Anda di halaman 1dari 8

TITIK KRITIS SUMBER DAYA AIR DI BALI

Ida Dewa Ayu Istri Ngurah (10/306657/PMU/06662) S2 Ilmu Lingkungan. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Abstrak Kebutuhan air bersih yang terus meningkat oleh karena peningkatan jumlah penduduk dan melajunya sektor pariwisata seringkali berbenturan dengan ketersediaan air bersih di Pulau Bali. Melajunya industri pariwisata Bali menjadi faktor pendorong terus berkembangnya pembangunan infrastruktur sebagai akomodasi para wisatawan menyebabkan berkurang area terbuka sebagai area tangkapan air. Topik pembahasan dalam paper ini berkaitan dengan peranan pertumbuhan populasi dalam kerusakan lingkungan yang mencakup fenomena krisis ketersedian air bersih di kotamadya Denpasar, provinsi Bali. Konsekuensi dari dibukanya Bali bagi pengembangan industri pariwisata yang cenderung massal berakibat kepada degradasi lingkungan dalam berbagai ranah, seperti berkurangnya ruang publik pantai, perusakan sempadan sungai oleh pembangunan hotel atau villa, penggerusan air tanah secara berlebihan untuk lapangan golf dan restoran. Pariwisata di Bali menjadi magnet bagi tingginya pertambahan penduduk pendatang di Bali yang memperebutkan berbagai peluang ekonomi yang tercipta berkat berkembangnya pariwisata. Teori yang beranggapan populasi sebagai varibel penengah sedangkan variabel yang bekerja pada pertumbuhan populasi yang mempengaruhi lingkungan, antara lain : kemiskinan, pengangguran, institusi lokal dan negara, faktor budaya, kepemilikan lahan, teknologi, dan kebutuhan sumberdaya. Teori ini lebih sesuai dengan kondisi yang terjadi karena kebutuhan air tidak secara langsung disebabkan oleh populasi semata namun hanya sebagai perantara melalui kebutuhan air pada sektor lain yang dikuasai oleh populasi. Kata Kunci : penduduk, sumber daya air, teori kependudukan, degradasi

Latar Belakang Air bersih merupakan salah satu kebutuhan hidup terpenting setiap mahluk hidup. Air bersih dimanfaatkan demi kelangsungan hidup dan kebutuhan domestik lainnya. Namun kebutuhan air bersih yang terus meningkat oleh karena peningkatan jumlah penduduk akan berbenturan dengan ketersediaan air bersih di wilayah tersebut. Hal ini terjadi di Pulau Bali sebagai salah satu tujuan wisata yang paling diminati karena kebudayaan dan keindahan alamnya. Melajunya industri pariwisata Bali menjadi faktor pendorong terus berkembangnya pembangunan infrastruktur sebagai akomodasi para wisatawan menyebabkan berkurang area terbuka sebagai area tangkapan air. Dampak lain dari melajunya pariwisata Bali adalah meningkatnya jumlah penduduk di Pulau Bali baik dari kenaikan jumlah kelahiran ataupun migrasi. Hasil sensus penduduk dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) provinsi Bali akhir tahun 2009 lalu, kepadatan penduduk per km2 untuk kab. Jembrana terhitung 321; kab. Tabanan terhitung 503; kab. Badung terhitung 928; kab. Gianyar terhitung 1.081; kab. Klungkung terhitung 584; kab. Bangli terhitung 516; kab. Buleleng terhitung 479; dan kotamadya Denpasar terhitung 3.978. Konsekuensi dari dibukanya Bali bagi pengembangan industri pariwisata yang cenderung massal berakibat kepada degradasi lingkungan dalam berbagai ranah, seperti
Paper Kependudukan dan LH, 2011 1

berkurangnya ruang publik pantai, perusakan sempadan sungai oleh pembangunan hotel atau villa, penggerusan air tanah secara berlebihan untuk lapangan golf dan restoran. Selain itu magnet pariwisata tersebut juga berdampak terhadap tingginya pertambahan penduduk pendatang di Bali yang memperebutkan berbagai peluang ekonomi yang tercipta berkat berkembangnya pariwisata. Penduduk migran dengan kelas kemampuan ekonomi rendah juga ikut memberikan tekanan terhadap sumber daya Bali, khususnya didaerah perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan pariwisata (Sukma, tanpa tahun).

