Anda di halaman 1dari 19

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Persalinan sering kali mengakibatkan perlukaan jalan lahir. Luka-luka biasanya ringan, tetapi kadang-kadang terjadi juga luka yang luas dan berbahaya. Setelah persalinan harus selalu dilakukan pemeriksaan vulva dan perinium. Pemeriksaan vagina dan serviks dengan spekulum perlu dilakukan setelah pembedahan pervaginam. Sebagai akibat persalinan, terutama pada seorang primipara, bisa timbul luka pada vulva di sekitar introitus vagina yang biasanya tidak dalam akan tetapi kadang-kadang bisa timbul perdarahan banyak, khususnya pada luka dekat klitoris.

B. Tujuan

1. Tujuan umum Tujuan umum dari kami mempelajari makalah ini adalah untuk mengetahui lebih mendalam tentang perlukaan jalan lahir. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui pengertian dari perlukaan jalan lahir b. Mengetahui etiologi perlukaan jalan lahir c. Mengetahui patofisiologi perlukaan jalan lahir d. Mengetahui tanda dan gejala perlukaan jalan lahir e. Mengetahui penatalaksanaan medis perlukaan jalan lahir

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Perlukaan Jalan Lahir Perlukaan jalan lahir merupakan perlukaan yang terjadi pada jalan lahir saat atau setelah terjadinya persalinan yang biasanya ditandai oleh perdarahan pada jalan lahir. Perlukaan jalan lahir karena prsalinan dapat mengenai vulva, vagina, dan uterus. Jannis perlukaan ringan berupa luka lecet, yang berat berupa suatu robekan yang disertai perdarahan hebat. (Prawirohardjo S, 2008: 409)

B. Beberapa Jenis Perlukaan Jalan Lahir Dalam Persalinan 1. Luka perineum Luka perinium adalah perlukaan yang terjadi akibat persalinan pada bagian perinium dimana muka janin menghadap (Prawirohardjo S, 2008: 410). Luka perineum dibagi menjadi 4 tingkatan antara lain : a. Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vagina dengan atau tanpa mengenai kulit perineum b. Tingkat II : Robekan mengenai selaput lender vagina dan otot perinea transversalis, tetapi tidak mengenai spingter ani c. Tingkat III : Robekan mengenai seluruh perinium dan otot spingter ani d. Tingkat IV : Robekan sampai mukosa rectum 2. Luka robekan serviks Bibir serviks uteri merupakan jaringan yang paling mudah mengalami perlukaan pada waktu persalinan. Karena perlukaan itu porsio vaginalis uteri pada seorang multipara terbagi dalam bibir depan dan belakang. 3. Rupture uteri Ruptur uteri adalah robekan atau diskontinuita dinding rahim akibat dilampauinya daya regang miomentrium. ( buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal).

Rupture uteri merupakan robekan uterus yaitu perlukaan yang paling berat pada persalinan. Robean ini dapat terjadi pada waktu kehamilan atau pada waktu persalinan, namun yang paling sering terjadi ialah robekan ketika persalinan. Ruptur uteri dapat dibagi menurut beberapa cara : a. Menurut waktu terjadinya 1) Rupture uteri Gravidarum (waktu sedang hamil, sering loksinya pada korpus) 2) Rupture uteri Durante Partum (waktu melahirkan anak) b. Menurut lokasinya 1) Korpus uteri, biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi seperti SC klasik (korporal), miomektomi 2) Segmen bawah rahim (SBR), ini biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama tidak maju, SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah rupture uteri yang sebenarnya. 3) Servik uteri ini biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsipal atau versi dan ekstraksi sedang pembukaan lengkap. 4) Kolpoporeksis, robekan-robekan diantara serviks dan vagina c. Menurut robeknya 1) Rupture uteri kompleta : Robekan pada dinding uterus berikut peritoneumnya ( perimetrium ) ; dalam hal ini terjadi hubungan langsung antara rongga perut dan rongga uterus dengan bahaya peritonitis 2) Ripture uteri inkompleta : Robekan otot rahim tanpa ikut robek peritoneumnya. Perdarahan terjadi subperitoneal dan bisa meluas ke lig.latum

