Anda di halaman 1dari 30

DAMPAK CAFTA TERHADAP EKSPOR KAKAO (Theobroma cacao) INDONESIA KE CHINA I. A.

Latar Belakang PENDAHULUAN

Liberalisasi perdagangan merupakan fenomena dunia yang tidak dapat dihindari oleh semua negara sebagai anggota masyarakat internasional. Fenomena ini terlihat dari terbentuknya blok -blok

perdagangan bebas, yang menurut Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/ WTO) pada tahun 2002 sudah hampir mencapai angka 250, antara lain, berbagai jenis kerjasama perdagangan regional seperti APEC, North America Free Trade Area (NAFTA), ASEAN Free Trade Area (AFTA), dan Cina-ASEAN Free Trade Area (CAFTA). Perhimpunan bangsa-bangsa di Asia Tenggara yang lebih dikenal dengan sebutan ASEAN (Association of South East Asian Nations )

merupakankerjasama regional yang didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok. Pada tahun 1992, diadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-IV di Singapura di mana pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan untuk pembentukan AFTA (ASEAN Free Trade Area). AFTA disepakati karena sebelumnya skema perdagangan preferensi antar anggota ASEAN yaitu ASEAN Prefential Trading

Arrangement (PTA) dianggap kuran g berhasil dalam meningkatkan volume perdagangan intra -ASEAN. Sejak 1 Januari 2010 Indonesia telah membuka pasar dalam negeri secara luas kepada negara -negara ASEAN dan Cina. Pembukaan

pasar ini merupakan perwujudan dari perjanjian perdagangan bebas antara enam negara anggota ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina dan Brunei Darussalam) dengan Cina, yang disebut dengan ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA). Produk-produk

impor dari ASEAN dan China akan lebih mudah masuk ke Indonesia dan lebih murah karena adanya pengurangan tarif dan penghapusan tarif, serta tarif akan menjadi nol persen dalam jangka waktu tiga tahun (Dewitari,dkk 2009). Sebaliknya, Indonesia juga memiliki kesempatan yang sama untuk memasuki pasar dalam negri negara -negara ASEAN dan Cina. Beberapa kalangan menerima pemberlakuan ACFTA sebagai kesempatan, tetapi di sisi lain ada juga yang menolaknya karena dipandang sebagai ancaman. Dalam ACFTA, kesempatan atau ancaman (Jiwayana, 2010) ditunjukkan bahwa bagi kalangan p enerima, ACFTA dipandang positif karena bisa memberikan banyak keuntungan bagi Indonesia. Pertama, Indonesia akan memiliki pemasukan tambahan dari PPN produk-produk baru yang masuk ke Indonesia. Tambahan

pemasukan itu seiring dengan makin banyaknya obyek p ajak dalam bentuk jenis dan jumlah produk yang masuk ke Indonesia. Beragamnya produk China yang masuk ke Indonesia dinilai berpotensi besar mendatangkan pendapatan pajak bagi pemerintah. Kedua, persaingan usaha yang muncul akibat ACFTA diharapkan memicu persaingan harga

yang kompetitif sehingga pada akhirnya akan menguntungkan konsumen (penduduk / pedagang Indonesia).
Bila

kalangan

penerima

memandang

ACFTA

sebagai

kesempatan, kalangan yang menolak memandang ACFTA sebagai ancaman dengan berbagai alasan. ACF TA, diantaranya, berpotensi membangkrutkan banyak perusahaan dalam negeri. Bangkrutnya

perusahaan dalam negeri merupakan imbas dari membanjirnya produk China yang ditakutkan dan memang sudah terbukti memiliki harga lebih murah. Secara perlahan ketika kelan gsungan industri mengalami

kebangkrutan maka pekerja lokal pun akan terancam pemutusan hubungan kerja (PHK). Tekanan dari kalangan pengusaha industri agar pelaksanaan ACFTA ditunda menandakan besarnya pengaruh negatif terhadap industri di Indonesia. Sementara itu pemerintah tetap menjalankan kesepakatan dengan tetap mengkaji dan mengevaluasi berbagai hal untuk dapat tetap meningkatkan daya saing Indonesia antara lain terkait dengan prasarana, biaya ekonomi tinggi, biaya transportasi, dan sektor makro lainn ya. (Mari Elka Pangestu 2010, Wawancara dalam Media Indonesia, 23 Februari). Karena sekalipun pemerintah menunda pelaksanaan ACFTA untuk waktu tertentu bagi produk-produk tertentu, pada akhirnya perlindungan tersebut juga harus dihilangkan sesuai kesepakatan. Jika pemerintah melanggar kesepakatan dan melindungi industri dalam negeri, konsumen dirugikan

karena harus membayar produk dengan harga lebih mahal dan perekonomian menjadi tak berkembang. Kakao (Theobroma cacao) merupakan tanaman tahunan yang menjadi salah satu unggulan ekspor non migas Indonesia. Kakao berpotensi tetap menjadi produk unggulan pertanian di Indonesia karena iklim Indonesia yang tropis dan dapat memenuhi syarat tumbuh tanaman tersebut. Berdasarkan Sinartani (2011), Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga dunia dengan total produksi m encapai 550.000 metric ton (2009). Untuk peningkatan produksi dan mutu pemerintah melakukan gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional atau GERNAS KAKAO 2009. Apabila gernas ini berhasil, bukan tak mungkin pada suatu saat Indonesia akan mampu menduduki peringkat satu menggantikan Ghana dan Pantai Gading. Indonesia merupakan prod usen kakao dunia pada urutan ke tiga (lihat Tabel l.) Produksi kako Indonesia meningkat pada periode 2009/2010, dan periode berikutnya menurun perode 2010/2011 .
Tabel 1. Produksi Kakao Dunia, 200 8-2011 (000 ton) Kelompok Negara 2008/2009 2009/2010 2010/201 1 Cote dIvoire Ghana Indonesia Nigeria Total Dunia

1.222 662 490 250 3.602

1.242 662 550 240 3.647

1.325 825 500 240 3.938

Sumber: International Cocoa Organization , 2011

Meskipun produsen kakao terbesar berasal dari negara berkembang berdasarkan benua, namun yang tingkat konsumsi terbesar kakao masih didominasi oleh negara -negara maju telah mengembangkan produk hilir kakaonya menjadi produk yang bernilai tambah lebih tinggi. Apabila diurutkan berdasarkan benua maka akan terlihat seperti Gambar 1.1.

