Anda di halaman 1dari 59

A- Pengertian Ilmu Hadis Ilmu Hadis atau yang sering diistilahkan dalam bahasa Arab dengan Ulumul Hadisyang

mengandung dua kata, yaitu ulum dan al-Hadis. Kata ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ilm, jadi berarti ilmu-ilmu, sedangkan al-Hadis dari segi bahasa mengandung beberapa arti, diantaranya baru, sesuatu yang dibicarakan, sesuatu yang sedikit dan banyak. Sedangkan menurut istilah Ulama Hadits adalah apa yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya. Sedangkan menurut ahli ushul fiqh, hadis adalah: perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW setelah kenabian. Adapun sebelum kenabian tidak dianggap sebagai hadis, karena yang dimaksud dengan hadis adalah mengerjakan apa yang menjadi konsekuensinya. Dan ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan apa yang terjadi setelah kenabian. Adapun gabungan kata ulum dan al-Hadis ini melahirkan istilah yang selanjutnya dijadikan sebagai suatu disiplin ilmu, yaitu Ulumul Hadis yang memiliki pengertian ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadits Nabi SAW. Pada mulanya, ilmu hadis memang merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, yang berbicara tentang Hadis Nabi SAW dan para perawinya, sepertiIlmu al-Hadis al-Sahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma wa al-Kuna, dan lain-lain. Penulisan ilmu-ilmu hadis secara parsial dilakukan, khususnya, oleh para ulama abad ke-3 H. Umpamanya, Yahya ibn Main (234H/848M) menulis Tarikh al-Rijal, Muhammad ibn Saad (230H/844) menulis AlTabaqat, Ahmad ibn Hanbal (241H/855M) menulis Al-Ilaldan Al-Nasikh wal Mansukh, serta banyak lagi yang lainnya. Ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat parsial tersebut disebut dengan Ulumul Hadis, karena masing-masing membicarakan tentang Hadis dan para perawinya. Akan tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Terhadap ilmu yang sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama Ulumul Hadis, sebagaimana halnya sebelum disatukan. Jadi penggunaan lafaz jamak Ulumul Hadis setelah keadaannya menjadi satu adalah mengandung makna mufrad atau tunggal, yaitu Ilmu Hadis, karena telah terjadi perubahan makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama (beberapa ilmu yang terpisah) menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus yang nama lainnya adalahMusthalahul Hadis. B- Pembagian Ilmu Hadits Para Ulama Hadis telah membagi Ilmu Hadis kepada dua bagian, yaitu Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah. 1) Ilmu Hadis Riwayah Adapun yang dimaksud dengan Ilmu Hadis Riwayah, sebagaiamana yang disebutkan oleh Zhafar Ahmad ibn Lathif al-Utsmani al-Tahanawi di dalam Qawaid fi Ulum al-

Hadisseperti yang dikutip oleh Nawir Yuslem dalam Ulumul Hadis adalah sebagai berikut: : Ilmu Hadis yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan, perbuatan, dan keadaan Rasul SAW serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya. 2) Ilmu Hadis Dirayah Mengenai pengertian Ilmu Hadis Dirayah, para ulama hadis memberikan definisi yang bervariasi, namun jika dicermati berbagai definisi yang mereka kemukakan, maka akan ditemukan persamaan antara satu dengan lainnya, terutama dari segi sasaran dan pokok bahasannya. Di sini akan penulis kemukakan dua di antaranya: Ibn al-Akfani memberikan definisi Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut: : C- Sejarah dan Perkembangan Ulumul Hadis Pada dasarnya Ulumul Hadis telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadis di dalam Islam, terutama setelah Rasul SAW wafat, ketika umat merasakan perlunya menghimpun hadis-hadis Rasul SAW dikarenakan adanya kekhawatiran hadis-hadis tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan periwayatan hadis. Mereka telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu dalam menerima hadis, namun mereka belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut. Adapun dasar dan landasan periwayatan hadis di dalam Islam dijumpai dalam Alquran dan hadis Nabi SAW. Dalam QS. Al-Hujarat ayat 6, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menelitu dan mempertanyakan berita-berita yang datang dari orang lain, terutama dari orang fasik. Firman Allah SWT yang artinya: Hai orang-orang yang telah beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita maka periksalah berita tersebut dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan (yang sebenarnya) yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu.(QS. Al-Hujurat: 6). Sementara dalam hadis disebutkan, (Semoga) Allah membaguskan rupa seseorang yang mendengar dari kami sesuatu (hadis), lantas dia menyampaikannya (hadis tersebut) sebagaimana dia dengar, kadangkadang orang yang menyampaikan lebih hafal daripada yang mendengar. (HR. AtTirmizi).

Hubungan Hadits dengan Al-Quran


02 Mei 2009 Oleh Rudi Arlan Al-Farisi A. PENGERTIAN HADITS Kata "Hadits" atau al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata hadits juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Kata jamaknya, ialah al-hadist. Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri ada juga beberapa definisi yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada yang mendefinisikan hadits, adalah : "Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya". Ulama hadits menerangkan bahwa yang termasuk "hal ihwal", ialah segala pemberitaan tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya. Ulama ahli hadits yang lain merumuskan pengertian hadits dengan : "Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya". Ulama hadits yang lain juga mendefiniskan hadits sebagai berikut : "Sesuatu yang didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya". Dari ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan para ahli hadits dalam mendefinisikan hadits. Kasamaan dalam mendefinisikan hadits ialah hadits dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadits yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits, tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya. Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut : "Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara". Berdasarkan rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun ahli ushul, terdapat persamaan yaitu ; "memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung prilaku dan ucapan shabat atau tabiin. Perbedaan mereka terletak pada cakupan definisinya. Definisi dari ahli hadits mencakup segala sesuatu yang disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir. Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul hanya menyangkut aspek perkataan Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara. Selain Hadits, ada juga istilah yang mempunyai makna seperti Hadits, yakni :

1. As-Sunnah Sunnah menurut bahasa berarti : "Jalan dan kebiasaan yang baik atau yang buruk". Menurut M.T.Hasbi Ash Shiddieqy, pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau tidak. Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik. Berkaitan dengan pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa, perhatikan sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut : "Barang siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka baginya pahala Sunnah itu dan pahala orang lain yang mengerjakan hingga hari kiamat. Dan barang siapa mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk, maka atasnya dosa membuat sunnah buruk itu dan dosa orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat" (H.R. Al-Bukhary dan Muslim). Sedangkan, Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli hadits) ialah segala yang dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW., dibangkitkan menjadi Rasul, maupun sesudahnya. Menurut Fazlur Rahman, sunnah adalah praktek aktual yang karena telah lama ditegakkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya memperoleh status normatif dan menjadi sunnah. Sunnah adalah sebuah konsep perilaku, maka sesuatu yang secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama tidak hanya dipandang sebagai praktek yang aktual tetapi juga sebagai praktek yang normatif dari masyarakat tersebut. Menurut Ajjaj al-Khathib, bila kata Sunnah diterapkan ke dalam masalah-masalah hukum syara, maka yang dimaksud dengan kata sunnah di sini, ialah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW., baik berupa perkataan maupun perbuatannya. Dengan demikian, apabila dalam dalil hukum syara disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah, maka yang dimaksudkannya adalah al-Quran dan Hadits. Pengertian Sunnah ditinjau dari sudut istilah, dikalangan ulama terdapat perbedaan. Ada ulama yang mengartikan sama dengan hadits, dan ada ulama yang membedakannya, bahkan ada yang memberi syarat-syarat tertentu, yang berbeda dengan istilah hadits. Ulama ahli hadits merumuskan pengertian sunnah sebagai berikut : "Segala yang bersumber dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul, seperti ketika bersemedi di gua Hira maupun sesudahnya". Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, kata sunnah menurut sebagian ulama sama dengan kata hadits. "Ulama yang mendefinisikan sunnah sebagaimana di atas, mereka memandang diri Rasul SAW., sebagai uswatun hasanah atau qudwah (contoh atau teladan) yang paling sempurna, bukan sebagai sumber hukum. Olah karena itu, mereka menerima dan meriwayatkannya secara utuh segala berita yang diterima tentang diri Rasul SAW., tanpa membedakan apakah (yang diberitakan itu) isinya berkaitan dengan penetapan hukum syara atau tidak. Begitu juga mereka tidak melakukan pemilihan untuk keperluan tersebut, apabila ucapan atau perbuatannya itu dilakukan sebelum diutus menjadi Rasul SAW., atau sesudahnya. Ulama Ushul Fiqh memberikan definisi Sunnah adalah "segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang ada sangkut

pautnya dengan hukum". Menurut T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, makna inilah yang diberikan kepada perkataan Sunnah dalam sabda Nabi, sebagai berikut : "Sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidak sekali-kali kamu sesat selama kamu berpegang kepadanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya" (H.R.Malik). Perbedaan pengertian tersebut di atas, disebabkan karena ulama hadits memandang Nabi SAW., sebagai manusia yang sempurna, yang dijadikan suri teladan bagi umat Islam, sebagaimana firman Allah surat al-Ahzab ayat 21, sebagai berikut : "Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu". Ulama Hadits membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi Muhammad SAW., baik yang ada hubungannya dengan ketetapan hukum syariat Islam maupun tidak. Sedangkan Ulama Ushul Fiqh, memandang Nabi Muhammad SAW., sebagai Musyarri, artinya pembuat undang-undang wetgever di samping Allah. Firman Allah dalam al-Quran surat al-Hasyr ayat 7 yang berbunyi: "Apa yang diberikan oleh Rasul, maka ambillah atau kerjakanlah. Dan apa yang dilarang oleh Rasul jauhilah". Ulama Fiqh, memandang sunnah ialah "perbuatan yang dilakukan dalam agama, tetapi tingkatannya tidak sampai wajib atau fardlu. Atau dengan kata lain sunnah adalah suatu amalan yang diberi pahala apabila dikerjakan, dan tidak dituntut apabila ditinggalkan. Menurut Dr.Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi Ambiyah menerangkan bahwa Sunnah ialah suatu jalan yang dilakukan atau dipraktekan oleh Nabi secara kontinyu dan diikuti oleh para sahabatnya; sedangkan Hadits ialah ucapan-ucapan Nabi yang diriwayatkan oleh seseorang, dua atau tiga orang perawi, dan tidak ada yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka sendiri. 2. Khabar Selain istilah Hadits dan Sunnah, terdapat istilah Khabar dan Atsar. Khabar menurut lughat, yaitu berita yang disampaikan dari seseorang kepada seseorang. Untuk itu dilihat dari sudut pendekatan ini (sudut pendekatan bahasa), kata Khabar sama artinya dengan Hadits. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, yang dikutip as-Suyuthi, memandang bahwa istilah hadits sama artinya dengan khabar, keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang marfu, mauquf, dan maqthu. Ulama lain, mengatakan bahwa kbabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW., sedang yang datang dari Nabi SAW. disebut Hadits. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dari khabar. Untuk keduanya berlaku kaidah umumun wa khushushun muthlaq, yaitu bahwa tiap-tiap hadits dapat dikatan Khabar, tetapi tidak setiap Khabar dapat dikatakan Hadits. Menurut istilah sumber ahli hadits; baik warta dari Nabi maupun warta dari sahabat, ataupun warta dari tabiin. Ada ulama yang berpendapat bahwa khabar digunakan buat segala warta yang diterima dari yang selain Nabi SAW. Dengan pendapat ini, sebutan bagi orang yang meriwayatkan hadits dinamai muhaddits, dan orang yang meriwayatkan sejarah dinamai akhbary atau khabary. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dari khabar, begitu juga sebaliknya ada yang mengatakan bahwa khabar lebih umum dari pada hadits, karena masuk ke dalam perkataan khabar, segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi maupun dari selainnya, sedangkan hadits khusus terhadap yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja.

3. Atsar Atsar menurut lughat ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, dan berarti nukilan (yang dinukilkan). Sesuatu doa umpamanya yang dinukilkan dari Nabi dinamai: doa matsur. Sedangkan menurut istilah jumhur ulama sama artinya dengan khabar dan hadits. Dari pengertian menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. "Jumhur ahli hadits mengatakan bahwa Atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabiin. Sedangkan menurut ulama Khurasan, bahwa Atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu. Jumhur ulama cenderung menggunakan istilah Khabar dan Atsar untuk segala sesuatu yang disandarkan kepada NAbi SAW dan demikian juga kepada sahabat dan tabiin. namun, para Fuqaha khurasan membedakannya dengan mengkhususkan almawquf, yaitu berita yang disandarkan kepada sahabat dengan sebutan Atsar dan almarfu, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dengan istilah Khabar.

B. BENTUK-BENTUK HADITS Sesuai pengertiannya dengan berdasarkan secara terminologi, Hadits ataupun Sunnah, dapat dibagi menjadi tiga macam hadits : 1. Hadits Qauli Hadits yang berupa perkataan (Qauliyah), contohnya sabda Nabi SAW : "Orang mukmin dengan orang mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan, yang satu sama lain saling menguatkan." (HR. Muslim) 2. Hadits Fiil, Hadits yang berupa perbuatan (filiyah) mencakup perilaku Nabi SAW, seperti tata cara shalat, puasa, haji, dsb. Berikut contoh haditsnya, Seorang sahabat berkata : Nabi SAW menyamakan (meluruskan) saf-saf kami ketika kami melakukan shalat. Apabila saf-saf kami telah lurus, barulah Nabi SAW bertakbir. (HR. Muslim) 3. Hadits Taqriri Hadits yang berupa penetapan (taqririyah) atau penilaian Nabi SAW terhadap apa yang diucapkan atau dilakukan para sahabat yang perkataan atau perbuatan mereka tersebut diakui dan dibenarkan oleh Nabi SAW. Contohnya hadits berikut, seorang sahabat berkata ; Kami (Para sahabat) melakukan shalat dua rakaat sesudah terbenam matahari (sebelum shalat maghrib), Rasulullah SAW terdiam ketika melihat apa yang kami lakukan, beliau tidak menyuruh juga tidak melarang kami (HR. Muslim) C. KEDUDUKAN HADITS TERHADAP AL-QURAN