C. Etiologi 1. Robekan perineum a. Kepala janin terlalu cepat lahir b. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya c. Jaringan parut pada perineum d. Distosia bahu

2. Robekan serviks a. Partus presipitatus b. Trauma karena pemakaian alat-alat operasi c. Melahirkan kepala pada letak sungsang secara paksa, pembukaan belum lengkap d. Partus lama 3. Rupture uteri a. Riwayat pembedahan terhadap fundus atau korpus uterus b. Induksi dengan oksitosin yang sembarangan atau persalinan yang lama c. Presentasi abnormal (terutama terjadi penipisan pada segmen bawah uterus) d. Panggul sempit e. Letak lintang f. Hydrosephalus g. Tumor yang menghalangi jalan lahir h. Presentasi dahi atau muka (Helen, 2001)

D. Patofisiologi 1. Robekan perineum Robekan perineum terjadi pada semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat, sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan pendarahan dalam tengkorak janin, dan melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama. 2. Robekan serviks Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks seorang multipara berbeda daripada yang belum pernah melahirkan per vaginam. Robekan serviks yang luas mengakibatkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi

perdarahan yang tidak berhenti meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus berkontraksi baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya robekan serviks uteri. 3. Rupure uteri a. Rupture uteri spontan 1) Terjadi spontan dan sebagian besar pada persalinan 2) Terjadi gangguan mekanisme persalianan sehingga menimbulkan ketegangan segmen bawah rahim yang berlebihan b. Rupture uteri traumatic 1) Terjadi pada persalianan 2) Timbulnya rupture uteri karena tindakan seperti ekstraksi forsep, ekstraksi vakum, dll c. Rupture uteri pada bekas luka uterus Terjadinya spontan atau bekas operasi secsio sesarea dan bekas opersi pada uterus E. Tanda dan Gejala 1. Robekan jalan lahir Tanda dan gejala yang selalu ada : a. Pendarahan segera b. Uterus kontraksi baik c. Darah segar yang mengalir segera setelah bayi lahir d. Plasenta baik Gejala dan tanda-tanda yang kadang ada : a. Pucat b. Lemah c. Menggigil 2. Rupture uteri a. Tanda dan gejala ruptur uteri dapat terjadi secara dramatis atau tenang. b. Dramatis c. Nyeri tajam, yang sangat pada abdomen bawah saat kontraksi hebat memuncak d. Penghentian kontraksi uterus disertai hilangnya rasa nyeri

e. Perdarahan vagina ( dalam jumlah sedikit atau hemoragi ) f. Terdapat tanda dan gejala syok, denyut nadi meningkat, tekanan darah menurun dan nafas pendek ( sesak ) g. Temuan pada palpasi abdomen tidak sama dengan temuan terdahulu h. Bagian presentasi dapat digerakkan diatas rongga panggul i. Janin dapat tereposisi atau terelokasi secara dramatis dalam abdomen ibu j. Bagian janin lebih mudah dipalpasi k. Gerakan janin dapat menjadi kuat dan kemudian menurun menjadi tidak ada gerakan dan DJJ sama sekali atau DJJ masih didengar l. Lingkar uterus dan kepadatannya ( kontraksi ) dapat dirasakan disamping janin ( janin seperti berada diluar uterus ). m. Tenang n. Kemungkinan terjadi muntah o. Nyeri tekan meningkat diseluruh abdomen p. Nyeri berat pada suprapubis q. Kontraksi uterus hipotonik r. Perkembangan persalinan menurun s. Perasaan ingin pingsan t. Hematuri ( kadang-kadang kencing darah ) u. Perdarahan vagina ( kadang-kadang ) v. Tanda-tanda syok progresif w. Kontraksi dapat berlanjut tanpa menimbulkan efek pada servik atau kontraksi mungkin tidak dirasakan x. DJJ mungkin akan hilang

