendalian penyakit Kesehatan Sekretariat

BAPPEDA

2.

3.

Badan 4. Pemberdayaan Perempuan Badan Keuangan Daerah Dinas Kesehatan 5.

6.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

NO

UNSUR 7.

PERANANNYA Melaksanakan monitoring dan evaluasi

Keterangan

Dinas/Institusi Sosial

8. 9.

Melaksanakan pelayanan di Ketua Gugus bidang sosial Tugas Bidang Sosial Melaksanakan monitoring dan evaluasi Melaksanakan pelayanan di Ketua Gugus bidang pendidikan dasar Tugas Bidang dan menengah Pendidikan Melaksanakan monitoring dan evaluasi Melaksanakan pelayanan di bidang PU Melaksanakan monitoring dan evaluasi Merencanakan Tata Kota yang Layak Anak Menyediakan Ruang bagi Taman Bermain dan Rekreasi Anak dan Keluarga Melaksanakan pelayanan di bidang perhubungan / transportasi Melaksanakan monitoring dan evaluasi Melaksanakan pelayanan di bidang Ketenaga kerjaan Melaksanakan monitoring dan evaluasi Melaksanakan pelayanan di bidang informasi dan

Dinas pendidikan

10.

11. 10 Dinas Pekerjaan Umum 12. 13.

11

Dinas Tata Kota 14. 15.

12

Dinas 16. Perhubungan DLLAJ-AL 17.

13

Dinas Tenaga Kerja

18. 19.

14

Dinas Informasi 20. dan Komunikasi

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

NO

UNSUR

PERANANNYA komunikasi 21. Melaksanakan monitoring dan evaluasi Melaksanakan pelayanan di bidang Moral & Agama Melaksanakan monitoring dan evaluasi Melaksanakan pelayanan di bidang pemerintahan Melaksanakan monitoring dan evaluasi Melaksanakan pelayanan di bidang keamanan dan ketertiban Melaksanakan monitoring dan evaluasi Melaksanakan pelayanan di bidang penahanan dan penuntutan perkara Melaksanakan monitoring dan evaluasi Melaporkan putusan pengadilan Mempertimbangkan penerapan Restroactive Justice Melaksanakan pelayanan di bidang HukHam dan Lapas dan Rutan Melaksanakan monitoring dan evaluasi

Keterangan

15

Kantor 22. Departemen Agama 23. Kabupaten/Kota Bagian Pemerintahan dan Otda 24. 25. 26.

16

17

Kantor Polisi Wilayah

27. 18 Kejaksaan Negeri 28.

29. 19 Pengadilan Negeri 30. 31.

20

Lapas dan Rutan

32.

33.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

NO 21

UNSUR LSM dan Ormas 34. di Bidang Anak

PERANANNYA Melaksanakan pelayanan di bidang informasi dan advokasi hak anak dan melakukan penggalangan sumber untuk program pengembangan KLA Melakukan pengkajian dan pengembangan KLA serta mempublikasikan hasil kajian Melakukan pengkajian dan pengembangan KLA serta mempublikasikan hasil kajian Melakukan pengawasan pelaksanaan kebijakan KLA Memberikan laporan dan pertimbangan kepada Gubernur Memberikan konstribusi pendanaan dan memberdayakan LSM untuk program KLA Membuka akses pendanaan dan memperluas akses/relasi bagi Ormas /LSM untuk program KLA Mensosialisasikan KLA kepada teman sebaya Menggali kebutuhan anak Mengkonsultasikan kebutuhan dan keinginan anak kepada mitra dari

Keterangan

22

Perguruan Tinggi

35.

23

Organisasi Profesi

36.

24

KPAID

37. 38.

25

Dunia usaha

39.

26

Lembaga Donor 40.

27

Wadah 41. Partisipasi Anak 42. 43.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

NO

UNSUR

PERANANNYA sektor terkait

Keterangan

Tugas pokok dari Gugus Tugas KLA adalah:

1. 2. 3.