Allah SWTmenutup risalah samawiyah dengan risalah islam. Dia mengutus Nabi SAW. Sebagai Rasul yang memberikan petunjuk, menurunkan Al-qur`an kepadanya yang merupakan mukjizat terbesar dan hujjah teragung, dan memerintahkan kepadanya untuk menyampaikan dan menjelaskannya. Al-qur`an merupakan dasar syariat karena merupakan kalamullah yang mengandung mu`jizat, yang diturunkan kepada Rasul SAW. Melalui malaikat Jibril mutawatir lafadznya baik secara global maupun rinci, dianggap ibadah dengan membacanya dan tertulis di dalam lembaran lembaran. Dalam hukum islam, hadits menjadi sumber hukum kedua setelah Al-qur`an . penetapan hadits sebagai sumber kedua ditunjukan oleh tiga hal, yaitu Al qur`an sendiri, kesepakatan (ijma`) ulama, dan logika akal sehat (ma`qul). Al qur`an menunjuk nabi sebagai orang yang harus menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan Allah, karena itu apa yang disampaikan Nabi harus diikuti, bahkan perilaku Nabi sebagai rasul harus diteladani kaum muslimin sejak masa sahabat sampai hari ini telah bersepakat untuk menetapkan hukum berdasarkan sunnah Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional. Keberlakuan hadits sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa Al-qur`an hanya memberikan garis- garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Karena itu, keabsahan hadits sebagai sumber kedua secara logika dapat diterima. Al-qur`an sebagai sumber pokok dan hadits sebagai sumber kedua mengisyaratkan pelaksanaan dari kenyataan dari keyakinan terhadap Allah dan Rasul-Nya yang tertuang dalam dua kalimat syahadat. Karena itu menggunakan hadits sebagai sumber ajaran merupakan suatu keharusan bagi umat islam. Setiap muslim tidak bisa hanya menggunakan Al-qur`an, tetapi ia juga harus percaya kepada hadits sebagai sumber kedua ajaran islam. Taat kepada Allah adalah mengikuti perintah yang tercantum dalam Al-qur`an sedang taat kepada Rasul adalah mengikuti sunnah-Nya, oleh karena itu, orang yang beriman harus merujukkan pandangan hidupnya pada Al qur`an dan sunnah/hadits rasul. Alqur`an dan hadits merupakan rujukan yang pasti dan tetap bagi segala macam perselisihan yang timbul di kalangan umat islam sehingga tidak melahirkan pertentangan dan permusuhan. Apabila perselisihan telah dikembalikan kepada ayat dan hadits, maka walaupun masih terdapat perbedaan dalam penafsirannya, umat islam seyogyanya menghargai perbedaan tersebut. D. FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QURAN Al-Quran menekankan bahwa Rasul SAW. berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya. Al-qur`an dan hadist merupakan dua sumber yang tidak bisa dipisahkan. Keterkaitan keduanya tampak antara lain: a. Hadist menguatkan hukum yang ditetapkan Al-qur`an. Di sini hadits berfungsi memperkuat dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh Al-quran. Misalnya, Alquran menetapkan hukum puasa, dalam firman-Nya :

Hai orang orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang orang sebelum kamu agar kamu bertakwa . (Q.S AL BAQARAH/2:183) Dan hadits menguatkan kewajiban puasa tersebut: Islam didirikan atas lima perkara : persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah , dan Muhammad adalah rasulullah, mendirikan shalat , membayar zakat , puasa pada bulan ramadhan dan naik haji ke baitullah. (H.R Bukhari dan Muslim) b. Hadits memberikan rincian terhadap pernyataan Al qur`an yang masih bersifat global. Misalnya Al-qur`an menyatakan perintah shalat : Dan dirikanlah oleh kamu shalat dan bayarkanlah zakat (Q.S Al Baqarah /2:110) shalat dalam ayat diatas masih bersifat umum, lalu hadits merincinya, misalnya shalat yang wajib dan sunat. sabda Rasulullah SAW: Dari Thalhah bin Ubaidillah : bahwasannya telah datang seorang Arab Badui kepada Rasulullah SAW. dan berkata : Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku salat apa yang difardukan untukku? Rasul berkata : Salat lima waktu, yang lainnya adalah sunnat (HR.Bukhari dan Muslim) Al-qur`an tidak menjelaskan operasional shalat secara rinci, baik bacaan maupun gerakannya. Hal ini dijelaskan secara terperinci oleh Hadits, misalnya sabda Rasulullah SAW: Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. (HR. Bukhari) c. Hadits membatasi kemutlakan ayat Al qur`an .Misalnya Al qur`an mensyariatkan wasiat: Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan tandatanda maut dan dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu dan bapak karib kerabatnya secara makruf. Ini adalah kewajiban atas orangorang yang bertakwa, (Q.S Al Baqarah/2:180) Hadits memberikan batas maksimal pemberian harta melalui wasiat yaitu tidak melampaui sepertiga dari harta yang ditinggalkan (harta warisan). Hal ini disampaikan Rasul dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa`ad bin Abi Waqash yang bertanya kepada Rasulullah tentang jumlah pemberian harta melalui wasiat. Rasulullah melarang memberikan seluruhnya, atau setengah. Beliau menyetujui memberikan sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkan. d. Hadits memberikan pengecualian terhadap pernyataan Al Qur`an yang bersifat umum. Misalnya Al-qur`an mengharamkan memakan bangkai dan darah: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih atas nama selain Allah , yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang dimakan binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya , dan yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula bagimu mengundi nasib dengan anak panah, karena itu sebagai kefasikan. (Q.S Al Maidah /5:3) Hadits memberikan pengecualian dengan membolehkan memakan jenis bangkai tertentu (bangkai ikan dan belalang ) dan darah tertentu (hati dan limpa) sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Dari Ibnu Umar ra.Rasulullah saw bersabda : Dihalalkan kepada kita dua bangkai dan dua darah . Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang dan dua darah adalah hati dan limpa.(HR.Ahmad, Syafii`,Ibn Majah ,Baihaqi dan Daruqutni) e. Hadits menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-qur`an. Al-qur`an bersifat global, banyak hal yang hukumnya tidak ditetapkan secara pasti .Dalam hal ini, hadits berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-qur`an, misalnya hadits dibawah ini: Rasulullah melarang semua binatang yang bertaring dan semua burung yang bercakar (HR. Muslim dari Ibn Abbas) Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah atau Hadits mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara. Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafii dalam Al-Risalah, Abdul Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan takid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Quran. E. PERBANDINGAN HADITS DENGAN AL-QURAN Hadits dalam islam merupakan sumber hukum kedua dan kedudukannya setingkat lebih rendah daripada Al-quran Al-quran adalah kalamullah yang diwahyukan Allah SWT lewat malaikat Jibril secara lengkap berupa lafadz dan sanadnya sekaligus, sedangkan lafadz hadits bukanlah dari Allah melainkan dari redaksi Nabi sendiri. Dari segi kekuatan dalilnya, Al-quran adalah mutawatir yang qoti, sedangkan hadits kebanyakannya khabar ahad yang hanya memiliki dalil zhanni. Sekalipun ada hadits yang mencapai martabat mutawattir namun jumlahnya hanya sedikit. Membaca Al-Quran hukumnya adalah ibadah, dan sah membaca ayat-ayatnya di dalam sholat, sementara tidak demikian halnya dengan hadits. Para sahabat mengumpulkan Al-quran dalam mushaf dan menyampaikan kepada umat dengan keadaan aslinya, satu huruf pun tidak berubah atau hilang. Dan mushaf itu terus terpelihara dengan sempurna dari masa ke masa. Sedangkan hadits tidak demikian keadaannya, karena hadits qouli hanya sedikit yang mutawatir. Kebanyakan hadits yang mutawatir mengenai amal praktek sehari-hari seperti bilangan rakaat shalat dan tata caranya. Al-quran merupakan hukum dasar yang isinya pada umumnya bersifat mujmal dan mutlak. Sedangkan hadits sebagai ketentuanketentuan pelaksanaan (praktisnya). Hadits juga ikut menciptakan suatu hukum baru yang belum terdapat dalam al-quran seperti dalam hadits yang artinya : Hadits dari Abi Hurairoh R.A dia berkata, Rasulullah SAW bersabda Tidaklah halal mengumpulkan antara seorang perempuan dengan bibinya (saudara bapa yang

perempuan) dan tidak pula antara seorang perempuan dengan bibinya (saudara ibu yang perempuan). (H.R. Bukhari dan Muslim).

SEJARAH KODIFIKASI HADIST A. Penulisan Hadits pada Periode Rasululloh SAW

Mengapa hadits tidak atau belum ditulis secara resmi padat masa Nabi, terdapat berbagai keterangan dan argumentasi yang kadang-kadang satu dengan yang lainnya saling bertentangan. Diantaranya ditemukan hadits-hadits yang sebagiannya

membenarkan atau bahkan mendorong untuk melakukan penulisan hadits Nabi, di samping ada hadits-hadits lain yang melarang melakukan penulisannya. Pada permulaan Islam, penulisan hadis merupakan inisiatif perorangan yang dilakukan oleh para sahabat tertentu seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Masud dan sahabat lainnya. Mereka melakukan penulisan itu dengan dasar itikad baik dan dengan alasan-alasan tertentu pula. Misalnya mereka ingin menulis sabda Nabi pada pedang mereka, seperti dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib. Mereka menulis hadis untuk dikirimkan kepada para sahabat yang bertempat tinggal jauh

B. Penulisan Hadis setelah Nabi Wafat Setelah Nabi wafat para sahabat belum memikirkan penghimpunan dan pengkodifikasian hadits, karena banyaknya problem yang dihadapi, diantaranya timbulnya kelompok orang yang murtad, timbulnya peperangan sehingga banyak orangorang asing/non Arab yang masuk Islam yang tidak paham bahasa Arab secara baik sehingga dikhawatirkan tidak bisa membedakan antara al-Quran dan hadits. Abu Bakar pernah berkeinginan membukukan Sunnah tetapi digagalkan karena khawatir terjadi fitnah di tangan penghafal al-Quran yang gugur dan konsentrasi mereka bersama Abu Bakar dalam membukukan al-Quran. Meskipun begitu terdapat beberapa dokumentasi penting sebelum

pengkodifikasian hadits secara resmi, diantaranya:

1. Ash-shahifah as-shodiqoh, tulisan Abdullah bin Amr bin Ash (w. 65 H). Tulisan ini berbentuk lembaran-lembaran sesuai namanya ash-shahifah (lembaran), memuat kurang lebih 1000 hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan kitab-kitab Sunan lainnya. 2. Ash-shahifah Jabir bin Abd Allah Al-anshori (w. 78 H) yang diriwayatkan oleh sebagian sahabat. Jabir mempunyai majlis atau halaqoh di masjid Nabawi dan mengajarkan hadits-haditsnya secara imlak atau dikte. 3. Ash-shohifah Ash-shohihah, catatan salah seorang Tabiin Hammam bin Munabbih (w. 130 H). hadits-haditsnya banyak diriwayatkan dari sahabt besar Abu Hurairah, berisikan kurang lebih 138 buah hadits. Haditsnya sampai kepada kita yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan oleh Al-Bukhori dalm berbagai bab. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pada abad pertama perkembangan hadis, sebagian perawi mencatat hadis-hadis dari para pendahulunya, sedang yang lain tidak mencatatnya. Dalam meriwayatkannya mereka berpegang pada ingatan dan kekuatan hafalannya. Keadaan demikian terus berlangsung hingga masa pemerintahan Abdul Aziz bin Marwan C. Periode Tabiin Pada masa abad ini disebut masa Pengkodifikasian Hadits (al-jamu wa atTadwin). Khalifh Umar bin Abdul Aziz (99-110 H) yakni yang hidup pada akhir abad 1H menganggap perlu adanya penghimpunan dan pembukuan hadits, karena beliau khawatir, lenyapnya ajaran-ajaran Nabi setelah wafatnya ulama baik dikalangan sahabat maupun tabiin. maka beliau intruksikan kepada para gubernur diseluruh wilayah negeri Islam agar para ulama dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan hadits. Muhammad bin

Muslim bin Asy-Syihab Az-Zuhri dinilai sebagai orang pertama dalam melaksanakan tugas pengkodifikasian hadits dari khalifah Umar bin Abdul Aziz. Diantara buku-buku yang muncul pada masa ini adalah: 1. Al-Muwaththa yang ditulis oleh Imam Malik 2. Al-Mushannaf oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shanani 3. As-Sunnah ditulis oleh Abd bin Manshur 4. Al-Mushannaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaybah, dan 5. Musnad Asy-Syafii. Teknik pembukuan hadits hadits pada periode ini sebagaimana disebutkan pada nama-nama tersebut, yaitu al-mushannaf, al-muwaththa, dan musnad. Arti istilah-istilah ini adalah: 1. Al-Mushannaf dalam bahasa diartikan sesuatu yang tersusun. Dalam istilah yaitu teknik pembukuan hadits didasarkan pada klasifikasi hukum fiqh dan didalamnya mencantumkan hadits marfu, mauquf, dan maqthu. 2. Al-Muwatththa dalam bahasa diartikan sesuatu yang dimudahkan. Dalam istilah AlMuwaththa diartikan sama dengan Mushannaf. 3. Musnad dalam bahasa tempat sandaran sedang dalam istilah adalh pembukuan hadits yang didaarkan pada nama para sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut. Perkembangan pembukuan hadits pada periode tabiin ada 3 bentuk, yaitu sebagai berikut: 1. Musnad, yaitu menghimpun semua hadits dari tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan masalah atau topiknya, tidak perbab seperti Fiqih dan kualitasnya ada yang shahih, hasan dan dhaif. Misalnya musnad Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H).

2. Al-Jami, yaitu teknik pembukuan hadits yang mengakumulasi Sembilan masalah yaitu aqaid, hukum, perbudakan, adab makan minum, tafsir, tarikh dan sejarah, sifat-sifat akhlaq, (syamail), fitnah (fitan), dan sejarah (manaqib). 3. Sunan, teknik penghimpunan hadits secara bab seperti fiqih, setiap bab memuat beberapa hadits dalam satu topic, seperti Sunan An-NasaI, Sunan Ibn Majah, dan sunan Abu Dawud. D. Periode Tabi Tabiin Periode ini masa yang paling sukses dalam pembukuan hadits, sebab pada masa ini ulama hadits telah berhasil memisahkan hadits Nabi SAW dari yang bukan hadits atau dari hadits Nabi, dari perkataan sahabat dan fatwanya dan telah berhasil pula mengadakan filterisasi (penyaringan) yang sangat teliti apa saja yang dikatakan Nabi, sehingga telah dapat di pisahkan mana hadits yang shahih dan mana yang bukan shahih. Yang pertama kali berhasil membukukan hadits shahih saja adalah Al-Bukhori kemudian disusul Imam Muslim. Oleh karena itu, periode ini dengan juga disebut masa kodifikasi dan filterisasi (Ashr Al-Jami wa At-Tashhih). Pada masa ini lahir pula lahir buku induk enam (Ummahat kutub as-sittah), yang dijadikan pedoman dan referensipara ulama hadits berikutnya, yaitu: 1. Al-Jami Ash-Shahih li Al-Bukhori (194-256 H) 2. Al-Jami ash-Shahih li Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi (204-261 H) 3. Sunan An-Nasai (215-303 H) 4. Sunan Abu Dawud (202-276 H) 5. Jami at-Tirmidzi (209-269 H) 6. Sunan Ibnu Majah Al-Qazwini (209-276 H)

E. Periode Setelah Tabi Tabiin Pada masa abad ini disebut Penghimpunan dan penertiban (Al-JamI al-Tartib), Ulama yang hidup pada abad ke 4 H dan berikutnya disebut ulama Mutaakhirin atau Khalaf (modern) sedang yang hidup sebelum abad 4 H disebut ulama mutaqaddimin atau Ulama Salaf (klasik). Perbedaan mereka dalam periwayatan dan kodifikasi hadits, ulama mutaqaddimin hadits Nabi dengan cara mendengar dari guru-gurunya kemudian mengadakan penelitian sendiri baik matan maupun sanadnya. Untuk itu mereka tidak segan-segan mengadakan perjalanan jauh untuk mengecek kebenaran hadits yang mereka dengar dari orang lain. Sedang ulama mutaakhirin cara periwayatan dan pembukuannya bereferensi dan mengutip dari kitab-kitab mutaqaddimin. Oleh karena itu, tidak banyak penambahan hadits pada abad ini dan berikuutnya kecuali hanya sedikit saja. Namun, dari segi tekhnik pembukuan lebih sistematik dari pada masa-masa sebelumnya. Perkembangan teknik pembukuan pada abad ini yakni pada abad 4-6 ialah sebagai berikut: 1. Mujam, artinya penghimpunan hadits yang berdasarkan nama sahabat secara abjad (alphabet) seperti Al-mujam al-kabir Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabrani (w. 360 H). atau diartikan seperti Kamus ialah penghimpunan hadits didasarkan pada nama Masyayikh-nya atau negeri tempat tinggal atau kabilah secara abjad seperti Al-mujam al-awsath oleh penulis yang sama. 2. Shahih, artinya metode pembukuannya mengikuti metode pembukuan hadits Shahihayn (Al-bukhori dan Muslim) yang hanya mengumpulkan hadits shahih saja menurut penulisnya seperti Shahih Ibnu Hibban Al-basti (w. 354 H) dan lain-lain.