Sumber: International Cocoa Organization, 20 06/2007

Dari Gambar 1.1 dapat diketahui bahwa pengimpor terbesar biji kakao berasal dari benua Eropa disusul oleh benua Amerika, Asia dan Afrika pada urutan keempat.. Berdasarkan data Eurostat tahun 2004, untuk kakao dan produk kakao yang masuk dalam HS dua digit (HS 18), pada tahun 2004 negara pemasok kakao utama ke UE-25 adalah Pantai Gading dengan pangsa sebesar 41,54 persen dari total impor UE dan berturut -turut diikuti oleh Ghana sebesar 1 9,54 persen, Nigeria sebesar 9,20 persen, Swiss sebesar 7,27 persen, Kamerun sebesar 5,21 persen dan Indonesia berada diurutan ke enam dengan pangsa pasar sebesar 2,46 persen.

Benua Asia merupakan pengimpor ketiga biji kakao dunia. Malaysia dan Singapura merupakan negara tujuan utama ekspor kakao Indonesia, di mana kedua negara tersebut menempati urutan pertama dan ketiga, Di sisi lain Cina adalah negara tujuan ekspor Indonesia pada peringkat ke delapan. Hal ini terlihat pada Tabel 1.2 Tabel 1.2 Perkembangan Volume Ekspor Kakao Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan, 2004-2008 (dalam ton)
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Negara Tujuan Malaysia Amerika Serikat Singapura Brasil Prancis Belanda Australia China Kanada Thailand Lainnya Total 2004 128.124.503 105.414.562 34.204.235 16.007.517 7.960.374 4.512.956 4.760.808 14.940.285 3.585.000 6.729.456 41.778.046 368.017.742 2005 158.577.277 126.595.271 31.963.559 28.371.271 9.232.673 7.664.788 5.106.483 19.187.691 5.300.000 10.172.638 62.982.321 465.153.972 2006 196.550.329 153.534.732 45.489.775 68.549.269 8.096.504 12.919.366 9.486.697 22.602.775 11.450.522 9.582.622 73.860.934 612.123.525 2007 193.982.291 76.202.212 45.381.708 45.789.166 8.890.321 9.643.678 9.857.057 24.556.135 7.680.001 8.516.877 73.023.633 503.523.079 2008 219.492.405 79.055.616 46.376.720 33.156.756 9.552.516 9.391.816 9.088.820 21.761.811 13.200.000 9.601.285 64.860.951 515.538.696 Trend (%) 14,89 -1,31 9,43 39,52 5,23 27,61 22,29 10,87 50,71 11,74 13,93 10,66

Sumber : Ditjen PPHP, Deptan, 2009 (diolah)

Dari Tabel 1.2 dapat diketahui bahwa perkembangan kakao Indonesia ke Cina memiliki trend yang positif. Meskipun Cina masih menempati urutan ke delapan tujuan ekspor kakao Indonesia namun Cina berpotensi menjadi salah satu negara tujua n utama ekspor biji kakao Indonesia. Adapun beberapa peluang yang dapat diambil oleh Indonesia di negara Cina dalam meningkatkan pangsa pasar biji kakaonya yaitu jumlah penduduk negara Cina yang besar, meningkatnya kerjasama antara pelaku

bisnis di kedua negara dengan terbentuknya berbagai macam kesepakatan seperti CAFTA, meningkatnya kepastian bagi produk unggulan Indonesia dalam memanfaatkan peluang pasar Cina dan teknologi antara pelaku bisnis di kedua negara. Kakao Indonesia memiliki keunggulan yaitu tidak mudah meleleh sehingga cocok digunakan untuk blending. Apabila difermentasi dan diolah dengan baik, maka kualitasnya dapat mengalahkan kakao Ghana. Pasar kakao Indonesia juga berpotensi untuk tetap naik apalagi kondisi Indonesia lebih baik daripada kedua negara pesaing tersebut. Beberapa negara kosumen kakao beralih ke Indonesia karena kondisi keamanan Pantai Gading yang tidak stabil karena perang saudara. Selain itu juga kebijakan pembatasan ekspor kakao oleh Pantai Gading akan me mberi keuntungan untuk industri hilir kakao dalam negeri. Akibat kebijakan tersebut, otomatis permintaan kakao dunia akan banyak yang beralih ke Indonesia, begitupun dengan China . Ketua Asosiasi Industri Kakao Indonesia Piter Jasman mengatakan keuntungan industri hilir berupa tambahan investasi. Tanaman terbukanya transfer

perkebunan ini telah mendorong dunia agribisn is Indonesia menjadi lebih bergairah. Hal ini dibuktikan dengan penyerapan tenaga kerja yang cukup besar. Daerah penghasil kakao dengan urutan sebagai berikut; S ulawesi Selatan 184.000 (31,9%), Sulawesi Tengah 137.000 ton (23,7%), Sulawesi Tenggara 111.000 ton (19,2%), Sulawesi Barat 76.743 ton ( 13,8 %), Sulawesi Utara 21.000 Ton(3,6 %), Lampung 17.000 ton (2,9%),

Kalimantan Timur 15.000 Ton (2,6%) dan daerah lai nnya 15.257 ton (2,6%). Menurut usahanya perkebunan kakao Indonesia dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok yaitu; Perkebunan Rakyat 887.735 Ha (87,4%) Perkebunan Negara 49.976 Ha (6%) dan Perkebunan Swasta