Mengkoordinasikan pelaksanaan pengembangan KLA. Menyusun mekanisme kerja. Melakukan pertemuan reguleratau rapat koordinasi dengan anggota gugus tugas lainnya atau dengan unsur SKPD bila dipandang perlu Mensosialisasikan konsep KLA secara berkala. Menentukan fokus utama kegiatan dalam mewujudkan KLA, yang disesuaikan dengan masalah utama, kebutuhan, dan sumber daya yang tersedia. Menyiapkan dan mengusulkan peraturan-peraturan lainnya yang terkait dengan kebijakan KLA. Melakukan kegiatan monitoring, evaluasi dan pelaporan secara periodik.

4. 5.

6. 7.

Lampiran b: Data Dasar

No

Jenis data yang dibutuhkan

Jenis Data

Sumber Data

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

No A

Jenis data yang dibutuhkan Populasi

Jenis Data

Sumber Data

1 2 3 4 5 6 B

Jumlah penduduk kabupaten/kota Jumlah anak Usia 0-5 tahun Jumlah anak Usia 6-12 tahun Jumlah anak Usia 13-15 tahun Jumlah anak Usia 16-18 tahun Jumlah ibu hamil Pendidikan:

Data Sekunder Data Primer Dan Sekunder Data Primer Dan Sekunder Data Primer Dan Sekunder Data Primer Dan Sekunder Data Primer Dan Sekunder

BPS BPS BPS BPS BPS Dinkes Kab/Kota

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Anak balita PAUD Anak balita Play grup Anak balita TK Anak SD / sederajat Anak SLTP / sederajat Anak SLTA / sederajat Anak SLB Anak cacat yang tidak sekolah Anak usia sekolah

Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Primer Data Sekunder

Diknas Kab/Kota Diknas Kab/Kota Diknas Kab/Kota Diknas Kab/Kota Diknas Kab/Kota Diknas Kab/Kota Diknas Kab/Kota Diknas Kab/Kota Diknas Kab/Kota

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

No 10

Jenis data yang dibutuhkan Anak yang tidak sekolah (usia sederajat SD, SLTP, SLTA) Anak yang putus sekolah (usia sederajat SD, SLTP, SLTA) Anak yang bersekolah (usia sederajat SD, SLTP, SLTA)

Jenis Data Data Primer

Sumber Data Diknas Kab/Kota

11

Data Sekunder

Diknas Kab/Kota

12

Data Sekunder

Diknas Kab/Kota

C.

Fasilitas Pendidikan:

1 2 3 4 5 6

Jumlah Sekolah (KB, TK, SD,SLTP, SLTA) Jumlah guru KB, TK, SD, SLTP dan SLTA) Jumlah guru kompetensi mengajar

Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder

Diknas Kab/Kota Diknas Kab/Kota Diknas Kab/Kota Diknas Kab/Kota Diknas Kab/Kota Diknas Kab/Kota

Satuan Keamanan sekolah Data Sekunder Lokasi / sebaran sekolah Data Sekunder

Kondisi gedung sekolah Data Sekunder (baik, rusak ringan, rusak berat) Perpustakaan Data Sekunder

7 8 9

Diknas Kab/Kota Diknas Kab/Kota Diknas Kab/Kota

Usaha kesehatan sekolah Data Sekunder PMTAS (pemberian Data Sekunder makanan tambahan anak sekolah) Guru Bimbingan dan Data Sekunder

10

Diknas Kab/Kota

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

No

Jenis data yang dibutuhkan Pembinaan (BP)

Jenis Data

Sumber Data

11 12 13

Tempat ibadah Lapangan olahraga Toilet

Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder

Diknas Kab/Kota Diknas Kab/Kota Diknas Kab/Kota

D.

