Anda di halaman 1dari 56

Human Rights Watch

Desember 2003, Vol. 15, No. 10 (C)

ACEH DIBAWAH DARURAT MILITER:


DI DALAM PERANG RAHASIA
Daftar Istilah Pendahuluan Konteks Kekerasan yang Terjadi Sekarang: Perang Panjang di Aceh Hidup di bawah Darurat Militer Meningkatnya Kehadiran di Desa Menjadikan Anak-Anak Muda Sipil Sebagai Sasaran Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Hukum Kemanusiaan Pembunuhan Diluar Hukum (Extrajudicial Killings) Pembunuhan Kilat (Summary Killings) Selama Operasi Sweeping Penculikan yang Membawa Pada Kematian Penghilangan Secara Paksa (Forced Disappearances) Siksaan Fisik Penahanan Secara Sewenang-wenang dan Ketiadaan Proses Pengusutan Pembatasan Kebebasan Bergerak Pemerasan dan Pembatasan Terhadap Aktifitas Ekonomi Kembalinya Jaga Malam: Tugas Wajib Jaga Malam Pengungsian dan Perampokan Pertanggungjawaban Rekomendasi Untuk Pemerintah dan Pasukan Tentara Indonesia Untuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Untuk Kuartet (Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, Bank Dunia) Untuk Pemerintah Malaysia Untuk ASEAN Untuk Negara-Negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, yang menyediakan bantuan atau latihan militer kepada Indonesia Lampiran 2 3 8 15 17 18 20 20 21 27 28 29 34 37 41 43 46 49 51 51 52 53 53 53 54 55

NOTE: This is an unofficial translation of the text of the HRW report by Kontras (http://www.kontras.org), the Commission for Disappearances and Victims of Violence; an Indonesian human rights NGO based in Jakarta. Please see the English language version for exact wording or confirmation of footnotes and other details. Laporan HRW ini tidak secara resmi dan diterjemahkan oleh Kontras (http://www.kontras.org), Kommissi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan; salah satu LSM HAM di Jakarta. Silakan membaca edisi di dalam Bahasa Inggris untuk susunan kata tepat, atau untuk konfirmasi catatan dibawah halaman majalah atau perincian yang lain.

Daftar Istilah
Ambil malam DOM Ambil malam adalah dimana seseorang dibawa dari rumahnya di waktu malam, seringkali oleh orang tak dikenal. Daerah Operasi Militer adalah sebuah penandaan yang diberikan kepada Aceh selama operasi anti-pemberontak yang dilaksanakan dari tahun 1990 s.d 1998. Gerakan Aceh merdeka. Ini adalah nama biasa dari gerakan separatis bersenjata yang dimulai tahun 1976 Bawah Kendali Operasi, penunjukan pasukan tambahan dari luar Aceh dan ditempatkan dibawah komando lokal Tugas wajib jaga malam Kartu Tanda Penduduk Merah Putih, atau kartu identitas merah dan putih yang disyaratkan bagi orang-orang Aceh dibawah darurat militer. Komando Daerah Militer Komando Distrik Militer Komando Rayon Militer Komando Resort Militer Komando Strategis Angkatan Darat Polisi Daerah Polisi Resort Polisi Sektor Tentara Nasional Indonesia

GAM BKO Jaga Malam KTP Merah Putih

Kodam Kodim Koramil Korem Kostrad Polda Polres Polsek TNI

Pendahuluan
Jika Kamu Lari, Kamu ditembak. Jika Kamu tidak lari, Kamu dipukuli.1 Laki-laki Aceh berusia 20 tahun Perang tersembunyi sudah mengamuk di Aceh sejak bulan Mei 2003, ketika Presiden Indonesia Megawati Soekarnoputri mengumumkan Darurat Militer di propinsi tersebut. Laporan ini mencoba untuk menyampaikan beberapa kenyataan pada perang tersebut: eksekusi diluar hukum (extrajudicial execution), penghilangan secara terpaksa (forced dissapearence), pemukulan (beating), penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang (arbitrarily arrest and detention), dan pembatasan atas kebebasan bergerak. Di dalam banyak peristiwa yang dideskripsikan kepada Human Right Watch, pasukan keamanan Indonesia militer dan polisi secara rutin terutama mengambil jalan kekerasan terhadap laki-laki muda Aceh yang diberhentikan untuk ditanyai. Para saksi mengatakan kepada Human Right Watch mengenai pembunuhan para penduduk sipil saat terjadi sweepings di desadesa, sebagian ditanyai atau ditahan, beberapa lainnya melarikan diri karena takut dianiyaia. Seorang laki-laki mendeskripsikan kematian seorang laki-laki bernama Jamal: Dia masih muda, masih duapuluh tahunan. Pada awalnya Saya hanya melihat tiga orang tentara tetapi kemudian yang lainnya bergabung. Saya melihat salah satu dari tentara tersebut memborgol pergelangan kaki lakilaki ini, lalu kemudian tentara lainnya memegang kakinya dan mengayunkannya menghantam sebuah pohon. Tentara tersebut melakukannya beberapa kali sehingga kepala laki-laki tersebut membentur pohon tersebut. Otaknya terburai keluar dari kepalanya, sampai akhirnya dia meninggal. Lalu mayatnya diletakkan di jalan dan tentara lainnya menembak beberapa kali kepada mayat tersebut.2 Indonesia telah menempatkan kabut rahasia di sekeliling Aceh, propinisi berpenduduk empat juta orang yang terletak di ujung paling utara pulau Sumatra, sebagaimana negara ini mengadakan perang terhadap Gerakan Aceh Merdeka atau GAM. Dalam banyak usaha yang sukses untuk mengontrol informasi, Indonesia telah melarang organisasi hak asasi manusia internasional dan bahkan organisasi kemanusiaan untuk memasuki Aceh dan organisasi berita internsional untuk bergerak banyak diluar Ibukota propinsi, Banda Aceh. Dengan alasan ini, Human Right Watch berangkat ke Malaysia, dimana ribuan orang-orang Aceh mencari perlindungan sesudah menantang bahaya dan perjalanan yang mahal dari zona perang Aceh. Human Rights Watch juga prihatin akan memburuknya kondisi material dan ekonomi yang dapat menandai (bahkan mencerminkan) krisis kemanusiaan, sesuatu yang Human
1 2

Wawancara Human Right Watch (nama disembunyikan), Malaysia, 27 Oktobert 2003.

Wawancara Human Right Watch dengan laki-laki berusia empat puluhan (nama disembunyikan), Malaysia, 23 Oktober 2003.

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

Rights Watch dan organisasi lainnya sudah peringatkan sejak berbulan-bulan yang lalu. Informasi yang bersifat anekdot dari kesaksian pengungsi, cerita pers dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bocor keluar secara sporadis dari propinsi tersebut mengesankan bahwa ribuan penduduk Aceh telah dipaksa meninggalkan rumah mereka untuk melarikan diri dari konflik yang ada atau untuk mencari makanan dan tempat berlindung. Penduduk yang tetap tinggal di rumah mereka menjadi sasaran kekurangan bahan pangan, air dan sanitasi, dan mogoknya pelayanan dasar seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan.3 Karena laporan ini disiapkan dari beberapa wawancara diluar Aceh, maka tidak dapat melukiskan gambaran menyeluruh tentang konflik senjata ini. Tetapi mungkin fakta yang paling menganggu dalam penelitian kami adalah cerita pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan nampak sistematis sejak dimulainya Darurat Militer tidak terbuka. Semua orang-orang Aceh yang diwawancarai oleh Human Right Watch mempunyai cerita mengenai pelanggaran tersebut untuk disampaikan. Banyak dari mereka adalah korban. Secara tidak biasanya, banyak dari mereka menyaksikan penyiksaan terhadap yang lainnya dalam beberapa kasus pembunuhan, atau pemukulan.4 Diluar fakta bahwa pada awal Juni Kepala Staff Militer Jendral Ryamizard Ryacudu menerima pihak manapun untuk meninjau operasi di Aceh,5 propinsi tersebut hampir seluruhnya tetap tertutup untuk orang luar. Pemerintah Indonesia sudah melarang diplomat, pengamat internasional yang independen, dan LSM internasional di bidang hak asasi manusia untuk memasuki Aceh dan menganjurkan badan kemanusiaan PBB dan LSM kemanusiaan luar negeri untuk pergi. Pekerja LSM Indonesia yang mencoba memonitor situasi tersebut telah diancam tahanan oleh polisi. Bahkan sesi pelatihan Komisi Hak Asasi Manusia National di Banda Aceh dihentikan oleh polisi atas perintah penyelenggara darurat militer pada 20 Oktober. Pihak yang berwenang mengatakan bahwa komisi tersebut tidak memberitahukan mereka mengenai acara tersebut yang disangkal oleh organisasi tersebut. Petugas kepolisian berada di antara para peserta dalam sesi pelatihan tersebut.6 Pemerintah Indonesia telah sangat sukse membatasi arus informasi dari propinsi tersebut. Sebagaimana laporan Human Rights Watch terkini yang didokumentasikan, pembatasan tersebut telah menjaga media dibawah pengawasan yang ketat.7 Untuk mengecilkan laporan mereka mengenai situasi tersebut, beberapa LSM telah terdaftar sebagai tersangka simpatisan GAM, suatu penandaan yang diperingatkan petugas
Lihat secara umum pada Human Right Watch , Aceh dibawah Darurat Militer: Larangan yang Tidak Perlu dan Berbahaya terhadap Akses Kemanusiaan Internasional, Makalah Ringkas Human Rights Watch, September 2003. Kerahasiaan dan intimidasi yang menyertai pelanggaran hak asasi manusia yang paling serius secara umum menyulitkan pengumpulan kesaksian saksi. Badan Hak Asasi Pemerintah Berencana Mengadakan Penyelidikan di Propinsi Aceh The Jakarta Post, 5 Juni 2003.
6 7 5 4 3

POLRI Melanggar Hak dalam Sesi Komisi di Propinsi Aceh, Agence France-Presse, 2 Oktober 2003.

Human Rights Watch, Aceh dibawah Darurat Militer; Memberangus Para Kurir, Sebuah Laporan Human Right Watch, vol 15, No. 9 (c ), November 2003.

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

kepolisan dapat membawa kepada hukuman mati atas alasan subversi.8 Segel yang serapat-rapatnya sudah ditempatkan Indonesia pada desa-desa dan pegunungan di Aceh menimbulkan ketakutan bahwa pasukan militer di kedua belah pihak percaya bahwa, seperti di masa lalu, mereka bisa melakukan pelanggaran yang kebal hukum. Tujuan Indonesia yang jelas adalah untuk menyembunyikan tindakan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan pasukan keamanan lainnya. Hal ini pada akhirnya telah menyembunyikan tingkat kematian dan luka-luka sipil dan militer. Sementara masyarakat Indonesia dan opini Internasional (sebagaimana dalam putaran terkahir pertempuran dengan GAM di Aceh) yang bisa jadi mendukung prinsip-prinsip integritas wilayah Indonesia, ketika berhadapan dengan gafik biaya kemanusiaan akibat perang yang hampir seluruhnya pasti tidak dapat dimenangkan dalam medan perang, maka opini tentang perang bisa jadi mulai berubah. Kebanyakan yang dideskripsikan oleh para pengungsi kepada Human Rights Watch konsisten dengan sejarah panjang prilaku pelanggaran oleh pasukan keamanan Indonesia di Aceh. Taktik militer yang terkini di Aceh dikombinasikan dengan jumah serdadu baru yang disebarkan di propinsi tersebut memastikan meningkatnya kontak antara kekuatan keamanan dengan penduduk sipil, yang dapat menjelaskan beberapa pelanggaran yang terjadi. Terlebih penting lagi adalah lingkungan yang diciptakan oleh pejabat senior militer, yang sudah bersumpah untuk menumpas GAM dalam kerangka waktu yang diumumkan.9 Hal ini sudah ditambahkan untuk menekan tentara dan pejabat di lapangan untuk memenuhi misi mereka dan menghancurkan mereka yang dipercaya menjadi anggota atau pendukung GAM. Tekanan-tekanan ini bertindak seperti minyak yang disiram ke api diantara pasukan bersenjata yang mencerminkan persepsi yang di pegang secara nasional bahwa orang-orang Aceh adalah bajingan, penduduk yang separatis. Keyakinan bahwa semua orang Aceh mendukung GAM, meskipun tidak ditemukan, meliputi cara berpikir militer Indonesia dan diterjemahkan di lapangan dalam bentuk penggunaan kekuatan secara tidak pandang bulu terhadap penduduk sipil, terutama terhadap para pemuda. Komentar yang dikeluarkan oleh Brigadir Polisi Jenderal Gulliansyah, Kepala Operasi Penegakan Hukum, pada tanggal 3 Desember 2003 adalah contoh mengerikan jenis ceramah yang membakar yang dapat membawa kepada pelanggaran dan kegagalan pasukan militer untuk membedakan antara pejuang GAM dan orang-orang sipil, Jika perlu tembak di tempat semua orang yang mengibarkan bendera GAM ini. Siapapun yang mengibarkan bendera tersebut pasti anggota GAM.10

Para Pendukung GAM Dapat Terancam Hukuman Mati, The Straits Times, 4 Juni 2003, Jika ada Bukti, Aktivis dan simpatisan GAM akan ditangkap, detik.com, 21 May 2003. Raja Ismail dan Abdussalam Muhamad Dell, dua orang anggota organisasi hak asasi manusia di Aceh Timur yang disebut Pos Bantuan Hukum dan HAM, PB-HAM, menghilang dalam minggu-minggu sebelum Darurat Militer. Tubuh Raja Ismail ditemukan dua hari kemudian. Lihat Amnesty International, Indonesia Melindungi Para Pelindung; Para Pembela Hak Asasi Manusia dan Pekerja Kemanusiaan di Nanggroe Aceh Darussalam, 3 Juni 2003. Putaran Terakhir Pembicaraan untuk Mencegah Perang di Aceh, Laksamananet, 20 April 2003; Matthew Moore, Indonesia Mengatakan akan Menghancurkan Para Pemberontak. The Age, 5 Nopember 2003.
10 9

NAD: Tembak di Tempat Bagi Pengibar Bendera GAM, Kompas, 4 Desember 2003.

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

Karena larangan terhadap akses, informasi yang terdapat didalam laporan ini mungkin hanya merepresentasikan puncak gunung es yang berbahaya dan menakutkan saja dari kenyataan yang sebenarnya. Rekomendasi utama laporan ini, ditujukan kepada Indonesia, adalah sederhana: ambil semua langkah yang mungkin untuk memastikan bahwa aparat keamanan bertindak secara profesional dan menghargai hak asasi manusia dan hukum kemanusiaan, selain membangun proses yang dipercaya untuk menghapuskan, mendisiplinkan dan mengusut mereka yang melakukan pelangguran (rekomendasi lebih lanjut terdapat di halaman 42 dan 43) dan membolehkan akses yang segera dan tanpa kekangan ke Aceh untuk pengamat independen dan tidak berpihak serta badan-badan kemanusiaan. Sedangkan untuk komunitas internasional, khususnya kuartet (Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang dan Bank Dunia) yang terlibat di dalam perundingan damai antara Indonesia dan GAM, Human Rights Watch menghimbau agar tekanan yang seberatberatnya ditempatkan pada Indonesia untuk menghentikan pelanggaran hak di Aceh merajalela dan memastikan kesejahteraan dan keselamatan penduduk sipil. Komunitas Internasional seharusnya membuat akses pada prioritas tertinggi. Hal ini penting bagi kesejahteraan masyarakat Aceh bahwa organisasi yang tidak memihak, baik internasional maupun lokal, mempunyai akses dan mampu untuk melaporkan kepada umum mengenai situasi disana. Hanya dengan begitu maka pelanggaran hak asasi manusia dapat dideteksi dan organisasi kemanusiaan, seperti badan PBB yang terkait, dapat menyediakan bantuan yang diperlukan. Gagalnya Kerangka Perjanjian Genjatan Senjata terhadap Permusuhan (the Cessation of Hostilities Franework Agreement atau COHA) memberi pukulan yang serius bagi harapan akan akhir sebuah negosiasi menjadi pelanggaran hak asasi secara besar-besaran di Aceh. Pendekatan militer yang dilakukan Jakarta, bukannya membawa akhir bagi konflik, tetapi malah menghasilkan gelombang baru pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Sebuah Catatan mengenai Para Narasumber Human Rights Watch pergi ke Malaysia untuk mewawancarai individu yang meninggalkan Aceh karena pertempuran yang terjadi. Sekitar delapanpuluh lima wawancara dengan orang-orang Aceh dilakukan di bulan Oktober dan November 2003. Banyak dari mereka sudah berada disana sejak Darurat Militer dimulai; beberapa diantaranya datang hanya beberapa hari atau minggu sebelum diwawancara. Wawancara di Malaysia dilakukan terutama dengan laki-laki Aceh berusia antara delapan belas sampai dengan tigapuluh lima tahun. Sebagaimana di masa lalu, TNI khususnya menargetkan penduduk di kelompok usia ini di Aceh sebagai yang paling mungkin terlibat dalam aktifitas GAM. Hal ini selanjutnya terlihat pada mayoritas pengungsi yang datang di Malasysia sejak dimulainya perang pada bulan Mei 2003. Kesaksian dari para pengungsi ini melukiskan contoh yang mewakili kehidupan penduduk sipil tertentu dibawah darurat militer. Human Rights Watch hanya mampu mewawancarai sembilan

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

perempuan dewasa dan seorang anak perempuan dari Aceh.11 Banyak wawancara dilakukan tanpa penterjemah dalam Bahasa Indonesia; selebihnya dilakukan dengan penterjemah bahasa Aceh. Laporan ini hampir seluruhnya terdiri dari kesaksian tangan-pertama yang meliputi banyak kabupaten di Aceh dan keseluruhan periode darurat Militer. Kurangnya akses terhadap para pengamat independen membuat mustahil unuk mengetahui seberapa mewakilinya laporan ini. Human Rights Watch juga mewawancarai pimpinan komunitas masyarakat Aceh, aktivis mahasiswa, akademisi, perwakilan LSM Malaysia, Komisi Hak Asasi Manusia Malaysia, dan staf di kantor United Nations High Commissioner for Refuges di Malaysia yang dianggap representatif. Dikarenakan resiko tindakan balas dendam, Kami sudah menghilangkan nama-nama para narasumber dari Aceh, desa asal mereka dan lokasi mereka di Malaysia. Sebuah catatan dalam hal pelanggaran GAM: Human Rights Watch prihatin terhadap penyiksaan yang dilakukan oleh GAM. GAM mempunyai catatan panjang tentang prilaku menyiksa di Aceh. Tetapi, karena Human Rights Watch tidak mempunyai akses di Aceh, laporan ini tidak berisi informasi semacam itu. Para peneliti Human Rights Watch tidak bisa mewawancarai mereka yang paling beresiko terkena kekerasan oleh GAM, seperti etnis Jawa, atau mereka yang dicurigai menolong militer.12 Orang-orang semacam itu lebih cenderung melarikan diri ke bagian lain dari propinsi tersebut atau menyebar ke daerah lain di Indonesia daripada pergi ke Malaysia. Human Rights Watch secara konsisten bertanya kepada mereka yang diwawancarai seandainya mereka pernah menyaksikan atau menjadi korban penyiksaan GAM. Meskipun demikian, para pengungsi yang diwawancarai di Malaysia tidak melaporkan kasus semacam itu. Human Rights Watch mengakui bahwa kurangnya kesaksian tidak secara perlu berarti bahwa tidak ada penyiksaan yang dilakukan. Tetapi sebelum pemerintah Indonesia membuka Aceh untuk pengamat independen, informasi mengenai kemungkinan penyiksaan yang dilakukan GAM akan sulit diperoleh. Human Rights Watch menghimbau GAM untuk bertindak sesuai dengan hukum kemanusiaan internasional. Secara khusus, GAM tidak seharusnya melakukan tindakan yang menempatkan orang sipil dalam resiko khusus, seperti penculikan atau penyitaan kartu identitas untuk dipergunakan oleh pejuang GAM.