E. Penatalaksanaan Medis 1. Penjahitan robekan serviks a. Tinjau kembali prinsip perawatan umum dan oleskan larutan anti septik ke vagina dan serviks

b. Berikan dukungan dan penguatan emosional. Anastesi tidak dibutuhkan padasebasian besar robekan serviks. Berikan petidin dan diazepam melalui IV secara perlahan (jangan mencampur obat tersebut dalam spuit yang sama) atau gunakan ketamin untuk robekan serviks yang tinggi dan lebar c. Minta asisten memberikan tekanan pada fundus dengan lembut untuk membantu mendorong serviks jadi terlihat d. Gunakan retraktor vagina untuk membuka serviks, jika perlu e. Pegang serviks dengan forcep cincin atau forcep spons dengan hati hati. Letakkan forcep pada kedua sisi robekan dan tarik dalam berbagai arah secara perlahan untuk melihat seluruh serviks. Mungkin terdapat beberapa robekan. f. Tutup robekan serviks dengan jahitan jelujur menggunakan benang catgut kromik atau poliglokolik 0 yang dimulai pada apeks(tepi atas robekan) yang seringkali menjadi sumber pendarahan. g. Jika bagian panjang bibir serviks robek, jahit dengan jahitan jelujur menggunakan benang catgut kromik atau poliglikolik 0. h. Jika apeks sulit diraih dan diikat, pegang pegang apeks dengan forcep arteri atau forcep cincin. Pertahankan forcep tetap terpasang selama 4 jam. Jangan terus berupaya mengikat tempat pendarahan karena upaya tersebut dapat mempererat pendarahan. Selanjutnya : - Setelah 4 jam, buka forcep sebagian tetapi jangan dikeluarkan. - Setelah 4 jam berikutnya, keluarkan seluruh forcep. 2. Penjahitan robekan vagina dan perineum Terdapat empat derajat robekan yang bisa terjadi saat pelahiran, yaitu : a. Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vagina dan jaringan ikat b. Tingkat II : Robekan mengenai mukosa vagina, jaringan ikat, dan otot dibawahnya tetapi tidak menenai spingter ani c. Tingkat III : robekan mengenai trnseksi lengkap dan otot spingter ani d. Tingkat IV : robekan sampai mukosa rectum. 3. Penjahitan robekan derajat I dan II

Sebagian besar derajat I menutup secara spontan tanpa dijahit. a. Tinjau kembali prinsip perawatan secara umum. b. Berikan dukungan dan penguatan emosional. Gunakan anastesi lokal dengan lignokain. Gunakan blok pedendal, jika perlu. c. Minta asisten memeriksa uterus dan memastikan bahwa uterus berkontraksi. d. Periksa vagina, perinium, dan serviks secara cermat. e. Jika robekan perinium panjang dan dalam, inspeksi untuk memastikan bahwa tidak terdapat robekan derajat III dan IV. f. Masukkan jari yang memakai sarung tangan kedalam anus g. Angkat jari dengan hati-hati dan identifikasi sfingter. h. Periksa tonus otot atau kerapatan sfingter i. Ganti sarung tangan yang bersih, steril atau DTT j. Jika spingter cedera, lihat bagian penjahitan robekan derajat III dan IV. k. Jika spingter tidak cedera, tindak lanjuti dengan penjahitan 4. Penjahitan robekan perineum derajat III dan IV Jahit robekan diruang operasi a. Tinjau kembali prinsip perawatan umum b. Berikan dukungan dan penguatan emosional. Gunakan anastesi lokal dengan lignokain. Gunakan blok pedendal, ketamin atau anastesi spinal. Penjahitan dapat dilakukan menggunakn anastesi lokal dengan lignokain dan petidin serta diazepam melalui IV dengan perlahan ( jangan mencampurdengan spuit yang sama ) jika semua tepi robekan dapat dilihat, tetapi hal tersebut jarang terjadi. c. Minta asisten memeriksa uterus dan memastikan bahwa uterus berkontraksi. d. Periksa vagina, perinium, dan serviks secara cermat. e. Untuk melihat apakah spingter ani robek. f. Masukkan jari yang memakai sarung tangan kedalam anus g. Angkat jari dengan hati-hati dan identifikasi sfingter. h. Periksa permukaan rektum dan perhatikan robekan dengan cermat. i. Ganti sarung tangan yang bersih, steril atau yang DTT