Permasalahan Fenomena krisis sumber daya air cenderung tidak disadari tingkat urgensinya. Padahal faktanya krisis air hampir terjadi di semua daerah. Hal ini dapat dibuktikan pada saat berlangsung musim kemarau. Penyebabnya adalah selain pertambahan populasi, perubahan iklim juga karena konversi hutan di hulu, perubahan areal vegetasi menjadi kepentingan bisnis skala besar dan infrastruktur, serta gagalnya negara menjalankan program rehabilitasi kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah faktor pendorong krisis air (Suardana, 2010). Disebutkan banyak faktor dapat mendorong hadirnya krisis air bersih, salah satunya adalah pertambahan populasi. Hal ini menjadi topik pembahasan dalam paper ini berkaitan dengan peranan pertumbuhan populasi dalam kerusakan lingkungan yang mencakup fenomena krisis ketersedian air bersih di kotamadya Denpasar, provinsi Bali. Adapun tujuan penulisan paper ini adalah menganalisis kaitan salah satu teori tentang hubungan antara fenomena kerusakan lingkungan dan pertumbuhan populasi dengan menggunakan metode penulisan kompilasi studi pustaka dari berbagai sumber. Wilayah Studi Pulau Bali secara geometri terletak di antara 825 23 LS dan 11514 55 BT . Secara administratif Pulau Bali berbatasan dengan: Sebelah Timur Sebelah Utara Sebelah Barat Sebelah Selatan : : : : Selat Lombok (Provinsi NTB) Laut Bali Selat Bali (Provinsi Jawa Timur) Samudra Indonesia

Secara administrasi, Provinsi Bali terbagi menjadi delapan kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Karangasem, Klungkung, Bangli, Buleleng, dan Kota Denpasar yang juga merupakan ibukota provinsi. Selain itu, Pulau Bali juga terdiri dari pulau-pulau kecil lainnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan di wilayah Kabupaten Klungkung, Pulau Serangan di wilayah Kota Denpasar, dan Pulau Menjangan di Kabupaten Buleleng. Luas total wilayah Provinsi Bali adalah 5.634,40 ha dengan panjang pantai mencapai 529 km (http://www.baliprov.go.id).

Paper Kependudukan dan LH, 2011

Data Populasi
Kabupaten/ Kota (1) 1. Jembrana 2. Tabanan 3. Badung 4. Gianyar 5. Klungkung 6. Bangli 7. Karangasem 8. Buleleng 9. Denpasar Total: 2009 2008 2007 2006 2005 5 636.66 5 636.66 5 636.66 5 636.66 5 636.66 879 685 858 457 833 789 815 074 796 186 1 739 526 1 709 894 1 692 289 1 658 695 1 623 426 1 732 426 1 699 951 1 680 591 1 651 612 1 624 346 3 471 952 3 409 845 3 372 880 3 310 307 3 247 772 100 101 101 100 100 616 605 598 587 576 Luas (km) (2) 841.80 839.33 418.52 368.00 315.00 520.81 839.54 1 365.88 127.78 Rumah tangga (3) 77 354 114 291 95 553 90 750 47 168 50 691 114 986 172 540 116 172 Jumlah Penduduk Pria (4) 134 744 209 434 195 206 199 057 90 419 106 637 216 401 327 309 260 319 Wanita (5) 135 840 212 409 193 308 198 920 93 616 107 171 216 390 326 752 248 020 Jumlah (6) 270 584 421 843 388 514 397 977 184 035 213 808 432 791 654 061 508 339 Sex Kepadatan Ratio per km (7) 99 99 101 100 97 100 100 100 105 (8) 321 503 928 1 081 584 411 516 479 3 978

Paper Kependudukan dan LH, 2011

Sumber: BPS Provinsi Bali (Hasil Registrasi Penduduk) Sumber: BPS Provinsi Bali, 2009.