Figur ini mencerminkan dua belas persen pendaftar baru di UNHCR adalah perempuan selama September 2003, UNHCR, Ringkasan Statistik Pendaftaran Berdasarkan Asal Etnis, dengan Profil Demografis, JuliSeptember, 2003. Lihat Human Rights Watch, Indonesia: Perang di Aceh, Sebuah Laporan Human Righat Watch, vol. 13, No. 4 (c), Agustus 2001.
12

11

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

Konteks Kekerasan yang Terjadi Sekarang: Perang Panjang di Aceh


Kami tidak bisa hidup, tidak bisa mencari uang, mencai kerja. Selalu begitu selama DOM. Sesudah DOM selesai sempat ada setahun dimana segalanya berlangsung lebih baik. Kami bisa mendapat pekerjaan, pergi kemanapun kami mau. Tetapi kini keadaan sudah kembali mengerikan. Situasi sekarang lebih dari DOM. DOM masih ringan, tidak bisa dibandingkan dengan sekarang. Laki-laki Aceh usia 30 tahun13 GAM sudah ada sejak para pendirinya mendeklarasikan kemerdekaannya dari Jakarta pada tahun 1976. Betapapun baru empat tahun terakhir ini mereka sudah membangun pangkalan penting yang terkenal, sumber persenjataan tetap, dan struktur komando yang secara relatif terorganisir dengan baik. Dari bulan Juli 2001 sampai saat operasi darurat militer membuat mereka harus bertahan, GAM menjalankan pengawasan terhadap bagian yang luas di Aceh, dengan kehadiran terkuat khususnya di enam dari kebupaten yang terbanyak penduduknya dan tersejahtera. Para pendiri GAM menekankan perampasan kekayaan dan sumber alam Aceh oleh penduduk baru Orang Jawa-Indonesia atas nama pembangunan dan kebutuhan untuk merebut kembali kejayaan masa lalu Aceh.14 Keluhan ekonomi, sebagian sehubungan dengan sumber daya gas dan minya, telah dan seterusnya menjadi penting, tetapi spur lain yang penting untuk gerakan kemerdekaan telah menjadi kegagalan pemerintahan paska Soeharto untuk memusatkan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Apa yang disebut sebagai peride Daerah Operasi Militer dimulai pada tahun 1990 sesudah GAM menyusun serangkaian penyerangan terhadap pos polisi dan militer untuk merampas amunisi dan lusinan senjata otomatis, sampai akhirnya pemerintahan Soeharto menyatakan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer atau DOM dan menyusun salah satu kampanye kontra-pemberontak terbesar yang terlihat sejak tahun 1960. Sekitar seribu orang Aceh dari masyarakat sipil terbunuh dalam tiga tahun pertama operasi tersebut, fase terburuk DOM. Penghitungan korban yang paling konservatif, disiapkan oleh pemerintah propinsi di akhir tahun 1998, mencatat 871 orang terbunuh secara seketika oleh tentara, dan 387 orang hilang yang kemudian pada akhirnya ditemukan meninggal. Lebih dari 500 orang lainnya terdaftar sebagai orang hilang dan tidak pernah ditemukan.15 Hampir semua perkiraan LSM setidaknya berjumlah dua kali lebih besar. Sebagai tambahan, belasan ribu orang Aceh dipenjara dan disiksa di dalam
Wawancara Human Rights (nama disembunyikan), Malaysia, 23 Oktober 2003. DOM adalah singkatan dari Daerah Operasi Militer, status resmi militer di Aceh sejak tahun 1990 sampai dengan 1998, meskipun operasi dan penyiksaan berlanjut sampai sesudah DOM berakhir. Lihat Human Right Watch, Indonesia: Pertanggungjawaban Terhadap Kejahatan Kemanusiaan di Aceh. Sebuah Laporan Human Righst Watch, vol 12, no 1 (c), Maret 2002; Human Rights Watch, Indonesia, Perang di Aceh, Sebuah Laporan Human Rights Watch, vol. 13, no. 4 (c), Agustus 2001. Human Rights Watch, Indonesia: Panduduk Sipi Menjadi Target di Aceh. Makalah Ringkas Human Rights Watch, Mei 2000.
14 15 13

Tim Kell, Akar Pemberontakan Warga Aceh 1989-92 Lithace: Cornell Univeristy, 1995, hal. 62-63.

Al-Chaidar, Sayed Mudhahar Ahmad dan Yarmen Dinamika, Aceh Diselubungi oleh Darah (Jakarta: Pustaka as-Kautsar, 1998), hal. 106.

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

kamp militer, dan perkosaan menurut laporan menyebarluas, dengan 102 kasus yang tercatat oleh tim pemerintahan lokal. Tampaknya setiap orang Aceh di daerah yang terpukul paling berat dapat menyebutkan anggota keluarga mereka yang menjadi target utama langsung dari pelanggaran hak asasi manusia. Penyiksaan terus berlangsung sampai DOM berakhir di tahun 1998, meskipun dalam tingkat intensitas yang lebih rendah daripada dalam periode 1990-1993. Pengunduran diri Soeharto di tahun 1998 menciptakan harapan di sepanjang Aceh bahwa keadilan akan dilakukan. Pada bulan Agustus 1998, Jendral Wiranto, Komandan TNI, secara resmi meminta maaf kepada masyarakat Aceh atas perbuatan yang keterlaluan selama era DOM. Seandainya, pada titik ini, pemerintah Indonesia sudah bergerak untuk menyelidiki dan mengusut para pejabat atas peran mereka dalam pelanggaran tersebut, hal ini bisa membuat pemutusan dengan masa lalu yang menentukan. Bagaimanapun, sosok-sosok kunci dalam hirarkis DOM berlanjut untuk menduduki posisi-posisi yang berpengaruh di seluruh Indonesia. Beberapa orang di Jakarta sepertinya memahami derajat kemarahan terhadap pelanggaran selama era DOM sudah merubah dinamika politik di Aceh: GAM sekarang mempunyai jauh lebih banyak pendukung yang mau menerima mereka daripada yang sebelumnya mereka punya. Di awal tahun 1999, dinamika politik di propinsi tersebut mengalami perubahan genting lainnya. B.J. Habibie, yang menerima tanggung jawab kepresidenan ketika Soeharto turun di tahun 1998, mengumumkan bahwa warga Timor Timur akan diberikan kesempatan untuk memilih antara pemberian otonomi dan memisahkan diri dari Indonesia. Dalam hitungan hari, sebuah kongres yang dibentuk oleh seluruh mahasiswa Aceh meminta sebuah referendum kemerdekaan untuk dilaksanakan di Aceh. Sejak awal 1999. empat elemen kunci berkumpul bersama untuk memfasilitasi perkembangan yang cepat dari gerakan kemerdekaan: sebuah organisasi gerilya bersenjata, sebuah gerakan politik pro-kemerdekaan yang mulai timbul dan mobilisasi penduduk secara besar-besaran yang mencari saluran-saluran untuk mengekspresikan kefrustasian mereka terhadap Jakarta atas kegagalannya mengatasi pelanggaran masa lalu. Yang keempat adalah serangkaian kesalahan di Jakarta. Di bulan Agustus 1999, Komisi Hak Asasi Manusia Indonesia menyarankan untuk dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi khusus untuk Aceh. Tidak ada yang terjadi dari sana. Di bulan Desember 1999, panitia khusus di DPR untuk Aceh membuat serangkaian rekomendasi untuk presiden baru, Abdurrahman Wahid, termasuk membangun kembali fasilitas yang dihancurkan; membuka dialog dengan pihak-pihak yang terkait dengan konflik; memberikan propinsi tersebut lebih banyak otonomi; dan secepatnya mengusut mereka yang bertanggungjawab atas pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan selama periode DOM. Rekomendasi-rekomendasi tersebut menghasilkan perubahan dalam rancangan undang-undang tentang otonomi, tetapi rekomendasi mengenai pengusutan diabaikan. Daripada pengusutan malah terjadi peningkatan dalam jenis-jenis kejahatan hak asasi manusia yang menandai periode DOM. Operasi militer dibawah serangkaian kode-kode nama Wibawa 99, Sadar Rencong I, II dan II, dan Cinta Meunasah I dan II

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

membawa kepada jumlah serdadu lebih besar dan seluruh desa dihukum sebagai pembalasan dendam atas serangan GAM. Di saat yang sama, GAM, membangun kemarahan orang-orang yang meningkat, mulai bergerak diluar penyerangan sporadis terhadap polisi dan tentara untuk menyiapkan sebuah pemerintahan alternatif. Kadang melalui persuasi, kadang melalui penculikan dan sejenis pendidikan kembali untuk pejabat-pejabat pemerintah daerah, GAM secara berangsur-angsur mengambil alih kebanyakan fungsi-fungsi pemerintah yang dimulai dari Kabupaten Pidie dan berangsur berpindah jauh kedalam Aceh Utara, Aceh barat, Aceh Timur dan Aceh Selatan. Mereka melakukannya dengan mengganti kepala-kepala desa, jenjang dasar dinas pemerintah Indonesia, dan mengadakan kembali dewan sesepuh desa yang sudah ada sebelum Aceh bergabung dengan Republik Indonesia. GAM mampu untuk menghasilkan pemasukan yang penting dalam pajak perang dari perseorangan dan bisnis, dan kepergian militia pro-Indonesia dari timur sampai barat Timor menyediakan sumber persenjataan baru yang utama. Pada bulan Juli 1999, kandidat presiden Megawati Soekarnoputri menjanjikan bahwa jika dia terpilih maka dia akan berusaha kerasa untuk mengakhiri komflik yang sudah berjalan begitu lama. Menitikan air matanya di Aceh dia mengumumkan, saat pemimpin perempuan kalian memimpin negara ini, Saya tidak akan mengizinkan satu tetes pun darah manusia menyentuh tanah kalian,16 Di pertengahan tahun 2000 datanglah organisasi yang berlandaskan resolusi konflik dari Geneva, Henri Dunant Centre, yang kemudian berganti nama menjadi Pusat Dialog Kemanusiaan (the Centre for Humanitarian Dialogue atau HDC) kedalam situasi tersebut, yang sukses, tanpa diduga sebelumnya oleh orang-orang, dalam menjadi menengahi perundingan antara GAM dan pemerintah Indonesia. Di bulan Mei 2000, HDC menghasilkan suatu jeda kemanusiaan dalam konflik tersebut, suatu gencatan senjata yang bukan sungguhan. Sebagai bagian dari perjanjian berkenaan dengan jeda tersebut, panitia dibentuk di Aceh, terdiri dari baik GAM maupun perwakilan pemerintah, untuk mendiskusikan masalah keamanan dan kekerasan selama jeda tersebut. Pada bulan-bulan pertama jeda tersebut, kekerasan menurun dengan tajam, Sejalan dengan meningkatnya kekerasah dari pihak Indonesia, serangan oleh GAM kepada militer dan polisi juga meningkat. Jeda tersebut diperbaharui dua kali, dengan ketidaksenangan militer Indonesia, yang melihatnya sebagai cara GAM untuk mengkonsolidasikan kontrolnya terhadap daerah pedesaan. Nama yang diberikan kepada usaha perdamaian berubah dari jeda kemanusiaan menjadi penundaan kekerasan lalu menjadi perdamaian melalui dialog, tetapi usaha dasar untuk menjaga pembicaraan antara pihak-pihak terkait terus berlanjut. Pada tanggal 9 Maret 2001, menteri pertahanan Indonesia dan komandan TNI mengumumkan operasi militer baru melawan GAM. Jumlah pasukan dinaikan dalam usaha sistematis yang ditujukan kepada kubu dan markas GAM yang dicurigai, dengan
16

Penduduk Desa Aceh Menemukan Pemakaman Masal, BBC World News, 30 Juli 1000; Julia Suryakusuma, Perang Kecil untuk Menyokong Penilaian, International Herald Tribune, 29 Agustus 2003.

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

10

banyak tuduhan dari organisasi lokal atas nama penududuk sipil yang terbunuh selama proses tersebut. Pada bulan Desember 2003, dengan perantara HDC, dan dibawah tekanan dari Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang dan Bank Dunia, (kuartet), Indonesia dan GAM menandatangani Perjanjian Kerangka Gencatan Senjata atas Permusuhan (the Cessation of Hostilities Framework Agreement atau COHA). Ini adalah harapan terakhir yang terbaik untuk perdamaian di Aceh. Meskipun COHA tidak menunujukan perbedaan yang mendasar, tapi membuka pintu terhadap lebih banyak perundingan yang dilakukan dalam pengawasan internasional, dan pada mulanya membawa pengurangan kekerasan. Meskipun begitu hanya terdapat sedikit kemajuan terhadap penyelesaian konflik secara politis. Indonesia berkeras bahwa GAM tidak mengakui tuduhan hendak merebut kemerdakaan dan menuduh GAM menggunakan COHA untuk membangun kembali kekuatan bersenjatanya dan meluaskan basis politiknya. GAM menuduh bahwa Indonesia tidak berunding dengan niat baik. Sesudah penangkapan terhadap empat juru runding GAM dan runtuhnya parit-terakhir (last-ditch) pembicaraan damai di Tokyo, tanggal 19 Mei 2003, Presiden Megawati menandatangani Keputusan Presiden nomor 28, yang memberi wewenang kepada pasukan kemanan Indonesia untuk melancarkan operasi militer besar-besaran melawan GAM. Keputusan tersebut menempatkan Aceh dibawah Darurat Militer selama enam bulan, dan TNI serta dinas keamanan Indonesia lainnya menggembar-gemborkan untuk menumpas GAM dalam periode tersebut meskipun banyak pengamat menyangsikannya. Segera terdapat tuduhan berkaitan dengan kekerasan terhadap hak asasi manusia oleh TNI. Dalam satu kasus yang dilaporkan dengan baik dari hari-hari pertama Darurat Militer, pada tanggal 21 Mei para tentara membunuh tujuh orang, termasuk dua orang bocah berusia dibawah empat belas tahun. Militer mengatakan semua korban adalah anggota atau mata-mata GAM, meskipun para penduduk lokal menolaknya. Komisi Hak Asasi Manusia Indonesia, Komnas HAM, sesudah kunjungannya pada bulan Juni ke propinsi tersebut, menegaskan bahwa anak-anak tersebut berada diantara korban pembunuhan extra-judicial di Aceh, meskipun mereka tidak menyalahkan secara umum.17 Jumlah pasti korban-korban sipil sulit untuk ditetapkan mesipun semua pihak mengesankan bahwa korban sipil dan pejuang (GAM) sangat besar. Baik perkiraan pemerintah maupun GAM tidak dapat diandalkan (misalnya jumlah orang sipil yang hilang yang berasal dari pemerintah hanya terbatas pegawai pemerintah saja) dan LSM di lapangan, seperti organisasi terhormat seeperti Kontras cabang Aceh, mengakui bahwa mereka tidak mampu untuk mengumpulkan data di lapangan secara efektif. Palang Merah Indonesia melaporkan bahwa mereka menemukan delapanpuluh dua mayat di minggu pertama, dan 151 mayat di akhir minggu ketiga. Semua korban memakai pakaian sipil, meskipun organisasi tersebut mengatakan bahwa hal tersebut tidak dapat
17

Badan Hak Asasi akan Memeriksa Laporan Pemakaman Masal di Aceh Minggu Depan, Agence FrancePresse, 20 Juni 2003, Muninggar Sri Sraswati, Badan Hak Asasi Menegaskan Pembunuhan atas Warga Sipil Tanpa Nama di Bireuen, The Jakarta Post, 14 Juni 2003.

11

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

menegaskan bahwa mereka semua non-pejuang.18 Dalam indikasi lain tentang tingginya jumlah korban awal, BBC memberitakan bahwa dalam minggu pertama operasi, kamar mayat rumah sakit utama Banda Aceh menerima rata-rata tiga mayat per hari, kebanyakan dari mereka adalah para pemuda dengan luka tembak. Di sekitar Lhokseumawe jumlah tersebut dilaporkan sebanyak enam orang per hari, 19 dan jumlah korban lebih jauh dari dua pusat perkotaan tersebut kemungkinan lebih tinggi. Komnas HAM mengatakan bahwa di awal bulan Juni mereka akan meneyelidiki lebih dari dua puluh kasus tentang pelanggaran hak yang diduga keras terjadi selama dua minggu pertama operasi militer di propinsi tersebut, termasuk pembunuhan, pelecehan seksual, perkosaan dan pemindahan (displacement) secara paksa. 20 Meskipun tim komisi ad-hoc dapat bertemu dengan lebih dari seratus orang saksi mata dalam misi kedua mereka selama lima hari di bulan agustus, penguasa darusat militer membatasi gerakan tim sama sekali. Tidak ada laporan yang dikeluarkan, tetapi dalam pernyataan secara umum komisi tersebut mengatakan bahwa pembunuhan, pelecehan seksual, perkosaan dan pemindahan secara paksa dan penculikan masih tetap merajalela. 21 Di bulan November, juru bicara militer melaporkan bahwa setidaknya 395 orang sipil telah terbunuh sejak dimulainya Darurat Militer. Kebanyakan perkirakan mencatat secara khusus tingginya korban sipil di Aceh Utara dan Aceh Timur, dan tergantung dari sumber dan bentuk penyiksaan, Aceh Selatan, Bireun, dan Aceh Besar. 22 Pemerintah Indonesia menyalahkan GAM atas korban-korban tersebut. Pemerintah Indonesia melaporkan bahwa sekitar 1,100 anggota GAM telah terbunuh di bulan Oktober. Human Rights Watch prihatin baik kepada mereka yang diklasifikasikan sebagai GAM namum ternyata orang sipil, dan juga anggota GAM yang mungkin terbunuh diluar pertempuran dalam pelanggaran hukum kemanusiaan.23
18

Palang Merah Indonesia Mengatakan Memindahkan 151 Mayat di Aceh, Reuters, 11 Juni 2003. Dean Yates, Indonesia Melancarkan Kampanye Aceh Melawan Pemberontak, Reuters, 26 May 2003. 19Permintaan Suplai Tambahan di Aceh British Broadcasting Corporation, May 26, 2003.

20

Tertiani ZB Simanjuntak, Komnas HAM Hendak Menyelidiki Pelanggaran-Pelanggaran di Aceh, The Jakarta Post, 3 Juni 2003.

21

M. Taufiqurrahaman, Pelanggaran Hak Asasi di Aceh Dapat Membawa Intervensi PBB, The Jakarta Post, 23 Agustus 2003.

Sebagai contoh, dari 319 kematian warga sipil yang dilaporkan oleh polisi pada tanggal 3 September 2003, korban sipil terbesar berasal dari Aceh Utara (110), Aceh Timur (70) dan Aceh Selatan (45). Lihat 319 warga sipil terbunuh dalam Kekacuan Aceh di Indonesia, Deutsche Presse-Agentur, 5 September 2003. Perkiraan Kontras Aceh pada tanggal 18 Agustus menempatkan jumlah yang kurang lebih sama yaitu 329 warga sipil terbunuh, begitu juga 315 warga sipil disiksa atau dipukuli, 213 kasus penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang, dan tujuhpuluh delapan sipil menjadi korban penghilangan secara paksa. LSM tersebut menekankan bahwa jumlah sebenarnya kemungkinan lebih besar karena adanya keterbatasan pelaporan dan investigasi. Meskipun tidak ada kasus dimana korban diganggu oleh pelaku, Kontras Aceh menemukan bahwa banyak warga sipil menjadi korban selama operasi militer di Indonesia dalam pencarian para gerilyawan. Kontras Aceh, Makalah Ringkas tentang Aceh: Propinsi Aceh, Perang Kotor yang Tidak Terungkap, September 2003.
23

22

Memperhatikan ketidaksesuaian antara anggota GAM yang berdasarkan laporan terbunuh (1,100) dan senjata yang ditemukan (485), Sidney Jones dari Kelompok Krisis Internasional (Inetrnational Crisis Group) telah mencatat, Pertanyaan sesunggunya adalah berapa banyak dari orang-orang tersebut yang dideskripsikan sebagai pemberontak pada kenyataannya adalah GAM, Ahmad Pathoni, Perang Indonesia dengan Para Separatis Memakan 1,600 Korban, Pencapaian yang Tidak Jelas, Agence France-Presse, 18

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

12

Pengenaan darurat militer berarti bahwa semua instrumen pemerintah sekarang berada di bawah kontrol militer. Penyelenggara Darurat Militer di Aceh, Mayor Jenderal Endang Suwarya, mengawasi semua aspek dari operasi terpadu Indonesia di Aceh, yang menurut pemerintah Indonesia termasuk komponen-komponen militer, penegakan hukum kemanusiaan, dan pemerintah daerah. Tetapi sejauh ini sejak propinsi tersebut tertutup dari pengamat internasional independen, efektifitas dan kekuasaan programprogram non-militer akan sulit untuk dinilai. Operasi terpadu ini disusun sebagai usaha untuk memenangkan perang dengan GAM sekaligus memenangkan hati dan pikiran penduduk lokal. Tetapi usaha apapun yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia untuk membatasi kengerian perang bagi penduduk sipil, kesaksian yang dikumpulkan dalam laporan ini memperjelas bahwa operasi militer lah yang mempunyai pengaruh terhebat terhadap penduduk sipil.24 Suatu ukuran dari peran utama operasi militer dalam operasi terpadu ini adalah luasnya cakupan upaya militer. Dalam kampanye militer tebesar militer Indonesia sejak penyerbuan ke Timor Timur, diperkirakan 28,000 pasukan dan 12,000 polisi (kebanyakan dari mereka menjalankan fungsi paramiliter) telah disebarkan propinsi tersebut untuk berperang melawan sekitar 5,000 pemberontak GAM dengan 2,000 senjata. Kesatuan tempur yang kuat dari kekuatan militer Indonesia telah disebar di Aceh. Unit tentara termasuk organik atau kekuatan berbasis lokal tingkatan kelurahan (Koramil), kabupaten (Kodim), sub-regional (Korem) dan regional (Kodam). Unit non-organik dikirim dari bagian lain Indonesia termasuk battalion infantri dari propinsi lainnya, sebagaimana juga kekuatan Kostrad dan Kopassus untuk membantu pengumpulan operasi dan intelijen. Kostrad dapat dikenali melalui baret hijau mereka dan sebagai pasukan tentara khusus TNI. Kopassus, atau pasukan khusus, yang mengenakan baret merah, adalah spesialis dalam pengumpulan intelijen dan operasi khusus dan dianggap sebagai kebanggan pasukan tentara, meskipun mereka dikenal dengan reputasi buruk karena keterlibatan mereka dalam pelanggaran hak asasi manusia sepanjang kepulauan ini.25 Pasukan polisi termasuk polisi lokal, pada tingkatan kecamatan (polsek) dan propinsi (Polda) dan unit brigadir mobil polisi paramiliter, Brimob, yang cenderung lebih terlibat dalam operasi militer, sering bekerja bersama-sama dengan unit militer. Banyak dari
November 2003. Beberapa orang Aceh di Malaysia menyatakan bahwa sesudah membunuh seorang warga sipil, TNI akan menempatkan bukti bahwa korban tersebut adalah anggota GAM, meskipun hanya dengan satu kesaksian saksi mata. Wawancara Human Rights Watch dengan seorang laki-laki berusia empat puluh-an (nama disembunyikan), Malaysia, 26 Oktober 2003.
24

Diluar sifat dasar terpadu operasi, fokus yang berlebihan telah ditempatkan pada operasi militer. Kepala TNI Ryamizard Ryacudu menyatakan dalam sebuah wawancara, Tugas kami adalah untuk menghancurkan kemampuan militer GAM, persoalan keadian, agama, otonomi, kesejahteraan sosial, pendidikan hal-hal tersebut bukanlah masalah militer Indonesia. Wawancara dengan Ryamizard Ryacudu, Tidak Ada Daerah yang Bisa Melepaskan Diri: Time Asia, 2 Juni 2003.