j. Oleskan larutan antiseptik kerobekan dan keluarkan materi fekal, jika ada. k. Pastikan bahwa tidak alergi terhadap lignokain atau obat-obatan terkait. l. Masukan sekitar 10 ml larutan lignokain 0,5 % kebawah mukosa vagina, kebah kulit perineum dan ke otot perinatal yang dalam. m. Pada akhir penyuntikan, tunggu selama dua menit kemudian jepit area robekan denagn forcep. Jika ibu dapat merasakan jepitan tsb, tunggu dua menit algi kemudian lakukan tes ulang. n. Jahit rektum dengan jahitan putus-putus mengguanakan benang 3-0 atau 4-0 dengan jarak 0,5 cm untuk menyatukan mukosa. o. Jika spingter robek - Pegang setiap ujung sfingter dengan klem Allis ( sfingter akan beretraksi jika robek ). Selubung fasia disekitar sfingter kuat dan tidak robek jika ditarik dengan klem. - Jahit sfingter dengan dua atau tiga jahitan putus-putus menggunakan benang 2-0. p. Oleskan kembali larutan antiseptik kearea yang dijahit. q. Periksa anus dengan jari yang memakai sarung tangan untuk memastikan penjahitan rektum dan sfingter dilakukan dengan benar. Selanjutnya, ganti sarung tangan yang bersih, steril atau yang DTT. r. Jahit mukosa vagina, otot perineum dan kulit. 5. Perbaikan rupture uterus a. Tinjau kembali indikasi. b. Tinjau kembali prinsip prawatan umum, prinsip perawatan operasi dan pasang infus IV. c. Berikan dosis tunggal antibiotik profilaksis. 1) Ampisilin 2g melalui IV. 2) Atau sefazolin 1g melalui IV. d. Buka abdomen 1) Buat insisi vertikalgaris tengah dibawah umbilikus sampai kerambut pubis melalui kulit sampai di fasia. 2) Buat insisi vertikal 2-3 cm di fasia.

3) Pegang tepi fasia dengan forcep dan perpanjang insisi keatas dan kebawah dengan menggunakan gunting. 4) Gunakan jari atau gunting untuk memisahkan otot rektus (otot dinding abdomen ) 5) Gunakan jari untuk membuka peritoneum dekat umbilikus. Gunakan gunting untuk memperpanjang insisi ke atas dan ke bawah guna melihat seluruh uterus. Gunakan gunting untuk memisahkan lapisan peritoneum dan membuka bagian bawah peritoneum dengan hati-hati guna mencegah cedera kandung kemih. 6) Periksa area rupture pada abdomen dan uterus dan keluarkan bekuan darah. 7) Letakkan retraktor abdomen. e. Lahirkan bayi dan plasenta. f. Infuskan oksitoksin 20 unit dalam 1L cairan IV ( salin normal atau laktat ringer ) dengan kecepatan 60 tetes permenit sampai uterus berkontraksi, kemudian kurangi menjadi 20 tetes permenit. g. Angkat uterus keluar panggul untuk melihat luasnya cedera. h. Periksa bagian depan dan belakang uterus. i. Pegang tepi pendarahan uterus dengan klem Green Armytage ( forcep cincin ) j. Pisahkan kandungan kemih dari segmen bawah uterus dengan diseksi tumpul atau tajam. Jika kandung kemih memiliki jaringan parut sampai uterus, gunakan gunting runcing. 6. Rupture sampai serviks dan vagina a. Jika uterus robek sampai serviks dan vagina, mobilisasi kandung kemih minimal 2cm dibawah robekan. b. Jika memungkinkan, buat jahitan sepanjang 2cm diatas bagian bawah robekan serviks dan pertahankan traksi pada jahitan untuk memperlihatkan bagian-bagian robekan jika perbaikan dilanjutkan. 7. Rupture meluas secara lateral sampai arteria uterine a. Jika rupture meluas secara lateral sampai mencederai satu atau kedua arteri uterina, ikat arteri yang cedera. b. Identifikasi arteri dan ureter sebelum mengikat pembuluh darah uterus.