3. Al-mustadrok, artinya menambah beberapa hadits shahih yang belum disebutkan dalam kitab Al-bukhori dan Muslim serta memenuhi persyaratan keduanya, seperti Almustadrok ala Shahihayn yang ditulis Abi Abdillah Al-Hakim An-Naissaburi (w. 405 H). 4. Sunan, metode penulisannya seperti kitab sunan abad sebelumnya, yaitu cakupannya hadits-hadits tentang hukum seperti fikih dan kualitasnya meliputi shahih, hasan, dan dhaif, seperti Muntaqo ibn al-Jarud (w. 307 H), Syarah ad-Daruquthni (w. 385 H) dan Sunan Al-Bayhaqi (w. 458 H) . 5. Syarah, yakni penjelasan hadits baik yang berkaitan dengan sanad atau matan, terutama maksud dan makna matan hadits atau pemecahannya jika terjadi kontradiksi dengan ayat atau dengan hadits lain, misalnya Syarah Maani Al-Atsar, dan Syarah Musykil Al-Atsar ditulis Ath-thahawi (w. 458 H). 6. Mustakhroj, yaitu seorang penghimpun hadits mengeluarkan beberapa buah hadits seperti yang diterima dari gurunya sendiri dengan menggunakan sanad sendiri, misalnya Mustadrok Abi Bakr Al-Ismaili ala Shahih Al-Bukhori (w.371 H). 7. Al-jamu, gabungan dua atau beberapa buku hadits menjadi satu buku, Al-jamu Bayn Ash-shahihayn yang ditulis oleh Ismail bin Ahmad yang dikenal dengan ibn al-Furat (w. 401 H). Pada masa berikutnya abad ke 7-8 dan berikutnya disebut masa Penghimpunan dan Pembukuan Hadits secara sistematik(Al-jamu wal At-tandzim).

A. PENGERTIAN SANAD DAN MATAN HADIS

Sanad dari segi bahasa artinya (sandaran, tempat bersandar, yang menjadi sandaran). Sedangkan menurut istilah ahli hadis, sanad yaitu:

(Jalan yang menyampaikan kepada matan hadis). Contoh :

Artinya: "Dikhabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari Nafi, yang menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah sebagian dari antara kamu membeli barang yang sedang dibeli oleh sebagian yang lainnya. " (AlHadis) Dalam hadis tersebut dinamakan sanad adalah:

(Dikhabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari nafi yang menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:...) Matan dari segi bahasa artinya membelah, mengeluarkan, mengikat. Sedangkan menurut istilah ahli hadis, matan yaitu:

(perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya) .

Artinya: " Dari Muhammad yang diterima dari Abu Salamah yang diterimanya dari Abu Hurairah. bahwa Rasulullah SAW bersabda; "Seandainya tidak memberatkan terhadap umatku, niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak (menggosok gigi) setiap akan melakukan salat. " (Al-Hadis) Adapun yang disebut matan dalam hadis tersebut yaitu:

B. KEDUDUKAN SANAD DAN MATAN HADIS Para ahli hadis sangat hati-hati dalam menerima suatu hadis kecuali apabila mengenal dari siapa mereka menerima setelah benar-benar dapat dipercaya. Pada umumnya riwayat dari golongan sahabat tidak disyaratkan apa-apa untuk diterima periwayatannya. Akan tetapi mereka pun sangat hati-hati dalam menerima hadis . Pada masa Abu bakar r.a. dan Umar r.a. periwayatan hadis diawasi secara hati-hati dan tidak akan diterima jika tidak disaksikan kebenarannya oleh seorang lain. Ali bin Abu Thalib tidak menerima hadis sebelum yang meriwayatkannya disumpah. Meminta seorang saksi kepada perawi, bukanlah merupakan keharusan dan hanya merupakan jalan untuk menguatkan hati dalam menerima yang berisikan itu. Jika dirasa tak perlu meminta saksi atau sumpah para perawi, mereka pun menerima periwayatannya. Adapun meminta seseorang saksi atau menyeluruh perawi untuk bersumpah untuk membenarkan riwayatnya, tidak dipandang sebagai suatu undang-undang umum diterima atau tidaknya periwayatan hadis. Yang diperlukan dalam menerima hadis adalah adanya kepercayaan penuh kepada perawi. Jika sewaktu-waktu ragu tentang riwayatnya, maka perlu didatangkan saksi/keterangan.

Kedudukan sanad dalam hadis sangat penting, karena hadis yang diperoleh/ diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad suatu periwayatan hadis dapat diketahui mana yang dapat diterima atau ditolak dan mana hadis yang sahih atau tidak, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukumhukum Islam. Ada beberapa hadis dan atsar yang menerangkan keutamaan sanad, di antaranya yaitu: Diriwayatkan oleh muslim dari Ibnu Sirin, bahwa beliau berkata:

Artinya: "Ilmu ini (hadis ini), idlah agama, karena itu telitilah orang-orang yang kamu mengambil agamamu dari mereka," Abdullah lbnu Mubarak berkata:

Artinya: "Menerangkan sanad hadis, termasuk tugas agama Andaikata tidak diperlukan sanad, tentu siapa saja dapat mengatakan apa yang dikehendakinya. Antara kami dengan mereka, ialah sanad. Perumpamaan orang yang mencari hukum-hukum agamanya, tanpa memerlukan sanad, adalah seperti orang yang menaiki loteng tanpa tangga." Asy-Syafii berkata.

Artinya: "Perumpamaan orang yang mencari (menerima) hadis tanpa sanad, sama dengan orang yang mengumpulkan kayu api di malam hari. " Perhatian terhadap sanad di masa sahabat yaitu dengan menghapal sanad-sanad itu dan mereka mempuyai daya ingat yang luar biasa. Dengan adanya perhatian mereka maka terpelihara sunnah Rasul dari tangan-tangan ahli bid'ah dan para pendusta. Karenanya

pula imam- imam hadis berusaha pergi dan melawat ke berbagai kota untuk memperoleh sanad yang terdekat dengan Rasul yang dilakukan sanad 'aali Ibn Hazm mengatakan bahwa nukilan orang kepercayaan dari Orang yang dipercaya hingga sampai kepada Nabi SAW. dengan bersambung-sambung perawi-perawinya adalah suatu keistimewaan dari Allah khususnya kepada orang-orang Islam.

A. IImu Rijalil Hadis llmu Rijalil Hadis ialah:

Artinya: Ilmu yang membahas tentang para perawi hadis, baik dari sahabat, tabiin, maupun dari angkatan sesudahnya . Dengan ilmu ini dapatlah kita mengetahui keadaan para perawi menerima hadis dari Rasulullah dan keadaan para perawi yang menerima hadis dari sahabat dan seterusnya. Di dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi, mazhab yang dipegang oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu dalam menerima hadis. Sungguh penting sekali ilmu ini dipelajari dengan seksama, karena hadis itu terdiri dari sanad dan matan. Maka mengetahui keadaan para perawi yang menjadi sanad merupakan separuh dari pengetahuan. Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya. Ada yang hanya menerangkan riwayat-riwayat ringkas dari para sahabat saja. Ada yang menerangkan riwayat-riwayat umum para perawi-perawi, Ada yang menerangkan perawi-perawi yang dipercayai saja, Ada yang menerangkan riwayat-riwayat para perawi yang lemah-lemah, atau para mudallis, atau para pemuat hadis maudu. Dan ada yang menerangkan sebab-sebab dianggap cacat dan sebab-sebab dipandang adil dengan menyebut kata -kata yang dipakai untuk itu serta martabat perkataan. Ada yang menerangkan nama-nama yang serupa tulisan berlainan sebutan yang di dalam ilmu hadis disebut Mutalif dan Mukhtalif. Dan ada yang menerangkan nama-nama perawi yang sama namanya, lain orangnya, Umpamanya Khalil ibnu Ahmad. Nama ini banyak orangnya. lni dinamai Muttafiq dan Muftariq. Dan ada yang menerangkan namanama yang serupa tulisan dan sebutan, tetapi berlainan keturunan dalam sebutan, sedang dalam tulisan serupa. Seumpama Muhammad ibnu Aqil dan Muhammad ibnu Uqail. Ini dinamai Musytabah. Dan ada juga yang hanya menyebut tanggal wafat. Di samping itu ada pula yang hanya menerangkan nama-nama yang terdapat dalam satusatu kitab saja, atau: beberapa kitab saja. Dalam semua itu para ulama telah berjerih payah menyusun kitab-kitab yang dihajati. Kitab yang diriwayatkan keadaan para perawi dari golongan sahabat Permulaan ulama yang menyusun kitab riwayat ringkas para sahabat, ialah Al-Bukhari (256 H). Kemudian usaha itu dilaksanakan oleh Muhammad Ibnu Saad, sesudah itu terdapat beberapa ahli lagi, di antaranya, yang penting diterangkan ialah Ibnu Abdil Barr (463 H). Kitabnya bernama AI-Istiab. Pada permulaan abad ketujuh Hijrah, Izzuddin ibnul Atsir (630 H) mengumpulkan kitabkitab yang telah disusun sebelum masanya dalam sebuah kitab besar yang dinamai Usdul Gabah. Ibnu Atsir ini adalah saudara dari Majdudin Ibnu Atsir pengarang An-Nihayah fi GaribiI Hadis. Kitab Izzuddin diperbaiki oleh Ai-Dzahabi (747 H) dalam kitab At-Tajrid. Sesudah itu pada abad kesembilan Hijrah, Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqali menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama AI-Ishabah. Dalam kitab ini dikumpulkan Al-Istiab

dengan Usdul Gabah dan ditambah dengan yang tidak terdapat dalam kitab-kitab tersebut. Kitab ini telah diringkaskan oleh As-Sayuti dalam kitab Ainul Ishabah. Al-Bukhori dan muslim telah, menulis juga kitab yang menerangkan nama-nama sahabi yang hanya meriwayatkan suatu hadis saja yang dinamai Wuzdan. Kemudian, dalam bab ini Yahya ibnu abdul Wahab ibnu Mandah Al-Asbahani (551 H) menulis sebuah kitab yang menerangkan nama-nama sahabat yang hidup 120 tahun. B. Ilmul Jarhi Wat Takdil Ilmu Jarhi Wat Takdir, pada hakekatnya merupakan suatu bagian dari ilmu rijalil hadis. Akan tetapi, karena bagian ini dipandang sebagai yang terpenting maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Yang dimaksud dengan ilmul jarhi wat takdil ialah:

Artinya: Ilmu yang menerangkan tentang catatan-catatan yang dihadapkan pada para perawi dan tentang penakdilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu. Mencacat para perawi (yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik, agar orang tidak terpedaya dengan riwayat-riwayatnya), telah tumbuh sejak zaman sahabat. Menurut keterangan Ibnu Adi (365 H) dalam Muqaddimah kitab AI-Kamil, para ahli telah menyebutkan keadaan-keadaan para perawi sejak zaman sahabat. Di antara para sahabat yang menyebutkan keadaan perawi-perawi hadis ialah Ibnu Abbas (68 H), Ubadah ibnu Shamit (34 H), dan Anas ibnu Malik (93 H). Di antara tabiin ialah Asy Syabi(103 H), Ibnu Sirin (110H), Said Ibnu AI-Musaiyab (94 H). Dalam masa mereka itu, masih sedikit orang yang dipandang cacat. Mulai abad kedua Hijrah baru ditemukan banyak orang-orang yang lemah. Kelemahan itu adakalanya karena meng-irsal-kan hadis, adakalanya karena me- rafa-kan ltadis yang sebenarnya mauquf dan adakalanya karena beberapa kesalahan yang tidak disengaja, seperti Abu Harun AI-Abdari (143 H). Sesudah berakhir masa tabiin, yaitu pada kira-kira tahun 150 Hijrah, para ahli mulai menyebutkan keadaan-keadaan perawi, menakdil dan menajrihkan mereka. Di antara ulama besar yang memberikan perhatian pada urusan ini, ialah Yahya. ibnu Said AlQattan (189H), Abdur Rachman ibnu Mahdi (198 H), sesudah itu, Yazid Ibnu

Harun(189 H), Abu Daud At-Tahyalisi (204 H), Abdur Razaq bin Human (211 H).Sesudah itu, barulah para ahli menyusun kitab-kitab jarah dan takdil. Di dalamnya diterangkan keadaan para perawi, yang boleh diterima riwayatnya dan yang ditolak. Di antara pemuka-pemuka jarah dan takdil ialah Yahya ibnu Main (233 H), Ahmad ibnu Hanbal (241 H), MUhammad ibnu Saad (230 H),Ali Ibnul Madini (234 H), Abu Bakar ibnu Syaibah (235 H), Ishaq ibnu Rahawaih (237 H). Sesudah itu, Ad-Darimi (255 H),AlBukhari (256 H), Al-Ajali(261 H), Muslim (251 H), Abu Zurah (264 H), Baqi ibnu Makhlad (276 H), Abu Zurah Ad-Dimasyqi (281 H). Kemudian pada tiap-tiap masa terdapat ulama-ulama yang memperhatikan keadaan perawi, hingga sampai pada ibnu Hajar Asqalani (852 H). Kitab-kitab yang disusun mengenai jarah dan taqdil, ada beberapa macam. Ada yang menerangkan orang-orang yang dipercayai saja, ada yang menerangkan orang-orang yang lemah saja, atau orang-orang yang menadlieskan hadis. dan ada pula yang melengkapi semuanya. Di samping itu, ada yang menerangkan perawi-perawi suatu kitab saja atau beberapa kitab dan ada yang melengkapi segala kitab. Di antara kitab yang melengkapi semua itu ialah: Kitab Tabaqat Muhammad ibnu Saad Az-Zuhri Al-Basari (23Q H). Kitab ini sangat besar. Di dalamnya terdapat nama-nama sahabat nama-nama tabiin dan orang-orang sesudahnya. Kemudian berusaha pula beberapa ulama besar lain, di antaranya Ali ibnul Madini(234 H), Al-Bukhari, Muslim; Al-Hariwi (301 H) dan ibnu Hatim (327 H). Dan yang sangat berguna bagi ahli hadis dan fiqih ialah At-Takmil susunan Al-Imam ibnu Katsir. Diantara kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang dapat dipercayai saja ialah Kitab As-Siqat, karangan Al-Ajaly (261 H) dan kitab As-Siqat karangan Abu Hatim ibnu Hibban Al-Busty. Masuk dalam bagian ini adalah kitab-kitab yang menerangkan tingkatan penghapal-penghapal hadis. Banyak pula ulama yang menyusun kitab ini, di antaranya, Az-Zahabi, Ibnu Hajar Al-Asqalani dan As-Sayuti. Diantara kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang lemah-lemah saja ialah: Kitab Ad-Duafa, karangan Al-Bukhari dan kitab Ad- Duafa karangan ibnul Jauzi (587 H) C. IImu Illail Hadis Ilmu Illial Hadis, ialah:

Artinya: Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat mencacatkan hadis. Yakni menyambung yang munqati, merafakan yang mauqu memasukkan satu hadis ke dalam hadis yang lain dan yang serupa itu Semuanya ini, bila diketahui, dapat merusakkan kesahihan hadis. Ilmu ini merupakan semulia-mulia ilmu yang berpautan dengan hadis, dan sehalushalusnya. Tak dapat diketahui penyakit-penyakit hadis melainkan oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah yang kuat terhadap sanad dan matan-matan hadis. Di antara para ulama yang menulis ilmu ini, ialah Ibnul Madini (23 H), Ibnu Abi Hatim (327 H), kitab beliau sangat baik dan dinamai Kitab Illial Hadis. Selain itu, ulama yang menulis kitab ini adalah AI-lmam Muslim (261 H), Ad-Daruqutni (357 H) dan Muhammad ibnu Abdillah AI-Hakim. D. Ilmun nasil wal mansuh Ilmun nasih wal Mansuh, ialah:

Artinya: ilmu yang menerangkan hadis-hadis yang sudah dimansuhkan dan yang menasihkannya. Apabila didapati suatu hadis yang maqbul, tidak ada yang memberikan perlawanan maka hadis tersebut dinamai Muhkam. Namun jika dilawan oleh hadis yang sederajatnya, tetapi dikumpulkan dengan mudah maka hadis itu dinamai Mukhatakiful Hadis. Jika tak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu, dinamai Nasih dan yang terdahulu dinamai Mansuh. Banyak para ahli yang menyusun kitab-kitab nasih dan mamuh ini, di antaranya Ahmad ibnu Ishaq Ad-Dillary (318 H), Muhammad ibnu Bahar AI-Asbahani (322 H), Alunad ibnu Muhaminad An-Nah-has (338 H) Dan sesudah itu terdapat beberapa ulama lagi yang menyusunnya, yaitu Muhammad ibnu Musa Al-Hazimi (584 H) menyusun kitabnya, yang dinamai Al-lktibar. Kitab AI-Iktibar itu telah diringkaskan oleh Ibnu Abdil Haq (744 H) . E. Ilmu Asbabi Wuruddil Hadis, ialah:

Ilmu Asbabi Wuruddil Hadis, ialah:

Artinya: Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi yang menurunkan sabdanya dan masamasanya Nabi menurunkan itu. Penting diketahui, karena ilmu itu menolong kita dalam memahami hadis, sebagaimana ilmu Ashabin Nuzul menolong kita dalam memahami Al-Quran. UIama yang mula-mula menyusun kitab ini dan kitabnya ada dalam masyarakat iaIah Abu Hafas ibnu Umar Muhammad ibnu Raja Al-Ukbari, dari murid Ahmad (309 H), Dan kemudian dituliskan pula oleh Ibrahim ibhu Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah Al Husaini (1120 H), dalam kitabnya AI-Bayan Wat Tarif yang telah dicetak pada tahun 1329 H F. Ilmu Talfiqil Hadis Ilmu Talfiqil Hadis, ialah:

Artinya: Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan hadis-hadis yang isinya berlawanan. Cara mengumpulkannya adakalanya dengan menakhsiskan yang amm, atau menaqyidkan yang mutlak, atau dengan memandang banyaknya yangterjadi. ilmu ini dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful Hadis. Di antara para ulama besar yang telah berusaha menyusun, ilmu ini ialah Al-Imamusy Syafii (204 H), Ibnu Qurtaibah (276 H), At-Tahawi (321 H) dan ibnu Jauzi (597 H). Kitabnya bernama At-Tahqiq, kitab ini sudah disyarahkan oleh Al-Ustaz Ahmad Muhammad Syakir dan baik sekali nilainya.

PENGKLASIFIKASIAN HADIS A. Pembagian Hadis Berdasarkan Jumlah Perawinya Ditinjau dari segi jumlah perawinya, hadis terbagi kepada dua, yaitu : 1. Hadis Mutawatir 2. Hadis Ahad Diantara ulama hadis, ada yang membaginya menjadi tiga, yaitu :

1. Hadis Mutawatir 2. Hadis mashur 3. Hadis Ahad 1. Hadis Mutawatir a.) Pengertian Hadis Mutawatir Mutawatir secara kebahasaan adalah isim fail dari kata al-tawatir yang berarti al-tatabu yaitu berturut-turut. Menurut istilah ulama hadis, mutawatir berarti hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang mustahil menurut adat bahwa mereka bersepakat untuk berbuat dusta. Menurut imam Nawawi mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang mengahsilkan ilmu dengan kebenaran mereka secara pasti dari orang yang sama keadaannya dengan mereka mulai dari awal (sanad) nya sampai ke akhirnya. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadis mutawatir adalah hadis yang memiki sanad yang pada setiap tingkatannya terdiri atas perawi yang banyak dengan jumlah yang menurut hukum adat atau akal tidak mungkin bersepakat unutk melakukan kebohongan terhadap hadis yang mereka riwayatkan tersebut. b.) Kriteria Hadis Mutawatir 1. Perawi tersebut terdiri atas jumlah yang banyak. Sekurang-kurangnya jumlahnya, menurut sebagian ulama hadis, adalah sepuluh orang. Namun, ada yang berpendapat minimal empat orang dalam setiap tabaqat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu alThayyib, karena dianalogikan kepada saksi dalam qadzf; ada yang mangharuskan lima orang, dianalogikan kepada jumlah nabi yang memperoleh gelar Ulul Azmi. 2. Jumlah tersebut harus terdapat pada setiap lapisan atau tingkatan sanand. 3. Mustahil menurut adat bahwa mereka dapat sepakat unutk berbuat dusta. 4. Sandaran riwayat mereka adalah pancaindera. c.) macam hadis mutawatir Hadis mutawatir terbagi menjadi dua, yaitu: 1) Mutawatir lafzhi, yaitu hadis yang mutawatir lafazdan maknanya 2) Mutawatir Manawi yaitu hadis mutawatir maknanya saja, tidak pada lafaznya. 2. Hadis Ahad a.) Pengertian Hadis AHAD Kata ahad berarti satu. Khabar al-Wahid adalah kabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedang menurut istilah hadis ahad yaitu hadis yang tidak memenuhi syarat mutawatir. Menurut Ajjaj al-khathib hadis ahad yaitu hadis yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah yang terdapat pada hadis mutawatir ataupun hadis masyhur. b.) Macam-macam hadis ahad Hadis ahad terbagi menjadi tiga macam, yaitu: 1. Hadis Masyhur Masyhur adalah isim maful dari syahara, yang berarti al-zuhur yaitu nyata. Sedang menurut istilah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, pada setiap tingkatan sanad, selama tidak sampai kepada tingkat mutawatir. Status dan hukum hadis masyhur tidak ada hubungannya dengan shahih atau tidaknya suatu hadis, karena diantara hadis masyhur terdapat hadis yang mempunyai status shahih,

hasan, atau haif, dan bahkan ada yang mawdhu (palsu). Akan tetapi hadis tersebut berstatus shahih, maka hadis masyhur itu hukumnya lebih kuat dari pada hadis Aziz dan Gharih. Hadis masyhur dapat dibagi menjadi enam macam, yaitu : 1) Hadis Masyhur dikalangan ahli hadis, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih. 2) Hadis Masyhur dikalangan fuqaha 3) Hadis Masyhur dikalangan ulama ushul fiqh. 4) Hadis Msyhur di kalangan ulama hadis, fuqaha, ulama Ushul fiqh, dan kalangan awam. 5) Hadis Masyhur di kalangan ahli nahwu 6) Hadis Masyhur di kalangan awam 2. Hadis Aziz Aziz menurut bahasa adalah shifat musyabbahat dari kata azza- yaizzu yang berarti qalla dan nadara yaitu sedikit dan jarang. Sedang menurut istilah berarti bahwa tidak kurang perawinya dari dua orang pada seluruh tingkatan sanad. 3. Hadis Gharib Menurut bahasa kata gharib berarti shifat musyabbahat berarti al-munfarid atau albaidan aqaribihi, yaitu menyendiri atau jauh dari kerabatnya. Sedangkan menurut istilah yaitu hadis yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya. B. Pembagian Hadis Bedasarkan Kualitas Sanad dan Matan-nya. 1. Hadis Shahih Adalah lawan dari saqim (sakit) sedangkan dalam istilah ilmu hadis shahih berarti hadis yang berhubungan (bersambung) sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, dhabith, yang diterianya dari perawi yang sama dengannya sampai kepada akhir sanad, tidak syad dan tidak pula berilat. 2. Hadis Hasan Secara etimologi berarti indah, bagus. Sedang istilah setiap hadis yang diriwayatkan dan tidak terdapat pada sanadnya perawi yang pendusta, dan hadis tersebut tidak syadz, serta diriwayatkan pula melalui jalan yang lain. 3. Hadis Dhaif Hadis dhaif adalah hadis mardud, yaitu hadis yang ditolak atau tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam menetapkan sesuatu hukum. C. Pembagian Hadis Berdasarkan Tempat Penyandarannya 1. Hadis Qudsi Adalah hadis yang dihubungkan keapada zat yang quds, yang maha suci, yaitu Allah SWT. Sedangkan menurut istilah perkatan yang bersumber dari rasulullah SAW. Namun disandarkan beliau kepada Allah SWT. Akan tetapi, meskipun itu adalah perkataan atau firman llah, Hadis Qudsi bukanlah al-Quran dan bahkan keduanya adalah berbeda. 2. Hadis Marfu Hadis marfu adalah segala bentuk yang disandarkan kepada nabi SAW dalam bentuk perkataan, perbuatan, taqrir (pengakuan/ketetapan),ataupun sifat.

Hukum hadis marfu tergantung pada kualitas dan bersambung atau tidaknya sanad, sehingga dengan demikian memungkinkan sesuatu hadis marfu itu berstatus shahih, hasan, atau dhaif. 3. Hadis Mauquf Hadis mauquf adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari, atau dihubungkan kepada, seorang sahabat atau sejumlah sahabat baik berupa perkataan, perbuatan, maupun pengakuan. 4. Hadis Maqthu Secara etimologi adalah putus atau terputus. Sedangkan secara terminologi, hadis maqthu berarti sesuatu yang terhenti (sampai) pada tabiat, baik perkataan maupun perbuatan tabiat tersebut.

. Definisi Hadits Maudhu Secara etimologi : maudhu berasal dari kata yang mempunyai beberapa makna diantaranya 1. ( merendahkan )

2. ( menjatuhkan ) 3. ( mengada-ngadakan ) 4. ( menyandarkan / menempelkan ) Makna bahasa ini terdapat pula dalam hadits maudhu karena 1 Rendah dalam kedudukannya. 2 Jatuh ( tidak bisa diambil dasar hukum ). 3 Diada-adakan oleh perawinya. 4 Disandarkan pada Muhammad shallallohu alaihi wa sallam sedang beliau tidak mengatakannya. Sedang dalam istilah ilmu hadits: hadits maudhu adalah hadits yang diada-adakan dan dipalsukan atas nama Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam secara sengaja atau kesalahan sebagian ulama mengkhususkan hadits maudhu. pada dusta yang disengaja saja. Hadits maudhu adalah hadits yang paling rendah kedudukannya. 2. Hukum Berdusta Atas Nama Nabi Ulama sepakat bahwa sengaja berdusta atas nama Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam adalah salah satu dosa besar yang diancam pelakunya dengan neraka karena adanya akibat buruk, bersabda Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam Barangsiapa berdusta atas saya dengan sengaja maka tempatnya di neraka ( Riwayat Bukhari- Muslim) Hadits ini diriwayatkan oleh 98 shahabat termasuk 10 orang yang dikabarkan masuk surga. 3. Hukum Meriwayatkan hadits maudhu Al-Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa yang menceritakan dari saya satu perkataan yang disangka dusta maka dia adalah salah satu pendusta. Jika ancaman ini bagi yang menduga dusta bagaimana kalau ia yakin bahwasanya ia

dusta. Maka ulama tidak membolehkan hadits dhaif termasuk palsu kecuali kalau disertai oleh pemberitaan bahwa ia dhaif agar dijauhi hadits tersebut dan waspada terhadap rawi yang dhaif atau pemalsu tersebut 4. Pembagian hadits Maudhu Hadits mudhu ada 3 macam: 1. Perkataan itu berasal dari pemalsu yang disandarkan pada Rasulullah r 2. Perkataan itu dari ahli hikmah atau orang zuhud atau israiliyyat dan pemalsu yang menjadikannya hadits. 3. Perkataan yang tidak diinginkan rawi pemalsuannya , Cuma dia keliru. Jenis ketiga ini masuk hadits maudhu apabila perawi mengetahuinya tapi membiarkannya 5.Sejarah Munculnya Pemalsuan Hadits Ada beberapa waktu yang disebutkan peneliti dalam masalah ini: a. Ahmad Amin dalam bukunya Fajrul Islam bahwa pemalsuan hadits terjadi pada zaman Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam , pendapatnya ini hanya dibangun atas persangkaan saja dan tidak berdasar sama sekali b. Munculnya pemalsuan hadits bermula dari terjadinya fitnah pembunuhan Utsman, fitnah Ali dan Muawiyah radhiyallohu anhum jamiandan munculnya firqah setelah itu. Berkisar tahun 35 H 60 H inilah kesimpulan dari perkataan para peneliti hadits di zaman ini diantara nya Dr Mustafa Sibai, Dr Umar Fallatah ( salah seorang pengajar di Masjid Nabawi), Dr Abdul Shomad ( Dosen Al-Hadits di Universitas Islam Madinah) 6. Sebab-Sebab Munculnya Pemalsuan Hadits a. Polemik politik Dari sebab pembunuhan Utsman radhiyallohu anhu kemudian fitnah Ali radhiyallohu anhu dan Muawiyah radhiyallohu anhu terpecahlah kaum muslimin mennjadi tiga , kubu Ali radhiyallohu anhu, Kubu Muawiyah radhiyallohu anhu, dan yang keluar yang memberontak pada Ali radhiyallohu anhu. Pada zaman mereka tidak terjadi pemalsuan hadits, setelah itulah muncul orang-orang yang taasub (fanatik) pada golongan tertentu, dan yang pertama kali mempeloporinya adalah Syiah, mereka membuat hadits palsu tentang keutamaan Ali radhiyallohu anhu, kemudian kubu Muawiyah radhiyallohu anhu berbuat demikian pula, memalsukan hadits

mengenai Abu Bakar, Umar,Utsman, dan Muawiyah radhiyallohu anhum jamian. Ada 2 metode yang dipakai Syiah dalam memalsukan hadits A. Memalsukan hadits yang mendukung pendapat mereka seperti keutamaan Ali radhiyallohu anhu, wasiat imamah (pengganti Rasulullah shallallohu alaihi wasallam dan mutah Contoh Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya Al-Majruhin meriwayatkan dengan sanadnya Kholid bin Ubaid Al Ataki dari Anas radhiyallohu anhu dari Salman radhiyallohu anhu dari Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam bahwasanya beliau berkata kepada Ali radhiyallohu anhu Inilah wasiatku tempat rahasiaku dan orang yang terbaik yang aku tinggalkan setelahku. Ibnu Hibban berkata tentang Kholid bin Ubaid dia meriwatkan dari Anas bin Malik radhiyallohu anhu nuskhoh ( kumpulan hadits yang palsu) orang yang tidak mengenal hadits pun tahu kalau dia palsu (Majruhin 1: 279) B Memalsukan hadits tentang keburukan musuhnya contoh: Imam Ibnu Adi meriwayatkan dengan sanadnya dari Ubbad bin Yakub Al-Hakam bin Sohir dari Asim dari Dzar dari Abdullah radhiyallohu anhu dari Rasulullah shallallohu alaihi wasallam berkata Apabila kamu melihat Muawiyah di atas mimbarku maka bunuhlah ia. Dalam sanad hadits ini ada dua orang rawi pendusta Ubbad bin Yakub dan Al-Hakam bin Sohir. b. Zindik (munafik) Karena penaklukan dari tentara kaum muslimin maka masuklah beberapa orang yang menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keIslaman 7. Sebab Tersebarnya Hadits Palsu a . Fanatisme kepada: 1. Pada khalifah dan pemimpin