54.737 Ha (6,7%), (Deptan, 2010). Industri kakao Indonesia kedepan memiliki peranan penting khususnya dalam perolehan devisa negara dan penyerapan tenaga kerja, karena industri ini memiliki keterkaitan yang luas baik ke hulu maupun ke hilirnya. Disamping memberikan pendapatan bagi petani melalui penjualan biji kakao, namun apabila diolah di dalam negeri menjadi kakao olahan (cocoa liquor, cocoa cake, cocoa butter, dan cocoa powder), akan mempunyai nilai yang lebih tinggi serta menyerap tenaga kerja. Selain itu industri hilir olahan kakao juga tela h berkembang di Indonesia seperti industri cokelat, industri makanan berbasis cokelat (roti, kue,

confectionary/kembang gula cokelat), dan penggunaan coklat untuk industri makanan dan minuman secara luas.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang d i atas maka rumusan masalah yang dapat dikemukakan adalah Bagaimana dampak CAFTA terhadap ekspor Kakao Indonesia ke China ?

II. A. Peluang Ekspor Kakao

PEMBAHASAN

Varietas kakao yang umumnya ditanam di perkebunan kakao di Indonesia adalah varietas Criolo ( Fine Cocoa), Forastero (Bulk Cocoa) dan Trinitario (Hybrid). Dari ketiga jenis tersebut, yang memiliki tingkat produksi tinggi adalah varietas Forastero terutama kultivar Upper Amazone Hybrid (UAH). UAH juga cepat mengalami masa generatif setelah 2 tahun dan tahan penyakit VSD (Vascular Streak Dieback). Hasil produksi tanaman yang tinggi dapat dimungkinkan dengan memenuhi semua syarat tumbuh, pengadaan bibit yang berkualitas tinggi dan manajemen lahan yang baik. Banyak daerah di Indonesia yang cocok untuk lokasi tanam kakao karena dapat memenuhi syarat tanaman kakao. Pengadaan bibit kakao kualitas tinggi sudah mulai dikembangkan dengan penggunaan teknik Somatic Embryogenesis (SE) sehingg diharapkan dapat mendukung penyediaan bibit klonal skala massa. Namun, manajemen lahan kakao di Indonesia masih belum optimal, masih butuh perbaikan. Beberapa tahapan harus dilewati dalam pembudidayaan kakao, dimulai dengan pembuakaan lahan, pembibitan, penanam tanaman pelindung, penanaman bibit, pemeliharaan (penyiraman, peman gkasan, penyiangan gulma, proteksi terhadap hama dan penyakit, dan panen. Selanjutnya adalah pascapanen yang terdri atas pemeraman, pemecahan buah, fermentasi, perendaman dan pencucian, penyortiran dan

penyimpanan. Tahapan tersebut menggambarkan bahwa indu stri kakao di

Indonesia berpotensi meluas bahkan sampai ke industri hilir dan pengolahan kakao lebih lanjut menjadi produk siap pakai. Indonesia termasuk ke dalam jajaran produsen kakao terbesar dunia namun kebutuhan kakao dalam negeri masih sedikit. Tiga per empat dari produksi kakao Indonesia diekspor di dalam negeri sementara seperempat lainnya digunakan untuk industri dalam negeri. Impor kakao Indonesia juga kecil, bahkan ada kecenderungan penurunan impor biji. Indonesia lebih mengimpor kakao dalam bent uk makanan jadi atau produk-produk yang mengandung kakao. Negara penghasil kakao/cokelat terbesar adalah Belanda, padahal negara ini juga termasuk dala m pengimpor biji kakao terbesar (Sinartani, 2007). Sesuai dengan tujuan pelaksanaan CAFTA, beberapa manfaat khususnya untuk sektor pertanian antara lain : (a) peningkatan volume perdagangan produk pertanian melalui penurunan tarif bea masuk di negara RRC yang penduduknya terbesar di dunia dan merupakan salah satu negara dengan tingkat pertu mbuhan ekonomi tertinggi di dunia; (b) peningkatan kerjasama investasi; (c) kerjasama ekonomi melalui kerjasama peningkatan capacity building (Achin, 2010) Walaupun CAFTA, mengingat pengelolaan produksi pertanian oleh petani RRC sudah maju dan sangat efisien maka pemerintah dan para pelaku usaha agrisbisnis Indonesia dituntut untuk dapat

meningkatkan daya saing komoditas khususnya untuk produk sayuran dan buah-buahan.

Di tengah gelombang pesimisme yang menghinggapi industri dalam negeri terkait Free Tr ade Agreement (FTA) ASEAN-China, berhembus secercah harapan. Ternyata masih terdapat produk -produk UMKM yang dinilai memiliki peluang untuk memanfaatkan celah pemberlakuan bea masuk nol tersebut. "Potensi FTA luar biasa bagi UKM. Dulu, jika produk Indonesia mau masuk ke China, terhambat bea masuk. Tapi, sekarang dengan bea masuk nol, seharusnya bisa lebih banyak lagi masuk. Kementerian Negara Koperasi dan Trijaya UKM I Wayan FM di Dipta usai diskusi (9/1). yang Wayan

diselenggarakan

Jakarta,

Sabtu

mencontohkan, Indonesia memiliki peluang untuk memperluas pasar ekspor produk cokelat atau kakao. Berdasarkan data BPS, peningkatan ekspor sektor nonmigas terbesar pada November 2009 terjadi pada kakao. Nilai ekspor kakao meningkat sebesar US$21 juta dari US$135,4 juta pada Oktober 2009 menjadi US$156,4 juta pada November 2009. Jika dilihat pada periode Januari -November 2009, nilai ekspor kakao juga mengalami peningkatan menjadi US$1,232 miliar dari US$1,145 miliar pada periode yang sama tahun 2008 (Thimoty, 2010) . Pada pertemuan bilateral disela sidang ke 21 TNC/TNG ACFTA, Delegasi China menawarkan konsesi tariff bebas bea masuk (0%) atas produk cocoa powder Indonesia ke China atau turun dari 15 %.yang berlaku saat ini. Sebagai kompensasinya China mengusulkan agar