Lihat Human Rights Watch, Militer Indonesian dan Militia Sipil di Timor Timur Backgounder Human Rights Watch, April 1999.

25

13

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

mereka telah dikirim dari luar Aceh untuk membantu operasi (dikenal sebagai BKO atau Bawah Kendali Operasi, pasukan pembentu yang penting) Pada tahun 2002 penguasa militer menciptakan komando regional baru, atau Kodam, untuk Aceh, yang menjadi bagian dari komando yang lebih luas yang berpusat di propinsi tetangga Sumatera Utara. Aceh mempunyai dua Korem, Korem Teuku Umar di Banda Aceh dan Korem Lilawangsa di Lhokseumawe. Kodam Iskandar Muda dikepalai oleh Mayor Jenderal Endang Suwaryo, yang juga sekarang menjadi penyelenggara Darurat Militer, Brigadir Jendral Goerge Toisutta tersebut pada bulan November sebagai komandan operasi militer dibawah Darurat Militer untuk TNI di Aceh, menggantikan Mayor Jendral Bambang Darmono. Sebagai tambahan, satuan tugas Rajawali beroperasi di unit pasukan peleton yang dibentuk dari pasukan yang berasal dari cabang dan wilayah yang berbeda, termasuk Kostrad, Marinir dan Kopassus. Satuang tugas menurut laporan telah dilatih oleh Kopassus dalam peperangan anti-gerilya, pertempuran jalanan, pertempuran di daerah hunian, strategi penyergapan dan teknik-teknik tembak-untuk-bunuh.26 Meskipun konflik dapat mengambil tempat dimanapun, barisan terdepan perburuan GAM adalah pegunungan dan hutan. Desa-desa dalam atau dipinggir daerah-daerah ini secara khusus cenderung terjebak didalam peperangan mereka. Angkatan laut, udara dan marinir Indonesia juga sudah memainkan peran dalam kampanye melalui penyerbaran kapal-kapal perang, pasukan terjun payung, kapal amfibi, tank-tank, kapal-kapal tempur dan helikopter.

26

Kopassus BErsiap Menumpas Pemberontak Aceh, The Jakarta Post, 17 April 2001; Tapol, Bulletin Online 159, September 2000.

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

14

Hidup di bawah Darurat Militer


Harus dimengerti bahwa para pejabat kami berprilaku cukup agresif di mata umum, tetapi mereka pada dasarnya personil yang ramah dan bersahabat. Juru bicara untuk administrator daurat militer Kolonel Ditya Soedarsono.27 Kami tidak menangis. Air mata kami semua sudah kering. Kami bahkan tidak bisa menangis lagi dengan trauma yang kami alami hari ini, setiap hari di Aceh. Laki-laki Aceh berusia empat puluh tahun.28 Dimulainya kampanye militer Indonesia di Aceh dalam bulan Mei ditandai dengan pertunjukan kekuatan besar-besaran, dengan militer Indonesia memamerkan pasukan dan perlengkapan terbaik mereka didepan pers dunia. Bom sonik dan peragaan udara oleh Angkatan Udara Indonesia memang jadi sekedar untuk pertunjukan, tetapi mereka juga menggambar-gemborkan penyebaran sekitar 28,000 pasukan dan 12,000 polisi yang bertugas menumpas GAM. Penjelasan atas kampanye tersebut diterangkan sebelum pernyataan resmi Darurat Militer. Sebagaimanya yang dikatakan bekas aktifis mahasiswa, yang meninggalkan Aceh dua minggu sebelum darurat militer dimulai, kepada Human Rights Watch: Sudah jelas apa yang akan terjadi. Saya pergi dari Aceh ke Medan dengan minibus. Sudah terdapat banyak TNI. Bis Saya harus menunggu dua puluh menit untuk lewatnya iring-iringan truk tentara sebanyak tigapuluh lima truk, menuju ke Barat Pada tempat pemeriksaan mereka memeriksa tas-tas, kartu identitas, tujuan. Dua orang yang berada dalam bus ditahan: satu di Alue Ie Puteh di Aceh Utara, yang lainnya, seorang laki-laki duapuluh lima-an, di Langsa (Aceh Timur) Saya menelepon rumah tanggal 5 Oktober dan pos TNI yang berada di dekat rumah Saya sudah bertambah dari satu pos menjadi tiga pos kami berada dekat pegunungan. Seorang laki-laki berusia dua puluh lima tahun, yang kembali ke Aceh dari Malaysia pada bulan Maret ketika the COHA diberlakukan, menggambarkan usahanya untuk meninggalkan propinsi tersebut: Saya datang kesini (Malaysia) ketika segalanya pertama kali meledak, tahun 1998. Bulan Maret 2003, Saya pulang ke rumah secara sukarela. Keadaan hanya sedikit aman selama periode tersebut. Saya berharap untuk menetap selama enam bulan, tetapi sesudah tiga bulan, darurat militer datang. Pada saat itu Saya sedang berada di Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireun. Pada hari dimana (presiden) Megawati
27 28

TNI Berencana untuk Menyusun Ulang Penyebaran Pasukan di Aceh, The Jakarta Post, 26 Juli 2003.

Wawancara Human Right Watch dengan laki-laki berusia empat puluh dua tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 5 November 2003.

15

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

mengumumkan darurat militer secara resmi TNI datang ke Aceh. Mereka yang dari laut (datang) dari laut, mereka yang dari laut, (datang_ dari laut. Enam jet tempur lewat di atas kepala Saya. Saya sedang menanm padi. Pagi berikutnya terdengar suara peluru dan ledakan. Orang bilang di Samalaga terdapat tiga buah tank, kendaraan amphibi, peluru-peluru di sawah. TNI datang mencari GAM. Tapi kami katakan kepada mereka bahwa tidak ada GAM disana yang mati hanyalah sapisapi dan ayam-ayam.29 Seorang laki-laki dari Aceh Tengah yang tiba di Malaysia di awal Agustus mengatakan pada Human Rights Watch: Saya meninggalkan Aceh karena terdapat pertempuran dan tembakan senjata setiap hari antara TNI dan GAM di segala penjuru Aceh. Saya bisa mendengarkannya dari desa Saya. Begitu banyak hal yang telah terjadi. Teman-teman Saya dipukuli oleh militer. Banyak yang sudah diancam. Saya tidak bisa tinggal di Aceh lagi. Traumanya terlalu banyak, bertanya-tanya seandainya Saya akan hidup atau mati.30 Hari-hari sesudah pernyataan Darurat Militer, militer membawa artileri berat dalam posisi untuk menyerang basis pemberontak, lebih dari 21,000 orang sipil meninggalkan rumah-rumah mereka.31 Operasi termasuk patroli yang luas dan penyapuan (sweeping), taktik yang dirancang untuk mengindentifikasikan separatis atau pendukung mereka melalui pencarian kendaraan, pemeriksaan dokumen, dan pencarian secara sistematis dari satu desa sesudah desa lainnya.32 Pada akhir Juli, pejabat militer mengumumkan beberapa perubahan terhadap strategi tersebut, termasuk unit-unit yang lebih kecil disebarkan dalam pencarian kepemimpinan GAM yang kebanyakan tidak sukses; lebih banyak patroli kerjasama militer dan polisi untuk membatasi gerakan para pejuang GAM; intensifikasi operasi intelejen; dan meningkatkan operasi di waktu malam; yang dimaksudkan untuk mengurangi korban sipil.

29

Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia dua puluh lima tahun (nama disembunyikan), 28 Oktober 2003, Malaysia. Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki limapuluh tujuh tahun (nama disembunyikan), 24 Oktober 2003.

30

Indonesia Memindahkan Pasukan, Perlengkapan untuk Memerangi Pemberontak Aceh, Associated Press, 26 May, 2003.
32

31

Dean Yates, Indonesia Melancarkan Aceh Kampanye Melawan Pemberontak, Reuters, 26 May 2003. Bahkan pembicara-pembicara Indonesia sering menggunakan istilah bahasa inggris sweepings.

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

16

Meningkatnya Kehadiran di Desa


Gelombang pasukan tidak hanya untuk operasi tempur melawan pasukan GAM di pegunungan dan hutan. Hampir semua orang yang diwawancarai oleh Human Right Watch berbicara tentang pos-pos keamanan baru yang didirikan oleh TNI dan Brimob sejak dimulainya Darurat Militer. Beberapa narasumber menjelaskan bahwa padahal kesatuan-kesatuan tentara sebelumnya hanya datang ke desa sekali seminggu, kontak antara orang sipil dan militer sekarang adalah kejadian sehari-hari. Sebagaimana seorang perempuan yang tiba di Pidie pada tanggal 25 Oktober menjelaskan: Konflik ada disana, di dalam semua dusun kecil. Pasukan keamanan tinggal disana sekarang. Mereka membangun pos-pos tepat di desa-desa, khususnya jika desa tersebut berada di tepi peguningan seperti desa kami. Biasanya mereka akan menghabiskan waktu satu minggu di pegunungan, kemudian mereka turun kebawah selama dua hari untuk mengambil makanan dan beristirahat, sebelum naik ke atas lagi.. sampai sebulan yang lalu, ketika mereka membangun pos di desa, satu kelompok, sekitar tiga puluh tentara, Saya rasa Rajawali.33 Pelanggaran hak asasi manusia yang meningkat tajam sejak darurat militer dimulai bisa jadi sebagian disumbangkan dari meningkatnya kontak sehari-hari antara tentara dan penduduk desa. Meningkatnya kehadiran di desa-desa nampaknya bertujuan untuk membatasi dukungan materi dan moral dari penduduk lokal untuk GAM dan kemampuan GAM untuk mengambil pengungsi di desa-desa dan mengikutsertakan mereka dalam pengerahan. Seorang laki-laki berusia dua puluh lima tahun yang meninggalkan Aceh Selatan satu minggu sesudah Darurat Militer mulai menjelaskan: Dari hari pertama darurat militer, istri dan keluarga Saya sudah mengatakan pada Saya untuk pergi Mereka (TNI) suka-suka tembak, tidak peduli kami melakukan sesuatu yang salah atau tidak. Mereka membunuh kami seperti semut. Tentara-tentara tersebut takut pergi ke pegunungan. Dari hari pertama sudah ada perasaan baru, dengan pos-pos militer setiap dua kilometer.34 Seorang laki-laki yang meninggalkan Aceh pada 5 Oktober menjelaskan: Saya meninggalkan Aceh karena kemanan menurun, karena kami trauma. Teman-teman kami sekarat akibat konflik. TNI mencari GAM, jika GAM tidak ditemukan mereka menyerang penduduk. TNI akan sering masuk desa. Jika kami tidak tahu dimana GAM, kami dipukuli.
33

Wawancara Human Right Watch dengan perempuan berusia tigapuluh-an (nama disembunyikan), Malaysia, 27 Oktober 2003.

34

Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia duapuluh lima tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 26 Oktober 2003.

17

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

Saya dipukuli dua kali Tidak ada GAM di desa Saya sejak Darurat Militer dimulai.35

Menjadikan Anak-Anak Muda Sipil Sebagai Sasaran


TNI pernah pergi ke Amerika, ke Eropa, ke Thailand dan berkata mereka mengamankan Aceh. Mereka tidak mengamankan Aceh, mereka datang hanya untuk membunuh kami. 36 Perempuan Aceh berusia tigapuluh tahun Taktik pasukan kemanan Indonesia yang biasa adalah pencarian rumah-ke rumah terhadap anggota GAM, senjata-senjata dan amunisi, dan informasi mengenai pemuda manapun yang meninggalkan desa. Dugaan sebelumnya adalah bahwa pemuda yang meninggalkan desa bergabung dengan GAM. Tetapi para pemuda yang tetap berada di desa seringkali dijadikan sasaran sebagai tersangka simpatisan GAM. Seorang laki-laki yang masih muda di Aceh akan dipandang dengan kecurigaan dan beresiko. Dalam beberapa kasus pencarian rumah-ke-rumah disertai dengan kekerasan secara fisik. Seorang laki-laki muda memperkirakan bahwa pasukan keamanan sudah mendatangi rumahnya lima kali sebelum dia meninggalkan propinsi tersebut menyerangnya setiap kali. 37 Seorang laki-laki berusia tigapuluh lima tahun yang tiba di Malaysia bulan Oktober dari Peuruelak, Aceh Timur menjelaskan: Dibawah darurat militer rumah seringkali dikunjungi. Mereka bertanya, Dimana para lelaki? Saya tidak berani tinggal di rumah. Mereka datang seminggu tiga kali, sudah belasan kali. Mereka bilang, Kamu GAM! Saya bilang pada mereka, Saya orang biasa! Mereka memukul dan menendang. Saya mau pulang ke rumah untuk liburan, tetapi keluarga saya bilang jangan. 38 Seorang laki-laki yang meninggalkan Aceh Utara ke Malaysia pada bulan Juni memberitahukan Human Rights Watch: Di Aceh, TNI mencurigai semua laki-laki muda sebagai GAM. Setiap hari di Aceh Saya harus melapor pada kantor TNI sehingga mereka bisa memeriksa bahwa saya tidak pergi dan bergabung dengan GAM. Kantornya ada di desa Saya, tetapi hanya sejak darurat militer dimulai.39
35

Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia dua puluh satu tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 23 Oktober 2003. Wawancara Human Rights Watch (nama disembunyikan), Malaysia, 26 Oktober 2003.

36 37

Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki Aceh berusia delapan belas tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 28 Oktober 2003. Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia tigapuluh lima tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 28 Oktober 2003.

38

Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia dua puluh tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 26 Oktober 2003.

39

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

18

Seorang laki-laki lain memberitahukan Human Rights Watch kenapa dia datang ke Malaysia: Seluruh keluarga Saya tetap tinggal. Saya seorang laki-laki jadi Saya dicurigai menjadi GAM. Saya anak satu-satunya, orang tua Saya tinggal di Pidie. Setiap hari ada perang antara GAM dan TNI. Mereka datang ke desa. Jika TNI tidak menemukan GAM kami, orang-orang, diserang sebagai GAM. Batalion 113, satuan tugas Rajawali datang ke desa Tanggal 17 Agustus (Hari Kemerdekaan Indonesia) TNI memasuki desa mencari GAM. Sekitar jam 8 malam, sekitar dua puluh tentara, satu perusahaan. Mereka tidak menemukan GAM maka mereka memukul Saya. Mereka kemudian memaksa orang-orang untuk bergabung dalam perayaan Hari Kemerdekaan.40 Seorang laki-laki dari Pidie memberitahukan Human Rights Watch tentang an assault oleh anggota satuan tugas Rajawali terhadap penduduk yang paling muda di desa: Kurang dari seminggu sesudah (Hari Kemerdekaan Indonesia) setiap orang diberitahukan untuk berkumpul di meunasah (tempat sembahyang), karena akan ada operasi di pegunungan. Mereka memulainya jam 5 pagi, sebelumnya mereka membangunkan kami melalui kepala desa dengan menggunakan mikrophon. Kami dipisahkan antara laki-laki, perempuan dan anak-anak muda. Lebih dari seratus orang disana dari desa-desa (nama dihilangkan) di semua Kecamatan Mila. Kelompok anak muda sekitar tiga puluh orang, dan mereka dibawa ke lapangan sekolah di sebebelah. Mereka berasal dari usia sekolah sampai usia tiga puluh enam tahun. Saya sedang berada dekat kedai kopi, karena orang-orang yang tinggal di sekitar pos komando militer tingkat kecamatan tidak dipaksa untuk bergabung. Saya mendengar mereka bertanya pada anak-anak muda tersebut mengenai GAM dan memukul mereka. Tentara tersebut berasal dari Rajwali. Akhirnya anak-anak muda tersebut diperbolehkan untuk pulang ke ruamh, tetapi sepuluh orang harus pergi ke rumah sakit, beberapa dari mereka menderita luka dalam. Ada sekitar empat puluh tentara. Dua kelompok lainnya tidak dipukuli, tetapi beberapa orang tua pingsan karena apa yang terjadi kepada anak-anak mereka. Sesaudah itu, semua anak muda pergi ke Banda Aceh, Medan dan Kuala Lumpur.41

40

Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia sembilan belas tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 23 Oktober 2003.

Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia empat puluh tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 9 Oktober 2003.

41

19

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Hukum Kemanusiaan


Pasukan Indonesia dan GAM di Aceh terikat oleh hukum kemanusiaan internasional (juga dikenal sebagai hukum perang). Konflik di Aceh dianggap sebagai konflik bersenjata non-internasional (internal), untuk dimana hukum yang diterapkan termasuk pasal 3 dalam empat konvensi Geneva pada tahun 1949 dan hukum adat perang.42 Pasal 3 yang lazim disediakan untuk perlakuan berperikemanusiaan terhadap orang sipil dan mereka yang tidak ikut ambil bagian secara aktif dalam permusuhan (termasuk penangkapan anggota pasukan senjata lawan). Yang selamanya dilarang adalah pembunuhan, penyembelihan, perlakuan kejam dan penyiksaaan; pengambilan sandera, kebiadaban terhadap martabat seseorang, pada khususnya perlakuan penghinaan dan penurunan martabat; dan eksekusi kilat. Aturan dasar hukum kemanusiaan adalah bahwa penduduk sipil serta secara perseorangan tidak boleh menjadi sasaran penyerangan. Yang juga dilarang adalah tindakan atau ancaman kekerasan terhadap penduduk sipil yang menyebarkan terror atau pemindahan penduduk sipil secara paksa tanpa keperluan militer. Hukum internasional hak asasi manusia berlaku selama konflik bersenjata internal. Ini termasuk pelarangan eksekusi (extrajudicial executions), penghilangan secara paksa, penyiksaan, penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang, penghukukan tanpa peradilan yang adil, dan pembatasan yang tidak perlu terhadap kebebasan bergerak. Hak hidup dan kebebasan yang mendasar tidak boleh dilanggar, upon, bahkan selama keadaan darurat (state of emergency).43

Pembunuhan Diluar Hukum (Extrajudicial Killings)


Kami terbiasa mendengarkan suara tembakan. Jika tidak ada kami tidak bisa tidur. Laki-laki Aceh berusia delapan belas tahun.44 Sejak dimulainya Darurat Militer, pasukan kemanan Indonesia sudah melakukan eksekusi extra judicial yang tidak diketahui jumlahnya terhadap orang sipil yang tidak bersenjata di Aceh.45 Sementara pembunuhan extra-judicial terhadap siapapun tidak perduli orang sipil atau pejuang adalah pelanggaran serius terhdap hukum internasional, setiap saksi mata pembunuhan semacam itu di Aceh memberitahukan Human Rights Watch bahwa

Indonesia menjadi bagian dari Konvensi Geneva tahun 1958. Juga tersedia adalah Protokol Tambahan kedua tahun 1977 pada Konvensi Kovensi (Protokol II). Meskipun Indonesia bukan bagian dari Protokol II, banyak kalau tidak bisa dibilang semua-pernyataannya merefleksikan hukum adat perang. Meskipun Indonesia bukan bagian dari Konvenan Internasional mengenai Hal-Hak Sipil dan Politik dan perjanjian hak asasi manusia yang penting lainnya, hak mendasar yang ditemukan didalamnya dinyatakan sebagai bagian dari hukum adat internasional.
44 45 43

42

Wawancara HumanRights Watch (nama disembunyikan ), Malaysia, 28 Oktober 1992.

Suatu eksekusi extra-judicial (atau eksekusi kilat) adalah pembunuhan yang tidak sah menurut hukum dan disengaja atas seseorang oleh alat negara. Terbunuhnya para pejuang dalam pertempuran dianggap sebagai pembunuhan yang sah secara hukum dibawah hukum kemanusiaan internasional.

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

20

korban bukanlah anggita GAM, tidak bersenjata, dan berpakaian sipil pada saat hukuman mati dilakukan.46 Dari delapan puluh lima orang Aceh yang diwawancarai Human Rights Watch di Malaysia, tujuh orang secara langsung menyaksikan eksekuso kilat (summary execution) atas orang sipil oleh pasukan keamanan Indonesia sejak dimulainya darurat militer. Tiga orang lainnya menemukan mayat orang sipil (dalam dua kasus adalah anggota keluarga mereka sendiri) yang kurang lebih dekat dengan operasi militer. Tiga orang lainnya menyaksikan tentara menembak ke arah orang sipil yang tidak membawa pada kematian secara langsung. Beberapa orang lainnya menggambarkan penculikan oleh TNI berakhir dengan kematian. Nampaknya terdapat dua jenis ekesekusi yang baru-baru ini terlihat mengambil tempat di Aceh. Jenis pertama secara khas terjadi ketika pasukan memasuki desa selama periode yang disebut sebagai operasi sweepinga. Selama pembersihan ini laki-laki dipilih and ditembak, serta tidak ada usaha untuk menyembunyikan eksekusi tersebut. Para keluarga boleh jadi diberatuhkan sesudahnya oleh para tentara untuk mengambil dan memindahkan tubuh korban untuk dikuburkan.47 Jenis kedua pembunuhan yang terlihat adalah tembakan kepada orang sipil saat pasukan keamanan Indonesia meninggalkan tempat. Sifat dasar yang umum dan disengaja dari pembunuhan semacam ini memberi kesan bahwa mereka mencoba mengirimkan peringatan untuk menghalangi penduduk desa untuk mendukung GAM.48 Pembunuhan diluar hukum lainnya terjadi ketika pasukan keamanan mengambil seseorang untuk ditahan dan mayat mereka kemudian ditemukan atau mereka tidak pernah terdengar lagi.