2. Negeri 3. Bahasa 4. Mazhab b. Tukang cerita c Ar-Targiib wa Tarhib ( Anjuran berbuat baik dan larangan berbuat mungkar ) dari orang sholeh yang bodoh. Contoh : Ibnu Mahdi bertanya kepada Maisaroh bin Abdi Rabbih pemalsu hadits tentang fadhilah Al-Quran, dia berkata saya memalsukannya untuk mengajak manusia membaca Al-Quran d Tujuan dunia dan harta; seperti untuk melariskan dagangannya sehingga membuta hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan barang yang dijualnya 8. Metode Pemalsu dalam Memalsukan Hadits 1. Membuat hadits yang tidak punya asal 2. Memasukkan beberapa lafaz pada hadits shohih 3. Pencurian hadits 9. Metode Pemalsu Hadits dalam Menyebarkannya a Memasukannya kedalam buku atau kumpulan hadits b.membuat buku dalam hadits/kumpulan hadits c.Berkeliling daerah menyebarkannya 10. Peran Ulama dalam Memberantas Pemalsuan Hadits 1. Memastikan keshahihan riwayat dengan beberapa cara 1.Bertanya dan memeriksa isnad ( para perawi hadits ) Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Muhammad ibnu Sirin seorang tabiin (wafat 110 H) dia berkata Ahli hadits pada awal tidak bertanya tentang isnad maka takkala pada fitnah, mereka berkata Sebutkan orang-orangmu (yang kamu ambil hadits darinya) kalau ia dari Ahlus-Sunnah dia ambillah dan kalau ia ahli bidah ditinggalkannya 2.Bepergian mencari hadits

Imam Abu Aliyah berkata kami telah mendengar dari shahabat Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam di Basrah tetapi kami tidak puas sampai mendengar langsung dari mulut sahabat di Madinah maka kami safar ke sana ( Al-Khatib, Al Jami 2:224) 3. Penelitian dan penyeleksian dalam riwayat hadits, apakah hadits ini dikenal maka diambil dan jika tidak maka tidak diambil. b. Menentukan daerah penyebaran hadits dhaif dan meninggalkan meriwayatkan hadits dari mereka ini , secara asal terutama ahli iraq (kuffah dan basrah) , namun dari ahli Iraq banyak pula ahli hadits diantaranya Qatadah, Yahya bin Abi katsir dan Abu Ishak. c. Mengumpulkan hadits palsu dan membongkar kepribadian pemalsu hadits 1. Hammad bin Zaid berkata: zindik munafik memalsukan kurang lebih 12.000 hadits. 2. Berkata Ibnu Mahdi saya memanggil Isa bin Maimun pemalsu hadits karena riwayatnya dari Al-Qosim maka ia mengatakan saya tidak akan mengulang 11. Hasil Peran Ulama dalam Memberantas Pemalsuan Hadits 1. Ilmu ruwah/ biografi setiap rawi 2. Ilmu jarh wa tadil 3. Pemisahan hadits shohih dan selainnya. 4. Khusus hadits-hadits palsu disusunlah a.Kumpulan rawi pemalsu hadits b.Kumpulam hadits-hadits palsu dan kadangkala digabung dengan hadits dhaif lainnya Diantara buku tersebut 1. Al Maudhuat oleh Imam Ibnul Jauzi (wafat 597 H) 2. Al Laali al Mashnuah fil Ahadits al Mauduaah oleh Imam as-Suyuti (wafat 911 H) 3. Silsilah Al-Ahadits Al-Dhoifah wal Maudhuah oleh Syekh Muhammad Nasiruddin Al Albany Rahimahumullah (wafat pada tahun 1420 H) 12. Kaidah Umum untuk Mengetahui Hadits Palsu. a.Tanda pemalsuan pada isnad hadits 1. Pengakuan sang pemalsu. 2. Adanya dalil yang menujukkan pengakuan yang menunjukkan sang pemalsu contoh seperti ditanya tentang waktu dan tempat bertemu syekh tapi mustahil keduanya bertemu. Imam Al-Khotib meriwayatkan dengan sanadnya dari Ismail bin Ayyash berkata saya

pernah berada di Iraq kemudian saya didatangi ahli hadits di kota itu dan berkata ada orang yang mengatakan bertemu dengan Kholid bin Madan maka saya mendatangi dan bertanya kapan anda mendengar dari Khalid katanya tahun 113 H saya berkata engkau mengaku mendengar dari Khalid setelah 7 tahun kematiannya. Kholid wafat tahun 106 H( al Khotib, al-Jami 1.123). 3.Diketahui dari keadaan sang perowi Seperti meriwayatkan tentang bidahnya b.Tanda pemalsuan pada matan 1. Bertentangan dengan akal sehat yang tidak mengandung penafsiran yang lain atau kenyataan yang ada 1. Bertentangan dengan nash al-quran sunnah dan ijma yang jelas Ibnu Jauzi dalam al-Mauduat yang menyebutkan hadits Tidak masuk surga anak zina, bapaknya dan cucunya Apakah dosanya sebagai anak sehingga menghalangi ia masuk surga bukankah Allah I berfirman Tidaklah seorang berbuat dosa kecuali keburukannya kembali kepada dirinyasendiri dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain (Al-Anam 164 ) 1. Keganjilan lafaz dan bahasanya seperti hadits Barangsiapa makan tanah dan mandi dengannya maka ia telah memakan daging bapaknya Adam dan mandi dengan darahnya ( Diriwayatkan oleh Ibnu Adi dalam al Kamil 5:1837 ini hadits yang batil) 13 . Pengaruh dan Dampak Buruk Tersebarnya Hadits Palsu Hadits-hadits palsu yang banyak beredar di tengah masyarakat kita memberi dampak dan sangat buruk pada masyarakat Islam diantaranya: 1 Munculnya keyakinan-keyakinan yang sesat

2 Munculnya ibadah-ibadah yang bidah 3 Matinya sunnah.

Penelitian Sanad Dan Matan


Hadis merupakan sumber hukum Islam yang pertama setelah Alquran. Dan selain berkedudukan sebagai sumber hukum juga berfungsi sebagai penjelas, perinci dan penafsir Alquran, oleh karena itu otentisitas sumber Hadis adalah hal yang sangat penting. Untuk mengetahui otentik atau tidak nya sumber Hadis tersebut maka kita harus mengetahui dua unsur yang sangat penting yaitu sanad dan matan. Kedua unsur tersebut mempunyai hubungan fungsional yang dapat menentukan eksistensi dan kualitas suatu Hadis. Sehingga sangat wajar manakala para muhadditsin sangat besar perhatiannya untuk melakukan penelitian, penilaian dan penelusuran Hadis dengan tujuan untuk mengetahui kualitas Hadis yang terdapat dalam rangkaian sanad dan matan yang diteliti, sehingga Hadis tersebut dapat dipertanggungjawabkan keotentikannya. Hal itu dilakukan oleh Muhadditsin karena mungkin ia menyadari bahwa perawi Hadis adalah manusia sehingga dalam dirinya terdapat keterbatasan dan kelemahan serta kesalahan. Berdasarkan hal tersebut di atas maka makalah ini mencoba untuk memaparkan bagaimana melakukan penelitian terhadap sanad dan matan Hadis, yang terlebih dahulu kita memahami pengertian, tujuan dan manfaat penelitian sanad dan matan Hadis. A. Pengertian dan Sejarah Penelitian Sanad dan Matan Kata penelitian (kritik) dalam ilmu hadis sering dinisbatan pada kegiatan penelitian hadis yang disebut dengan al Naqd ( ) yang secara etimologi adalah bentuk masdar dari ( ) yang berarti mayyaza, yaitu memisahkan sesuatu yang baik dari yang buruk[1]. Kata al Naqd itu juga berarti kritik seperti dalam literatur Arab ditemukan kalimat Naqd al kalam wa naqd al syir yang berarti mengeluarkan kesalahan atau kekeliruan dari kalimat dan puisi[2] atau Naqd al darahim yang berarti : (memisahkan uang yang asli dari yang palsu ). Di dalam ilmu Hadis, al Naqd berarti :

Memisahkan Hadis-Hadis yang shahih dari dhaif, dan menetapkan para perawinya yang tsiqat dan yang jarh (cacat) [3] Jika kita telusuri dalam Alquran dan Hadis maka kita tidak menemukan kata al Naqd digunakan dalam arti kritik, namun Alquran dalam maksud tersebut menggunakan kata yamiz yang berarti memisahkan yang buruk dari yang baik[4] Obyek kajian dalam kritik atau penelitian Hadis adalah : Pertama, pembahasan tentang para perawi yang menyampaikan riwayat Hadis atau yang lebih dikenal dengan sebutan sanad, yang secara etimologi mengandung kesamaan arti dengan kata thariq yaitu jalan atau sandaran sedangkan menurut terminologi, sanad adalah jalannya matan, yaitu silsilah para perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama[5]. Maka pengertian kritik sanad adalah penelitian, penilaian, dan penelusuran sanad Hadis tentang individu perawi dan proses penerimaan Hadis dari guru mereka dengan berusaha menemukan kesalahan dalam rangkaian sanag guna menemukan kebenaran yaitu kualitas Hadis. Kedua, pembahasan materi atau matan Hadis itu sendiri. Yang secara etimologi memiliki arti sesuatu yang keras dan tinggi (terangkat) dari tanah[6] . Sedangkan secara terminologi, matan berarti sesuatu yang berakhir padanya (terletak sesudah) sanad, yaitu berupa perkataan[7]. Sehingga kritik matan adalah kajian dan pengujian atas keabsahan materi atau isi hadis. Apabila kritik diartikan hanya untuk membedakan yang benar dari yang salah maka dapat dikatakan bahwa kritik Hadis sudah dimulai sejak pada masa Nabi Muhammad, tapi pada tahap ini , arti kritik tidak lebih dari menemui Nabi saw dan mengecek kebenaran dari riwayat (kabarnya) berasal dari beliau. Dan pada tahap ini juga, kegiatan kritik Hadis tersebut sebenarnya hanyalah merupakan konfirmasi dan suatu proses konsolidasi agar hati menjadi tentram dan mantap[8]. Oleh karena itu kegiatan kritik hadis pada masa nabi sangat simple dan mudah, karena keputusan tentang otentisitas suatu hadis ditangan nabi sendiri. Lain halnya dengan masa sesudah nabi wafat maka kritik Hadis tidak dapat dilakukan dengan menanyakan kembali kepada nabi melainkan dengan menanyakan kepada orang atau sahabat yang ikut mendengar atau melihat bahwa Hadis itu dari nabi seperti : Abu Bakar al-Shidiq, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Yhalib, Aisyah dan Abdullah Ibn Umar. Pada masa Sahabat, kegiatan kritik Hadis dilakukan oleh Abu Bakar al shidiq. Seperti yang dikatakan oleh Al Dzahabi bahwa Abu Bakar adalah orang pertama yang berhatihati dalam menerima riwayat hadis dan juga yang dikatakan oleh Al Hakim bahwa Abu Bakar adalah orang pertama yang membersihkan kebohongan dari Rasul SAW. Sikap dan tindakan kehati-hatian Abu Bakar telah membuktikan begitu pentingnya kritik dan penelitian Hadis. Diantara wujud penerapannya yaitu dengan melakukan perbandingan di antara beberapa riwayat yang yang ada seperti contohnya :

Pengalaman Abu Bakar tatkala mengahadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika ada seorang nenek menghadap kepada khalifah Abu Bakar yang meminta hak waris dari harta yang ditinggalkan cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa kami tidak melihat petunjuk al Quran dan praktik nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Kemudian Abu Bakar bertanya kepada para sahabat, al Mughirah Ibn Syubah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian harta waris kepada nenek sebesar seperenam bagian. Al Mughirah mengaku hadir pada waktu Nabi menetapkan kewarisan nenek tersebut. Mendengar pernyataan tersebut, Abu Bakar meminta agar al Mughirah menghadirkan saksi tentang riwayat yang sama dari rasul SAW, maka Muhammad Ibn Maslamah memberikan kesaksian atas kebenaran pernyataan al Mughirah dan akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan hadis nabi yang disampaikan oleh al Mughirah Setelah periode Abu Bakar, maka Umar bin Khattab melanjutkan upaya yang dirintis pendahulunya dengan membakukan kaidah-kaidah dasar dalam melakukan kritik dan penelitian Hadis. Ibn Khibban menyatakan bahwa sesungguhnya Umar dan Ali adalah sahabat yang pertama membahas tentang para perawi Hadis dan melakukan penelitian tentang periwayatan Hadis, yang kegiatan tersebut kemudian dilanjutkan para ulama setelah mereka. Demikian pula Aisyah, Abdullan ibn Umar Abu ayyub al Anshari serta sahabat lainnya juga melakukan kritik Hadis, terutama ketika menerima riwayat dari sesama sahabat, seperti yang dilakukan Abu Ayyub al Anshari dengan melakukan perjalanan ke Mesir hanya dalam rangka mencocokkan sebuah Hadis yang berasal dari Uqbah ibn Amir. Seiring dengan perluasan daerah Islam, Hadis pun mulai tersebar luas ke daerah-daerah di luar Madinah sehingga mendorong lahirnya pengkajian dan penelitian Hadis seperti di Madinah dan Irak. Kegiatan itu pasca sahabat dilanjutkan para tabiin yang berkonsentrasi pada kedua daerah tersebut.[9] Menurut Ibn Khibban yang dikutip oleh M.M.Azamai[10] bahwa setelah Umar dan Ali di Madinah pada abad pertama Hijrah muncul tabiin kritikus Hadis antara lain : Ibn al Musayyab (w.93H), al Qasim bin Muhammad bin Umar (W.106H), Salim bin Abdullah bin Umar (w.106H), Ali bin Husain bin Ali (w.93H), Abu Sulamah bin Uthbah , Kharidjah bin Zaid bin Tsabit (w.100H), Urwah bin az Zubair (w.94H), Abu Bakar bin Abdurrahman bin al Harist (w.94H) dan Sulaiman bin Yasir (w.100 H). Setelah mereka muncul murid-muridnya di Madinah pada abad kedua yaitu tiga ulama kritikus hadis yaitu : az Zuhri, Yahya bin Said dan Hisyam bin Urwah. Sedangkan di Irak, yang terkemuka antara lain adalah : Said bin Jubair, asy syabi, thawus, Hasan al Bashri (w.110H) dan ibn Sirrin (w.110H), setelah itu muncul Ayyub as Sakhtiyani dan ibn Aun. Setelah berakhirnya periode Tabiin, maka kegiatan kritik dan penelitian Hadis memasuki era perluasan dan perkembangannya ke berbagai daerah yang tidak terbatas. Sehubungan