Indonesia dapat memberikan preferensi tarif (0%) untuk produk chili powder, atau turun dari 5% yang berlaku saat ini. Dalam rangka mensosialisasikan implementasi Normal Track ACFTA dan hasil sidang TNC/TNG ACFTA ke 21, telah diadakan rapat di Ditjen PPHP pada bulan Juni 2006 yang diikuti instansi terkait, stakeholder pertanian. Khusus mengenai usulan China mengenai konsesi penurunan tarif bea masuk cocoa powder dari 15% ke 0%, asosiasi kakao yang hadir sangat mendukung usulan tersebut. Indonesia berpeluang untuk meningkatkan ekspor produk kakao olahan tersebut ke China mengingat pasar China yang sangat besar, dilain pihak Malaysia yang merupakan pesaing utama produk kakao Indonesia telah lama menikmati bea masuk 0% ke RRC untuk produk kakao olahan.
B. KEBIJAKAN BEA KELUAR EKSPOR KAKAO

Kondisi kakao saat ini (i) adalah 70 % ekspor kakao Indonesia masih dalam bentuk biji, di mana 60 % dari ekspor biji kakao Indonesia didominir oleh Malaysia, (ii) Kesepakatan ASEAN dalam konteks CEPT bea masuk produk kakao olahan antar negara ASEAN menjadi bebas tahun 2010 yang lalu. Dengan prediksi tentang kepastian membanjirnya produk kakao olahan Malaysia melalui kemudahan kemudahan tadi dan kenyataan ketergantungan Malaysia akan biji kakao Indonesia maka dapat diperkirakan indu stri kakao dalam negeri yang pada tahun 2005 berjumlah 16 tetapi saat ini hanya tinggal 2 yang beroperasi normal.

Menyadari kondisi ini Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67 Tahun 2010 tentang Penetapan barang Ekspor yang Dikenakan Bea keluar memberlakukan Bea Keluar (BK) kakao sebesar 515 % mulai 1 April lalu. Kebijakan ini diharapkan akan mendorong utilisasi produksi, industri pengolahan kakao dan mendorong petani untuk melakukan fermentasi biji kakao. Pemberlakuan BK kakao diharapkan untuk meningkatkan nilai tambah sebanyak mungkin di dalam negeri. Dari total produksi kakao sebanyak 70 % masih diekspor dan sebagian besar dalam bentuk mentah. Akibatnya, kakao Indonesia terkena automatic detention di AS sebesar U$ 100-300 per ton. Sementara itu, industri kakao dalam negeri tidak mampu tumbuh karena kekurangan bahan baku. Diyakini Gerakan nasional (Gernas) kakao akan berhasil, sehingga produksi akan naik. Jika hanya mengandalkan ekspor, akan terjadi over su plai di dalam negeri. Industri dalam negeri harus didorong mulai saat ini agar melakukan diversifikasi produk dan harus bisa menghasilkan intermediate product. Pengenaan BK (Bea Keluar) Kakao terbukti efektif meningkatkan industri pengolahan hasil kakao di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan industri yang selama ini mati suri sudah mulai beroperasi kembali, industri yang sedang beroperasi melakukan ekspansi dan i nvestor baru dari luar negeri berdatangan untuk membuka pabrik di sini. Menurut, Azwar AB, Direktur Tanaman Rempah dan Penyegar, Ditjen Perkebunan

menyatakan bahwa, "Ada delapan perusahaan yang tadinya berhenti

sekarang sudah beroperasi kembali, satu perus ahaan menambah kapasitas dari 40.000 ton/tahun jadi 80.000 ton. Sedang investor asing yang sudah pasti masuk adalah ADM Singapura dan Guanchong Malaysia." Harga di tingkat petani juga tidak turun. Tim dari Ditjenbun sudah melakukan survei harga di Sumatera Barat, Bali dan Sulawesi Tenggara. Harga kakao fermentasi tetap seperti harga terminal New York, sedang harga non fermentasi tetap lebih rendah ketimbang fermentasi. Sebelum BK harga kakao di Sumbar Rp21.000 -Rp24.000/ kg setelah BK Rp20.000 Rp22.000/kg, Bali sebelum BK Rp20.000-Rp27.000/kg sesudah BK Rpl9.000-Rp23.000, Sultra sebelum BK Rpl7.000 -Rp24.000 sesudah BK Rpl9.000-Rp22.000. Sebenarnya pihak yang paling keberatan dengan pengenaan BK adalah negara-negara yang selama ini industrinya hidup karena bah an baku dari Indonesia, yaitu Malaysia, Singapura, Eropa dan Amerika Serikat. Ekspor kakao Indonesia selama ini 60% diserap oleh Malaysia. Dalam forum-forum ASEAN dua negara ini gencar

mempermasalahkan BK Kakao, sedang di dalam negeri lewat asosiasi eksportir menyerang kebijakan ini dengan seolah -olah petani yang dirugikan. Eropa juga melakukan hal yang sama di forum bilateral dan unilateral. Indonesia sebenarnya tidak banyak mengekspor kakao ke Eropa, tetapi pabrik-pabrik pengolahan kakao di Malaysia dan S ingapura sebagian besar milik perusahaan multinasional dari Eropa.