Dari tabel diatas menunjukkan pertumbuhan penduduk di seluruh kabupaten dan kota di pulau Bali cenderung bertambah dari tahun ke tahun. Kepadatan penduduk tertinggi dicapai oleh kota Denpasar, sebagai pusat perekonomian dan ibu kota provinsi. Pembangunan infrastrukur dan sarana fasilitas seperti untuk kesehatan, pendidikan, pasar besar, dan akomodasi pari isata cenderung berpusat di kota Denpasar. Kota Denpasar yang terletak di wilayah selatan Pulau Bali dan dengan kepadatan yang tinggi, menimbulkan prediksi wilayah ini akan mengalami krisis air di tahun 2015 mendatang (http:// news.okezone.com). Ketersediaan Air Tanah Purnama (2009) menghitung dari aspek lingkungan, jika kuantitas pemanfaatan air tanah belum melampaui hasil aman atau masih jauh dari kuantitas imbuhan, maka kemungkinan besar tidak terlalu menimbulkan banyak masalah lingkungan. Dari data curah hujan diketahui curah hujan ratarata di Pulau Bali adalah sebesar 2.120 mm/tahun. Berdasarkan beberapa penelitian diketahui bahwa laju evapotranspirasi di daerah tropis adalah sekitar 4,5 mm/ hari. Nilai debit aliran diketahui dari data debit sungai pada setiap sub SWS di daerah penelitian. Luas Pulau Bali sebesar 5.440 km2, berdasarkan konsep neraca air DAS dapat dihitung timbunan air tanahnya didapat 693.296.200 m3/tahun. Sedangkan menurut Purbawa & Wiryajaya (2009) menghitung ketersediaan air tanah di Pulau Bali menggunakan metode Thornthwaite and Mather (1957). Data masukan yang digunakan antara lain: curah hujan, evapotranspirasi potensial (ETP), kandungan air tanah pada tingkat kapasitas lapang (KL), kandungan air tanah pada tingkat titik layu permanent (TLP). Hasil perhitungan dituang dalam gambar sebaran ketersediaan air tanah berikut ini:

Ketersediaan air tanah bulan Januari

Ketersediaan air tanah bulan April

Bulan Januari seluruh daerah di Bali mengalami musim penghujan, bahkan sebagian besar mengalami puncak

Bulan April diperoleh tingkat ketersediaan air tanah pada beberapa daerah pesisir di sebagian Bali Utara, Bali Selatan, dan Bali

Paper Kependudukan dan LH, 2011

musim hujan. Dengan kondisi seperti itu maka kondisi tanah pun cukup basah.

Timur sudah berada pada tingkat Sedang. Sedangkan daerah lainnya masih berada pada tingkat Cukup. Kondisi tersebut disebabkan karena pada bulan April, beberapa daerah di Bali sudah mulai memasuki musim peralihan.

Ketersediaan air tanah bulan Juli

Ketersediaan air tanah bulan Oktober

Bulan Juli diperoleh tingkat ketersediaan air tanah pada tingkat Kurang semakin meluas terutama terjadi di daerah pesisir pantai dan dataran rendah di sepanjang Bali bagian Utara dan Selatan. Hal ini sebagai dampak dari berlangsungnya musim kemarau yang makin menguat hingga mencapai puncaknya pada bulan Agustus.
Sumber: Purbawa & Wiryajaya (2009).

Bulan Oktober, ketersediaan air tanah pada


tingkat Cukup makin meluas dan pada tingkat Kurang mulai menyempit. Kondisi tersebut terjadi karena memasuki bulan Oktober, beberapa daerah di Bali sudah memasuki musim hujan.

Kesimpulan yang diperoleh dari perhitungan tersebut yaitu ketersediaan air tanah di Bali sangat dipengaruhi oleh curah hujan, suhu, dan penguapan. Daerah dataran tinggi umumnya memiliki ketersediaan air tanah lebih banyak daripada daerah dataran rendah atau pesisir seperti kotamadya Denpasar. Ketersediaan Air dari sumber lain di Bali Purnama (2009) menyebutkan sungai sungai di Pulau Bali mempunyai pola aliran yang pararel antara satu dengan yang lain. Berdasarkan kondisi alirannya, sungai sungai di Bali dibedakan menjadi 3 tipe yaitu: a. sungai yang aliran mantapnya besar dan dapat bertahan sepanjang tahun; b. sungai yang mempunyai aliran yang besar pada musim hujan, tetapi terancam kering pada musim kemarau (bahkan kering sama sekali), paling tidak pada daerah hilirnya; c. sungai yang hanya mengalir pada waktu-waktu sehabis hujan lebat yang jarang terjadi, merupakan contoh klasik dari sungai Ephemeral. Ditinjau dari perbandingan aliran mantap dan curah hujan tahunannya yang cukup besar, secara umum sungai-sungai di Bali masih cukup baik untuk persediaan air terutama
Paper Kependudukan dan LH, 2011 5