dengan itu muncul beberapa ulama kritik Hadis, antara lain : Sufyan ats Tsuri dari Kuffah (97-161H), Malik bin Anas dari Madinah (93-179H), Syubah dari Wasith (83-100H), al AuzaI dari Beirut (88-158H), hamad bin salamah dari Bashrah(w.167H), Al laits bin Saad dari Mesir (w.175H), Ibn Uyaianah dari Mekah (107-198H), Abdullah bin al Mubarak dari marw(118-181H), Yahya bin Said al Qathan dari Basrah (w.192H), Waki bin al Jarrah dari Kuffah (w.196H), Abdurrahman bin Mahdi dari Basrah (w.198H) dan Asy SyafiI dari Mesir (w.204H). Ulama-ulama tersebut di atas pada gilirannya melahirkan banyak ulama mashur di bidang kritik Hadis, antara lain : Yahya bin Main dari Baghdad (w.233H), Ali bin al Madini dari Basrah (w.234H), Ibn Hanbal dari Baghdad (w.241H), Abu Bakar bin Abu Syaibah dari Wasith (w.235H), Ishak bin Rahawaih dari Marw (w.238H) dan lain-lain. Murid-murid dari mereka itu yang tersohor adalah antara lain : Adz Dzuhali, Ad Darimi, Al Bukhari, Abu Zurah ar Razi, Abu Hatim ar Razi, Muslim bin al Hajjaj an Nisaburi dan Ahmad bin Syuaib. B.Tujuan dan Manfaat Penelitian Sanad dan Matan Tujuan pokok dari penelitian sanad dan matan Hadis adalah untuk mengetahui kualitas suatu Hadis, karena hal tersebut sangat fungsional berhubungan dengan kehujjahan Hadis. Suatu Hadis dapat dijadikan hujjah (dalil) dalam menetapkan hukum apabila Hadis tersebut telah memenuhi syarat-syarat diterimanya (maqbul) suatu Hadis[11]. Adapun Hadis yang perlu diteliti adalah Hadis yang berkategori ahad, yaitu yang tidak sampai kepada derajat mutawatir, karena Hadis kategori tersebut berstatus Zhanni al Wurud.[12] Sedangkan terhadap Hadis mutawatir, para ulama tidak menganggap perlu untuk melakukan penelitian lebih lanjut, karena Hadis kategori tersebut telah menghasilkan keyakinan yang pasti bahwa Hadis tersebut berasal dari Nabi SAW, meski demikian tidaklah berarti bahwa terhadap Hadis mutawatir tidak dapat dilakukan penelitian lagi. Jika hal itu dilakukan hanya bertujuan untuk membuktikan bahwa benar Hadis tersebut berstatus mutawatir, bukan untuk mengetahui kualitas sanad dan matan nya sebagaimana yang dilakukan terhadap Hadis ahad. C.Faktor-faktor yang Mendorong Penelitian Sanad dan Matan Adapun faktor-faktor yang mendorong perlunya penelitian sanad dan matan diantaranya adalah[13]: 1.Kedudukan Hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam Diterimanya Hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam merupakan keniscayaan, karena begitu luas ruang lingkup Alquran di satu sisi dan keterbatasan manusia manusia dalam memahami Alquran di sisi yang lain. Maka terhadap hal ini Nabi Muhammad SAW bertugas menjelaskan secara rinci dan juga mendapat legitimasi dari Allah dan umat pengikutnya berkewajiban mengikutinya. Ayat Alquran yang berkaitan dengan perintah tersebut antara lain : a.Q.S. al Hasyr ayat 7

apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu,Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. b. Q.S. al Imran ayat 32 Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". 2. Tidak seluruh Hadis ditulis pada masa nabi SAW Bahwa Hadis nabi lebih sedikit yang ditulis dibanding dengan yang diriwayatkan secara hafalan di kalangan para sahabat dan itu pun belum mendapat pengujian (cek ulang) di hadapan Nabi SAW, sehingga Hadis Nabi, baik yang telah maupun yang belum di tuliskan pada masa Nabi SAW perlu di lakukan penelitian lebih lanjut terhadap para perawi dan periwayatannya sehingga tingkat validitasnya suatu riwayat dapat dibuktikan. 3. Munculnya Pemalsuan Hadis Berbagai faktor yang mendorong pemalsuan Hadis menyebabkan banyak bermunculan Hadis-hadis palsu, akhirnya umat Islam mengalami kesulitan untuk mengetahui Hadis yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan dan yang asli berasal dari Nabi SAW. Oleh karena itu mendorong kegiatan penelitian Hadis semakin penting. Dalam kaitan ini, ulama Hadis bekerja keras dan dengan kesungguhan menyelamatkan Hadis-hadis Nabi SAW, yaitu berupa penyusunan beberapa kaidah dan ilmu Hadis secara ilmiah untuk dapat di pergunakan penelitian Hadis. Sehingga sanad Hadis menjadi sanngat penting, begitu juga dengan penelitian terhadap pribadi para perawi yang telah memperoleh suatu Hadis adalah bagian terpokok dalam penelitian Hadis. Oleh Karena itu kegiatan penting yang dilakukan para ulama Hadis, selain penghimpunan Hadis adalah juga pengkajian sejarah para perawi Hadis itu sendiri. 4. Lamanya Masa Pengkodifikasian Hadis. Pengkodifikasian Hadis secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd Aziz (99 101 H). Muhammad ibn Muslim ibn Syihab az Zuhri adalah satu diantara ulama yang berhasil melaksanakan perintah khalifah Umar ibn Abd Aziz dalam penghimpunan Hadis, dan hasil karyanya tersebut selanjutnya di kirim oleh Khalifah ke berbagai daerah untuk dijadikan bahan penghimpunan Hadis selanjutnya. Jarak waktu antara masa penghimpunan Hadis dengan masa Nabi SAW yang cukup lama, mengakibatkan Hadis-hadis yang terhimpun dalam berbagai kitab menuntut penelitian yang seksama dari Hadis yang tidak dapat dipertanggung jawabkan ke shahihan nya. 5. Beragamnya Metode Penyusunan Kitab-Kitab Hadis. Tidak seragamnya metode dan sistimatika penyusunan kitab-kitab Hadis pada masa penghimpunan , maka para ulama Hadis menilai dan membuat kreteria tentang peringkat kualitas kitab-kitab Hadis, seperti : al Kutub al Khamsah, al Khutub al Sittah dan al

Kutub al Sabah, yaitu berupa kita-kitab Hadis yang standar. Kreteria yang tidak seragam tersebut selanjutnya akan menghasilkan kualitas Hadis-hadisnya tidak selalu sama. Oleh karena itu untuk mengetahui kesahihan suatu Hadis yang termuat dalam kitab-kitab tersebut maka diperlukan adanya penelitian. Kegiatan penelitian tersebut akan dapat menentukan kualitas para periwayat yang termuat dalam berbagai sanad, apakah memenuhi syarat atau tidak. 6. Adanya Periwayatan Hadis Secara makna sebagian sahabat ada yang membolehkan periwayatan Hadis secara makna, seperti Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Masud, Anas ibn Malik, Abu Hurairah dan Aisyah serta sahabat yang lain secara ketat melarang periwayatan hadis secara makna, seperti : Umar ibn al Khattab, Abdullah ibn Umar dan Zaid ibn Arqam. Kalangan sesudah sahabat terdapat juga para ulama yang membolehkan periwayatan Hadis secara makna, namun dengan syarat-syarat tertentu, seperti perawi yang bersangkutan harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentanng bahasa Arab, Hadis yang diriwayatkan bukan bacaan yang bersifat taabbudi seperti bacaan shalat dan periwayatan secara makna mengindikasikan bahwa Hadis tersebut memiliki matan tertentu dari Rasul SAW. Sementra itu untuk mengetahui kandungan petunjuk dari suatu Hadis, terutama Hadis Qauli, terlebih dahulu harus mengetahui redaksi Hadis yang bersangkutan. Sehingga sangat perlu dilakukan penelitian Hadis. D. Bagian-Bagian Yang Harus Diteliti : Sanad dan Matan Adapun yang menjadi obyek penelitian Hadis adalah sanad Hadis dan matan Hadis ; 1.1. Sanad Hadis Keadaan dan kualitas sanad merupakan hal yang pertama sekali diperhatikan dan dikaji oleh para ulama Hadis, terutama yang menyangkut nama-nama perawi yang terlibat dalam periwayatan Hadis dan lambang-lambang periwayatan Hadis yang telah digunakan oleh masing-masing perawi dalam meriwayatkan Hadis, seperti : samitu, akhbarani, an dan anna. Oleh karena itu apabila sanad suatu Hadis tidak memiliki kreteria yang telah ditentukan seperti tidak adil maka riwayat tersebut langsung ditolak dan selanjutnya penelitian terhadap matan Hadis tidak diperlukan lagi, karena salah satu prinsip yag dipedomani oleh para ulama Hadis adalah bahwa suatu Hadis tidak akan diterima meskipun matan nya kelihatan shahih kecuali disampaikan oleh orang-orang yang adil akan tetapi apabila sanad nya telah memenuhi persyaratan ke shahih an, maka barulah kegiatan penelitian dilanjutkan kepada matan Hadis itu sendiri. Prinsip ulama Hadis itu adalah : Ke shahih an sanad tidak mengharuskan ke shahih an matan suatu hadis Agar suatu sanad dapat dinyatakan shahih dan diterima maka harus memiliki syaratsyarat seperti : bersambung ( muttashil), adil dan dhabit. Apabila syarat-syarat tersebut telah terpenuhi oleh suatu sanad maka sanad tersebut secara lahir telah dapat dinyatakan shahih. Akan tetapi para ulama hadis menambahkan lagi dua syarat lain guna memperkuat status ke shahih an, yaitu bahwa sanad tersebut tidak syadz dan tidak ber illat[14].

a.Kebersambungan Sanad (Ittishal al Sanad) Yang dimaksud sanad bersambung adalah bahwa masing-masing perawi yang terdapat dalam rangkaian sanad tersebut menerima Hadis secara langsung dari perawi sebelumnya, dan selanjutnya dia menyampaikan kepada perawi yang dating sesudahnya. Hal tersebut harus berlangsung dan dapat dibuktikan dari sejak perawi pertama - generasi sahabat yang menerima hadis tersebut langsung dari Rasul Allah SAW ,- samapai kepada perawi terakhir yang mencatat dan membukukan hadis itu, seperti Bukhari dan lainlain. Demikian pula, bahwa di dalam sanad tidak ada perawi yang gugur (munqathi), tersembunyi (mastur), tidak dikenal (majhul) ataupun samara-samar (mubham). Selain itu, anatara satu perawi dengan perawi lainnya harus dapat dibuktikan bahwa mereka adalah semasa (al muasharah) dan telah terjadi pertemuan langsung diantara mereka (al liqa). Dalam hal penelitian mengenai kebersambungan sanad, maka ada dua hal yang harus dikaji oleh peneliti Hadis yaitu : sejarah hidup masing-masing perawi dan sighat al tahammul wa al addad. Dalam hal meneliti sejarah hidup perawi, langkah yang dilakukan adalah pencatatan nama-nama seluruh perawi yang terdapat pada sanad, yang selanjutnya dituliskan dalam bentuk rangking yang saling berkaitan sehingga dapat digambarkan peringkat masing-masing perawi seperti ; sahabat, tabiin, tabii al tabiin dan seterusnya. Dan langkah selanjutnya barulah diteliti riwayat hidup masing-masing perawi dengan memperhatikan hubungan satu perawi dengan perawi lainnya yaitu masa hidupnya, tempat lahir dan daerah-daerah yang pernah dikunjunginya, sumber Hadis yang diterimanya dan muridnya yaitu yang meriwayatkan Hadis, dan selanjutnya meneliti lambang-lambang periwayatan Hadis yang telah digunakan masing-masing perawi. b. Keadilan Perawi Yang dimaksud dengan sifat adil disini adalah suatu sifat yang tertanam di dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk senantiasa memelihara ketakwaan, muruah (moralitas), sehingga menghasilkan jiwa yang percaya dengan kebenarannya yang ditandai dengan sikap menjahui dosa-dosa besar dan dari sejumlah dosa kecil. Adapun untuk mengetahui keadilan seorang perawi Hadis, dapat dilakukan dengan cara :

Melalui pemeberitahuan para kritikus Hadis atau dalam istilah ibn Shalah dan al Nawawi adalah melalui pernyataan dua orang muaddil. Melalui popularitas yang dimiliki seorang perawi bahwa dia adalah seorang adil, sepertio Malik ibn Abbas atau Sufyan al Tsuri Apabila terdapat berbagai pendapat para ulama mengenai status keadilan seorang perawi, seperti ada yang menyatakan adil dan ada juga yang menyatakan jarh maka permasalahan ini harus diselesaikan dengan mempedomani kaidah dalam Ilm al jarh wa al Tadl sehingga dapat ditarik kesimpulan mengenai keadilannya[15].

c. Ke dhabit an Perawi Al dhabit atau ke dhabit an seorang perawi dalam terminologi ulama Hadis adalah ingatan (kesadaran) seorang perawi hadis semenjak dia menerima Hadis, melekat (setia) nya apa yang dihafalnya di dalam ingatannya dan pemeliharaan tulisan (kitab) nya dari segala macam perubahan sampai dia menyampaikan (meriwayatkan) Hadis tersebut

. Pengertian Takhrij Hadis Takhrij menurut bahasa mengandung pengertian bermacam-macam, dan yang populer diantaranya adalah al-istinbath (mengeluarkan), al-tadrib (melatih atau membiasakan), al-tawjih (memperhadapkan)[4] Sedangkan secara terminologi, tajhrij berarti : Mengembalikan (menelusuri kembali ke asalnya) hadis-hadis yang terdapat di dalam berbagai kitab yang tidak memakai sanad kepada kitab-kitab musnad, baik disertai dengan pembicaraan tentang status hadis-hadis tersebut dari segi sahih atau daif, ditolak atau diterima, dan penjelasan tentang kemungkinan illat yang ada padanya, atau hanya sekedar mengembalikannya kepada kitab-kitab asal (sumbernya)nya.[5] Para muhadisin mengartikan takhrij hadis sebagai berikut: 1. Mengemukakan hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh. 2. Ulama mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis, atau berbagai kitab lain yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayat sendiri, atau para gurunya, siapa periwayatnya dari para penyususn kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan. 3. Mengeluarkan, yaitu mengeluarkan hadis dari dalam kitab dan meriwayatkannya. Al-Sakhawy mengatakan dalam kitab Fathul Mugis sebagai berikut, Takhrij adalah seorang muhadis mengeluarkan hadis-hadisdari dalam ajza, al-masikhat, atau kitab-kitab lainnya. Kemudian hadis tersebut disusun gurunya atau teman-temannya dan sebagainya, dan dibicarakan kemudian disandarkan kepada pengarang atau penyusun kitab itu. 4. Dalalah, yaitu menunjukkan pada sumber hadis asli dan menyandarkan hadis tersebut pada kitab sumber asli dengan menyebutkan perawi penyusunnya.

5. Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumber yang asli, yakni kitab yang di dalamnya dikemukakan secara lengkap dengan sanadnya masingmasing, lalu untuk kepentingan penelitian.[6] Dari uraian defenisi di atas, takhrij Hadis dapat dijelaskan sebagai berikut:

Mengemukakan hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para rawinya yang ada dalam sanad hadis itu. Mengemukakan asal usul hadis sambil dijelaskan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang diperoleh oleh penulis kitab tersebut dari para gurunya, lengkap dengan sanadnya sampai kepada Nabi Saw. Kitab-kitab tersebut seperti; Al-Kutub al-Sittah, Muwaththa Malik, Musnad Ahmad, Mustadrak Al-hakim. Mengemukakan hadis-hadis berdasarkan sumber pengambilannya dari kitab-kitab yang didalamnya dijelaskan metode periwayatannya dan sanad hadis-hadis tersebut, dengan metode dan kualitas para rawi sekaligus hadisnya.

Dari berbagai pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa hakikat dari takhrij hadis adalah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab hadis sebagai sumbernya yang asli yang didalamnya dikemukakan secara lengkap matan dan sanadnya. Penelusuran dan pencarian hadis pada sumber aslinya ini memeliki beberapa urgensi yakni; 1). Secara metodologis pengutipan hadis pada sumber primer adalah suatu keharusan. 2). Syarat untuk penelitian sanad. 3). Menghindari kesalahan redaksi. 4). Menghindari kesalahan nilai hadis karena membangsakan kualitas hadis secara tidak benar. Seperti menempatkan hadis daif kepada hadis sahih atau sebaliknya.[7]

B. Tujuan dan Manfaat Takhrij Hadis Ilmu takhrij merupakan bagian dari ilmu agama yang harus mendapat perhatian serius karena di dalamnya dibicarakan berbagai kaidah untuk mengetahui sumber hadis itu berasal. Disamping itu, didalamnya ditemukan banyak kegunaan dan hasil yang diperoleh, khususnya dalam menentukan kualitas sanad hadis.[8] Penguasaan tentang ilmu Takhrij sangat penting, bahkan merupakan suatu keharusan bagi setiap ilmuwan yang berkecimpung di bidang ilmu-ilmu kasyariahan, khususnya yang menekuni bidang hadis dan ilmu hadis. Dengan mempelajari kaidah-kaidah dan metode takhrij, seseorang akan dapat mengetahui bagaimana cara untuk sampai kepada suatu hadis di dalam sumber-sumbernya yang asli yang pertama kali disusun oleh para Ulama pengkodifikasi hadis. Dengan mengetahui hadis tersebut dari sumber aslinya, maka akan dapat diketahui sanadsanadnya. Dan hal ini akan memudahkan untuk melakukan penelitian sanad dalam rangka untuk mengetahui status dan kualitasnya.

Dengan demikian Takhrij hadis bertujuan mengetahui sumber asal hadis yang di takhrij. Tujuan lainnya adalah mengetahui ditolak atau diterimanya hadis-hadis tersebut. Dengan cara ini, kita akan mengetahui hadis-hadis yang pengutipannya memperhatikan kaidahkaidah ulumul hadis yang berlaku. Sehingga hadis tersebut menjadi jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya. Adapun manfaat takhrij Hadis antara lain sebagai berikut: 1. Dapat diketahui banyak sedikitnya jalur periwayatan suatu hadis yang sedang menjadi topik kajian. 2. Dapat diketahui status hadis sahih li zatih atau sahih li ghairih, hasan li zatih, atau hasan li ghairi. Demikian pula akan dapat diketahui istilah hadis mutawatir, masyhur, aziz, dan gharibnya.[9] 3. Memperjelas hukum hadis dengan banyaknya riwayatnya, seperti hadis da`if melalui satu riwayat. Maka dengan takhrij kemungkinan akan didapati riwayat lain yang dapat mengangkat status hadis tersebut kepada derajat yang lebih tinggi. 4. Memperjelas perawi yang samar, karena dengan adanya takhrij, dapat diketahui nama perawi yang sebenarnya secara lengkap. 5. Dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat. 6. Memperjelas perawi hadis yang tidak diketahui namanya melalui perbandingan di antara sanad-sanadnya. 7. Dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya. Hal ini karena mungkin saja ada perawi-perawi yang mempunyai kesamaan gelar. Dengan adanya sanad yang lain, maka nama perawi itu akan menjadi jelas. 8. Dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya hadis melalui perbandingan sanadsanad yang ada. 9. Dapat mengungkap kemungkinan terjadinya kesalahan cetak melalui perbandingan-perbandingan sanad yang ada.[10] 10. Memberikan kemudahan bagi orang yang hendak mengamalkan setelah mengetahui bahwa hadis tersebut adalah makbul (dapat diterima). Sebaliknya, orang tidak akan mengamalkannya apabila mengetahui bahwa hadis tersebut mardud (ditolak). 11. Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadis adalah benar-benar berasal dari Rasulullah Saw yang harus diikuti karena adanya bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadis tersebut, baik dari segi sanad maupun matan.[11]

C. Kitab-Kitab yang Diperlukan dalam Men-takhrij Dalam melakukan takhrij, seseorang memerlukan kitab-kitab tertentu yang dapat dijadikan pegangan atau pedoman sehingga dapat melakukan kegiatan takhrij secara mudah dan mencapai sasaran yang dituju. Diantara kitab-kitab yang dapat dijadikan pedoman dalam men-takhrij adalah: Usul al- Takhrij wa Dirasat al-Asanid oleh Muhammad Al-Tahhan, Husul al-Tafrij bi Usul al-Takhrij oleh Ahmad ibn Muhammad al-Siddiq al- Gharami, Turuq Takhrij Hadis Rasul Allah Saw karya Abu Muhammad al-

Mahdi ibn `Abd al-Qadir ibn `Abd al Hadi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi oleh Syuhudi Ismail, dan lain-lain. Selain kitab-kitab di atas, di dalam men-takhrij diperlukan juga bantuan dari kitab-kitab kamus atau mujam hadis dan mujam para perawi hadis, diantaranya seperti:

AL-Mu`jam Al-Mufahras li Al-faz Al-Hadis An-Nabawi. Kitab ini memuat hadishadis dari Sembilan kitab induk hadis seperti Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmidzi, Sunan abu Daud, Sunan Nasai, Sunan ibn Majah, Sunan Darimi, Muwaththa Imam Malik dan Musnad Imam Ahmad. Miftah Kunuz al- Sunna. Kitab ini memuat hadis-hadis yang terdapat dalam empat belas buah kitab, baik mengenai Sunnah maupun biografi Nabi. Yaitu selain dari Sembilan kitab induk hadis yakni; musnad al-Tayalisi, Musnad Zaid ibn Ali ibn Husein ibn Ali ibn Abi Talib, Al-Tabaqat al-Kubra, Sirah ibn Hisyam, AlMagazi.[12]

Sedangkan kitab yang memuat biografi para perawi hadis diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Thahhan sebagai berikut:[13] a) Kitab yang memuat biografi sahabat 1. Al-Isti ab fi Ma`rifat al Asahab, oleh ibn abd al-Barr al-Andalusi (w. 463 H/1071 M). 2. Usud al-Ghabah fi Ma`rifat al-Sahabah, oleh Iz al-Din Abi al-Hasan Ali ibn Muhammadibn Al-asir al-Jazari (w. 630 H/ 1232 M) 3. Al-Ishabah fi Tamyizal-Sahabah, oleh Al-Hafiz ibn Hajar al-asqalani (w. 852 H/ 1449). b) Kitab-kitab Tabaqat yaitu kitab-kitab yang membahas biografi para perawi hadis berdasarkan tingkatan para perawi (tabaqat al-ruwat), seperti: 1. Al-Tabaqat al-Kubra, oleh `Abdullah Muhammad ibn Sa`ad Khatibal-Waqidi (w. 230 H). 2. Tazkirat al-Huffaz, karangan Abu `Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Usman al-Zahabi (w. 748 H/ 1348 M). c) Kitab-kitab yang memuat para perawi hadis secara umum; 1. Al-Tarikh al-Kabir, oleh Imam Al-Bukhari (w 256 H/870 M) 2. Al-Jarh wa al-Ta`dil, karya ibn Abi Hatim (w 327 H).

D. Cara Pelaksanaan dan Metode Takhrij

Di dalam melakukan takhrij, ada lima metode yang dapat dijadikan sebagai pedoman, yaitu; 1. Takhrij Melalui Lafaz Pertama Matan Hadis Metode ini sangat tergantung pada lafaz pertama matan hadis. Hadis-hadis dengan metode ini dikodifikasi berdasarkan lafaz pertamanya menurut urutan huruf hijaiyah. Misalnya, apabila akan men-takhrij hadis yang berbunyi; Untuk mengetahui lafaz lengkap dari penggalan matan tersebut, langkah yang harus dilakukan adalah menelusuri penggalan matan itu pada urutan awal matan yang memuat penggalan matan yang dimaksud. Dalam kamus yang disusun oleh Muhammad fuad Abdul Baqi, penggalan hadis tersebut terdapat di halaman 2014. Bearti, lafaz yang dicari berada pada halaman 2014 juz IV.[14] Setelah diperiksa, bunyi lengkap matan hadis yang dicari adalah; : Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda, (Ukuran) orang yang kuat (perkasa) itu bukanlah dari kekuatan orang itu dalam berkelahi, tetapi yang disebut sebagai orang yang kuat adalh orang yang mampu menguasai dirinya tatkala dia marah. Metode ini mempunyai kelebihan dalam hal memberikan kemungkinan yang besar bagi seorang mukharrij untuk menemukan hadis-hadis yang dicari dengan cepat. Akan tetapi, metode ini juga mempunyai kelemahan yaitu, apabila terdapat kelainan atau perbedaan lafaz pertamanya sedikit saja, mak akan sulit unruk menemukan hadis yang dimaksud. Sebagai contoh ; Berdasarkan teks di atas, maka lafaz pertama dari hadis tersebut adalah iza atakum ( .)Namun, apabila yang diingat oleh mukharrij sebagai lafaz pertamanya adalah law atakum ( ) atau iza jaakum [15]( ,)maka hal tersebut tentu akan menyebabkan sulitnya menemukan hadis yang sedang dicari, karena adanya perbedaan lafaz pertamanya, meskipun ketiga lafaz tersebut mengandung arti yang sama. 2. Takhrij Melalui Kata-Kata dalam Matan Hadis Metode ini adalah metode yang berdasarkan pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, baik berupa kata benda ataupun kata kerja. Dalam metode ini tidak digunakan huruf-huruf, tetapi yang dicantumkan adalah bagian hadisnya sehingga pencarian hadishadis yang dimaksud dapat diperoleh lebih cepat. Penggunaan metode ini akan lebih

mudah manakala menitikberatkan pencarian hadis berdasarkan lafaz-lafaznya yang asing dan jarang penggunaanya. Kitab yang berdasarkan metode ini di antaranya adalah kitab Al-Mu`jam Al-Mufahras li Al-faz Al-Hadis An-Nabawi. Kitab ini mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di dalam Sembilan kitab induk hadis sebagaimana yaitu; Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmizi, Sunan Abu Daud, Sunan Nasai, Sunan Ibn Majah, Sunan Darimi, Muwaththa malik, dan Musnad Imam Ahmad. Contohnya pencarian hadis berikut; Dalam pencarian hadis di atas, pada dasrnya dapat ditelusuri melalui kata-kata naha () taam ( ,)yukal ( )al-mutabariyaini ( .)Akan tetapi dari sekian kata yang dapat dipergunakan, lebih dianjurkan untuk menggunakan kata al-mutabariyaini ( )karena kata tersebut jarang adanya. Menurut penelitian para ulama hadis, penggunaan kata tabara ( )di dalam kitab induk hadis (yang berjumlah Sembilan) hanya dua kali. Penggunaan metode ini dalam mentakhrij suatu hadis dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: Langkah pertama, adalah menentukan kata kuncinya yaitu kata yang akan dipergunakan sebagai alatuntuk mencari hadis. Sebaiknya kata kunci yang dipilih adalah kata yang jarang dipakai, karena semakin bertambah asing kata tersebut akan semakin mudah proses pencarian hadis. Setelah itu, kata tersebut dikembalikan kepada bentuk dasarnya. Dan berdasarkan bentuk dasar tersebutdicarilah kata-kata itu di dalam kitab Mujammenurut urutannya secara abjad (huruf hijaiyah). Langkah kedua, adalah mencari bentuk kata kunci tadi sebagaimana yang terdapat di dalam hadis yang akan kita temukan melalui Mujam ini. Di bawah kata kunci tersebut akan ditemukan hadis yang sedang dicari dalam bentuk potongan-potongan hadis (tidak lengkap). Mengiringi hadis tersebut turut dicantumkan kitab-kitab yang menjadi sumber hadis itu yang dituliskan dalm bentuk kode-kode sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Metode ini memiliki beberapa kelebihan yaitu; Metode ini mempercepat pencarian hadis dan memungkinkan pencarian hadis melalui kata-kata apa saja yang terdapat dalam matan hadis. Selain itu, metode ini juga memiliki beberapa kelemahan yaitu; Terkadang suatu hadis tidak didapatkan dengan satu kata sehingga orang yang mencarinya harus menggunakan kata-kata lain. 3. Takhrij Berdasarkan Perawi Sahabat

Metode ini dikhususkan jika kita mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadis, lalu kita mnecari bantuan dari tiga macam karya hadis yakni;

Al-Masanid (musnad-musnad). Dalam kitab ini disebutkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh setiap sahabat secara tersendiri. Selama kita sudah mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadis, maka kita mencari hadis tersebut dalam kitab ini hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut. Al- ma`ajim (mu`jam-mu`jam). Susunan hadis di dalamnya berdasarkan urutan musnad para sahabat atau syuyukh (guru-guru) sesuai huruf kamus hijaiyah. Dengan mengetahui nama sahabat dapat memudahkan untuk merujuk hadisnya. Kitab-kitab Al-Atraf. Kebanyakan kitab al-atraf disusun berdasarkan musnadmusnad para sahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadis itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-atraf tadi untuk kemudian mengambil hadis secara lengkap.

Kelebihan metode ini adalah bahwa proses takhrij dapat diperpendek. Akan tetapi, kelemahan dari metode ini adalah ia tidak dapat digunakan dengan baik, apabila perawih yang hendak diteliti itu tidak diketahui. 4. Takhrij Berdasarkan Tema Hadis Metode ini berdasrkan pada tema dari suatu hadis. Oleh karena itu untuk melakukan takhrij dengan metode ini, perlu terlebih dahulu disimpulkan tema dari suatu hadis yang akan ditakhrij dan kemudian baru mencarinya melalui tema itu pada kitab-kitab yang disusun menggunkan metode ini. Seringkali suatu hadis memiliki lebih dari satu tema. Dalam kasus yang demikian seorang mekharrij harus mencarinya pada tema-tema yang mungkin dikandung oleh hadis tersebut. Contoh : Dibangun Islam atas lima pondasi yaitu : Kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, berpuasa bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu. Hadis diatas mengandung beberapa tema yaitu iman, tauhid, shalat, zakat, puasa dan haji. Berdasarkan tema-tema tersebut maka hadis diatas harus dicari didalam kitab-kitab hadis dibawah tema-tema tersebut. Cara ini banyak dibantu dengan kitab Miftah Kunuz AsSunnah yang berisi daftar isi hadis yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan. Dari keterangan diatas jelaslah bahwa takhrij dengan metode ini sangat tergantung kepada pengenalan terhadap tema hadis. Untuk itu seorang mukharrij harus memiliki beberapa pengetahuan tentang kajian Islam secara umum dan kajian fiqih secara khusus.