Pembunuhan Kilat (Summary Killings) Selama Operasi Sweeping


Hidup tidak mempunyai nilai disana. Jika Saya menabrak ayam dengan mobil Saya maka Saya harus membayar. Tetapi hidup seseorang siapa yang membayarnya? Laki-laki Aceh berusia delapan belas tahun.49 Seorang laki-laki Aceh dari Lhokseumawe, Aceh Utara menceritakan suatu peristiwa di bulan Mei:

46

Para pejuang GAM pada umumnya mengenakan seragam, meskipun angota-anggotanya memakai pakaian sipil ketika berada di daerah sipil. Pakaian seseorang sama sekali tidak berhubungan dengan keanggotaan mereka; meskipun demikian mereka yang diwawancarai seringkali menyatakan dengan percaya diri bahwa tetangga atau kenalan mereka bukan anggota GAM. Hal ini konsisten dengan temuan seorang jurnalis Australia yang mengunjungi lima desa dimana terdapat penembakan-penembakan dalam minggu pertama darurat militer, sebelum pembatasan media diperketat: Interogasi, diikuti oleh pemukulan, kemudian eksekusi kilat, adalah pola yang muncul dalam serangan militer Indonesia terhadap pemberontak Aceh. Mathew Moore, Di Aceh, kematian mempunyai pola. The Age (Australia), 25 Mei 2003.

47

48

Protokol II, pasal 13, secara khusus melarang tindakan atau perlakuan kekerasan yang tujuan utamanya adalah untuk menyebarkan teror diantara penduudk sipil. Lihat Human Rights Watch, Indonesia: Perang di Aceh. Laporan Human Rights Watch vol. 13, No.4 (c), Agustus 2001. Wawancara Human Rights Watch (nama disembunyikan), 28 Oktober 2003.

49

21

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

Pada awal darurat militer, bulan Mei, saat itu pagi-pagi sekali. Para tentara di desa kami (nama disembunyikan). Mereka menyeret laki-laki ini sepanjang jalan. Tiga orang tentara. Mereka bertanya kepada setiap orang. Kamu tahu siapa laki-laki ini? Jika Kamu berkata kau tidak tahu siapa dia Kamu dipukul. Mereka bertanya kepada Saya. Kamu tahu siapa laki-laki ini? Saya bilang Ya. Mereka sedang memeriksa siapa laki-laki tersebut kepada orang-orang, apa pekerjaannya? Mereka memeriksa namanya kepada orang-orang. Namanya Jamal. Dia masih muda, di awal dua puluh-an. Pada awalnya Saya hanya melihat tiga tentara tetapi kemudian yang lainnya berganung. Saya melihat salah satu dari tentara tersebut memborgol pergelangan laki-laki ini, dan kemudian tentara lainnya memegang kakinya dan mengayunkannya ke arah pohon. Tentara tersebut melakukannya beberapa kali sehingga kepada laki-laki tersebut membentur pohon. Otaknya keluar dari kepala laki-laki terebut, sampai dia mati. Dan lalu mayatnya diletakan di atas tanah dan tentara lainnya menembak beberapa kali kepada mayat tersebut. Seakan-akan lengannya berubah menjadi daging mentah. Tubuhnya dihancurkan. Tentara yang menembaknya kemudian mengatakan kepada para penduduk desa disana untuk mengambil tubuhnya kembali ke desa. Saya berada sekitar dua puluh meter dari sana. Para tentara berkata bahwa dia adalah tersangka GAM. Mereka tidak mengancam para penduduk desa. Mereka tidak peduli siapa yang mereka beritahukan.50 Seorang berusia duapuluh lima tahun yang meninggalkan Aceh Selatan satu minggu sesudah darurat militer memberitahukan Human Rights watch mengenai minggu pertama darurat militer: Pada tujuh hari itu mereka terus membunuh orang-orang tak bersalah. GAM semuanya ada di pegunungan, tetapi para tentara tersebut selalu ada di desa mencari-cari GAM. Begitulah dalam tujuh hari tersebut Dua orang ditembak di rumah mereka dan seorang dibawa pergi oleh Brimob pada tengah hari. Mereka orang biasa. Pada hari ke-empat, pukul 3 sore. Saya sedang berada di rumah, tetapi Saya melihat tubuh mereka langsung sesudahnya. Saya melihat tiga puluh petugas Brimob disana. Istri dari laki-laki pertama mengatakan bahwa mereka masuk dan bertanya pada suaminya apakah dia GAM. Mereka kemudian bertanya siapa yang terlibat dalam GAM. Lalu mereka menembaknya. Namanya adalah Ibrahim dan dia berusia limapuluh lima tahun. Yang kedua kurang lebih sama ceritanya- dia Yusuf, umur tujuh belas tahun. Seorang yang dibawa pergi sudah tua, setidaknya lima puluh tahun.51

50

Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia empatpuluh tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 23 Oktober 2003. Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia duapuluh lima tahun (nama disembunyikan), 26 Oktober 2003, Malaysia.

51

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

22

Seorang laki-laki di usia duapuluh-an memberitahukan Human Rights Watch mengenai eksekusi kakak laki-lakinya seminggu sesudah pernyataan darurat militer: Kakak Saya dia hanya orang biasa ditembak. Tentara-tentara datang ke kampung mencari GAM. Tidak ada satu pun jadi mereka menembak warga kampung akhirnya. Kakak Saya ditembak di rumah kami. Jam 6 pagi, dia bangun untuk mengambil wudhu sebelum sembahyang. Dia keluar dan mereka segera menembaknya. Saya segera bangun. Saya mau membawa tubuhnya kedalam tetapi Saya tidak bisa. Hanya ketika mereka pergi saya baru bisa melakukannya. Ada beberapa jenis tentara disana, beberapa dari daerah sana dan beberapa dari luar. Ada lebih dari limapuluh orang. Saya meninggalkan Aceh pagi berikutnya. Kakak Saya berumur tiga puluh lima tahun, dan dia mempunyai istri dan dua orang anak.52 Seorang laki-laki dari Peureulak, Aceh Timur, menggambarkan pembunuhan di bulan Agustus: Sekitar dua bulan yang lalu (nama dihilangkan), Peureulak, ada kejadian. Waktu itu pagi hari dengan sweepings GAM sebagai alasannya, tetapi pada akhirnya tidak ada GAM. Saya melihatnya sendiri. TNI memasuki kampung, sekitar duapuluh orang tentara yang terlihat, di belakang mereka Saya tidak tahu. Mereka mencari-cari GAM. Mereka bertanya kepada penduduk di kampung, tetapi GAM tidak ada disana. Ada seorang laki-laki, sekitar duapuluh tahun-an. Seorang tentara memanggilnya dan menanyakan sesuatu kepadanya. Mungkin jawabannya salah. Saya tidak mendengarnya. Tentara lainnya lalu menembaknya di kepala dan lagi di bagian kanan atas tubuhnya dengan senapannya, sebuah M16. Saya berada sekitar seratus meter jauhnya. Saya sedang di rumah Saya, Saya melihatnya melalui jendela. Begitu tentara tersebut selesai menembak dia memerintahkan penduduk kampung untuk menguburkan tubuh tersebut. Para tentara kemudian pergi, pergi untuk mencari GAM di tempat lain. Laki-laki itu bukan GAM, dia tidak bersenjata, dia hanyalah orang biasa.53 Seorang laki-laki berusia duapuluh lima tahun yang juga dari Peureulak di Aceh Timur bercerita tentang penembakan kakak laki-lakinya pada akhir Juli: Sejak darurat militer dimulai segalanya menjadi panas. Kamu tidak bisa keluar kemanapun. Dari jam 6 pagi sampai 6 sore Kamu tidak bisa keluar. Kakak Saya ditembak ketika dia sedang mengumpulkan rumput untuk sapi jam 6 pagi dua bulan yang lalu. Kakak saya sedang
52

Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki di usia duapuluhan (nama disembunyikan), Malaysia, 31 Oktober 2003. Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia dua puluh tahun *nama disembunyikan), Malaysia, 26 Oktober 2003.

53

23

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

mengumpulkan rumput untuk sapi, dekat kandang. Saya ada di rumah. Anak laki-lakinya datang ke rumah Saya dan bilang, Bapak ditembak orang tak dikenal Dia ditembak sekali di kepalanya dan sekali lagi di sebelah kirinya. Anak laki-lakinya bilang bahwa dia melihat tiga tentara dengan samaran datang untuk melihat tubuhnya jam 6.30. Tiga jam kemudian, jam 9 pagi, dua belas tentara keluar dari hutan di dekat sana. Sesudah mereka keluar dari hutan mereka mengumpulkan semua orang. Mereka bertanya, Siapa dia? Kalian tahu dia? Apakah dia GAM? Bukan, dia kakak Saya. Kuburkan dia! Lalu mereka kembali ke kota.54 Human Rights Watch juga diberitahu mengenai dua peristiwa yang mana para penghuni dikumpulkan bersama untuk ditanyai dan membawa pada kematian. Seorang berusia dua puluh tahun dari desa di pinggir Lhokseumawe, di Aceh Utara, menggambarkan pembunuhan dua laki-laki yang tidak bersenjata dalam pakaian sipil: Pukul 5 di pagi hari TNI datang dan mengepung kampung. Orang-orang diberitahu untuk berkumpul oleh TNI. Sesudah itu kami ditanyai. Saya sedang di sekolah ketika kami diperintahkan untuk berkumpul di lapangan sepak bolah dekat pantai. Kami (berjumlah) sekitar 300 orang. (Kejadian) ini sekitar dua bulan sesudah darurat militer. Mereka menanyai kami tentang GAM, dan anggota GAM diminta menyerahkan diri. Mereka menahan kami disana selama empat jam, sampai jam 11. Orang-orang ditendang dan ditinju. Dua orang dibunuh, sesudah dua jam. Saya tidak tahu nama mereka karena mereka dari kampung lain. Saya berada jauh dari lapangan tersebut (dua puluh lima meter). Seorang tentara menembak mereka berdua dengan M16. Dia memakai seragam hijau dan topi hijau. Saya rasa mereka semua dari Kodim tetapi Saya tidak yakin. Ada sekitar lima puluh orang. Kami tidak diperbolehkan mendekati mayat-mayat tersebut. Sesudah para tentara pergi Kami menguburkan mayat mereka, meskipun mereka bukan dari kampung kami.55 Human Rights Watch mempelajari empat peristiwa ketika tentara Indonesia menembak laki-laki muda yang sedang berlari ke sawah atau hutan untuk menyembunyikan diri dari tentara selama operasi sweeping. Karena tingginya tingkat ketakutan di Aceh terhadap pasukan keamanan Indonesia, banyak penduduk desa, khususnya laki-laki muda, lari dan bersembunyi ketika tentara memasuki desa mereka. Saksi menggambarkan kepada Human Rights Watch bagaimana beberapa laki-laki ini ditembak ketika berusaha melarikan diri. Apakah mereka berusaha melarikan diri semata-mata karena mereka takut diperlakukan tidak semestinya atau karena mereka anggota GAM tidak jelas, tetapi saksi

54

Wawancara Human rights Watch dengan laki-laki berusia tigapuluh lima tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 28 Oktober 2003. Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia dua puluh tahun (nama disembunyikan), Malysia, 31 Oktober 2003.

55

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

24

menggambarkan tampak sebagai lak-laki yang tidak bersenjata dan mengenakan pakaian sipil. Laki-laki berusia dua puluh tahun dari desa di pinggir Lhokseumawe, di Aceh Utara, yang menggambarkan (di atas) pembunuhan dua orang laki-laki sesudah para penduduk desa dikumpulkan, juga menggambarkan kematian lain hari tersebut: Seorang berusaha lari ketika kami pertama kali diberitahu untuk berkumpul, sekitar waktu sembahyang, .sekitar jam 6.30 pagi atau sekitarnya. Dia ditembak.56 Seorang laki-laki yang tiba di Malaysia pada akhir bulan Mei mengggambarkan seorang laki-laki ditembak ketika melarikan diri: Saat itu lima hari sesudah darurat militer dimulai, di desa (nama dihilangkan), sekitar jam 9 pagi. Saya sedang ada di rumah Saya dan Saya mendengar suara tembakan, jadi Saya pergi keluar. Saya melihat seorang laki-laki berlari ke sawah. Dia berusia sekitar tigapuluh tahun, dia dari desa ini. Segera sesudahnya seorang tentara menembak kakinya, kaki kananya, sehingga dia tidak bisa lari lagi dan dia terjatuh. Sesudahnya delapan orang tentara membawanya ke pos TNI di desa itu. Mereka tentara non-organik. Mereka tiba khusus untuk darurat militer, Saya rasa dari Jakarta. Mereka menggunakan topi biru. Sesudahnya dia dibawa ke pos untuk ditanya oleh TNI. Dia bukan GAM, tetapi mereka mencurigainya sebagai GAM. Sesudah dua malam TNI membunuhnya di pos mereka. Saya tidak melihatnya saat dia meninggal, tetapi Saya lihat ketika keluarganya membawa mayatnya pergi. Sesudah itu Saya pergi. Saya takut hal semacam itu akan terjadi kepada Saya.57 Tidak semua penembakan membawa pada kematian. Seorang laki-laki berusia duapuluh tahun dari Peureulak, Aceh Timur, menggambarkan suatu peristiwa yang terjadi akhir September, satu bulan sebelum dia tiba di Malaysia: Jika Kamu lari Kamu ditembak. Jika kamu tidak lari Kamu dipukuli Seorang laki-laki bernama Simus, usia dua puluh tiga tahun, ditembak dari jarak tigapuluh meter. Tentara dengan menyamar datang dalam beberapa kendaraan: Kostrad, Brimob, Kopassus. Saya melihat mereka mempunyai tiga strip merah.58 Kami berlima lari melalui sawah menuju hutan. Mereka menembaknya di pinggul Saya hanya berada lima meter darinya. Dia bangun dan terus berlari, dan kami berlima bersembunyi di
56

Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia dua puluh tahun (nama disembunyikan) Malaysia, 31 Oktober 2003. Wawancara Human Rights dengan laki-laki berusia empatpuluh tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 28 Oktober 2003.

57

58

Meskipun terdapat variasi pasukan keamanan yang luas dan lencana yang hadir di Aceh, tiga strip lebih mengindikasikan prajurit kelas pertama.

25

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

hutan selama tiga jam. Lalu kami kembali TNI sudah kembali ke kota. Dia takut pergi ke rumah sakit jadi kami bawa dia ke tabib tradisional yang bekerja dengan pusat kesehatan, tabib itu mengeluarkan pelurunya.59 Dalam peristiwa yang sama di Aceh Timur di awal bulan Oktober, seorang laki-laki memberitahu Human Rights Watch: Satu-satunya alasan Saya pergi adalah bahwa tidak ada jaminan keselamatan disana. Militer bertindak diluar sasaran operasinya. Kekerasan terhadap orang sipil sudah melewati batas. Mereka mencari GAM, datang ke desa. Jika tidak ada GAM, emosi mereka dikeluarkan kepada orang sipil. Mereka melakukan sweepings, inspeksi yang disertai hukum militer: pemukulan, penghilangan. Sebagai contoh ada penembakan di awal bulan ini (Oktober). Saya baik-baik saja, tidak ada orang yang terkena. Tetapi bagaimanapun peluru itu menjadi trauma. Saya sedang di desa di Perureulak. Tentara pergi keatas ke hutan, sehingga orang-orang ketakutan. Kami sedang duduk, minum kopi, ketika mereka kembali. Orang-orang mulai berlarian- bukan karena kami bersalah tetapi hanya ketakutan. Mungkin TNI terlihat terlalu siap. Saya tidak lari. Saya hanya bersembunyi di pinggir hutan. Mereka mulai menembak, dua dari mereka. Mereka mengosongkan tempat peluru mereka kira-kira berapa ya, empat puluh tembakan? Mereka dari battalion non-organik dari Jawa, mungkin Kostrad.60 Apakah dengan sengaja atau sewenang-wenang, hasil dari tingkat kekerasan terhadap penduduk sipil di Aceh ini sepertinya menghasilkan efek yang berlawanan dari apa yang militer nyatakan dari strategi operasi terpadu. Penduduk Aceh menjadi semakin terpolarisasi. Tingkat pelanggaran hak asasi manusia yang serius di propinsi tesebut serta kekebalan hukum yang menyertainya mendorong orang-orang memihak kepada GAM. Seorang laki-laki berusia delapan belas tahun menjelaskan banwa sesudah dipukuli dan melihat orang tuanya diperlakukan tidak semestinya, dia mencoba bergabung dengan GAM hanya saja dicegah oleh keluarganya (termasuk kakaknya yang melawan GAM): Orang tua Saya dipukul pada 17 Agustus 2002 (Hari Kemerdekaan Indonesia), ditelanjangi, dan dipaksa untuk bernyanyi. Itulah kenapa orang-orang bergabung dengan GAM untuk balas dendam. Saya mencoba bergabung saat berusia enambelas tahun tetapi kakak dan orang tua saya mencegah Saya. Mereka meyakinkan Saya untuk menyumbang dengan cara lain untuk Aceh, untuk ekonominya. Jadi

Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia duapuluh tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 27 Oktober 2993.
60

59

Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia duapuluh lima tahun (nama disembunyikan), 28 Oktober 2003, Malaysia.

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

26

pada akhinya Saya hanya berdoa untuk kebebasan Jika Kamu dipukuli tidak kah Kamu merasa butuh membalas dendam?61 Masalah yang mendasar terletak pada kurangnya pertanggungjawaban di semua tingkat. tentara di lapangan yang melakukan tindak kekerasan dan pemerasan dengan hanya sedikit rasa takut akan dihukum. Kekebalan hukum tingkat tinggi yang ditingkatkan oleh selubung rahasia yang menyelubungi daerah konflik.

Penculikan yang Membawa Pada Kematian


Pembunuhan lain terjadi diluar penglihatan para saksi. Seorang laki-laki Aceh yang sudah tinggal di Malaysia selama lima tahun kembali ke Aceh di bulan Agustus selama beberapa minggu untuk mengunjungi ayahnya yang sakit. Ketika dia berada di Aceh dia menyaksikan tentara TNI menculik seorang anak laki-laki berusia lima belas tahun: Saat itu tanggal 4 September sekitar jam 10 pagi. Saya berhenti di jalan di pasar, Pasar Ulee Glee, untuk membeli buah. Ada sekitar limabelas orang tentara TNI disana. Tujuh orang tentara memberhentikan seorang anak. Dia anak kecil, anak laki-laki. Dia masih usia sekolah, mungkin sekitar limabelas tahun. Dia pergi ke pasar untuk membeli ikan untuk ibunya. TNI menghentikannya, memeriksanya karena dia membeli ikan. Seorang tentara berkata kepadanya, Banyak ikannya, kamu mau memberikannya kepada GAM? Darimana kamu dapatkan ikan ini? Anak itu menjawab, Tidak, Saya mau memberikannya kepada ibu Saya. Saya mau pulang. TNI menuduhnya dan mengancamnya. Dia diancam dengan senjata. Tentara tersebut berkata, Kamu pasti mau memberikan ikan ini kepada GAM. Sesudah itu anak laki-laki tu benar-benar ketakutan. Jawabannya tidak jelas, dia benar-benar panik. Jadi tentara tersebut membawanya dan melemparkannya ke truk militer. Tujuh tentara, yang lainnya tinggal di pasar. Tujuh tentara tersebut mengenakan seragam samaran TNI. Mereka tentara non-organik dan berbicara dalam bahasa Indonesia dengan logat Jawa. Selama dua hari kami tidak tahu dimana anak itu berada. Kemudian mayat anak itu muncul dipinggir jalan. Saya melihat mayatnya. Ada luka tembak di dahinya. Hanya satu. Bagian belakang kepalanya semuanya hancur, dan tubuhnya dipenuhi bekas-bekas merah, bekas-bekas merah siksaan.62 Dalam beberapa kasus mayat dibuang jauh dari rumah korban, membuat identifikasi menjadi sulit. Seorang laki-laki berusia tigapuluh delapan tahun, yang meninggalkan rumahnya di Banda Aceh sehari sebelum darurat militer, menjelaskan bagaimana keluarganya menemukan mayat adik lelakinya:

61

Wawancara Human Rights Watch dengan seorang laki-laki berusia delapan belas tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 28 Oktober 2003.

62

Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia duapuluh lima tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 29 Oktober 2003.