untuk irigasi. Selain sungai, danau juga merupakan sumber persediaan air yang cukup potensial di Pulau ini. Di Bali terdapat 4 buah danau besar yang merupakan danau kawah (crater lake), yaitu Danau Batur (15,9 km2), Danau Buyan (3,9 km2), Danau Bratan (3,8 km2) dan Danau Tamblingan (1,3 km2). Ketersediaan air dari sungai dan danau sepanjang tahun 2009 di Pulau Bali adalah 1.903.678 m3. Sedangkan ketersediaan air dari sumber mata air sepanjang tahun 2009 adalah 7.509.600 m3. Pembahasan Sudarmadji (2006) menyebutkan bahawa jumlah penduduk akan menentukan besar kebutuhan air baku baik untuk keperluan domestik, non domestik dan industri. Kebutuhan air semakin lama semakin meningkat, sejalan dengan meningkatnya kebutuhan hidup manusia, baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Disamping jumlah penduduk, distribusi penyebaran penduduk juga akan mempengaruhi besar kecilnya konsumsi air. Namun, konsekuensi dari dibukanya Bali bagi pengembangan industri pariwisata yang cenderung massal berakibat kepada degradasi lingkungan dalam berbagai ranah, seperti berkurangnya ruang publik pantai, perusakan sempadan sungai oleh pembangunan hotel atau villa, penggerusan air tanah secara berlebihan untuk lapangan golf dan restoran. Sektor pariwisata menyumbang cukup besar terhadap degradasi lingkungan alam Bali. Selain itu magnet pariwisata tersebut juga berdampak terhadap tingginya pertambahan penduduk pendatang di Bali yang memperebutkan berbagai peluang ekonomi yang tercipta berkat berkembangnya pariwisata. Penduduk migran dengan kelas kemampuan ekonomi rendah juga ikut memberikan tekanan terhadap sumber daya Bali, khususnya didaerah perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan pariwisata (Sukma, tanpa tahun). Hasil perhitungan neraca airnya yaitu rasio antara kebutuhan dan ketersediaan air, maka neraca air di Pulau Bali adalah sebesar 47%. Kriteria neraca air menurut Direktorat Pengairan adalah 50%-70% berarti mendekati titik kritis, 75%-100% tingkat kritis dan lebih dari 100% berarti sangat kritis. Berdasarkan kriteria ini, neraca air di Pulau Bali dapat dikatakan hampir mendekati titik kritis (Purnama, 2009).

Paper Kependudukan dan LH, 2011

Perhitungan diatas menunjukkan kebutuhan air yang paling besar adalah irigasi mencapai 915.733.000 m3 per tahunnya. Dibandingkan dengan kebutuhan air untuk domestik yang hanya 121.276.260 m3 per tahun. Perhitungan ini mewakili kondisi kebutuhan air di seluruh pulau Bali, namun lahan pertanian banyak dijumpai di daerah di luar kota Denpasar. Tata ruang kotamadya Denpasar tidak dijumpai adanya lahan pertanian karena telah banyak dikonversi menjadi sarana permukiman dan infrastruktur objek dan akomodasi pariwisata (www.tatakota.denpasarkota.go.id). Disamping itu, kepadatan penduduk antara kota Denpasar dengan kabupaten-kabupaten lainnya sangat jauh berbeda dan akan mempengaruhi perhitungan kebutuhan air untuk domestik dan industri dan hotel khususnya di wilayah kota Denpasar. Air yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata berdasarkan data primer Bapedal Wilayah II (1998) adalah 2000 5000 liter/hari/kamar, jumlah yang sama banyak dengan air di dalam 4 10 drum minyak tanah. Sementara untuk saat ini jumlah kamar ratarata yang harus dipenuhi kebutuhan airnya di salah satu lokasi perhotelan di Denpasar yakni Nusa Dua adalah 4000 kamar dari 10 hotel berbintang yang berarti membutuhkan air 8 juta liter/hari. Rata-rata tingkat hunian kamar di Nusa Dua adalah 80% yang berarti dalam sebulan membutuhkan 192 juta liter air. Kebutuhan air yang begitu besar untuk pariwisata, terutama untuk hotel berbintang saat ini sebagian besar diperoleh dari mata air Gembrong yang terletak di Daerah Aliran Sungai (DAS) Yeh Ho, Kabupaten Tabanan, Bali. Padahal mata air tersebut juga harus mengairi 5175 ha lahan sawah di DAS Yeh Ho (Kurnianingsih, 2010). Fenomena kebutuhan air di pulau Bali dengan neraca air yang dikategorikan mendekati titik kritis tidak dapat dikaitkan dengan 4 teori kependudukan yang diurai oleh Carole L. Jolly. Konsep neoclasical ekonomi yang menyatakan bahwa degradasi lingkungan dapat terjadi jika pasar tidak berfungsi dengan efisien karena adanya distorsi harga tidak mewakili apa yang terjadi. Konsep Neo-Malthusians yang menekankan pada jumlah sumberdaya alam yang tetap dan batasan daya dukung bagi manusia. Degradasi lingkungan
Paper Kependudukan dan LH, 2011 7