8. Rupture dengan hematoma ligamentumlatum uteri a. Jika rupture uterus menimbulkan hematoma pada ligamentum latum uteri, pasang klem, potong dan ikat ligamentum teres uteri. b. Buka bagian anterior ligamentum atum uteri. c. Buat drain hematoma secara manual, bila perlu. d. Inspeksi area rupture secara cermat untuk mengetahui adanya cedera pada arteria uterina atau cabang-cabangnya. Ikat setiap pembuluh darah yang mengalami pendarahan. 9. Penjahitan robekan uterus a. Jahit robekan dengan jahitan jelujur mengunci (continous locking ) menggunakan benang catgut kromik (atau poliglikolik)0. Jika perdarahan tidak terkandali atau jika ruptur melalui insisi klasik atau insisi vertikal terdahulu, buat jahitan lapisan kedua. b. Jika rupture terlalu luas untuk dijahit, tindak lanjuti dengan histerektomi. c. Kontrol pendarahan dalam, gunakan jahitan berbentuk angka delapan. d. Jika ibu meminta ligasi tuba, lakukan prosedur tsb pada saat ini. e. Pasang drain abdomen f. Tutup abdomen. 1) Pastikan tidak ada pendarahan. Keluarkan bekuan darah dengan menggunakn spons. 2) Pada semua kasus, periksa adanya cedera pada kandung kemih. Jka teridentifikasi adanya cedera kandung kemih, perbaiki cedera tsb. 3) Tutup fasia engan jahitan jelujur menggunakan benang catgut kromik (poliglikolik) 0. 4) Jika terdapat tanda-tanda infeksi, tutup jaringan subcutan dengan kasa dan buat jahitan longgar menggunakan benang catgut ( poligkolik ) 0. Tutup kulit dengan penutupan lambat setelah infeksi dibersihkan. 5) Jika tidak terdapat tanda-tanda infeksi, tutup kulit dengan jahitan matras vertikal menggunakan benang nelon ( sutra ) 3-0 dan tutup dengan balutan steril.

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN PERLUKAAN JALAN LAHIR PADA POST PARTUM DENGAN KOMPLIKASI

A. Pengkajian - Identitas klien: Data biologis/fisiologis meliputi; keluhan utama, riwayat kesehatan masa lalu, riwayat penyakit keluarga, riwayat obstetrik (GPA, riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas), dan pola kegiatan sehari-hari, sering terjadi pada ibu usia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun. - Keluhan utama Perlukaan jalan lahir pada rupture uteri: nyeri, kesulitan nafas (sesak), pusing, pandangan berkunang-kunang, syok, kemungkinan terjadi muntah, perasaan ingin pingsan. - Riwayat kehamilan dan persalinan Riwayat hipertensi dalam kehamilan, preeklamsi / eklamsia, bayi besar, gamelli, hidroamnion, grandmulti gravida, primimuda, anemia, perdarahan saat hamil. Persalinan dengan tindakan, robekan jalan lahir, partus precipitatus, partus lama/kasep, chorioamnionitis, induksi persalinan, manipulasi kala II dan III. - Riwayat kesehatan Kelainan darah dan hipertensi - Pengkajian fisik Tanda vital Tekanan darah Nadi Pernafasan Suhu Kesadaran : Menurun ( kurang dari 90-70 mmHg) : Meningkat ( 100-120 x/menit) : Meningkat ( diatas 20 x/menit ) : Meningkat : Sadar/tidak sadar