Kesehatan

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Anak balita gizi buruk Kematian anak balita Historis kesehatan balita

Data Primer & Sekunder Data Sekunder Data Primer

Dinkes Kab/Kota & survei Dinkes Kab/Kota survei survei survei Dinkes Kab/Kota Dinkes Kab/Kota Dinkes Kab/Kota Dinkes Kab/Kota & survei survei Dinkes Kab/Kota & survei Dinkes Kab/Kota & survei

Persepsi masy thd layanan Data Primer kesehatan Balita cacat (fisik, mental) Data Primer Ibu Menyusui Data Orang Tua Tunggal Balita yang sdh diimunisasi Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder

Balita yang terinfeksi ISPA, Data Primer & Diare, DBD, TBC, Flu Sekunder Burung, HIV/AIDs Historis kesehatan anak Data Primer

10 11 12

Anak cacat (fisik, mental) Data Primer & Sekunder Anak yang terinfeksi ISPA, Data Primer & Diare, DBD, TBC, Flu Sekunder Burung, HIV/AIDs

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

No 13 14 15 16

Jenis data yang dibutuhkan Anak bermasalah kesehatan

Jenis Data Data Primer & Sekunder

Sumber Data Dinkes Kab/Kota & survei Dinkes Kab/Kota & survei Dinkes Kab/Kota & survei Dinkes Kab/Kota

Anak cacat (fisik, mental) Data Primer & Sekunder Ibu hamil yang terinfeksi HIV/AIDs Jumlah kematian Ibu melahirkan Data Primer & Sekunder Data Sekunder

E.

Fasilitas Kesehatan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Rumah sakit Puskesmas PKPR Puskesmas Keliling Pos yandu Tenaga dokter Tenaga para medis Dukun beranak Klinik bidan Klinik swasta Laboratorium Apotik Rumah sakit jiwa TOGA (Taman Obat keluarga)

Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Primer

Dinkes Kab/Kota Dinkes Kab/Kota Dinkes Kab/Kota Dinkes Kab/Kota Dinkes Kab/Kota Dinkes Kab/Kota Dinkes Kab/Kota Dinkes Kab/Kota Dinkes Kab/Kota Dinkes Kab/Kota Dinkes Kab/Kota Dinkes Kab/Kota TP PKK

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

No

Jenis data yang dibutuhkan

Jenis Data

Sumber Data

F.

Fasilitas Umum

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Taman bermain Pojok ASI Lapangan olah raga Taman Rekreasi Rumah Sehat MCK Air Bersih dan sanitasi Rambu lalu lintas dan marka Jalan Trotoar

Data Sekunder Data Primer Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder

Dinas Tata Kota Survei Kantor Pemuda dan Olahraga Dinas Tata Kota Dinas PU & Dinkes Dinas PU & Dinkes Dinas PU & Dinkes Dinas Perhubungan Dinas PU Dinas Perhubungan Dinas Kebersihan Dinas Kebersihan Dinas Perhubungan Diknas/Kantor Perpustakaan Dinas Pariwisata Dinas Sosial Dinas Pasar / Dipenda Dinas Perhubungan

Jembatan penyeberangan Data Sekunder Tempat sampah Tempat pembuangan sampah Halte Perpustakaan umum Taman Budaya Tempat penitipan anak Pasar Sarana Transportasi Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

No

Jenis data yang dibutuhkan

Jenis Data

Sumber Data

G.

Perlindungan

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Balita terlantar Balita korban kekerasan Anak terlantar Anak jalanan Anak korban kekerasan (seksual, fisik) Anak bermasalah hukum Anak yang bekerja (pekerja anak) Anak yang terlibat napza

Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder

Dinas Sosial Polres & LSM Dinas Sosial Dinas Sosial Polres & LSM, LBH, PP Polres, LBH, Komnas Anak Dinas Ketenagakerjaan Badan narkotika Daerah Survei

Anak yang belum memiliki Data Primer Akte Kelahiran

H.