Amerika Serikat langsung memberikan peringatan tidak akan membeli kakao dari Indonesia. Pemerintah tidak menanggapi ancaman ini dengan serius sebab kalau direalisasikan sudah dapat dipastik an industri kakao mereka akan hancur. Amerika Serikat selama ini hanya membeli kakao non fermentasi dengan harga murah dari Indonesia untuk dicampur dengan kakao fermentasi harga tinggi dari Pantai Gading dan Ghana. Tanpa kakao asal Indonesia harga kakao o lahan mereka akan sangat mahal sehingga kalah bersaing. Penerapan BK ini untuk meningkatkan kakao yang diolah di dalam negeri. Sejak zaman penjajahan Belanda kita mengekspor bahan baku, sudah saatnya beralih ke industri olahan . Kakao olahan masuk dalam skema ASEAN-CEPT sehingga sejak 1 Januari 2010 bea masuknya nol. Kondisi ini kalau dibiarkan akan membuat Indonesia dibanjiri kakao olahan Malaysia dan Singapura. Malaysia dengan bebas membeli bahan baku murah dari Indonesia kemudian mengekspor produknya ke I ndonesia. Dengan BK harga pembelian bahan baku dari Indonesia naik sehingga industri kakao olahan Indonesia bisa bersaing dengan Malaysia. Dana hasil dari BK ini tidak bisa langsung dikembalikan pada petani untuk meningkatkan produktivitas kebun mereka. Da na BK masuk dalam APBN. Kementerian Pertanian akan berusaha keras agar danauntuk pengembangan kakao bisa ditingkatkan sejalan dengan semakin besarnya hasil BK Kakao.

Diakui selama ini asosiasi eksportir yang paling lantang berteriak menentang BK Kakao bahkan sampai menyebut pengenaan BK ini tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Padahal di Sulsel dan Sulteng selama ini lewat Perda ada pungutan sebesear Rp50/kg (Sulsel) dan Rp20/kg (Sulteng) yang hasilnya dibagi antara Pemda dan asosiasi eksportir. Padahal pungutan seperti ini yang tidak sesuai dengan UU dan dengan adanya BK seharusnya perda ini langsung tidak berlaku. Mengenai petani pihak yang paling dirugikan, penyebabnya eksportir membebankan pengenaan BK dengan mengurangi harga pembelian dari petani. Pa dahal jelas sekali BK ini merupakan beban eksportir dan bukan petani. "Kementerian Perdagangan akan mencabut izin ekspor bagi eksportir yang membebankan BK pada petani. Setelah telah dikeluarkannya bea keluar untuk kakao melalui Permenkeu No. 67 tahun 2010 (BN No. 7938, hal 19B-24B) mengenai Penetapan Bea Keluar (BK) atas Barang yang Diekspor, maka para petani kakao berharap dapat meningkatkan volume kakao yang difermentasi sampai 10 ribu ton pertahun. Berbicara usai mengadakan pembicaraan dengan Menteri Perindustrian M.S. Hidayat di Jakarta, Selasa (13/4), Ketua Kakao Fermentasi Indonesia (DPN AKFI) Syamsuddin M. Said yang mendampingi Ketua Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Piter Jasman, menyatakan, saat ini dari sekitar 400 ribu ton produksi kakao Indonesia, baru sekitar 10 persen yang sudah difermentasi (fermented).

Menurut Syamsudin (2010), "Dari jumlah 300 s/d 400 ribu ton produksi kakao Indonesia, baru sekitar 10 persen yang sudah melalui proses fermentasi, dan itupun baru terbatas pada tanaman kakao milik BUMN yakni PTPN. Memang biaya fermentasi sebenarnya sangat rendah hanya berkisar antara Rp2 ribu s/d Rp3 ribu/kg, tetapi para petani cenderung melepas kakao mereka sebelum melalui proses fermentasi, karena ada selisih waktu antara 4 s/d 5 hari. Pihak perbankan diharapkan agar untuk sementara waktu, menyangga kebutuhan dana para petan i, yang cenderung melepas kakaonya sebelum difermentasi. Setelah itu, Menperin juga berjanji membahas besarnya suku bunga bank yang pantas untuk langkah tersebut. Petani tentunya menginginkan agar pengenaan BK tersebut dapat dikembalikan kepada petani, untuk meningkatkan produkvitas dan mutu kakao Indonesia, mengingat 90 persen perkebunan kakao di Indonesia dimiliki petani perorangan. Selain itu, mereka juga meminta agar program Gerakan Nasional Kakao, tidak hanya dibatasi sampai tahun 2011, melainkan dilaksanakan secara berkelanjutan.Piter Jasman dalam

kesempatan tersebut juga menegaskan, keluarnya BK tersebut adalah menjadi penyeimbang saat industri nasional mengek spor kakao olahan, dikenai bea masuk antara 6 s/d 30 persen di negara tujuan ekspor. Sementara untuk biji kakao bea masuknya 0%. Maka dengan adanya BK atas biji kakao yang diekspor.maka diharapkan akan tercipta persaingan yang sehat dengan industri di luar negeri.

Salah satu harapan dari industri adalah, kembali bergairahnya industri pengolahan kakao di dalam negeri. Tahun 2001 di mana untuk pembelian biji coklat di dalam negeri masih dikenai PPN, sementara ekspor ke negara tujuan dikenai bea masuk antara 6 s/d 7 persen. Karena itu eksportir lebih suka mengekspor dalam bentuk biji coklat, sebelum diolah. Maka setelah dikenai BK, diharap yang akan diekspor adalah biji coklat yang sudah difermentasi.Pengenaan BK juga diharap akan mampu merelokasi kembali perusahaan industri pengolahan coklat atau pabrik, yang tadinya sempat mencapai 40 perusahaan, kini tinggal tersisa 5 pabrik. Mengapa demikian, sebab negara -negara tetangga seperti Singapura setiap tahun menghasilkan 100 ribu ton biji kakao, demikian juga Indonesia 300 ribu ton, dan Malaysia juga menghasilkan jumlah yang lebih kurang sama. Ada salah satu perusahaan, Maju Bersama di Makassar, yang tadinya mengalami kondisi mati suri, akhirnya siap beroperasi kembali, karena penjualan perusahaan ini dibatalkan, da n perusahaan tersebut akhirnya siap beroperasi kembali. Diperkirakan juga beberapa investor dari Malaysia dan Singapura yang berencana mengadakan relokasi pabriknya ke Indonesia, diharapkan menghidupkan kembali iklim investasi di dalam negeri. Sementara itu permintaan dunia terhadap biji kakao setiap tahun meningkat 5 persen, dengan total produksi dunia mencapai 5,5 juta ton. Bila Indonesia dapat menghasilkan biji kakao yang difermentasi, maka diharapkan produktivitas Indonesia dapat meningkat,