1. Anamnesis dan infeksi a. Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa kesakitan yang luar biasa, menjerit seolah-olah perutnya sedang dirobek kemudian jadi gelisah, takut, pucat, keluar keringat dingin sampai kolaps. b. Pernafasan jadi dangkal dan cepat, kelihatan haus. c. Muntah-muntah karena rangsangan peritoneum d. Syok nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan tidak teratur e. Keluar perdarahan pervaginam yang biasanya tidak begitu banyak, lebih-lebih kalau bagian terdepan atau kepala sudah jauh turun dan menyumbat jalan lahir. f. kadang-kadang ada perasaan nyeri yang menjalar ketungkai bawah dan dibahu. g. Kontraksi uterus biasanya hilang. h. Mula-mula terdapat defans muskuler kemudian perut menjadi kembung dan meteoristis (paralisis khusus). 2. Palpasi a. Teraba krepitasi pada kulit perut yang menandakan adanya emfisema subkutan b. Bila kepala janin belum turun, akan mudah dilepaskan dari PAP c. Bila janin sudah keluar dari kavum uteri, jadi berada dirongga perut, maka teraba bagian-bagian janin langsung dibawah kulit perut, dan di sampingnya kadang-kadang teraba uterus sebagai suatu bola keras sebesar kelapa. d. Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek 3. Auskultasi Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi beberapa menit setelah rupture, apalagi kalau plasenta juga ikut terlepas dan masuk kerongga perut. 4. Pemeriksaan dalam a. Kepala janin yang tadinya sudah jauh turun kebawah, dengan mudah dapat didorong keatas, dan ini disertai keluarnya darah pervaginam yang agak banyak b. Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding rahim dan kalau jari atau tangan kita dapat melalui robekan tadi maka dapat diraba usus, omentum dan bagian-bagian janin

c. Kateterisasi Hematuri yang hebat menandakan adanya robekan pada kandung kemih d. Catatan 1) Gejala rupture uteri incomplit tidak sehebat komplit 2) Rupture uteri yang terjadi oleh karena cacat uterus biasanya tidak didahului oleh uteri mengancam. 3) Sangat penting untuk diingat lakukanlah selalu eksplorasi yang teliti dan hati-hati sebagai kerja tim setelah mengerjakan sesuatu operative delivery, misalnya sesudah versi ekstraksi, ekstraksi vakum atau forsef, embriotomi dan lain-lain

B. Diagnosa Keperawatan 1. Cemas/ketakutan b/d perubahan keadaan atau ancaman kematian 2. Resiko infeksi b/d perdarahan 3. Resiko shock hipovolemik b/d perdarahan.

C. Rencana tindakan keperawatan No Intervensi 1 Cemas/ketakutan berhubungan dengan perubahan keadaan atau ancaman kematian Tujuan : Klien dapat mengungkapkan secara verbal rasa cemasnya dan mengatakan perasaan cemas berkurang atau hilang. Rencana tindakan : 1) Kaji respon psikologis klien terhadap perdarahan paska persalinan 2) Kaji respon fisiologis klien ( takikardia, takipnea, gemetar ) 3) Perlakukan pasien secara kalem, empati, serta sikap mendukung 4) Berikan informasi tentang perawatan dan pengobatan 5) Bantu klien mengidentifikasi Rasional

R/ Persepsi klien mempengaruhi intensitas cemasnya R/ Perubahan tanda vital menimbulkan perubahan pada respon fisiologis R/ Memberikan dukungan emosi