Fasilitas Perlindungan

1 2 3 4 5

Panti Sosial Anak Balita Panti Sosial Asuhan Anak Panti Sosial Bina Remaja Taman Penitipan Anak Rumah Perlindungan

Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder

Dinas Sosial Dinas Sosial Dinas Sosial Dinas Sosial Dinas Sosial

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

No

Jenis data yang dibutuhkan Sosial Anak

Jenis Data

Sumber Data

6 7 8 9 10 11 12 13

Panti rehabilitasi Trauma center Panti Asuhan Rumah Singgah

Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder

Dinas Sosial Dinas Sosial Dinas Sosial Dinas Sosial KPAI Lapas LBH Dinas Sosial

KPAID/Lembaga Pemantau Data Sekunder Hak Anak Lapas Anak LBH Anak LSM peduli anak Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder

I.

Akses

1 2 3

Terhadap pengambil kebijakan Teknologi informasi dan komunikasi Wadah Partisipasi

Data Sekunder Data Sekunder Data Sekunder

Sekda Sekda Sekda

Keterangan: Keseluruhan data yang akan diambil di lapangan adalah data terpilah berdasarkan jenis kelamin dan usia.

Lampiran c:

Mobilisasi Sumber Daya


Sesuai dengan Pasal 4 Konvensi Hak Anak, Negara-negara peserta akan mengambil semua langkah legislatif dan administratif, dan

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

langkah-langkah lain untuk pelaksanaan hak yang diakui dalam Konvensi ini. Sepanjang menyangkut hak ekonomi, sosial dan budaya , Negara Peserta akan mengambil langkah-langkah seperti itu secara maksimal dari sumber-sumber yang tersedia, bila diperlukan dalam rangka kerjasama Internasional. Pemenuhan sebagian besar dari hak anak memerlukan selain penegakan hukum, kebijakan, dan pelaksanaannya adalah pengerahan dari sumber-sumber bagi kepentingan program dan rencana aksi KLA.

Pasal 4 dari Konvensi Hak Anak mewajibkan negara-negara untuk memanfaatkan secara maksimal sumber-sumber bagi kepentingan hak ekonomi, sosial dan budaya.

Kita harus berusaha agar tidak terdapat gap antara komitmen yang ada dengan anggaran dan sumber daya yang diperlukan bagi keberhasilan implementasi dari Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak dan Kebijakan Pengembangan kota Layak bagi Anak. Pasal 4 dari Konvensi ini menunjukan suatu komitmen untukmengerahkan sumber daya termasuk anggaran secara efektif guna menciptakan suasana keadilan sosial yang disertai redistribusi dari sumber daya nasional.

Suatu keseimbangan perlu dijaga antara keperluan lintas sektor dan didalam sektor itu sendiri. Lebih lanjut sumber-sumber yang dialokasikan untuk anak-anak perlu secara efektif dimanfaatkan sesuai target yang tercantum dalam Kebijakan Pengembangan Kota yang Layak untuk Anak dengan manajemen yang menghasilkan output yang bermutu.

Untuk terminologi sumber daya yang tersedia diperlukan interpretasi lebih lanjut.

Di Indonesia terdapat kemampuan ekonomi yang sangat bervariasi antar kota ditinjau dari sudut ekonomi, sosial yang dapat berubah secara sesuai dengan berjalannya waktu. Sayangnya terdapat suatu kecenderungan untuk menganggap sumber-sumber itu hanya sebagai alokasi anggaran pemerintah saja yaitu berupa APBN dan APBD

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Sumber-sumber apa saja yang relevan dan perlu disiapkan untuk anakanak? Peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam bentuk latihan , dorongan untuk motivasi, keterampilan, kemampuan organisasi, informasi dan elemen-elemen lainnya yang keseluruhannya itu merupakan socio capital nampaknya perlu dicantumkan dalam perumusan kebijakan Kota Layak untuk Anak Hubungan anatara Kategori-kategori ini dapat diuraikan dalam tabel sebagai berikut:

Jenis Sumber Daya Manusia

Stock Keterampilan,keakhlian, motivasi, will Power, aspirasi, visi, pengetahuan, pengalaman, harapan, komitmen, energi Lahan, SDA, infra struktur pisik(jalan, listrik, air) peralatan, asset, tabungan, teknologi, informasi Struktur administrasi, norma, prosedur, undang-undang dan peraturan, kekuatan politik, kepemimpinan, organisasi plitik, pemerintah daerah, pelayanan umum, keluarga

Flows Tenaga / buruh terampil, negosiasi, dialog, pertukaran informasi

Sumber Daya Ekonomi

Anggaran, kredit, bunga , keuntungan

Sumber Daya Organisasi

Keputusan, partisipasi, mobilisasi, managemen, regulasi, pemantauan dan latihan

Tabel ini diterjemahkan dari : (From "Resources and Child Rights: an Economic Perspective", David Parker, in Implementing the Convention on the Rights of the Child: Resource Mobilization in Low-income Countries, edited by James R. Himes, UNICEF International Child Development Centre, Martinus Nijhoff , 1995, pp. 35-37)

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Berbagai bentuk dari sumber ini saling terkait dan untuk tahap tertentu dapat dikonversikan satu sama lain. Sebagai contoh anggaran biasanya dipakai untuk meningkatkan kapasitas manusia dan organisasi (social capital) yang merupakan asset penting untuk pembangunan.

Perlu difahami bahwa peningkatan kualitas manusia tidak dapat diperoleh dalam jangka waktu pendek.

Stocks, yang biasa juga disebut sebagai capital atau kewajiban pemenuhan sumber daya adalah suatu akumulasi dari sesuatu yang berharga yang dimiliki oleh masyarakat, sebagai persediaan atau yang dapat dicapai untuk berbagai kepentingan. Sebagai contoh: keterampilan dan motivasi dari unsur masyarakat termasuk anak-anak. Flows adalah pengeluaran yang aktual atau pemanfaatan sumber daya yang tersedia.

Stock ini kemudian dikonversikan menjadi Flows yang tercermin dalam kegiatan-kegiatan masyarakat dalam bentuk aksi yang dilaksanakan sehari-hari dalam bentuk pelayanan dan perlindungan anak.

APBN dan APBD tentunya adalah sumber yang layak langsung dibawah kendali dari pemerintah pusat dan daerah, dengan demikian menjadi bahan dari lobi atau berupa suatu tekanan politik dan advokasi bagi anak.

Karena anggaran itu dinyatakan dalam terminologi keuangan, hal ini memberikan suatu dasar yang relatif sederhana bagi monitoring dan penilaian walaupun tentunya angka-angkanya dapat dimanipulasi, kadang sering untuk kepentingan politik. Berikut uraian lengkap mobilisasi sumberdaya:

No

Jenis sumber daya

Yang bertanggung jawab

Metode yang digunakan

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Human resources

A Profesional 1. Adanya ahli yang Lintas Sektor Koordinasi, berhubungan (Pendidikan, Fasilitasi dengan anak Kesehatan, Perlindungan, Sosial, Budaya, Agama, Hukum) Adanya sukarelawan anak Diknas, dikes, PP, Disnaker, Disos Peningkatan kapasitas, Fasilitasi, Koordinasi Koordinasi, Peningkatan kapasitas

2.

3.

Keterlibatan Organisasi profesi : tenaga IDI, IDAI,ADGI, LBH, profesional anak PGRI, IPSPI, Pemimpin Muda Anak

B Komitmen 4. Adanya publik KPP, Kepala Daerah figure/tokoh masyarakat yang peduli anak Komitmen politik Kepala Daerah kepala daerah Renstra daerah Kepala Daerah, Bappeda Peningkatan kapasitas, Fasilitasi, Koordinasi Advokasi, Sosialisasi Rapat Koordinasi,

5. 6. 7.