dan pada akhirnya Indonesia tidak hanya menjadi produsen kakao nomor tiga dunia, namun meningkat menjadi penghasil nomor 1 satu, menggantikan posisi Ghana dan Pantai Gading . Petani perlu didukung dan dimotivasi agar menghasilkan biji kakao yang sudah difermentasi, karena yang digunakan harga di terminal London dan New York adalah harga kakao yang fermented. Sementara jika ekspor dilakukan melalui eksportir, mereka yang menentukan harga beli. Karena itu kalaupun kakao Indonesia nantinya lebih banyak diekspor dalam bentuk fermented, diharapkan diskon yang dikenakan para importer juga dapat dikurangi. Selain itu juga di China Cocoa Powder berpotensi besar untuk di ekspor disana, karena bea masuk yang menjadi 0% akibat adanya CAFTA.
C. STANDARISASI PERKAKAOAN INDONESIA

1. Syarat tumbuh Agar diperoleh pertumbuhan dan produksi yang baik, tanaman kakao memerlukan persyaratan tumbuh sebagai berikut (Deptan, 2005): 1) Iklim a. Temperatur udara 180 320 C b. Ketinggian tempat 0 600 m dpl c. Curah hujan 1.250 mm 3000 mm/tahun dengan lamanya bulan kering tidak lebih dari 3 bulan d. Garis lintang 100 LS sampai dengan 100 LU

2) Tanah a. pH tanah optimum 6-7, kisaran toleransi 4,0 - 8,5 b. Kandungan bahan organik minimal 3,5 persen. c. Kedalaman efektif > 150 cm, struktur tanah remah dengan tata udara dan air yang baik. d. Kemiringan tanah < 450. 2. Jenis-jenis kakao yang dikembangkan di Indonesia Berdasarkan pengamatan dan hasil penelitian, jenis kakao yang dikembangkan di Indonesia sebagaimana tertera pada Tabel 2 .1 di bawah ini : Tabel 2.1 Tipe dan Ciri-Ciri Kakao yang Dikembangkan di Indonesia
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ciri-ciri Warna buah Kulit buah Warna biji Bentuk biji Kadar lemak Cita rasa Ketahanan hama & penyakit Pertumbuhan tanaman Produksi Tipe / jenis

Criollo
Merah Kasar Putih Bulat besar Sedikit Baik Kurang tahan Kurang kuat Sedikit

Forastero
Hijau Halus Ungu Lonjong pipih Banyak Sedang Lebih tahan Kuat dan cepat Tinggi

Trinitario
Beragam Kasar s/d halus Ungu Lonjong pipih Sedang Sedang Cukup tahan Sedang dan cepat Sedang s/d tinggi

Keterangan Tipe Trinito merupakan hibrida dari Criollo dan Forastero (secara alami) Sifat-sifatnya ada di antara keduanya

Sumber : Panduan Lengkap Budidaya Kakao, Puslit Kokoa Jember, 2004

Jenis-jenis kakao yang dikembangkan tersebut meliputi : a. Kakao Mulia / Kakao Edel (Fine Flavour Cocoa)  Biji daun koktil berwarna putih dihasilkan dari tipe Criollo atau Trinitario.  Kakao Mulia terdiri dari klon -klon di antaranya sebagai berikut: DR2, DRC 16, DR1. b. Kakao Lindak / Kakao Bulk (Bulk Cocoa)  Biji daun kotil atau keping biji berwarna ungu dihasi lkan dari tipe Forastero atau Trinitario.  Kakao Lindak terdiri dari klon -klon di antaranya sebagai berikut : GC7, TSH858, ICS60. 2. Mutu dan Standarisasi a. Syarat Mutu Umum Persyaratan mutu yang diatur dalam syarat perdagangan meliputi karakteristik fisik dan pencemaran atau tingkat

kebersihan. Selain persyaratan tersebut, beberapa konsumen kakao juga menghendaki persyaratan tambahan yaitu uji

organoleptik yang terkait dengan aroma dan cita rasa kakao. Karakter fisik merupakan persyaratan yang diutamakan karena menyangkut rendemen lemak (yield) yang akan dinikmati oleh pembeli. Karakter fisik ini mudah diukur dengan tata cara dan peralatan baku yang disepakati oleh institusi i nternasional.

Adapun persyaratan mutu umum dari biji kakao seperti pada Tabel 2.2 bawah ini. Tabel 2.2 Persyaratan Mutu Kakao SNI No. 01 -2323-2002 No Jenis Uji Satuan 1 Serangga hidup 2 Kadar air % b/b Biji berbau asap dan atau abnormal dan 3 atau berbau 4 asing biji pecah Kadar % b/b 5 Kadar kotoran (waste) % b/b 6 Kadar benda asing % b/b 7 Kotoran mamalia % b/b

Persyarata n tidak ada maks 7,5 tidak ada maks 2 maks 2,5 maks 0,2 maks 0,1

CATATAN: 1. Total kadar kotoran dan kadar benda asing % b/b maksimum 2,5 % 2. Total kadar benda asing dan kotoran mamalia % b/b maksimum 0,2 %
Sumber: Deptan 2005

Persyaratan mutu yang bersifat karakter fisik cenderung lebih mudah untuk dikontrol oleh konsumen. Tidak demikian dengan persyaratan tambahan yang merupakan kesepakatan khusus antara pihak eksportir dan importir. Apabila persyaratan yang dikehendaki oleh importir dapat dipenuhi dengan baik oleh pihak eksportir, maka eksportir akan mendapatkan harga jual biji kakao yang lebih tinggi (premium). Adapun spesifikasi persyaratan mutu secara khusus terlihat pada Tabel 2.3 di bawah ini.