27

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

Adik lelaki Saya terbunuh dua bulan lalu di Aceh Utara, tanggal 27 Agustus 2003. Dia ditahan dari rumahnya oleh TNI, di depan istrinya, dan dibawa ke Koramil. Dua hari kemudian mayatnya ditemukan di sawah. (Nama dihilangkan) berumur duapuluh enam tahun. Seorang saudara yang tinggal di desa dimana mayatnya ditinggalkan menemukannya dan mengenalinya. Dia membawa mayatnya secara diam-diam ke rumahnya, menutupinya dengan pakaian, dan di pagi hari dia pergi dan menemui Palang Merah Indonesia di rumah sakit untuk mengambil mayat tersebut dengan ambulans. Saya memperoleh informasi ini dari keluarga Saya ketika Saya menelepon rumah.63

Penghilangan Secara Paksa (Forced Disappearances)


Selama tahun-tahun panjang konflik di Aceh, pasukan keamanan Indonesia telah seringkali tersangkut penghilangan64 Organisasi kemanusiaan Indonesia Kontras cabang Aceh melaporkan bahwa dari tanggal 19 Mei sampai dengan 18 Agustus terdapat tujuhpuluh delapan penghilangan secara paksa orang sipil, meskipun mereka mewaspadai bahwa pelarangan terhadap monitoring menandakan bahwa perkiraan tersebut bisa jadi lebih rendah.65 Di Aceh, penghilangan secara paksa seringkali terjadi sesudah pasukan kemanan atau orang-orang bersenjata tak dikenal mengunjungi sebuah ruamh di malam hari dan membawa korban pergi dengan kendaraan. Praktek ini secara pouler digambarkan sebagai ambil malam. Sementara dalam banyak kasus para pelaku digambarkan sebagai orang tak dikenal, dalam beberapa kasus anggota keluarga atau tetangga dapat mengindentifikasikan mereka. Seringkali mayat mereka yang hilang ditemukan di pinggir jalan atau di sawah berhari-hari atau berminggu-minggu kemudian. Dalam kasuskasus lainnya mereka tidak pernah terlihat lagi. Seorang laki-laki dari daerah pesisir di Pidie menjelaskan bahwa ketika warga menemukan mayat mengapung di tepian pantai mereka memanggil Palang Merah Indoensia untuk mengevakuasinya. Jika mayat tersebut dapat diidentifikasi maka akan dibawa ke keluarganya. Jika tidak, mayat tersebut akan dibawa ke rumah sakit atau klinik dan istilah yang digunakan oleh keluarga korban adalah saudara yang hilang.66 Seorang laki-laki berusia duapuluh tiga tahun dari Bireun menjelaskan:
63

Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia tigapuluh delapan tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 29 Oktober 2003.

64

Penghilangan terjadi ketika penguasa menahan seseorang secara diam-diam dan tanpa pemberitahuan serta menyangkal bahwa orang tersebut dalam penahanan mereka. Orang yang ditahan dengan cara demikian seringkali disiksa, dianiyai atau dibunuh. Sementara aktor non-negara tidak bisa secara teknis melakukan penghilangan. Sebagaimana hal itu didefinisikan dibawah hukum internasional, GAM mempunyai sejarah melaksanakan penculikan, keduanya untuk tebusan dan alasan politik, dan pembunuhan kilat. Kontras Aceh, Makalah Ringkas tentang Aceh: Propinsi Aceh, Perang Kotor yang Tidak Terungkap, September 2003. Wawancara Human Rights dengan seorang laki-laki berusia enampuluh lima tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 5 November 2003.

65

66

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

28

Situasi sekarang sangat menyeramkan. Setiap orang di desa yang dicurigai dibawa pergi di malam hari Saya melihat seorang laki-laki dibawa pergi dari rumahnya hanya mengenakan pakaian dalam dan dimasukan kedalam truk. Kejadiannya sekitar dua bulan yang lalu, bulan Agustus. Saya berada di rumah sebelahnya. Saya pergi keluar ke pinggir lapangan dan menonton tiga truk tentara masuk ke desa. Mereka membawa delapan orang malam itu, satu persatu, semuanya laki-laki. Seluruh kejadian itu hanya memakan waktu mungkin sekitar tiga pluh menit. Mereka mengenakan samaran, dan beberapa dari mereka mempunyai strip merah. Delapan orang tersebut tidak pernah terlihat lagi sejak saat itu kami tidak tahu apa yang terjadi kepada mereka.67 Seorang laki-laki dari Pidie memberitahu Human Rights Watch: Saat itu lima hari sesudah darurat militer dimulai. Saat itu sekitar jam 5 pagi dan Saya mendengar ketukan yang keras di pintu. Lalu Saya dengar seseorang menanyakan pada teman Saya (nama disembunyikan) mengenai kartu identitasnya. Rumah Saya sangat dekat dengan ruamhnya, sehingga Saya bangun dan melihat melalui jendela. Saya melihat sekitar limabelas tentara TNI membawanya dari rumahnya. Mereka membawanya ke dalam truk TNI dan membawanya ke pos TNI. Sampai saat ini dia tidak pernah kembali. Saya tidak tahu lagi dimana dia. Saat itu ada bermacam-macam tentara, ada Kopassus dan beberapa memakai topi hijau. Mereka adalah tentara yang baru saja tiba di Aceh untuk darurat militer ini. Kami tidak tahu siapa mereka.68

Siksaan Fisik
Tidak ada bedanya jika mereka anggota GAM atau bukan: tidak satupun dari tentara Saya yang berhak memukul mereka Tentara Saya datang ke Aceh untuk melindungi orang sipil, dan mereka yang melanggar peraturan pertempuran (rule of engagement) ini akan harus berhadapan dengan Saya. Mayor Jendral Bambang Damono, Commander Operasi Militer di Aceh, 2 June 200369 Sebagai contoh, tentara Saya menghantam tersangka di wajahnya. Itu tidak masalah. Selama dia mampu berfungsi sesudah ditanyai. Jika itu adalah siksaan berat yang menyebabkan seseorang menjadi cacat itu adalah tidak-tidak. Mayor Jendral Bambang Darmono, November 2003.70

67

Satu strip merah sepertinya berhubungan dengan tingkat jabatan prajurit. Wawancara Human Rights Watch (nama disembunyikan), Malaysia, 31 Oktober 2003.

68

Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia duapuluh tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 28 Oktober 2003. Tiarma Siboro, Pengadilan Aceh akan Mengadili 7 prajurit. The Jakarta Post, 3 June 2003. Lely Djuhari, Komandan di Aceh Menyangkal Tuduhan Penyiksaan, Associated Press, 2 November 2003.

69 70

29

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

Banyak orang-orang Aceh yang diwawancarai oleh Human Rights Watch menggambarkan tindakan kekerasan yang dilakukan pasukan keamanan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Banyak kekearan ditujuan kepada orang sipil nampak diimaksudkan untuk mengidentifikasi anggota dan pendukung GAM, atau untuk mengirim peringatan kepada penduduk desa. Korban seringkali digambarkan diinterogasi dengan tuduhan Kamu adalah GAM! atau pertanyaan Siapa yang GAM? Dimana GAM? Sering kekerasan ini terjadi selama operasi sweepings di desa-desa, seperti selama pencarian rumah-ke-rumah atau ketika para penghuni diperintahkan untuk berkumpul di tempat tertentu. Dalam kasus-kasus lainnya kekerasan nampak menjadi sangat sewenang-wenang, berdasarkan tegangnya tingkah dan kecurigaan tentara dan petugas polisi. Banyak orangorang Aceh yang dianiyai kami minta bicara untuk menjelaskan apakah mereka melakukan atau tidak sesuatu yang salah atau tak salah. Seorang laki-laki yang meninggalkan Aceh bulan Agustus menjelaskan: Jika Saya tinggal di Aceh, bersalah atau tidak Saya dihajar. Artinya kami mati. Jika Kami sedang duduk-duduk seperti ini di Aceh, Brimob akan bertanya kepada kami, Apakah ada GAM? Jika kami bilang Ya Kami mendapatkannya [pukulan], jika Kami bilang tidak Kami mendapatkannya. Menjawab Saya tidak tahu dan Kami mendapatkannya juga.71 Dalam beberapa instansi, kekerasan terhadap orang sipil terjadi hanya sebelum atau sesudah operasi militer di daerah GAM, mengindikasikan ketidaksabaran atau ketakutan terhadap sasaran yang suka dipahami dan kegagalan untuk membedakan antara orang sipil dan oposisi bersenjata. Seorang laki-laki yang tiba bulan Oktober dari Pidie menggambarkan peristiwa dimana TNI dan Brimob mengumpulkan dan menyerang penghuni, dua diantaranya membawa pada kematian: Kami dipukuli secara terus menerus. Suatu waktu seluruh orang didalam satu area berkumpul bersama, dari beberapa desa. Sesudahnya kami dibariskan dan diperintahkan untuk melakukan latihan (melakukan lari di tempat). Jika Kamu tidak mau berlatih, Kamu akan dipukuli sampai mati. Dua kali ini terjadi. Pertama kali tanggal 13 Juni 2003. Mereka mengumpulkan 300 orang dari satu daerah pemukiman tersebut ada tiga atau empat desa. Setiap orang harus berlatih, kakek berusia sembilan puluh tahun, perempuan, anak-anak, tua dan muda. Hal ini terjadi dari jam 9.30 pagi sampai dengan jam 2 sore. Saat mereka membolehkan kami beristirahat, tujuhpuluh dua orang dibawa ke rumah sakit umum di Sigli. Mereka bermalam disana tetapi kami semua dilepaskan kemudian. Mereka memerintahan orang-orang untuk tiarap dan memukul dada dan
71

Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia duapuluh enam tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 26 Oktober 2003.

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

30

muka mereka. Dua oranng meninggal di tempat. Umar Bin Usman, usia 32 tahun, dan Muhammad Ali, usia 21 tahun. Mereka terlihat sebagai GAM, mungkin karena mereka bertubuh besar. Mereka bukan GAM, kami semua orang biasa. GAM sudah pergi ke tempat lain. Para tentara adalah campuran,: Kopassus, Brimob, Angkatan Laut, Rajawali. Mereka semua memukul kami seakan-akan kami kerbau air. Mereka menghancurkan kuku jempol Saya dengan kakatua lihat? Mereka menaruh jempol jari kaki Saya dibawah bangku dan menekannya ke bawah yang ini sudah tumbuh kembali. Rajawali yang melakukannya. Mereka bilang, Siapapun yang GAM, angkat tangan, Tidak ada satupun, dan kami semua dipukuli. Dua orang yang meninggal diinjak di dada dan leher, gigi mereka dijotos oleh tentara Kostrad. Saya hanya berada empat meter dari mereka yang terbunuh, tetapi Saya tdiak bisa melihat kepada mereka secara langsung. Paling banyak Kamu cuma bisa melirik lama. Mayat mereka dikembalikan kepada keluarga mereka dan dikuburkan.72 Laki-laki tersebut melaporkan bahwa tiga minggu kemudian operasi bersama TNIBrimob yang lain membariskan para laki-laki, menanyai mereka, dan memukul mereka dengan uujung senapan, sementara tujuh orang perempuan dituduh sebagai inong balee, barisan perempuan GAM, dan dipaksa untuk telanjang.73 Seorang berusia empatpuluh tahun dari Pidie yang tiba di Malaysia bulan Oktober sesudah dua bulan di Medan menggambarkan peristiwa dalam minggu-minggu sebelum dia meninggalkan Aceh: Jam sepuluh pada suatu malam Kami semua pemilik toko diberitahukan untuk mematikan semua lampu, jadi kami lakukan. Hari berikutnya kami dipukuli karena mematikan lampu! Enam pemilik toko dipukul. Mereka bilang itu karena Kami mempunyai radio untuk berkomunikasi dengan GAM, tetapi itu tidak ada. Hal ini berlangsung dari jam 5 sampai jam 7 malam. Kami dikumpulkan di pos penjagaan terdekat oleh para tentara. Kami berduapuluh termasuk para pelanggan yang kebetulan berada disana. Lima orang pemilik toko lainnya adalah (nama dihilangkan); kami berenam semuanya dipukuli. Mereka memukuli badan Saya dengan senjata mereka, dan menendang kami. Orang-orang ini adalah BKO, Rajawali dari Jawa, mereka berduabelas. Malam itu kami membiarkan lampu menyala, dan Saya meninggalkan Aceh sepuluh hari kemudian.74

72 73

Wawancara Human Rights Watch (nama disembunyikan), Malaysia, 5 Nopember 2003.

Laporan media telah memerinci peristiwa yang sama yang mana sekelompok besar laki-laki dan perempuan ditanyai dan dipukuli dan satu atau dua orang laki-laki dipisahkan dan ditembak. Lihat Richard C. Paddock. Separatis Perang Indonesia Menuntut Para Pemuda, Los Angeles Times, 31 Mei 2003.

Wawancara human Rights Watch dengan laki-laki berusia empatpuluh tahun (nama disembunyikan), 20 Oktober 2003.

74

31

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

Seorang laki-laki berusia duapuluh dua tahun dari Pidie menggambarkan peristiwa dari awal September dimana orang sipil dipaksa untuk mengambil bagian dalam operasi militer: Suatu waktu pada jam 4 pagi, dua puluh orang dikumpulkan bersama (oleh TNI) dan dipecah dalam empat kelompok. Mereka dibawa ke pegunungan untuk mencari GAM. Mereka selalu menaruh kami orang biasa di depan. Sesudah dua malam mereka kembali. Mereka tidak melihat pertanda apapun dari GAM, dan sesudah mereka kembali TNI memukuli banyak orang, termasuk Saya. Saya baru saja kembali dari laut dalam kapal ikan Saya, sekitar jam 8 pagi. Saya baru tiba di pantai ketika beberapa marinir bertanya pada Saya, Kamu darimana? Dari laut. Memberi makan kepada GAM? Tidak. Hanya berusaha mencari makan, mencari ikan. Mereka tidak peduli. Saya dibawah ke sebuah rumah kosong, sementara teman Saya dari kapal yang sama dipukuli diluar rumah. Mereka membuat Saya tiarap, dan dua marinir berdiri di atas tangan Saya sementara seorang menginjak leher Saya. Saya tidak ingat berapa kali. Mereka melakukannya sampai Saya pingsan. Lalu mereka menyiramkan air kepada Saya untuk membangunkan Saya dan Saya ditendang lagi. Mereka bertanya kepada Saya, Siapa di desa yang GAM? Mereka mencoba memaksa Saya untuk mengindentifikasi mereka, tetapi tidak ada seorang pun yang dapat Saya beritahukan kepada mereka. Saya beritahukan mereka begitu tetapi mereka bilang, Ya, memang ada! Sesudah dua jam Saya dibebaskan. Saya bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan mereka lagi. Orang-orang yang memukul Saya adalah marinir, mereka bertiga. Mereka tidak berseragam, tapi mengenakan kaos hijau bertuliskan Marinir di punggung, dan celana panjang seragam. Banyak orang dipukuli hari itu. Tujuh hari kemudian Saya pergi ke Banda Aceh untuk mendapatkan paspor, lalu kembali ke Pidie, mengambil barangbarang Saya dan pergi hari itu juga.75 Seorang laki-laki berusia duapuluh delapan tahun yang tiba di akhir Agustus dari Aceh Timur menggambarkan konsekuensi ditangkap tanpa KTP Merah Putih (lihat dibawah). Peristiwa ini juga mengilustrasikan kombinasi pemerasan dan kekerasan yang sudah menjadi hal biasa di jalanan dan toko-toko di Aceh:

Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia duapuluh dua tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 29 Oktober 2003.

75

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

32

Saya melihat seorang teman Saya dipukul. Dia lupa membawa KTPnya, dan tentara sedang memeriksa. Saat itu sudah senja hari, sekitar jam lima, ketika orang-orang sedang berebelanja. Saya sedang duduk di kedai kopi dengan teman Saya, dan Brimob datang dari pos mereka di desa sebelah ke toko untuk membeli makanan. Mereka masuk ke toko dan menanyakan KTP setiap orang. Dia satu-satunya yang tidak membawanya. Dia dipukul di kepala dia terjatuh. Ketika dia jatuh mereka menendangnya di punggung. Mereka berduabelas, dan mungkin lima orang terlibat memukulnya. Mereka membiarkannya bangun, dan dia diperintahkan untuk duduk di pantai. Lalu mereka meminta uang darinya, Rp 500,000 (US$ 60). Dia hanya mempunyai Rp 100,000, dan dia berikan kepada mereka., dan lalu mereka pergi membeli makanan. Kami sekelompok membawanya dengan truk ke Rumah Sakit Simpang Ulim, karena dia berdarah dari luka dikepalanya. Sekitar jam 9 malam, kami membawanya pulang. Ketika kami membawanya ke rumah dia masih pusing-pusing, seperti sedang mabuk. Saat itu 28 Agustus. Saya melihat hal ini terjadi kepada teman Saya dan Saya pergi pagi berikutnya jam 7.76 Kekerasan juga terjadi selama pencarian di rumah, dalam usaha yang nampak untuk mengitimidasi atau memperoleh informasi. Seorang laki-laki berusia duapuluh tiga tahun dari Bireun menggambarkan apa yang terjadi bulan September: Brimob pernah datang ke rumah Saya, Saya duga untuk mencari senjata, dengan dua truk. Mereka memukul adik laki-laki Saya. Mungkin mereka pikir dia GAM. Mereka datang jam 9 pagi. Ada kami bertiga di rumah ibu saya, adik Saya dan Saya. Ketika Saya melihat mereka datang, Saya lari dan bersembunyi di dalam hutan. Ketika mereka masuk adik Saya sedang duduk di lantai menonton TV. Dia bilang mereka bertanya apakah dia GAM dan dia bilang bukan, dan mereka menendangnya tiga kali di kaki, mematahkannya. Mereka merampok rumah, mengambil satu juta rupiah (US$120) dari bawah kasur. Kami membawa adik Saya ke dokter dan ke dukun patah. Saya hanya bicara dengan keluarga Saya lewat telepon dan adik Saya masih belum baik.77 Seorang laki-laki dari Bireun yang meninggalkan Aceh ke Malaysia di pertengahan Oktober memberitahu Human Rights Watch: Bulan Mei jam 8 pagi di desa dekat rumah Saya, TNI datang. Ada sekitar tigabelas tentara. Ketika mereka tiba mereka bertanya pada Saya, Siapa yang menulis ini di jalan? Saya bilang, Saya tidak tahu. Di jalan terdapat tulisan yang bilang, TNI tolong jangan pernah berada di Aceh
76

Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia duapuluh delapan tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 31 Oktober 2003. Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia duapuluh tiga tahun (nama disembunyikan), Malysia, 31 Oktober 2003.

77

33

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

lagi. Belasan tentara lalu menembakan senapan mereka ke udara. Sesudahnya tiga tentara memukul Saya. Mereka menanyakan KTP Saya, memeriksanya dan lalu berkata bahwa Saya GAM. Saya bilang, Bukan, Saya bukan, dan lalu Saya dipukuli. Mereka membuka baju dan celana panjang Saya dan mengikat tangan Saya dibelakang punggung dengan tali. Mereka pergi sekitar jam 10. Saya dibawa ke rumah sakit oleh orangorang di desa. Sekitar sepuluh orang dipukuli tetapi Saya satu-satunya yang diikat. Saya tidak tahu kenapa. Muka Saya berdarah. Pendengaran Saya rusak dari saat mereka menembakan senjata mereka ke udara. Mereka benar-benar dekat dengan Saya. Itu adalah Batallion Siliwangi yang biasanya berlokasi di Pos Peudada. Bukan pos yang biasa, satu yang khusus untuk darurat militer. Mereka juga mengambil cincin dan uang Saya.78 Seorang laki-laki dari Aceh Timur memberitahu Human Rigths Watch: Saat itu dua hari sesudah darurat militer dimulai. Saya sedang sendirian di jalan menuju ke toko. Mungkin sekitar jam 10 pagi. Ada banyak tentara di jalan. Mungkin sekitar seratus orang. Salah satu dari mereka menghentikan Saya di jalan. Dia mengikat tangan Saya dibelakang punggung dan memukul Saya langsung karena Saya tidak memberitahunya dimana GAM berada. Dia menendang Saya di dada. Tujuh kali, di depan dan belakang. Ketika dia sedang memukuli Saya, Saya bilang, Kenapa Kamu memukuli Saya, Saya tidak melakukan kesalahan apapun, Dia bilang, Semua orang yang sudah melakukan kesalahan sudah melarikan diri. Saya hanya punya mereka yang tidak melakukan kesalahan yang tinggal untuk dipukul. Sesudah ini terjadi, Saya melarikan diri ke Malaysia. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi suatu hari jka Saya tidak bisa lari lagi.79

Penahanan Secara Sewenang-wenang dan Ketiadaan Proses Pengusutan


Banyak dari mereka yang tertangkap karena dicurigai kenggotaan atau dukungannya terhadap GAM sepertinya diadili atas tuduhan makar. Kantor penerangan TNI melaporkan bahwa sampai tanggal 4 Desember, 1,338 anggota GAM ditahan, termasuk 912 pejuang dan 416 pendukungnya. Penguasa militer sudah memasukkan 1,016 kasus kepada kantor kejaksaan, daan 561 sudah dijatuhi vonis. Setidaknya 500 ditemukan bersalah dan dijatuhi hukuman. Dalam pernyataan awal militer mengatakan bahwa mereka sudak membebaskan 145 tersangka karena kurangnya bukti.80
78

Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia tigapuluh dua tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 24 Oktober 2003 Anggota Batalion Siliwangi yang dituduh dan dibebaskan di pengadilan militer karena pemukulan di Dewantara, Aceh Utara, tanggal 30 Agustus.