Kesadaran akan Lintas Sektor Sosialisasi, Hak anak (Pendidikan, Advokasi Kesehatan, Perlindungan, Sosial, Budaya, Agama, Hukum) Penegakan Hukum Polisi, KEJAKSAAN, MA, Satpol PP

8.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

II Sumberdaya Ekonomi

A Infrastruktur 9. Tersedianya PU, LH ruang publik yang ramah anak Tersedianya Pemda, BUMD, fasilitas BUMN, Swasta pelayanan dasar publik Tersedianya PU, Dishub fasilitas publik (zona sekolah, tranportasi) Sosialisasi, perencanaan, sinkronisasi program Sosialisasi, perencanaan, sinkronisasi program Sosialisasi, perencanaan, sinkronisasi program

10.

11.

B Keuangan 12. Adanya APBD Pemda, DPRD Sosialisasi, penyusunan program peduli anak Sosialisasi, penyusunan program peduli anak Sosialisasi, penyusunan program peduli anak Sosialisasi, penyusunan program peduli anak

13.

Adanya APBN

Depkeu, Bapenas, DPR RI

14.

Adanya bantuan Swasta, Kepala dana swasta Daerah

15.

Adanya bantuan Bapenas, Bappeda, dana Kepala Daerah internasional

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

16.

Adanya dana swadaya masyarakat

Kepala Daerah

Sosialisasi, penyusunan program peduli anak

III Organisasi

A Peraturan perundangundangan 17. Undang-undang yang terkait dengan anak Adanya perda anak Kebijakan KPP tentang KLA DPR RI, Dirjen PP Sosialisasi, ligitasi

18. 19.

Pemda, DPRD, Bag Hukum KPP

Sosialisasi, ligitasi Sosialisasi, ligitasi

B Sistem Kepemerintahan 20. otonomi daerah (kewenangan luas) Depdagri Sosialisasi, penyusunan program peduli anak Sosialisasi, penyusunan program peduli anak

21.

Adanya aparatur Pemda Pemda

22. 23.

Lembaga mitra Adanya Lintas Sektor Kerjasama, fasilitasi Perguruan Tinggi (Pendidikan, Kesehatan, Perlindungan, Sosial, Budaya, Agama, Hukum) Adanya Lembaga Lintas Sektor Penelitian (Pendidikan, Kerjasama, fasilitasi

24.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Kesehatan, Perlindungan, Sosial, Budaya, Agama, Hukum) 25. Adanya NGO, Ormas/Orsos, Organisasi Keagamaan menangani anak Lintas Sektor Kapasitasi, (Pendidikan, fasilitasi, sosialisasi Kesehatan, Perlindungan, Sosial, Budaya, Agama, Hukum)

26.

Adanya CBO Lintas Sektor Kapasitasi, menangani anak (Pendidikan, fasilitasi, sosialisasi Kesehatan, Perlindungan, Sosial, Budaya, Agama, Hukum) Adanya Bapenas, Bapeda lembaga donor anak Adanya aliansi anak Fasilitasi

27.

28.

Lintas Sektor Kapasitasi, (Pendidikan, fasilitasi, sosialisasi Kesehatan, Perlindungan, Sosial, Budaya, Agama, Hukum)

29. 30. 31.

Pers yang peduli DEPKOMINFO, KPID, Advokasi, anak KPP kapasitasi, fasilitasi Program dinasdinas sektoral Adanya kemitraan dengan swasta Pemda Advokasi, kapasitasi, fasilitasi

Lintas Sektor Kerjasama, (Pendidikan, sosialisasi, fasilitasi Kesehatan, Perlindungan, Sosial, Budaya, Agama, Hukum)

Lampiran d.

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Penyusunan Rencana Aksi Daerah memuat bidang program; tujuan; program aksi; target kinerja; waktu pelaksanaan dan penanggung jawab atau pelaksanan kegiatan. Hal tersebut dapat disusun dalam matriks sebagai berikut:

Bidang Program: Tujuan Program Aksi Target Waktu Pelaksanaan Penanggung jawab kegiatan

Kinerja 2009 2010 2011 2012 2013

Contoh taman bermain anak di Kota Jambi

Pedoman Pelaksanaan Kebijakan KLA

Anda mungkin juga menyukai