Tabel 2.3 Spesifikasi Persyaratan Mutu, Syarat Khusus Kakao SNI No. 01 2323 - 2002.
Jenis Uji/Jenis Persyaratan Mutu Kakao Kakao Jumlah Kadar biji Kadar biji Kadar biji Kadar biji Mulia Lindak biji per berkapang Tidak berserangga berkecambah (Fine (Bulk 100 gr (b/b) terfermentasi (b/b) (b/b) Cocoa) Cocoa) (b/b) Maks. 85 86-100 101-110 111-120 >120 Maks. 85 86-100 101-110 111-120 >120 Sumber: Deptan, 2006 I-AA-F I-A-F I-B-F I-C-F I-S-F II-AA-F II-A-F II-B-F II-C-F II-S-F I-AA I-A I-B I-C I-S II-AA II-A II-B II-C II-S Maks. 2 Maks.2 Maks. 2 Maks. 2 Maks. 2 Maks. 4 Maks. 4 Maks. 4 Maks. 4 Maks. 4 Maks. 3 Maks. 3 Maks.3 Maks. 3 Maks. 3 Maks. 8 Maks. 8 Maks. 8 Maks. 8 Maks. 8 Maks. Maks. Maks. Maks. Maks. Maks. Maks. Maks. Maks. Maks. 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 Maks. Maks. Maks. Maks. Maks. Maks. Maks. Maks. Maks. Maks. 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3

b. Standar Kakao Internasional Pada tahun 1969 Food and Drugs Administration (FDA) dari Amerika memprakarsai pertemuan antara produsen dan konsumen kakao di Paris. Pertemuan itu membahas mengenai kesepakatan ditetapkannya standar kakao internasional. Standar ini dijadikan acuan oleh beberapa negara yan g mengekspor kakao, terutama negara yang mengekspor kakao ke Amerika. Secara umum persyaratan yang tercantum dalam SNI biji kakao Indonesia setara dengan standar biji kakao internasional khususnya untuk negara mitra bisnis antara lain Malaysia dan standar kakao Asean. Beberapa batasan umum yang tercantum dalam kesepakatan itu antara lain:

1) Biji kakao harus difermentasi, kering (kadar air 7 persen), bebas dari biji smoky, bebas dari bau serta bebas dari buktibukti pemalsuan. 2) Biji kakao harus terbebas dari gangguan serangga. 3) Biji kakao dalam bentuk kemasan harus terbebas dari biji yang pecah, bebas dari benda-benda asing, terbebas dari pecahan kulit serta memiliki ukuran yang sama. Oleh karena itu menjadi penting bagi Indonesia untuk senantiasa memperhatikan standar mutu yang telah ditetapkan oleh negara tujuan ekspor agar komoditi biji kakao yang diekspor Indonesia memiliki bargaining position yang baik dan optimal. Adapun spesifikasi kelas kakao berdasarkan standar Malaysia dapat dilihat pada tab el di bawah ini. Tabel 2.4 Spesifikasi Kelas (Grade Specifications), Standar Malaysia Standar Jumlah biji/ Jamur/Mouldy Slaty InsectMalaysian/ Bean Count damaged Cocoa and (Per 100 gms) Grade Germinated <= 100 > 100 <= 110 > 110 <= 120 <= 100 > 100 <= 110 > 110 <= 120 > 120 <= 3 % <= 3 % <= 3 % <= 4 % <= 4 % <= 4 % >4% <= 3 % <= 3 % <= 3 % <= 8 % <= 8 % <= 8 % >8% <= 2.5 % <= 2.5 % <= 2.5 % <= 5 % <= 5 % <= 5 % >5%

SMC 1 A SMC 1 B SMC 1 C SMC II A SMC II B SMC II C Sub-standar

Sumber: Deptan, 2006

Selain spesifikasi kela s berdasarkan standar Malaysia, terdapat spesifikasi kelas berdasarkan spesifikasi wilayah Asia.

Adapun persyaratan khusus standar kakao Asia adalah sebagai berikut : Tabel 2.5 Persyaratan Khusus (Specific Requirements), Standar Cocoa Association of Asia. IA IB IC Kelas (Grade) Biji (Bean) Kadar air (Moisture) Jamur (Mouldy) Slaty Serangga (Insect Infested/Germinated Kelas (Grade) Biji (Bean) Kadar air (Moisture) Jamur (Mouldy) Slaty Serangga (Insect Infested/Germinated
Sumber: Deptan, 2006

< 100 7,5 % Max 3,0 % Max 3,0 % Max 2,5 % Max 2,0 % Max II A < 100 8,0 % Max 4,0 % Max 15,0 % Max 2,5 % Max 2,0 % Max

< 110 7,5 % Max 3,0 % Max 3,0 % Max 2,5 % Max 2,0 % Max II B < 110 8,0 % Max 4,0 % Max 15,0 % Max 2,5 % Max 2,0 % Max

< 120 7,5 % Max 3,0 % Max 3,0 % Max 2,5 % Max 2,0 % Max II C < 120 8,0 % Max 4,0 % Max 15,0 % Max 2,5 % Max 2,0 % Max