Wawancara Human Rights dengan laki-laki beruisa duapuluh tiga tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 20 Oktober 2003. Pusat Penerangan TNI, 1.338 Anggota Pemberontak GAM Ditahan, 4 Desember 2003; 120 Napi GAM akan dipindahkan ke Jawa Serambi, 4 desember 2003. PDMD Tentukan Amnesti Anggota GAM, Sinar Harapan, 13 November 2003; GAM Masih Kuat, Laksamana.net, 9 Nopember 2003.
80

79

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

34

Organisasi non-pemerintah Kontras sudah melaporkan bahwa banyak dari mereka yang ditahan telah dituduh dengan tuduhan makar, dan diperkirakan bahwa sampai bulan Oktober hanya seratus orang yang mampu memperoleh bantuan hukum. Kontras juga melaporkan bahwa sampai dengan tanggal 18 Agustus terdapat 213 kasus penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang.81 Seorang anggota Lembaga Bantuan Hukum di Aceh melaporkan banyak orang yang ditahan yang mereka wakili menyatakan bahwa mereka tidak lebih daripada membelikan kopi untuk pemberontak, menghadiri beberapa pertemuan, atau membantu menguburkan tersangka pengacau. Mereka juga melaporkan bahwa delapan puluh klien mereka menderita penyiksaan selama ditanyai dalam penanganan militer atau polisi.82 Dalam wawancara di rumah tahanan, para terdakwa mengatakan kepada seorang jurnalis bahwa mereka mengalami penyiksaan selama interogasi, dan bahwa pengadilan selama 1 jam tersebut terjadi tanpa pengacara pembela atau saksi dan menghasilkan hukuman paling banyak lima tahun. Pengacara bantuan hukum dalam artikel tersebut memperkirakan bahwa 40 persen terdakwa tidak mempunyai akses ke pengacara.83 Mereka yang diwawancarai menggambarkan banyak kasus dimana polisi atau TNI secara tiba-tiba datang dan membawa pergi seseorang atau beberapa orang. Sebagai tambahan kasus yang dikutip diatas, seorang laki-laki berusia delapan belas tahun dari Aceh Besar memberitahukan Human Rights Watch: Pada bulan September Brimob datang ke desa dan mengambil seseorang. Orang ini adalah orang biasa tidak kaya atau miskin, hanya orang biasa. Mereka membawanya jam 8 pagi. Dia seorang tetangga dan Saya melihatnya. Saya tidak tahu kenapa mungkin mereka mendapatkan suatu informasi dari seseorang. Sampai sekarang tidak ada tanda-tanda dia akan dibebaskan. Dia ditutup matanya dan tangannya diikat. Dia berusia tigapuluh lima tahun dan mempunyai dua orang anak yang masih muda. Mereka datang dengan truk berisi tigapuluh lima orang. Mereka membawanya ke Kodim di Jambu Tape, tetapi tidak mengeluarkan surat perintah.84 Lajunya langkah dan tingginya jumlah kasus, dalam propinis dengan beberapa pengadilan yang bekerja, menimbulkan perhatian kepada proses pembelaannya. Tidak diketahui

81

Suatu penangkapan atau penahanan adalah sewenang-wenang ketika dilakukan oleh penguasa negara tanpa dasar hukum yang sepatutnya dan untuk melakukan hal tersebut.

Komandan Aceh menyangkal tuduhan penyiksaan, Associated Press, 22 November 2003; Kontras, 5 Bulan Darurat Militer; Berhasil Ciptakan Ketergantungan Sipil pada Militer, Press Release, 20 Oktober 2003; Kontras Aceh, Makalah Ringkas tentang Aceh; Propinsi Aceh, Perang koto yang Tidak Terungkap, September 2003.
83

82

Tersangka Pemberontak Indoneisa Memberitahukan Teror di Rumah Tahanan, Associated Press, 7 Desember 2003. Wawancara Human Rights Watch dengan seorang laki-laki berusia delapan belas tahun (nama disembunyikan), Malysia, 26 Oktober 2003.

84

35

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

sampai tingkatan apa tahanan diproses sehubungan dengan hukum, kurangnya informasi dan waktu tambahan yang disediakan oleh kerangka hukum darurat militer. Seorang perempuan dari Aceh Selatan mengatakan bahwa dia ditahan bulan Oktober oleh militer, dan menahannya tanpa tuduhan di Koramil lokal. Dia memberitahukan Human Rights Watch: Sekitar jam 10 malam, Saya sudah tidur, dua orang tentara datang ke rumah Saya dengan senjata, tetapi masih ada yang lainnya di luar rumah. Dua tentara tersebut mengetuk pintu buka pintu! Keduanya membawa senjata. Mereka bertanya kepada Saya, Suamimu ada disini? Saya bilang, Dia tidak ada disini, Saya tidak tahu dimana dia. Mereka membawa Saya langsung ke Koramil dengan kijang. Salah satu teman saya ada didalam bersama dengan tujuh anaknya. Beberapa dari mereka sangat kecil dan juga seorang laki-laki tua yang sedang sangat sakit. Didalam kijang tersebut, kami dibawa ke Koramil. Saya membayar sepuluh juta rupiah (US$1200) sebelum akhirnya mereka membiarkan Saya bebas kepada kepala Koramil, kepada Komandan operasi Aceh Selatan Di Koramil terdapat banyak orang dari desa, sekitar 300 orang, perempuan, anak-anak perempuan, beberapa laki-laki. Jam 10 pagi Kami mendapatkan nasi dan ikan, jam 3 sore nasi, malam hari kadang-kadang nasi. Beberapa hari tidak ada nasi. Para tentara tersebut berkata pada kami, GAM tidak bisa diberikan sesuatu yang baik, tidak diperbolehkan untuk membuat makanan yang enak. Saya bukan GAM. Saya hanya orang dusun biasa.85 Seorang laki-laki lain memberitahu Human Rights watch mengenai penangkapan istrinya bulan September: TNI menangkap istri Saya tanpa alasan apapun Sekitar jam 8 pagi, tidak ada peristiwa apapun, mereka hanya datang dan menangkapnya Ketika mereka menangkapnya Saya ada di kebun Sebelum Saya kembali ke desa Saya mendengar apa yang telah terjadi jadi Saya tidak kembali, sampai sekarang. Ada tigapuluh sembilan tentara dan Brimob dari Jakarta. Ketika mereka menangkapnya mereka membawanya ke Samalanga. Keluarga saya sudah memberikan delapan juta rupiah (US$940) kepada Komandan polisi militer di Bireun. Dia meminta lebih tetapi tidak ada uang lagi. Komandan militer memberitahu istri Saya bahwa jika Saya kembali ke desa hari berikutnya dia akan dilepaskan Dia benar-benar tidak tahu apa salah yang sudah dia lakukan.86

85

Wawancara Human Right Watch dengan perempuan berusaia tigapuluh tahun. (nama disembunyikan), Malaysia, 26 Oktober 2003.

Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia tigapuluh tujuh tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 5 Nopember 2003.

86

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

36

Pembatasan Kebebasan Bergerak


Sembilan hari sesudah darurat militer dimulai, Komandan militer Mayor Jendral Endang Suwarya mengumumkan bahwa KTP baru akan dikeluarkan karena begitu banyak yang sudah dicuri oleh GAM, memungkinkan mereka melalui sweepings tanpa terdeteksi.87 Sementara hal ini bisa jadi adalah motif yang utama, motif lainnya yang penting adalah untuk memaksa semua orang Aceh untuk datang sendiri ke depan petugas. Mereka yang tidak datang lalu dianggap sebagai anggota GAM. Mereka yang tidak mempunyai KTP baru menjadi target kekerasan secara khusus dan harus membatasi gerakan mereka secara berarti. Darpada kartu identitas Indonesia biasa yang diwajibkan seara nasional, penduduk Aceh sekarang diwajibkan untuk memperoleh kartu merah dan putih khusus, Kartu Tanda Penduduk merah putih. Itu adalah warna bendera Indonesia.88 Batas akhir untuk mempunyainya ditentukan tanggal 31 Juli, disusul dengan inspeksi besar dan operasi penegakan yang dimulai 1 Agustus. Pengeluaran kartu identitas tidak bertentangan dengan hukum internasional. Betapapun, pembatasan kebebasan bergerak apapun oleh pemerintah untuk alasan kemanan harus mempunyai dasar hukum yang jelas, dan dibatasi untuk apa yang penting dan sebanding; setiap batasan harus menjadi pengecualian, bukan normanya. Dalam prakteknya, persyaratan kartu identitas baru mempunyai pengaruh yang berarti terhadap orang-orang Aceh yang kartunya sudah hilang, tertinggal, tidak pernah mendapatkannya, atau diambil oleh GAM atau pasukan keamanan Indonesia. Sebagai orang yang hanya bisa mendapatkan kartu di daerah tempat tinggalnya, siapapun yang berada diluar daerahnya ketika persyaratan baru diterapkan menghadapi resiko saat bepergian kembali ke rumah. Meskipun mereka membutuhkan KTP baru untuk bergerak secara bebas, sampai batas akhir penutupan, banyak orang-orang Aceh masih belum menerima kartu-kartu mereka sampai kini. Pada akhir Juli kepala sebuah Kabupaten memperkirakan bahawa hanya 60% dari penghuni yang mempunyai kartu baru dan bahwa dia tidak akan bisa menyelesaikan pekerjaannya pada akhir bulan tersebut tanpa bantuan dari polisi dan militer.89 Pernyataan Menteri Luar Negeri menjelaskan bahwa tertanggal 10 Agustus, Tujuhpuluh pesen penduduk yang harus memiliki kartu identitas sudah mempunyai kartu merah putih di tangan mereka. Tujuan dari dikenalkannya KTP merah-putih adalah untuk memisahkan orang sipil dengan anggota GAM. GAM biasanya menggunakan strategi dengan merampas KTP orang sipil untuk membingungkan TNI dan polisi (Polri).90
87 88

Nur Raihan, KTP sementara Aceh berlaku 1 Juli, detik.com, 29 May, 2003.

Dimaksudkan untuk menegakkan kesetiaan kepada negara Indonesia, simbol tersebut kemudian lebih dikaitkan dengan kondisi penindasan, seperti yang terjadi di Timor Timur 1999. Tertini ZB Simanjuntak, Persyaratan KTP Baru Menambah Lebih Banyak Penderitaan Bagi Rakyat Aceh. The Jakarta Post, 28 Juli 2003. Departemen Luar Negeri, Makalah Ringkas mengenai Perkembangan Terkini di Propinsi Nangroe Aceh Darusslam (NAD periode: 19 Mei-10 Agustus 2003, Pada tanggal 4 Desember, ABRI mengumumkan bahwa 95 persen penduduk Aceh sudah memenuhi persyaratan untuk mempunyai kartu identitas baru. Pusat penerangan TNI, 1,338 Anggota Pemberiontak GAM ditahan, 4 Desember 2003.

89

90

37

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

Seorang laki-laki menggambarkan sulitnya mendapatkan kartu ketika dia sudah meninggalkan desa tempat tinggalnya ke ibukota Banda Aceh untuk alasan keamanan: Dengan tanpa KTP Saya takut keluar. Setiap hari terasa menakutkan. Saya mau pergi ke Malaysia tetapi Saya tidak bisa. Saya menghabiskan dua bulan (di Banda Aceh). Akhirnya Saya mendapatkan KTP melalui KTP keluarga kakak laki-laki Saya. Dengan KTP Saya bisa pergi ke Medan dengan bis umum. Saya pergi ke Medan dan Malaysia.91 Proses mendapatkan identitas baru sulit, membutuhkan izin pendahuluan dari kepala desa, dan tanda tangan dari komandan Koramil, kepala kepolisian, dan kepala kabupaten. Tuntutan untuk menyuap adalah rutin. Beberapa orang menggambarkan bahwa mereka membayar lebih untuk mendapatkan kartu mereka, dalam satu kasus Rp 50,000 (U.S.$6) kepada kepala kecamatan untuk mendapatkan kartu dengan untuk pergi, dalam kasus yang lain Rp 200,000 (U.S.$24). Seorang laki-laki dari Pidie, yang sudah lama tinggal di Malaysia tetapi kembalikan ke Aceh di August, menjelaskan prosesnya: Saya melihat bahwa jika Kamu tidak mendapatkan KTP Kamu tidak akan bisa aman. Sebelumnya Saya takut meninggalkan rumah. Tetapi proses mendapatkan KTP Merah Putih sangat sulit, karena Kamu harus datang sendiri untuk menandatanganinya. Jika Kamu tidak datang, KTPmu tidak akan dikeluarkan. Kamu harus pergi ke kantor kepala kecamatan setelah Kamu difoto. Kepala desa Saya ikut bersama Saya. Butuh tiga hari sebelum Saya mendapatkan KTP Saya.92 Seorang perempuan dari Pidie memberitahukan Human Rights Watch: Di awal bulan ini saya mendapat KTP Saya. Saya dapatkan dari kantor polisi di Singli, Pidie. Kami datang kesana untuk mendapatkan KTP dengan semua dokumen. Surat kuasa dari kepala desa, ke kepala kecamatan dahulu, lalu ke polisi, kembali lagi ke kepala kecamatan. Saya harus membayar Rp 25,000 (US$3). Di kantor Polisi, dia memerintahkan Kami untuk menyanyikan Indonesia Raya (Lagu Kebangsaan). Jika Kamu tidak dapat menyanyikannya dia memerintahkanmu untuk berdiri di lapangan. Dia bilang, Hormat kepada matahari sampai Kamu bisa menyanyikan lagu kebangsaanmu. 93

91

Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia duapuluh lima tahun-an (nama disembunyikan), Malaysia, 28 Oktober 2003.

Wawancara Human Rights Watch dengan seorang laki-laki berusia duapuluh lima tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 29 Oktober 2003.
93

92

Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki duapuluh tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 6 November 2003.

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

38

Beberapa peristiwa penyerangan fisik digambarkan kepada Human Rights Watch berkaitan dengan kartu identitas merah putih. Selama salah satu peristiwa yang sudah disebutkan di atas mana TNI memaksa penduduk desa untuk berkumpul dan membunuh tiga orang di desa dekat Lhokseumawe, Aceh Utara, teman seorang saksi yang berusia dua puluh tahun dipukuli: Di lapangan tersebut teman Saya dipukuli. Mereka menanyakan KTPnya. Dia bilang, Saya meninggalkannya di rumah, Tidak. Kamu GAM! Mereka menendangnya di perut dan dia terjatuh. Ketika dia bangun dari mulutnya keluar darah. Kesalahannya adalah tidak membawa KTPnya bersamanya.94 Nampak sulit meninggalkan Aceh tanpa kartu merah putih. Mayoritas orang-orang Aceh yang diwawancarai oleh Human Rights watch meninggalkan Aceh dengan bis ke Sumatera Utara, dan hampir semuanya menggambarkan pemeriksaan yang berulangulang terhadap kartu merah putih. Lebih dari sepuluh orang melaporkan bahwa ada lakilaki muda dikeluarkan dari bis yang mereka naiki, diduga karena tidak mempunyai kartu atau karena alasan lainnya seperti mempunyai nama atau wajah yang sesuai (atau memiliki persamaan) dengan satu dalam daftar yang dimiliki tempat pemeriksaan. Penahanan semacam ini secara khas terjadi di tempat pemeriksaan di perbatasan dengan Sumatera Utara, di Langsa di Aceh Timur, atau di perbatasan-perbatasan antar kabupaten seperti antara Aceh Utara dan Aceh Timur. Bagaimanapun, begitu seseorang menyebrangi perbatasan menuju ke propinsi tetangga Sumatera Utara, KTP merah putih menjadi suatu kekurangan, menandai seseorang sebagai orang Aceh dan menjadi sasaran penangkapan, penganiayaan atau pemerasan. Banyak orang yang tinggal dengan teman atau sanak saudaranya di Medan, atau bersembunyi di hutan sampai mereka bisa menemukan jalan untuk pergi ke Malaysia. Ada beberapa laporan operasi sweepings terhadap orang-orang Aceh di propinsi Sumatera Utara dan Riau.95 Seorang laki-laki dari Bireun memberitahu Human Rights Watch mengenai perjalannya keluar dari Aceh: Saya sedang berada dalam bis umum ke Medan. Ada pemeriksaan di Peureulak, di Alue Ie Puteh, juga di perbatasan dengan Medan. TNI mencari GAM. Melihat KTP, mereka ingin tahu siapa yang GAM, siapa yang bukan. Semua bis harus berhenti, setiap orang keluar, KTP diminta. Sesudah itu enam orang diambil, enam orang tersangka GAM di
94

Wawancara Human Rights Watch dengan seorang laki-laki berusia duapuluh tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 31 Oktober 2003. Tertiani ZB Simanjuntak, Komnas HAM akan Menyelidiki Pelanggaran Aceh, The Jakarta Post, 3 Juni 2003.

95

39

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

Peureulak. Saya tidak tahu kemana mereka dibawa. Mereka orang-orang Aceh, semuanya laki-laki. Saya pergi langsung ke Medan. Di perbatasan terdapat banyak pasukan keamanan Ada tiga bus dan sekitar limabelas orang ditangkap. Ada tempat penahanan. Semuanya orang Aceh, semua laki-laki.96 Seorang laki-laki yang tiba di Malaysia bulan Juni memberitahukan Human Rights Watch mengenai peristiwa yang terjadi di bisnya saat perjalanan dari Aceh Utara ke Medan: Saat itu malam sudah sangat larut. Kami sudah tiba di Aceh Timur. Ada pos TNI dan semuanya diminta turun dari bis dan berbaris. Satu persatu dipanggil untuk memeriksa kartu identitas kita. Saya melihat dua orang dibawa ke belakang oleh lima orang tentara TNI. Tidak jauh, tidak terlalu dekat juga. Saya kemudian mendengar suara tembakan. Sesudahnya setiap orang kembali ke dalam bis. Dua orang tersebut tidak pernah kembali ke dalam bis. Saya tidak tahu dimana mereka.97 Seorang laki-laki dari Pidie, yang kembali ke Aceh dari Malaysia di bulan Agustus, memberitahu Human Rights Watch: Saya sedang berada di perbatasan dan bis berhenti untuk pemeriksaan KTP. Saya keluar dari bis dan bis pergi tanpa saya. Kenapa? Karena mereka melihat nomor telepon di dompet Saya, ketika mereka memeriksa KTP Saya. Dia bilang kepada Saya, Itu nama orang GAM. Kamu GAM. Ada lima orang polisi. Lalu mereka membawa Saya ke sebuah kamar kecil. Tiga polisi masuk dan membuka baju dan celana panjang saya. Mereka bertanya kepada Saya untuk menyatakan bahwa Saya adalah GAM. Sesudah itu mereka mulai memukul Saya karena Saya tidak mau mengakuinya, bahwa nomor itu hanyalah nomor telepon Saya. Tiga kali Saya ditendang. Saya dipukul di wajah sekali, di tubuh Saya dua kali. Paha Saya ditendang. Saya di tahan di ruangan tersebut selama satu jam. Sesudahnya saya diperintahkan untuk membersihkan isi ruangan. Sangat menjijikan, ada sampah, durian, rokok. Jika Saya tidak melakukannya, meraka bilang mereka akan menembak Saya. Mereka bertiga bersenjata, AJ-47s. Mereka polisi tapi BKO, (yang datang) khusus untuk darurat militer. Mereka memaksa saya untuk membersihkan daerah tersebut. Dia menunjuk Sesudahnya mereka membebaskan Saya Saya menangis, meminta tolong agar dibebaskan karena Saya mau kembali ke Medan secepatnya Saya menunggu bis lagi dan langsung pergi ke Medan. Saya menunggu di Medan lima hari. Saya membeli tiket pesawat dan pergi langsung kembali ke Malaysia.98
96

Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia empatluluh tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 28 Oktober 2003. Wawancara Human Right Watch dengan laki-laki Aceh berusia duapuluh tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 26 Oktober 2003. Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia duapuluh lima tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 29 Oktober, 2003

97

98

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

40

Pemerasan dan Pembatasan Terhadap Aktifitas Ekonomi


Situasi ekonomi dibawah darurat militer memburuk secara cepat. Di bulan Oktober, Gubernur Abdullah Puteh mencatat, Angka pengangguran dan kemiskinan disebabkan konflik di Aceh mengkhawatirkan. Puteh mengutip data terkini yang menunjukan bahwa 40 persen penduduk tinggal dibawah garis kemiskinan.99 Perang telah nenyebabkan ekonomi berjalan tertatih-tatih tetapi pengawasan yang luas terhadap gerakan, pemerasan, dan rasa takut yang terbangun baik terhadap kekerasan saat bepergian untuk membeli atau menjual barang-barang secara hebat telah memperburuk masalah tersebut. Banyak orang Aceh mengeluh bahwa ketakukan akan kekerasan atau larangan-larangan terhadap mobilitas telah secara serius mempengaruhi kemampuan mereka untuk menyambung hidup. Hampir semua warga yang diwawancarai mencatat bahwa penghuni desa mereka dilarang pergi ke kebun mereka, yang seringkali berada bukit diatas desa. Seorang laki-laki memberitahukan Human Rights watch, Ada pos-pos di desa, dan kami tidak diperbolehkan pergi ke bukit-bukit, ke kebun kami. Jika kami melakukannya, kami akan dikira GAM dan mereka akan menembak kami.100 Karena pasukan GAM terutama berada di daerah pegunungan, siapapun yang terlihat menuju kesana dianggap entah sebagai GAM, atau sebagai pendukung mereka yang membawakan nasi atau kebutuhan lainnya untuk separatis bersenjata tersebut. Seorang laki-laki berusia delapanbelas tahun yang tiba tanggal 11 September dari Aceh Besar memberitahukan Human Rights Watch: Orang-orang tidak bisa pergi ke pegunungan. Pegunungan tersebut dikepung oleh TNI. Kami tidak bisa mencari makan, menebang pohon untuk membangun rumah, menanam sayur-sayuran atau singkong. Ekonomi kami membeku. Kami takut tembakan, jadi kami tidak berani pergi kesana. Kami diperingatkan: Jika Kalian pergi ke tasa Kami tidak bisa bilang apa yang akan terjadi. Kalian harus bertanggung jawab atas diri kalian sendiri.101 Hal ini bukanlah ancaman main-main. Seorang laki-laki berusia duapuluh enam tahun dari Aceh Selatan melaporkan: Tanggal 23 Jumi ada seorang laki-laki mencari makanan didekat desa (nama dihilangkan), Kecamatan Labuhan Haji. Laki-laki ini, Bahari, naik ke atas ke bukit ke kebun sayurannya tetapi ditahan oleh Brimob dan dibawa ke pos brimob di Labuhan Haji. Dia disiksa disana ditusuk dengan pisau, dan ditanya apakah dia GAM. Dia tidak mengakuinya, dan
99

Waspadai kemiskinan dan pengangguran di Aceh. Laksamana, 29 Oktober 2003. http://www.laksamana.net/vnews.cfm?ncat=35&news_id=6246 (diakses 4 Desember 2003).

Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia duapuluh dua tahun (nama disembunyikan), 29 Oktober 2003. Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia delapan belas tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 28 Oktober 2003.
101

100

41

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

dia dibunuh. Dua orang lainnya ditahan pada waktu yang sama dan juga ditusuk, tetapi mereka tidak mengaku. Saya melihat mayatnya di rumahnya. Saya tidak tahu dimana ditemukannya, tetapi mayat tersebut dikirim ke rumahnya.102 Seorang berusa tigapuluh tahun yang tiba dari Aceh Tengah segera setelah darurat militer dimulai berkata: Hidup Saya sangat berat. Saya bekerja sebagai supir minibus di jalan raya, di daerah kecamatan. Lalu Saya ketakutan karena adanya tempat pemeriksaan di jalan oleh TNI dan Brimob Saat Saya menyetir kendaraan mereka menghentikan Saya untuk meminta uang atau makanan. Jika Kamu tidak memberikannya kepada mereka, Kamu dipukuli. Jika Kamu tidak mempunyai uang dan mencoba menawar Saya tidak punya sepuluh, ini ada lima- mereka tidak akan menerimanya. Jika mereka bilang sepuluh maka harus sepuluh. Kamu tidak bisa tawar menawar dengan mereka.103 Seorang supir lainnya dari Bireun mengulang cerita bahayanya bepergian di jalan: Saya menjual ikan di Takengon, di Aceh Selatan. Tetapi Saya harus berhenti pergi kesana karena Saya takut kepada milisi. Banyak orang Aceh yang menghilang, truk-truk mereka diambil. Milisi tersebut dilatih tahun 1999 oleh TNI dan Polri. Sebelumnya tidak ada masalah. Tetapi baru-baru ini dua orang penjual ikan lainnya yang Saya kenal menghilang: Rusli di bulan Oktober dan Azhari di bulan September. Mayat mereka tidak pernah dikembalikan. Saya melakukan perjalanan terakhir Saya bulan Juli.104 Seorang nelayan berusia duapuluh tahun dari Aceh Utara yang tiba dua minggu yang lalu menjelaskan: Ada pos-pos setiap limapuluh meter di beberapa tempat. Jika Kita keluar dari kapal yang pertama adalah pergi ke pos marinir dan melapor disana, dan memberikan KTP. Lalu kami pergi ke Lhokseumawe untuk menjual ikan Kami harus melapor disana, lalu kembali ke pos marinir ketika kami kembali untuk mengambil KTP kembali Pernah ketika Saya sedang merawat ayam jantan Saya untuk sabung ayam, tentara datang dan memintanya. Saya sudah memberikan satu kepada mereka jadi Saya bilang tidak. Mereka meminta lagi. Saya tidak mau memberikan mereka
Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia duapuluh enam tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 26 Oktober 2003. Wawancara Human Rights Watch dengan seorang laki-laki berusia tigapuluh tahun (nama disembunyikan), Malysia, 26 Oktober 2003. Wawancara Human Rights Watch (nama disembunyikan), Malaysia, 25 Oktober 2003. Meskipun kelompokkelompok yang berkaitan dengan militer berkeliaran setidaknya sejak tahun 1990, laporan aktifitas milisi di beberapa kabupaten, khususnya dmana imigran Jawa berada, telah meningkat tahun-tahun terakhir ini.
104 103 102

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

42

satu lagi. Lalu dia mengancam Saya Kalau Kamu tidak memberikannya kepada Saya, Saya akan menembakmu. Karena Saya takut, Saya memberikannya kepadanya. Dia dari pos lokal, yang kebanyakan orang Jawa, Batalion Sriwijaya 141.105 Seorang laki-laki yang memiliki bisnis penggilingan beras melaporkan: Membuka jalan untuk hidup di Aceh itu sulit. Jika Kamu mencoba membuka usaha, mereka akan meminta uang. Saya memiliki penggilingan beras. Setiap hari TNI meminta 450 kilogram. Mereka bilang, Jika Kamu tidak memberikannya kepada kami, malam ini Kamu akan dibunuh. Saya seharusnya bisa pergi haji ke Mekkah duapuluh lima kali sekarang. Tetapi kalau diminta, maka diberikan Saya tidak tahan lagi. Saya dimintai tujuh juta rupiah (US$825) dan diberitahukan bahwa jika Saya tidak memilikinya dalam tiga hari Saya tidak akan selamat. Kopassus datang jam 11 pagi, mereka berempat di dalam Taft seperti Pajero tapi lebih kecil. Mereka BKP, bermarkas di Koramil. Saat itu tanggal 8 atau 9 Oktober. Mereka hendak pindah ke pos BKO yang lain dan meminta uang pindah. Sesudah mereka pergi Saya pergi ke teman Saya di kedai kopi di depan rumah Saya. Dia bertanya apa yang mereka inginkan dan Saya beritahukan: tujuh juta rupiah dalam tiga hari. Dia bilang pada Saya, Sebaiknya kamu pergi saja. Saya pergi sesudah dua hari mereka memberi Saya waktu tiga hari, kan? Saya katakan pada tiga anak laki-laki Saya untuk ikut pergi (nama disembunyikan), bilang pada mereka, Jika Aku tidak ada disini, mereka akan mengambil kalian.106

Kembalinya Jaga Malam: Tugas Wajib Jaga Malam


Kami seharusnya mempertimbangkan untuk memberikan penghargaan yang sepantasnya kepada tuntutan masyarakat untuk diperbolehkan membela diri dan barang-barang mereka sendiri, khususnya mereka yang tinggal di daerah konflik Dalam menghadapi orang sipil yang bersenjata yang memerat, menyiksa dan bahkan membunuh warga lainnya, partisipasi masyarakat semakin dibutuhkan karena kurangnya personil keamanan. Presiden Megawati, kepada polisi pada upacara bulan Juli107 Secara historis, TNI biasa menggunakan taktik semacam pagar betis di Timor Timur dengam menaruh orang sipil diantara tentara dan gerilya, baik sebagai tameng manusia dan juga menggunakan orang sipil untuk menekan perlawanan para pejuang.108 Beberapa
Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia duapuluh tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 31 Oktober 2003.
106 107 105

Wawancara Human Rights Watch (nama disembunyikan), Malaysia, 5 Nopember 2003.

Fabiola Desy Unidjaya dan Tiarma Siboro, Presiden Menyetujui Penjaga Sipil. The Jakarta Post, 2 Juli 2003. Tahun 1981, militer Indonesia melaksanakan operasai yang disebut kampanye pagar betis di Timor Timur. Dalam usahanya untuk memaksa keluar para pejuang yang bertahan dari persembunyiannya, militer memaksa
108

43

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

media baru-baru ini melaporkan penggunaan orang sipil dalam operasi militer di Aceh.109 Seorang laki-laki memberitahukan Human Rights Watch tentang penduduk desa yang dibawa ke hutan untuk mencari GAM, tetapi tidak jelas seberapa sering taktik ini digunakan dibawah darurat militer. Dalam wawancara dengan Human Rights Watch, contoh partisipasi orang sipil yang paling luas dalam pertahan yang dilaporkan adalah tugas wajib jaga malam tanpa senjata, strategi dari peride DOM yang dihidupkan kembali segera sesudah darurat militer dimulai. Menurut pernyataan pemerintah mengenai kemajuan darurat militer: Penjagaan lingkungan telah meningkat di desa dari 0% sampai dengan 70%. Semua perhatian dan kewaspadaan ini datang dari masyarakat secara spontan.110 Pernyataan lain yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri menegaskan: Dalam rangka menciptakan situasi yang aman dan teratur di (Aceh), operasi ditujuan untuk merangsang keberanian masyarakat lokal untuk berjuang melawan GAM. Beberapa perkembangan yang positif sudah dicapai seperti misalnya beberapa pos sudah dibuat oleh penduduk lokal yang juga berfungsi sebagai Pos Informasi, dan kesetiaan rakyat Aceh kepada Negara Kesatuan Indonesia semakin menguat, begitu juga kesadaran mereka akan hak dan kewajiban mereka.111 Biarpun demikian, kesaksian yang dikumpulkan di Malaysia menunjukan bahwa pasukan keamanan memakai ancaman dan penggunaan kekerasan untuk memaksa penduduk lakilaki di desa untuk bergantian menjaga desa. Seorang laki-laki berusia duapuluh tahun dari Pidie yang tiba di Malaysia tanggal 14 Oktober menggambarkan ketika tentara mengadakan tugas jaga malam di desanya: Jaga malam dimulai sesudah darurat militer, sekitar sebulan kemudian. Kami juga biasa melakukannya dibawah DOM. Semua laki-laki diatas lima belas tahun harus berjaga, bahkan laki-laki tua. Sebelumnya, dibawah DOM, laki-laki tua tidak pernah melakukan tugas jaga. Kami harus melakukannya tiga kali seminggu, empat orang setiap kalinya. Kami berempat dipukuli kalau tertidur, dalam tiga waktu yang berbeda.
orang sipil untuk berjalan berbaris dari setengah garis pertahanan pulau terebut menuju ke pusatnya. Militer mengikutinya dari belakang, menggunakan mereka sebagai tameng manusia terhadap para pejuang yang bertahan. Sebagai contoh, sekitar 1,000 penduduk desa dari Kecamatan Leupung di Aceh Besar dilaporkan terlibat didalam perburuan pemberontak GAM di hutan dekat sana. Komandan Kodim Aceh Besar mengatakan bahwa militer hanya menyediakan sokongan terhadap inisiatif warga desa itu sendiri. Nani Farida, Warga Sipil Terlibat Secara langsung Dalam Perburuan Pemberontak GAM , The Jakarta Post, 17 September 2003. 110Evaluasi Pemerintah Terhadap Operasi Khusus di Aceh. Pernyataan Pemerintah Indonesia, www.Polkam.go.id. , 15 Agustus 2003. Departemen Luar Negeri, Republik Indonesia, Makalah Ringkas tentang Perkembangan Terakhir di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD), periode: 19 Mei -10 Agustus 2003.
111 109

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

44

Kami tidak berkeliling tetapi tinggal di sekitar pos jaga. Mereka tidak berkata kami seharusnya menjaga jaga malam saja! Mereka tidak berkata menjaga ini atau itu.112 Seorang perempuan dari Peureulak, di Aceh Timur, meninggalkan propinsi tersebut di pertengahan Oktober. Dia mengatakan kepada Human Rights Watch: Suami Saya dipukuli oleh TNI bulan Agustus saat dia jaga malam. Suami Saya lalu sakit jadi tidak bisa pergi dan mencari makan. Saya harus pergi (dari Aceh) untuk mendapatkan uang dan makanan. Sekarang selalu seperti ini, tidak ada perubahan. Selama darurat militer sulit sekali mencai makanan.113 Tugas wajib jaga malam adalah aspek tambahan dari kehidupan yang semakin tidak dapat dipertahankan lagi bagi laki-laki Aceh, menempatkan mereka dalam resiko pembalasan dendam dari kedua belah pihak. Sementara jaga malam bisa menaruh orang sipil di tingkat resiko yang sama seperti keterlibatan langsung dalam operasi militer atau dipaksa untuk bergabung dengan militia, itu juga menaruh orang sipil di seputar antara GAM dan TNI. Dan, seperti yang dikatakan seorang laki-laki berusia tigapuluh tahun yang tiba dari Aceh Tengah segera sesudah darurat militer dimulai: Polisi dan Brimob datang ke desa dan mengatakan pada orang-orang untuk menjaganya. GAM meminta kami untuk memberitahukan mereka apa yang TNI dan Brimob lakukan. Tetapi kalau kami memberitahukan GAM, kami pasti akan diculik dan diancam.114 Dua orang Aceh yang diwawancarai oleh Human Rights Watch juga mengeluh mengenai pemaksaan tenaga kerja, seperti membangun pos tingkat desa baru.115

Wawancara Human Rights Watch dengan seorang laki-laki berusia duapuluh dua tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 26 Oktober 2003. Wawancara Human Rights dengan perempuan berusia tigapuluh tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 24 Oktober 2003. Wawancara Human Rights dengan laki-laki berusia tigapuluh tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 26 Oktober 2003. Seorang dari dua orang yang menggambarkan tugas wajib tersebut menjelaskan: di malam hari kami jaga malam, di pagi hari kami harus melakuka gotong royong, membangun pos-pos dan kamp baru. Atau kami diperintahkan untuk membawa tiang pohon kelapa sawit ke atas bukit. Kadang-kadang ketika mereka pergi, kami harus merubuhkan pos, lalu mereka kembali lagi dan kami harus membangunnya lagi. Dia desa Saya mereka hanya mengambil alih sebuah rumah kosong, tetapi kami harus membangun pos-pos di desa lain. Kami harus melakukannya mungkin dua hari setiap minggunya. Wawancara Human Rights Watch dengan lakilaki berusia tigapuluh tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 26 Oktober 2003.
115 114 113

112

45

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

Pengungsian dan Perampokan


Sejak dimulainya darurat militer, belasan ribu orang sipil telah dipaksa oleh pertempuran atau diperintahkan oleh pemerintah Indonesia atau pasukan keamanan untuk meninggalkan rumah dan desa mereka. Sebagai contoh, di awal Juli sekitar 10,000 orang di Aceh Utara dilaporkan meninggalkan rumah mereka karena Angkatan Udara Indonesia membom posisi pemberontak di Pantai Pisang di Kecamatan Nisam yang banyak pegunungannya. Para penghuni dilaporkan diperintahkan oleh militer untuk ditampung di dua kamp di sekitar Kecamatan Dewantara dan Muara Batu.116 Penampungan massa atau pengungsian orang sipil yang hanya untuk meniadakan basis sosial untuk pasukan lawan dilarang oleh hukum kemanusiaan internasional. Pihak-pihak yang berkonflik harusnya tidak memerintahan pemindahan penududuk kecuali dengan alasan yang serius berkaitan dengan keamanan orang sipil yang terlibat, atau ada alasan militer yang sangat penting untuk tindakan tersebut.117 Seandainya tindakan tersebut harus dilakukan, semua tindakan yang mungkin seharusnya diambil untuk memastikan bahwa tempat dimana mereka akan ditampung menawarkan kondisi tempat berlindung yang memuaskan, higenis, sehat dan menyediakan nutrisi.118 Banyak pengungsidapat kembali ke tempat asalnya sesudah periode yang cukup singkat, jadi jumlahnya turun-naik dari minggu ke minggu. Perkiraan resmi jatuh dari lebih dari duapuluh ribu orang terlantar di sebelas kabupaten di bulan Agustus menjadi hanya sepuluh ribu orang terlantar di enam kabupaten pada pertengahan November. Lebih dari seratus ribu orang dipindahkan di beberapa titik tertentu sejak dimulainya darurat militer.119 Seorang laki-laki berusia duapuluh tahun yang tiba di Pidie menggambarkan bagaimana beberapa orang di desanya meningalkan TNI, sementara yang lainnya ditangkapi dan diangkut pergi:
AAn Suryana, Orang Aceh Pergi karena Serangan Udara The Jakarta Post, 1 Juli 2003. Dulu Suku nonAceh juga lebih banyak diintimidasi agar meninggalkan Aceh oleh GAM. Sampai tahun 2001 ada sekitar 50,000 orang Jawa di Sumatera Barat yang meninggalkan Aceh. Kemungkinan prilaku yang sama terjadi di bawah Darurat Militer tetapi kurangnya akses membuat sulit untuk menunjukannya. Lihat Human Rights Watch, Perang di Aceh, Laporan Human Rights watch, Vol.13, No. 4 (c ), Agustus 2001: Human Rights Watch, Warga Sipil Indonesia Dijadikan Target di Aceh. Human Rights Watch Press Backgrounder, Mei 2000; Laporan Perwakilan Sekretaris Jendral tentang Orang-Orang Terlantarl, E/CN.4/2003/95/Add.2, 15 Februari 2002. Konvensi Geneva, Protokol II, pasal. 17, yang memperhatikan cerminan hukum internastional menyatakan bahwa pengungsian penduduk sipil tidak boleh dilakukan dengan alasan yang berkaitan dengan konflik kecuali berkaitan dengan keamanan warga sipil atau tuntutan militer yang sangat penting. Prinsip-Prinsip Pedoman tentang Orang Terlantar (prinsip pedoman), diadopsi bulan September 1998 oleh Majelis Umum PBB, mencerminkan hukum kemanusiaan internasional sebagai juga hukum hak asasi manusia, dan menyatakan kumpulan standar internasional yang mengatur perlakuan terhadap orang-orang terlantar. Meskipun bukan instrumen yang mengikat, Prinsip pedomaan ini didasarkan pada hukum internasional yang tentunya mengikat negara-negara seperti halnya beberapa kelompok pemberontak, dan mereka yang berwenang dan berada di komunitas internasional. Departemen Luar Negeri, Republik Indonesia, Makalah Ringkas mengenai Perkembangan Terkini di Propinsi Nangroe Aceh Dasrussalam (NAD), Periode: 19 Mei-10 Agustus 2003, Kantor PBB untuk Koordinasi Masalah Kemanusiaan (OCHA), Laporan OCHA Mengenai Gabungan Situasi No. 154, 14 Nopember 2003; Jesuit Refugee Service: Berita JRS No. 142, 17 Nopember 2003.
119 118 117 116

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

46

Suatu pagi hari, empat buah tank datang ke desa. Orang-orang di desa ketakutan, dan beberapa orang melarikan diri ke pegunungan, dan yang lainnya melarikan diri ke Sigli, dimana ada sebuah kamp orang terlantar di lapangan disana. Mereka pergi kesana karena ada panggilan dari mesjid untuk berkumpul disana. Kami diberitahukan oleh tentara, Sekarang mengungsi! Saya rasa mereka dari Pos BKO Siliwangi. Kami kembali ke rumah kami untuk mengambil barang-barang yang paling penting. Kami mempunyai satu jam untuk mengemas barang kami, lalu tiga truk datang untuk membawa kami ke Sigli, sekitar empatpuluh kilometer jauhnya. Kami tidak diberitahukan alasannya. Kami menghabiskan waktu limabelas hari disana, hidup didalam tenda. Sesudahnya kami dikirim kembali ke rumah dengan truk. Orang-orang di pegunungan kembali ke rumah setelah kami pulang.120 Seorang perempuan dari Aceh Utara menggambarkan perampokan yang terjadi ketika para penduduk dipindahkan: Saya melarikan diri ke kamp pengungsi. Ketika Kami pulang ke rumah semua barang-barang kami tidak ada. Ayam, kambing, (semua) dicuri saat kami melarikan diri, dibawa oleh tentara yang lalu meminta uang Rp 300,000 untuk mengembalikan barang-brang kami kembali. Beberapa orang membayar, tetapi Saya terlalu ketakutan.121 Di akhir Juli, Jendral Endiartono Sutarto, kepala staf ABRI, mengakui bahwa tentara secara paksa menelantarkan warga sipil dan meminta maaf atas perampokan tersebut: Dengan beberapa pertimbangan, kami (TNI) memaksa orang-orang untuk meninggalkan rumah mereka dan mengungsi sementara para tentara berusaha menyingkirkan para pemberontak yang seringkali mencoba berbaur dengan orang sipil di desa mereka Bahkan jika para pengungsi tinggal di kamp selama tiga atau empat hari saja, mereka menemukan rumah mereka dirampok ketika mereka kembali ke rumah mereka. Saya meminta maaf karenanya. Saya tidak mau orang-orang berkorban sebanyak itu.122 Sebagaimana digambarkan dalam Aceh dibawah Darurat Militer: Pelarangan yang Tidak Perlu dan Berbahaya Terhadap Akses Kemanusiaan Internasioal, terdapat kelanjutan untuk memperhatikan kurangnya akses ke makanan, sarana kesehatan, dan pendidikan

Wawancara Human Rights Watch dengan laki-laki berusia duapuluh dua tahun (nama disembunyikan), Malaysia, 29 Oktober 2003.
121 122

120

Wawancara Human Rights Watch (nama disembunyikan), Malaysia, 26 Oktober 2003.

Pengadilan darurat militer dilakukan pada tanggal 22 Juli terhadap dua orang prajurit yang dituduh mencuri uang kontan dan perhiasan dari rumah seorang tersangka pemberontak separatis di Aceh Utara. Human Rights Watch tidak tahu mengenai hasilnya. Tiarma Siboro, Kepala TNI Menawarkan Permintaan Maaf Kepada Rakyat Aceh, The Jakata Post, 26 Juli 2003.