terjadi ketika terjadi pertumbuhan populasi disertai dengan distribusi kekayaan yang tidak merata, tidak mewakili fenomena kebutuhan air di pulau Bali karena pada perhitungan menunjukkan kebutuhan air terbesar di Bali adalah pada sektor pertanian. Konsep ketiga yang beranggapan bahwa kemiskinan adalah akar penyebab dari hubungan antara degradasi lingkungan, kurang tepat untuk digunakan menjelaskan kondisi neraca air pulau Bali yang mendekati titik kritis. Sedangkan teori terakhir yang beranggapan populasi sebagai varibel penengah sedangkan variabel yang bekerja pada pertumbuhan populasi yang mempengaruhi lingkungan, antara lain : kemiskinan, pengangguran, institusi lokal dan negara, faktor budaya, kepemilikan lahan, teknologi, dan kebutuhan sumberdaya. Teori ini lebih sesuai dengan kondisi yang terjadi karena kebutuhan air tidak secara langsung disebabkan oleh populasi semata namun hanya sebagai perantara melalui kebutuhan air pada sektor lain yang dikuasai oleh populasi. Kesimpulan Kebutuhan air bersih bagi pariwisata dan kebutuhan lainnya memerlukan perhatian dan kebijakan dari pemerintah untuk menjaga mekanisme pemanfaatan air tetap terjaga. Penerapan solusi seperti peningkatan pajak air tanah, pembangunan bendungan-bendungan, dan pengembangan sarana penyediaan air bersih dari investor asing bekerja sama dengan pemda Bali diharapkan dapat mengatasi konflik pemanfaatan air bersih. Referensi: http://bali.bps.go.id/tabel_detail.php?ed=604001&od=4&id=4 http://news.okezone.com/read/2011/05/04/340/453213/krisis -air-bersih-2015-bali-siapkanbendungan Kurnianingsih, A., 2010. Ketika 5000 Ha Lahan Sawah Bersaing Air dengan 4000 Kamar Hotel Berbintang. Lokatulis Universitas Udayana, Denpasar. Suardana, I.W., 2010. Krisis Air di Bali dan Konflik yang Menyertai. http://walhibali.org. Sudarmadji, 2006. Perubahan Kualitas Air Tanah di Sekitar Sumber Pencemar Akibat Bencana Gempa Bumi. Forum Geografi 20(2):91-119. Sukma A., tanpa tahun. Krisis Lingkungan Bali dan Peluang Ekowisata. Jurnal Ekonomi dan Sosial, Universitas Udayana Bali. Purbawa, I.G.A. dan Wiryajaya, I.N.G., 2009. Analisis Spasial Normal Ketersediaan Air Tanah Bulanan di Provinsi Bali. Buletin Meteorologi Klimatologi dan Geofisika vol 5(2). ISSN 0251-1952. Purnama S., 2009. Neraca Air di Pulau Bali. Forum Geografi vol 23(1):57-70. www.tatakota.denpasarkota.go.id

Paper Kependudukan dan LH, 2011

Anda mungkin juga menyukai