D. STRATEGI PENGELOLAAN INDUSTRI KAKAO INDONESIA DALAM CAFTA

Terdapat tiga langkah yang akan dilakukan pemerintah dalam rangka penanggulangan dampak CAFTA. Pertama, mengembangkan pasar domestik melalui pencegahan impor di perbatasan dan pasar. Melalui tindakan penertiban pelaku impor dan pengawasan di pelabuhan. Pengawasan awal dengan karantina diperketat, pengawasan HKI dan SNI, pengawasan pelabelan penggunaan bahasa Indonesia dan

pengawasan produk-produk inovasi. Langkah kedua yang akan dikerjakan adalah melakukan peningkatan daya saing produk UMKM. Terakhir, yang

ketiga, meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dengan cara promosi dan meningkatkan daya beli masyarakat (Djunaedi, 2010). Industri Kakao Indonesia mempunyai peranan penting di dalam perolehan devisa negara dan penyerapan tenaga kerja, karena memiliki keterkaitan yang luas baik ke hulu (petani kakao) maupun ke hilirnya (intermediate industry/grinders). Berdasarkan data yang ada, pada tahun 2008 jumlah industri pengolahan kakao di Indonesia sebanyak 16 (enam belas) perusahaan dan yang masih berjalan 3 ( tiga) perusahaan dengan tingkat pemanfaatan kapasitas terpasang produk pengolahaan sekitar 61% dari total kapasitas terpasang. Pengelompokkan Industri Kakao dan Coklat Olahan terdiri dari: Industri Hulu : buah coklat, biji coklat, liquor (MASS)

Industri Antara : Cake dan Fat, cocoa liquor, cocoa cake, cocoa butter, dan cocoa powder (kakao olahan) Industri Hilir : Industri cokelat, industri makanan berbasis coklat

(roti,kue, confectionary/kembang gula cokelat). Pengembangan klaster industri kakao, pada tahun 2005 telah dibentuk Forum Komunikasi Kakao, yang merupakan wadah komunikasi seluruh pemangku kepentingan perkakaoan nasional yang melibatkan petani/kelompok tani, pedagang pengumpul, eksportir dan industri serta instansi terkait baik pusat maupun daerah. Melalui forum tersebut telah dilakukan tahapan diagnostik klaster industri kakao yang hasilnya telah ditetapkan lokus utama klaster industri kakao di Sulawesi Selatan.

Penetapan Sulawesi Selatan sebagai lokus utama klaster industri kakao adalah dengan pertimbangan bahwa propinsi Sulawesi Selatan selain sebagai pintu gerbang wilayah timur Indonesia, yang merupakan sentra penghasil biji kakao, juga memiliki berbagai sarana dan prasarana pendukung untuk menunjang pengembangan klaster industri kakao. Hasi l diagnostik lainnya menyebutkan bahwa masalah pokok pengembangan industri kakao adalah : 1) meningkatkan produksi yang saat masih rendah dan rentan terhadap hama Penggerek Buah Kakao; 2) meningkatkan kualitas biji kakao yang sebagian besar masih dalam bentuk unfermented bean; 3) mengoptimalkan kapasitas terpasang industri kakao nasional yang saat ini utilisasinya baru mencapai 40 persen dari total kapasitas sebesar 300 ribu ton per tahun; 4) meningkatkan infrastruktur termasuk pelabuhan yang menghubungk an sentra penghasil biji kakao dengan industri pengolahan kakao dalam negeri dan pasar internasional. Pada tahun 2006 telah pemerintah telah me lakukan kegiatan sosialisasi di berbagai daerah/sentra penghasil kakao dengan

mengumpulkan seluruh pemangku kepentingan perkakaoan nasional mulai dari tingkat petani, pedagang pengumpul, eksportir, industri, serta instansi terkait baik yang membina on farm (Deptan) maupun off farm-nya (Depperind dan Depdag) dengan maksud untuk mendapatkan persepsi yang sama dalam pengembangan klaster industri kakao. Sejalan dengan program pengembangan klaster industri kakao, sejak tahun 2004 sampai

dengan tahun 2010 telah pemerintah melakukan rencana aksi untuk menunjang program peningkatan mutu biji kakao antara lain : a. Menunjuk fasilitator untuk memfasilitasi Kolaborasi antar anggota klaster dengan dukungan Pemerintah Daerah, Petani, dan industri kakao. b. Bantuan mesin dan peralatan fermentasi biji kakao di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Luwu dan Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Kabupaten Padang Pariaman dan Lampung Timur. c. Bantuan mesin dan peralatan pengolahan dan fermentasi biji kakao di Sumatera Barat. d. Kajian Pusat Pengembangan Industri Kakao di Sulawesi. e. Perbaikan planting management (budidaya tanaman, pemeliharaan/ perawatan termasuk pemberantasan hama, dan panen sering serta sarungisasi buah kakao) dalam rangka meningkatkan produktivitas menjadi 1.000-1500 kg per ha. f. Merevisi dan menerapkan SNI biji kakao.

g. Membentuk dan memberdayakan working group di Sulawesi Selatan.

Gambar 2.1. Kerangka Keterkaitan Industri Kakao

III.

PENUTUP

A. KESIMPULAN Berdasarkan uraian pembahasan di atas maka kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: 1. Dampak CAFTA terhadap ekspor Kakao Indonesia ke China yakni China membuka peluang dan potensi Indonesia untuk mengekspor Kakaonya disana, dengan menghilangkan Bea Masuk bagi

Cocoa

powder dari Indonesia.


2. CAFTA secara tidak langsung mengembalikan gairah Industri

Perkakaoan Indonesia untuk mengolah lebih lanjut biji kakao menjadi

Cocoa powder atau bentuk olahan lainnya dengan diadakan Bea Keluar
oleh pemerintah bagi biji kakao yang akan diek spor . 3. Strategi yang dapat digunakan dalam memajukan Industri Kakao Indonesia dengan menerapkan manajemen klaster. Semua pihak diperlukan untuk saling bekerjasama dari hulu ke hilir.

B. SARAN

1. Agar pemerintah membina dan membantu petani kakao untuk mengelolah hasil dari perkebunan mereka ke t ahap lebih lanjut dalam rangka memanfaatkan regulasi dari CAFTA . 2. Agar industri kakao Indonesia bisa memberikan harga yang lebih baik untuk petani kakao, agar mereka tertarik menjual hasil perkebunan mereka ke industri. 3. Agar eksportir biji kakao beralih mengekspor biji kakao olahan dalam rangka mendukung Industri Kakao dalam negeri.

Anda mungkin juga menyukai