R/ Informasi yang akurat dapat mengurangi cemas dan takut yang tidak diketahui rasa R/ Ungkapan perasaan dapat mengurangi

cemasnya cemas 6) Kaji mekanisme koping yang digunakan R/ Cemas yang berkepanjangan dapat klien dicegah dengan mekanisme koping yang tepat. 2 Resiko infeksi sehubungan dengan perdarahan Tujuan : Tidak terjadi infeksi ( lokea tidak berbau dan TV dalam batas normal ) Rencana tindakan : R/ Perubahan tanda vital ( suhu ) 1) Catat perubahan tanda vital merupakan indikasi terjadinya infeksi R/ Tanda-tanda tersebut merupakan 2) Catat adanya tanda lemas, kedinginan, indikasi terjadinya bakterimia, shock yang anoreksia, kontraksi uterus yang lembek, tidak terdeteksi dan nyeri panggul R/ Infeksi uterus menghambat involusi 3) Monitor involusi uterus dan pengeluaran dan terjadi pengeluaran lokea yang lochea berkepanjangan 4) Perhatikan kemungkinan infeksi di R/ Infeksi di tempat lain memperburuk tempat lain, misalnya infeksi saluran keadaan nafas, mastitis dan saluran kencing R/ pembalut yang terlalu basah 5) Berikan perawatan perineal,dan menyebabkan kulit iritasi dan dapat pertahankan agar pembalut jangan menjadi media untuk pertumbuhan sampai terlalu basah bakteri, peningkatan resiko infeksi. 6) Tindakan kolaborasi Berikan zat besi ( Anemi memperberat keadaan ) Beri antibiotika ( Pemberian antibiotika yang tepat diperlukan untuk keadaan infeksi ). Resiko shock hipovolemik s/d perdarahan. Tujuan: Tidak terjadi shock(tidak terjadi penurunan kesadaran dan tanda-tanda dalam batas normal) Rencana tindakan : R/ Peningkatan intake cairan dapat 1) Anjurkan pasien untuk banyak minum meningkatkan volume intravascular sehingga dapat meningkatkan volume intravascular yang dapat meningkatkan

perfusi jaringan. 2) Observasi tanda-tandavital tiap 4 jam R/ Perubahan tanda-tanda vital dapat Observasi terhadap tanda-tanda dehidrasi. merupakan indikator terjadinya dehidrasi secara dini. 3) Observasi intake cairan dan output R/ Dehidrasi merupakan terjadinya shock bila dehidrasi tidak ditangani secara baik. 4) Kolaborasi dalam : - Pemberian cairan R/ Intake cairan yang adekuat dapat infus / transfuse menyeimbangi pengeluaran cairan yang berlebihan. 5) Pemberian koagulantia dan uterotonika R/ Cairan intravena dapat meningkatkan volume intravaskular yang dapat meningkatkan perfusi jaringan sehingga dapat mencegah terjadinya shock R/ Koagulan membantu dalam proses pembekuan darah dan uterotonika merangsang kontraksi uterus dan mengontrol perdarahan.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Kami dapat menyimpulkan bahwa perlukaan pada jalan lahir, sebagai akibat persalinan, terutama pada seorang primipara. Baik itu berupa robekan perinium, robekan serviks atau rupture uteri. Hal ini dapat diatasi apabila seorang tenaga kesehatan dapat mengelolanya dengan baik.

B. Saran 1. Bagi Mahasiswa Mahasiswa diharapkan agar dapat mengerti tentang robekan jalan lahir sampai dengan bagaimana manifestasi klinik dan penatalaksanaan medisnya, menerapkan konsep asuhan kebidanan kepada klien dengan perlukaan jalan lahir. 2. Bagi Tenaga Kesehatan Diharapakan mampu mengerti tentang robekan jalan lahir dan dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi klien serta mampu memberikan asuhan secara komprehensif.

Daftar Pustaka
Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Ilmu Kandungan Edisi Kedua. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal Edisi Pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Anda mungkin juga menyukai