47

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

bagi orang-orang terlantar di Aceh..123 Pertempuran antara militer Indonesia dan GAM sebagaimana larangan untuk bergerak, telah mengganggu hidup dan mata pencaharaian warga sipil dengan terpotongnya suplai makanan, air, listrik, komunikasi, sekolah, dan sarana kesehatan bagi ribuan orang. Gambaran menyeluruh dari sedikit informasi yang tersedia adalah bahwa penududuk Aceh menghadapi kekurangan jasa dan persediaan dasar. Kondisi tersebut diperburuk bagi mereka yang telah dipaksa untuk meninggalkan rumah mereka. Informasi awal mengindikasikan bahwa pertempuran telah memaksa ribuan warga sipil keluar dari rumahnya. Jesuit Refugee Rervice dan sumber-sumber media Indonesia sudah menyoroti laporan mengenai fasilitas sanitasi dan air yang memprihatinkan, kekurangan gizi dan keluhan kulit diantara para penduduk tersebut.124 Penolakan Indonesia terhadap akses badan-badan kemanusiaan internasional dan LSM membuat penilaian secara lengkap mustahil.125

Human Rights Watch, Aceh dibawah Darurat Militer: Pelarangan yang Tidak Perlu dan Berbahaya atas Akses Kemanusiaan Internasional, Makalah Ringkas Human Rights Watch, September 2003.
124 125

123

Jesuit Refugee Service, Berita JSR No. 137, 1 Agustus 2003.

Sampai bulan Oktober 2003, pemerintah Indonesia melaporkan empat puluh tujuh kematian yang berkaitan dnegan kesehatan di kamp. Bagaimanapun, informsai ini mustahil untuk di verifikasi atau diinterpretasikan tanpa mengetahui lebih banyak mengenai tingkat kehidupan total penduduk, fasilitas kesehatan yang tersedia, dan informasi dasar lainnya. Satkorlak NAD, Kematian Orang-Orang Terlantar di Aceh (diproses dan diperiksa oleh Organisasi Migrasi Internasional Banda Aceh), 5 Oktober 2003.

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

48

Pertanggungjawaban
Tidak seperti dalam operasi di masa lalu di Aceh, Indonesia telah mengambil beberapa langkah meminta pertangungjawaban tentaranya dalam kejahatan yang terjadi di Aceh. Di bulan Juni, pengadilan militer menjatuhkan hukuman kepada enam tentara dari Batalion Infrantri 144 lima bulan penjara karena pemukulan warga desa di Kabupaten Bireun pada 27 Mei.126 Para tentara tersebut dikenai tuduhan melanggar pasal 351 dan 55 dalam Undang-Undang Kejahatan tentang penyerangan terhadap orang sipil dan ayat 103 dalam undnag-undang kejahatan militer mengenai pelanggaran disiplin militer. Mereka tidak dikenai tuduhan karena menembak mati seorang laki-laki bernama Abubakar dalam peristiwa yang sama, meskipun salah seorang terdakwa mengakui pembunuhan tersebut. Sebagaimana dalam banyak kasus yang dilaporkan dalam laporan ini, korban bersaksi di pengadilan bahwa mereka diserang karena tidak tahu lokasi para pemberontak separatis.127 Bulan Juli, pengadilan militer di Ljokseumawe, Aceh Utara, menemukan tiga orang tentara bersalah atas pemerkosaan empat orang perempuan. Pengadilan memerintahkan tiga tentara tersebut diberhentikan dan menghukum mereka antara dua setengah sampai tiga setengah tahun penjara. Dibawah hukum darurat militer teretuduh mendapat hukuman maksimum duabelas tahun.128 Pada bulan September, duabelas tentara dari Jawa Barat base Batalion Siliwangi dibawa ke pengadilan militer, dikenai tuduhan atas pemukulan dua orang penduduk desa di Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, pada 30 Agustus 2003.129 Mereka dibebaskan meskipun jurubicara militer mengatakan mereka teap akan menerima hukuman kedisiplinan yang mencakup dari peringatan keras sampai dengan tiga minggu penjara.130 Persidangan adalah pengecualian yang disambut baik untuk kekebalan hukum yang hampir seluruh TNI menikmatinya. Bagaimanapun, hukuman ringan, tuntutan yang selektif, dan rendahnya tingkat tuduhan-tuduhan tersebut memperlihatkan kurangnya keseriusan dalam menghukum atau menghalangi kejahatan oleh anggota pasukan bersenjata. 131 Tidak ada tuduhan pembunuhan yang membawa kematian para warga sipil selama operasi militer ini.
Indonesia Mendakwa Tentara atas Pelanggaran di Aceh, Associated Press, 9 Juni 2003; Tentara Didakwa atas Pelanggaran Hak Asasi, Laksamana.net, 10 Juni 2003.
127 128 126

Tiga prajurit dalam Sidang Mengakui Menyerang Penduduk Desa. The Jakarta Post, 5 Juni 2003

Prajurit Dipenjara Karena Perkosaan di Aceh. BBC News Online, 19 Juli 2003; Prajurit dihukum dalam kasus perkosaan di Aceh, The Jakarta Post, 20 Juli 2003. 12 Prajurit Diadili karena Memukul Warga Desa di Aceh, Associated Press, 25 September 2003; Tiarma Siboro, 12 Prajurit Menghadapi Sidang Karena Menyiksa Orang Sipil di Aceh, The Jakarta Post, 20 September 2003. Prajurit Dibebaskan atas Penyerangan di Aceh, Laksamana.net, 10 http://www.laksamana.net/vnews.cfm?ncat=45&news_id=6152 (diakses 4 Desember 2003).
131 130 129

Oktober

2003,

Kepala TNI memberitahu majalah Time, Saya tidak akan mengambil tanggungjawab atas semua perintah yang Saya berikan. Tetapi perintah-perintah Saya dan para komandan pasukan bersenjata lainnya jelas: jangan membunuh orang sipil. Jika Saya mengirimkan sesorang keluar untuk membeli pisang goreng dan orang tersebut tertangkan karena mencurinya, atau mencuri uang untuk membelinya, haruskan Saya juga

49

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

Sebagai tambahan, sebagaimana yang sudah didokumentasikan sebelumnya oleh Human Rights Watch, beberapa orang yang bertanggungjawab dalam kampanye militer di Aceh telah didakwa atau disangkutkan dalam pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Salah seorang yang paling terkenal karena nama buruk yang disandangnya adalah Mayor Jendral Adam Rachmat Damiri, seorang pejabat militer Indonesia tertinggi yang pernah diadili dan dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Pada 5 Agustus 2003, pangadilan ad-hoc Jakarta tentang Timor Timur menyatakan Jendral Damiri bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan dengan atrocities yang dilakukan di Timor Timur tahun 1999. Damiri juga dituduh atas kejahatan terhadap kemanusiaan oleh pengadilan PBB di Timor Timur. Diluar tuduhan atas dirinya, Damiri dipromosikan sebagai Asisisten Operasi untuk Kepala Staf Umum, dimana dia terlibat dalam mengarahkan operasi militer di propinsi Aceh selama bulan-bulan pertama darurat militer. Kasus-kasus lainnya telah didokumentasikan oleh Human Rights Watch.132

dihukum? Wawancara dengan Ryamizard Ryacudu, Tidak ada daerah yang melepaskan diri, Time Asia, 2 Juni 2003. Lihat, Aceh dibawah Darurat Militer: Dapatkah Orang-Orang ini Dipercayai untuk Mengusut Perang ini? Makalah Ringkas Human Rights, Oktober 2003.
132

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

50

Rekomendasi Untuk Pemerintah dan Pasukan Tentara Indonesia


1. Segera mencabut Keputusan Presiden No.43/2003, yang menempatkan pelarangan yang tidak perlu terhadap akses untuk PBB, badan-badan internasional, lembaga swadaya masyarakat (LSM), jurnalis dan orang asing di Aceh. Organisasi hak asasi manusia dan jurnalis seharusnya mempunyai akses tanpa kekangan ke propinsi tersebut. 2. Menghormati kebebasan pers dan memperbolehkan peliputan konflik senjata secara penuh dan independen. Segera dan tanpa syarat menghapuskan larangan pengumpulan dan pelaporan berita secara langsung dari Aceh oleh media Indonesia dan asing. 3. Mengizinkan badan-badan kemanusiaan untuk menyampaikan bantuan secara langsung kepada penduduk yang membutuhkan, daripada mensyaratkan badanbadan tersebut untuk mengirimkan bantuannya melalui badan-badan resmi Indonesia. 4. Menyusul keputusan Indonesia yang disambut baik untuk memperbolehkan ICRC datang ke Aceh, pastikan bahwa ICRC mempunyai akses yang bebas dan tanpa kekangan untuk menjalankan pekerjaannya. 5. Secara penuh menyelidiki pernyataan tanpa bukti (allegations) terhadap pelanggaran hukum kemanusiaan dan hak asasi manusia internasional. Mendisiplinkan dan/atau mengusut semua petugas secara semestinya, pasukan bersenjata dan personil polisi yang tersangkut dalam pelanggaran, termasuk eksekusi diluar hukum; penghilangan secara paksa; penyiksaan dan penganiayaan lainnya; perkosaan dan kekerasan seksual; perampokan dan pemerasan. 6. Memperbolehkan Komisi Hak Asasi Manusia Nasional untuk menjalankan investigasi yang bebas dari intimidasi atau campur tangan oleh penguasa darurat militer. 7. Mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa pasukan militer dan polisi Indonesia sepenuhnya bertindak sesuai dengan hukum kemanusiaan dan hak asasi manusia. Meyakinkan bahwa semua pasukan beroperasi dibawah aturan pertempuran yang konsisten dengan hukum kemanusiaan internasional. Bergerak secepat mungkin untuk mengembalikan pemerintahan Aceh kepada pengawasan sipil yang bertanggungjawab. 8. Memastikan bahwa semua komandan yang disebarkan di Aceh, di semua tingkatan, sudah menerima latihan dasar mengenai prinsip-prinsip dasar hukum kemanusiaan, khususnya perlindungan warga sipil dan non-pejuang. Semua pejuang seharusnya dilatih dan diberi pelajaran mengenai perlakuan yang sepantasnya terhadap warga sipil dan non-pejuang, termasuk pejuang yang tertangkap. 9. Menahan semua tahanan hanya di tempat penahanan yang secara resmi dikenali. Memberitahukan semua tahanan segera dasar penangkapan dan tuduhan apapun terhadap mereka. Segera menyediakan kepada semua tahanan akses yang teratur kepada anggota keluarga dan pengacaranya, dan memperbolehkan para tahanan untuk memberikan petisi peninjauan kembali terhadap penahanan mereka tanpa

51

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

10.

11. 12.

13.

14.

15.

adanya penundaan. Mengakui pelaksanaan hak asasi semua orang yang ditahan dan/atau dituduh melakukan kejahatan. Memberitahukan keluarga tahanan mengenai penahanan mereka, dan alasannya serta lokasi penahanan. Membuat figur yang diperbarui secara teratur untuk umum mengenai jumlah orang yang dituduh dan ditangkap dalam kejahatan yang berkenaan dengan keamanan di Aceh, dengan informasi mengenai sifat dasar kejahatan yang mungkin dan tempat penahanan mereka. Memelihara kelangsungan pendaftaran yang akurat nama-nama tahanan dan tempat penahanan mereka dan membuat pendaftaran semacam ini siap tersedia untuk keluarga tahanan, penasehat hukum dan orang-orang yang secara hukum berkepentingan. Mengakhiri praktek penggunaan orang sipil di militer, paramiliter, atau keamanan berkaitan dengan fungsi-fungsi, termasuk praktek tugas wajib jaga malam untuk laki-laki dan anak laki-laki. Mengakhiri persyaratan kartu identitas khusus untuk penduduk Aceh sepanjang pemerintah tidak dapat memastikan bahwa kartu semacam ini tidak akan terus menghasilkan penyiksaan terhadap penduduk lokal, termasuk penangkapan secara sewenang-wenang, penganiyaan dan penahanan tanpa surat perintah atas kebebasan bergerak. Menghormati pelarangan hukum kemanusiaan internasional mengenai pengungsian orang-orang sipil yang menyatakan bahwa pengungsian semacam itu seharusnya hanya terjadi dengan alasan kemanan warga sipil atau adanya tuntututan militer yang alasannya sangat penting sekali. Segera menghapuskan dari semua peran sehubungan dengan konflik di Aceh semua personel militer Indonesia yang sudah didakwa atau diindikasikan atas pelanggaran hak asasi manusia atau hukum kemanusiaan atau kepada mereka yang terdapat bukti melakukan penganiyaan semacam itu. Setiap personil yang diindikasikan seharusnya dipindahkan dari tugas aktif mereka sampai penyelesaian proses persidangan mereka. Bertentangan dengan praktek di Indonesia kini, pejabat yang dituduh atas tuduhan serius seharusnya mulai untuk menjalankan hukuman mereka dengan segera dan dikenai pemecatan secara administrasi dari pasukan tentara. Mengundang mekanisme PBB yang berasngkutan untuk mengunjungi Aceh. Prioritas seharusnya diberikan kepada Pelapor Khusus mengenai Esksekusi diluar hukum, pembunuhan kilat atau yang sewenang-wenang dan (Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Execution) dan perwakilan dari Badan Pekerja Penghilangan Secara paksa atau tidak sukarela (Working Group on Enforced or Involuntary Dissapearances).

Untuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM)


1. Menyatakan kepada umum komitmen GAM untuk mentaati hukum kemanusiaan internasional. Memastikan bahwa semua pasukan mentaati hukum kemanusiaan internasional. Diharapkan menghentikan pengambilan tindakan yang menempatkan orang sipil dalam resiko khusus, seperti penyitaan kartu identitas. 2. Memastikan bahwa semua komandan, di semua tingkatan, menerima latihan dasar mengenai prinsip-prinsip dasar hukum kemanusiaan, khususnya

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

52

perlindungan warga sipil dan non-pejuang. Semua pejuang seharusnya dilatih dan diberi pelajaran mengenai perlakuan yang sepantasnya terhadap warga sipil dan non-pejuang, termasuk pejuang yang tertangkap. 3. Mengambil tindakan-tindakan untuk memastikan bahwa mekanisme yang dapat diselenggarakan dilaksanakan untuk memastikan bahwa anggota pasukan secara perseorangan bertanggungjawab terhadap pelanggaran, termasuk eksekusi kilat, penyiksaan, penculikan, dan pemindahan secara paksa. Melepaskan semua tawanan yang ditahan dalam pelanggaran hal asasi manusia, termasuk dua orang jurnalis yang saat ini dalam penahanan GAM.

Untuk Kuartet (Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, Bank Dunia)


1. Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa seharusnya secara bersama menindak lanjuti pernyataan mereka di bulan November 2003 yang mengekspresikan keprihatinan terhadap perpanjangan keadaan darurat militer di Aceh dan mendorong Idonesia untuk menjalankan aktifitasnya dengan kemungkinan pengaruh yang paling minimum terhadap kesejahteraan masyarakat Aceh dan dalam pendekatan yang mengikutsertakan bantuan kemanusian, perbaikan lembaga-lembaga sipil dan menegakkan hukum. Secara bersama dan indvidual ketiganya harus menekan pemerintah Indonesia untuk mentaati hukum kemanusiaan dan hak asasi manusia di Aceh. Meneruskan desakan terhadap Indonesia untuk membuka Aceh kepada LSM internasional, jurnalis dan badan-badan internasional. Mengajukan kondisi di Aceh dalam semua pertemuan dengan penguasa Indonesia dan tetap menuntut dibukanya akses diplomatik yang teratur ke Aceh. Semua keputusan bantuan, seperti yang dipinjamkan Bank Dunia, harus menyertakan dialog mengenai pelanggaran hak asasi manusia di Aceh, sebagaimana yang berkenaan dengan korupsi dan reformasi yang tercatat dalam Strategi Bantuan Negara untuk Indonesia (Country Assistance Strategy for Indonesia) yang dikeluarkan tanggal 3 Desember.

2.

3.

Untuk Pemerintah Malaysia


1. Tidak ada orang Aceh yang seharusnya dikembalikan secara paksa ke Indonesia selama keamanan mereka beresiko di Aceh. Orang-orang Aceh di Malaysia seharusnya diberikan perlindungan dan bantuan sepenuhnya.

Untuk ASEAN
1. ASEAN dan anggota-anggotanya seharusnya menggunakan kewenangan regional mereka dan meminta Indonesia untuk menghargai kewajiban internasionalnya dalam konflik di Aceh. Termasuk mendesak badan-badan kemanusiaan yang tidak berpihak agar mampu menyediakan bantuan kepada penduduk, terutama kepada orang-orang yang terlantar karena konflik. Sehubungan dengan partisipasi Thailand dan Philipina dalam memonitor COHA, ASEAN seharusnya menekankan perlunya keterlibatan dalam kehadiran monitoring internasional di Aceh.

53

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

Untuk Negara-Negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, yang menyediakan bantuan atau latihan militer kepada Indonesia
1. Sehubungan dengan perhatian terhadap pelangggaran serius dalam kampanye Indonesia di Aceh, negara-negara penyuplai senjata seharusnya mempertimbangkan penundaan transfer senjata kepada Indonesia. Negaranegara yang sudah menyediakan bantuan Militer kepada Indonesia terebut, termasuk senjata, perlengkapan lainnya, dan latihan, mempunyai tanggungjawab khusus untuk memastikan bahwa bantuan tersebut tidak digunakan untuk menyumbang pelanggaran hak asasi manusia. 2. Menjatuhkan persyaratan yang ketat terhadap penggunaan senjata atau bantuan militer lainnya, sesuai dengan standar-standar hukum hak asasi manusia dan kemanusiaan internasional. 3. Menempatkan tindakan yang efektif untuk memonitor dan memastikan pertanggungjawaban dalam penyalahgunaan senjata atau bantuan lainnya. Indonesia mempunyai tugas wajib untuk menjaga dan menawarkan pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk menunjukan bagaimana negara ini sudah menggunakan perlengkapan yang disuplai asing, dan jika perlu menyediakan bentuk lain akses untuk memfasilitasi monitoring yang efektif dan berguna sampai akhir. 4. Apapun ketentuan Amerika Serikat atas latihan atau bantuan militer kepada pasukan bersenjata Indonesia harus disyaratkan terhadap perkembangan yang jelas dalam mengadili militer dan polisi yang bertanggungjawab dalam pelanggaran hak asasi manusia. Latihan teroris harus secara hati-hati dirancang untuk tidak mengurangi keefektifan pelarangan yang sudah ada, dan harus tidak ditujukan kepada cabang dan unit yang diketahui sebagai pelanggar hak asasi manusia, seperti Kopassus atau Brimob.

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

54

Lampiran
Untuk informasi terkini lebih lanjut mengenai perang di Aceh silahkan lihat rangkaian laporan dan makalah ringkas Human Rights Watch berikut ini.

1. Aceh Under Martial Law: Human Rights Under Fire (Aceh dibawah Darurat Militer: Hak Asasi Manusia diserang) Sebuah Makalah Ringkas Human Rights Watch Juni 2003. 2. Aceh Under Martial Law: Unnecessary and Dangerous Restrictions on International Humanitarian Access (Aceh dibawah Darurat Militer: Pelarangan yang Tidak Perlu dan Berbahaya terhadap Akses Kemanusiaan Internasional) Makalah Ringkas Human Rights Watch, September 2003 3. Aceh Under Martial Law: Can These Men Be Trusted to Prosecute This War? (Aceh dibawah Darurat Militer: Dapatkan Orang-Orang ini dipercayai untuk Mengadili Perang ini?) Makalah Ringkas Human Rights Watch, Oktober 2003 4. Aceh Under Martial Law: Muzzling the Messengers: Attacks and Restrictions on the Media (Aceh dibawah Darurat Militer; Memberangus Kurir; Serangan dan Pelarangan terhadap Media) Sebuah Laporan Human Rights Watch, Nopember 2003

55

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

Human Rights Watch Asia Division Human Rights Watch is dedicated to protecting the human rights of people around the world. We stand with victims and activists to bring offenders to justice, to prevent discrimination, to uphold political freedom and to protect people from inhumane conduct in wartime. We investigate and expose human rights violations and hold abusers accountable. We challenge governments and those holding power to end abusive practices and respect international human rights law. We enlist the public and the international community to support the cause of human rights for all. The staff includes Kenneth Roth, executive director; Carroll Bogert, associate director; Allison Adoradio, operations director; Michele Alexander, development director; Rory Mungoven, advocacy director; Barbara Guglielmo, finance director; Lotte Leicht, Brussels office director; Steve Crawshaw, London office director; Maria Pignataro Nielsen, human resources director; Iain Levine, program director; Wilder Tayler, legal and policy director; and Joanna Weschler, United Nations representative. Jonathan Fanton is the chair of the board. Robert L. Bernstein is the founding chair. Its Asia division was established in 1985 to monitor and promote the observance of internationally recognized human rights in Asia. Brad Adams is executive director; Saman Zia-Zarifi is deputy director, Sara Colm and Mickey Spiegel are senior researchers; Meg Davis, Meenakshi Ganguly, Ali Hasan, Charmain Mohamed, John Sifton, and Tej Thapa are researchers; Thomas Kellogg is Orville Schell Fellow; Liz Weiss is coordinator; and Ami Evangelista is associate. Joanne Leedom-Ackerman is Chairperson of the advisory committee. Web Site Address: http://www.hrw.org Listserv address: To subscribe to the list, send a blank e-mail message to hrw-news-asia-subscribe@topica.email-publisher.com.

Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C)

56

Anda mungkin juga menyukai