Metode ini memiliki kelebihan yaitu : Hanya menuntut pengetahuan akan kandungan hadis, tanpa memerlukan pengetahuan tentang lafaz pertamanya. Akan tetapi metode ini juga memiliki berbagai kelemahan, terutama apabila kandungan hadis sulit disimpulkan oleh seorang peneliti, sehingga dia tidak dapat menentukan temanya, maka metode ini tidak mungkin diterapkan. 5. Takhrij Berdasarkan Status Hadis Metode ini memperkenalkan suatu upaya baru yang telah dilakukan para ulama hadis dalam menyusun hadis-hadis, yaitu penghimpunan hadis berdasarkan statusnya. Karyakarya tersebut sangat membantu sekali dalam proses pencarian hadis berdasarkan statusnya, seperti hadis qudsi, hadis masyhur, hadis mursal dan lainnya. Seorang peneliti hadis dengan membuka kitab-kitab seperti diatas dia telah melakukan takhrij al hadis. Kelebihan metode ini dapat dilihat dari segi mudahnya proses takhrij. Hal ini karena sebagian besar hadis-hadis yang dimuat dalam kitab yang berdasarkan sifat-sifat hadis sangat sedikit, sehingga tidak memerlukan upaya yang rumit. Namun, karena cakupannya sangat terbatas, dengan sedikitnya hadis-hadis yang dimuat dalam karya-karya sejenis, hal ini sekaligus menjadi kelemahan dari metode ini. Kitab kitab yang disusun berdasarkan metode ini :

Al-Azhar al-Mutanasirah fi al-Akbar al-Mutawatirah karangan Al-Suyuthi. Al-Ittihafat al-Saniyyat fi al-Ahadis al-Qadsiyyah oleh al-Madani. Al-Marasil oleh Abu Dawud, dan kitab-kitab sejenis lainnya.

BAB PEMBAHASAN BIOGRAFI SINGKAT BEBERAPA ULAMA HADITS

II

Diantara para ulama hadits yang telah berjasa dalam pengkordifikasikan hadits dan ilmu hadits, sejak pertama dikumpulkan secara resmi sampai pada penyelesaiannya antara yang shahih dan yang bukan shahih adalah :

Umar Ibn Abdul al-Aziz ( 61-101 H)


Nama lengkapnya adalah Umar Ibn Abdul al-Aziz Ibn Marwan Ibn al-Hakam Ibn Abi alAsh Ibn Umayyah Ibn Abdul Syams al-Qurasyi al-Umawi Abu Hafs al-Madani alDimasyzi, Amir al-Muminin. Ibunya adalah UmmAshim binti Ashim Ibn Umar Ibn alKhaththab. Dengan demikian, dia adalah cucu dari Umar Ibn al-Khathathab dari garis keturunan ibunya, beliau lahir pada tahun 61 H. Umar Ibn Abdul al-Aziz hidup dalam suasana atsmosfir ilmu pengetahuan cukup baik dan beliau sendiri sebagai Amir al-Muminin tidak jauh dri ulama. Dia sendiri menuliskan sejumlah hadits, selain mendorong para ulama untuk melakukan hal yang sama, menurut pandangannya, dengan cara demikian hadits Nabi SAW dapat terpelihara, dengan demikian, salah satu kebijaksanaan Umar Ibn al-Aziz menggalakan para ulama dalam hal penulisan hadits serta memberikan kebolehan untuk itu, yang sebenarnya belum ada kebolehan resmi. Dorongan untuk menuliskan dan memelihara hadits selain karena dikhawatirkan akan lenyapnya hadits bersama meninggalnya para penghafalnya, juga dikarenakan berkembangnya kegiatan pemalsuan hadits yang disebabkan oleh terjadinya pertentangan politik dan perbedaan mazhab dikalangan umat Islam, Khalifah Umar Ibn Abdul al-Aziz menginstruksikan dalam menginstruksikan kepada para ulama dan penduduk Madinah untuk memperhatikan dan memelihara hadits mengatakan, Perhatikanlah hadits-hadits Rasul SAW dan tuliskanlah, karena aku mengkhawatirkan lenyapnya hadits dan perginya para ahlinya. Instruksinya kepada Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazm. Gubernurnya di Madinah, mengatakan, Tuliskan untukku seluruh hadits Rasul SAW yang ada padamu dan pada Amrah, karena aku mengkhawatirkan hilangnya hadits-hadits tersebut, Khalifah Umar juga memerintahkan Ibn Syihab al-Zuhri (W. 124 H) dan ulama lainnya untuk mengumpulkan hadits Nabi SAW. Selain perintah untuk mengumpulkan hadits, Khalifah Umar juga mengirim surat kepada para penguasa didaerah-daerah agar mendorong para ulama setempat untuk mengajarkan dan menghidupkan sunnah Nabi SAW. Meskipun masa pemerintahan beliau relative singkat, beliau telah mempergunakannya secara maksimal dan efektif untuk pemeliharaan hadits-hadits Nabi SAW, yaitu dengan mengeluarkan perintah secara resmi untuk pengumpulan dan pembukaan hadits, maka umumnya para ulama hadits menghubungkan permulaan hadits dengan Umar Ibn Abd al-Aziz yaitu pada awal abad kedua Hijriah dan orang yang mula-mula membukukan hadits adalah Ibn Syihab al-Zuhri. Ibn Syihab alzuhri berhasil mengkoleksi hadits, beliau berkata :

Umar Ibn Abd al-Aziz telah memerintahkan kami untuk mengumpulkan sunnah Nabi SAW, maka kami pun menuliskannya dalam beberapa buku. Dia selanjutnya mengirimkan masing-masing satu kepada setiap penguasa didaerah. Dan dia selanjutnya perkataannya : Tidak ada seorang pun yang telah membukukan ilmy ini (hadits) sebelum pembukuan yang aku lakukan ini. Meskipun seorang Khalifah, Umar Ibn Abd al-Aziz juga seorang perawi hadits. Beliau menerima hadits dari Anas, Al-Saib Ibn Yazid, Abdullah, sedangkan yang meriwayatkan hadits-haditsnya diantaranya adalah Abu Salamah Ibn Abd al-Rahman dan kedua anaknya yakni Abdullah dan Abd al-Aziz, dua orang anak Umar Ibn Abd al-Aziz, saudaranya yakni Zuban Ibn Abd al-Aziz, anak pamannya yakni Maslamah Ubn al-Malik Ibn Marwan, Abu Bakar Muhammad Ibn Amr Ibn Hazm, Al-Zuhri, Anbasah Ibn Said Ibn al-Ash dan lain-lain. Penilaian para kritikus hadits mengenai diri Umar Ibn Abd al-Aziz adalah sebagai berikut : Ibn Saad berkata, Umar Ibn Abd al-Aziz adalah seorang yang tsiqat, mamun, dia seorang faqih, alim, dan wara, dia meriwayatkan banyak hadits, dan dia adalah imam yang adil, Ibn Hibban memasukkan Umar ibn Abd al-Aziz kedalam kelompok Tabiin yang tsiqat, Al-Bukhari, Malik dan Ibn Uyainah menyataka Umar ibn Abd al-Aziz adalah imam. Umar ibn Abd al-Aziz meninggal dunia pada bulan Rajab tahun 101 H.

Muhammad ibn Syihab al-Zuhri (50-124)


Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad ibn muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab ibn Abdullah ibn al-Harits ibn Zuhrah ibn Kilab ibn Murrah al-Qurasyi al-Zuhri alMadani, beliau lahir pada tahun 50 H, yaitu pada masa pemerintahan khalifah muawiyah ibn Abi Sufyan. Al-Zuhri hidup pada akhir masa sahabat, dan dia masih bertemu dengan sejumlah sahabat ketia dia berusia 20 tahun lebih. Oleh karenanya, dia mendengar hadits dari para sahabat seperti Anas ibn Malik. Abdullah ibn Umar, Jabir ibn Abdillah, Sahal ibn Saad, Abu AtThufail, Al-Masur ibn Makhramah dan lainnya. Menurut para ulama, seperti dikatakan Umar bin Abd al-Aziz, Ayyub dan al-Laits, tidak ada ulama yang lebih tinggi kemampuannya khususnya dalam bidang ilmu agama dari alZuhri, ia seperti yang dikatakan al-As-Zalani, mendapat beberapa gelar, antara lain alFaqih, al-Hafizh al-Madani dan lain-lain. Ada sebuah kisah tentang kesetiaan dan keteguhan hafalannya terlihat ketika suatu hari Hisyam ibn Abd al-Malik memintanya untuk mendiktekan sejumlah hadits untuk anaknya. Lantas al-Zuhri meminta menghadirkan seorang juru tulis dan kemudian dia mendiktekan sejumlah 400 hadits. Setelah berlalu lebih sebulan, al-Zuhri bertemu kembali dengan Hisyam, ketika itu Hisyan mengatakan kepadanya bahwa kitab yang berisikan 400 hadits tempom hari telah hilang. Al-Zuhri menjawab, Engkau tidak akan kehilangan hadits-hadits itu, kemudian dia meminta seorang juru tulis, lalu dia mendiktekan kembali hadits-hadits tersebut,

setelah itu, dia menyerahkan kepada Hisyam dan isi kitab tersebut ternyata satu huruf pun tidak berubah dari isi kitab yang pertama. Al-Zuhri adalah seorang yang sangat intens dan bersemangat dalam memelihara sanad hadits bahkan beliau yang pertama menggalakan penyebutan sanad hadits tatkala meriwayatkannya. Dan beliau telah memberikan perhatian yang besar dalam pengkajian dan penuntutan ilmu hadits, bahkan beliau bersedia memberikan bantuan materi terhadap mereka yang berkeinginan mempelajari hadits namun tidak mempunyai dana untuk itu. Al-Zuhri memiliki sekitar 2000/2200 hadits. Menurut al-Nasdi ada empat jalur sanad yang terbaik dari beliau yaitu : a Al-Zuhri dari Ali ibn al-Husain, dari ayahnya dari kakeknya. b Al-Zuhri dari Ubaidillah, dari ibn Abbas. c Al-Zuhri dari Ayyub, dari Muhammad dari Ubaidah dari Ali. d Al-Zuhri dari manshur, dari ibrahim dari Al-Qamah dari Abdullah. Beliau meninggal dunia pada bulan Ramadhan tahun 124 H.

Muhammad ibn Hazm (W.117 H)


Nama lengkapnya adalah Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm al-Anshari alKhazraji al-Najjari al-Madani al-Qadhi. Ada yang menyebutkan bahwa namanya adalah Abu Bakar dan kuniyagnya Abu Muhammad dan ada bahka ada yang mengatakan bahwa nama dan kuniyahnya adalah sama. Tahun lahirnya tidak diketahui dan tahun meninggalnya, menurut al-Haitsam ibn Adi, Abu Musa dan ibn Bakir adalah tahun 117 H, dan pendapat ini dipegang oleh Ajjaj al-Khathib, sementara itu, al-Waqidi dan ibn alMadini berpendapat bahwa ibn Hzm meninggal pada tahun 120 H, dan pendapat ini diikuti oleh Hasbi ash-Shidieqy. Ibn Hazm adalah seorang ulama besar dalam bidang hadits dan dia juga terkenal ahli dalam bidang fiqh pada masanya, Imam Malik ibn Anas mengatakan, saya tidak melihat seorang ulama seperti Abu Bakar ibn Hazm, yaitu seorang sangat mulia muruah-nya dan sempurna sifanya. Dia memerintah di Madinah dan menjadi hakim (qadhi) tidak ada dikalangan kami di Madinah yang menguasai ilmu al-Qadha (mengenai peradilan) seperti yang dimiliki oleh ibn Hazm, ibn Main dan kharrasy mengatakan bahwa ibn Hazm adalah seorang yang tsiqat ; dan ibn Hibban memasukkan ibn Hazm ke dalam kelompok tsiqat. Dalam kapasitasnya sebagai Gubernur Madinah dan sekaligus sebagai ulama hadits dia pernah diminta oleh Khalifah Umar ibn abd al-Aziz untuk menuliskan hadits-hadits Nabi SAW yang ada pada Umrah binti Abd al-Rahman (W.98 H0 serta al-Qasim ibn Muhammad (W.107 H) dan ibn hazm lantas menuliskannya umrah yang adalah makcik dari ibn Hazm sendiri, pernah tinggal bersama Aisyah dan dia adalah yang paling terpecaya dari kalangan Tabiin dalam hal hadits Aisyah.

Al-Ramahurmuzi (W. 360 H)

Namanya adalah Abu Muhammad al-Hasan ibn abd al-Rahman ibn Khallad alRamahurmuzi. Tahun kelahirannya tidak disebutkan secara ekspelesit oleh para ahli sejarah, namun dari riwayat perjalanan hidupnya dan kegiatan periwayatan hadits yang dilakukannya, Ajjaj al-Khathib menyimpulkan bahwa al-Ramahurmuzi lahir sekitar tahun 265. Al-Ramahurmuzi adalah seorang ulama besar dan terkemuka dalam bidang hadits pada zamannya, dan beberapa karyanya muncul seiring dengan kebesarannya dalam bidang hadits tersebut. Al-Samani berkata, Dia (Al-Ramahurmuzi) adalah seorang yang termuka dan banyak pembendaharaannya dalam hadits. Komentar dari Al-Dzahabi yang mengatakan, Al-Ramahurmuzi adalah seorang imam hafiz, seorang muhaddist non Arab, dia menulis, menyusun dan melahirkan berbagai karya ilmiah mengikuti jejak para ulama hadits dan juga ahli syiir, kemudian, dari segi kualitas pribadinya dia adalah seorang yang hafizh, tsiqat, mamun dan melalui kesan-kesan, pengalaman dan peninggalan karya ilmiahnya, dapat disimpulkan bahwa dia adalah seorang yang terpelihara muruah-nya, mulia akhlaknya dan bagus kepribadiannya. Diantara para gurunya dalam bidang hadits adalah ayahnya sendiri, yakni Abd alRamahurmuzi, Abu Hushain Muhammad ibn al-Husain al-WadiI (W. 296 H), Abu Jafar Muhammad Ibn al-Husain al-Khatsami (221-315 H), Abu Jafar Umar ibn Ayyub alSaqthi (W. 303 H), dan lain-lain. Sedangkan diantara para muridnya yang meriwayatkan hadits-haditsnya adalah Abu al-Husain Muhammad ibn Ahmad al-Shaidawi, al-Hasan ibn al-Laits al-Syirazi, Abu Bakar Muhammad ibn Musa ibn Mardawaih, Al-Qadhi Ahmad ibn Ishaq al-Nahawindi, Abu al-Qasim Abdullah bin Ahmad ibn Ali al-Baghdadi, dan lain-lain. Ibn Khallad al-Ramahurmuzi hidup dari akhir abad ke-3 H sampai dengan pertengahan abad ke-4 H. Pada ke-4 Hijriah, tatkala ilmu-ilmu ke Islaman mengalami kematangan dan memiliki istilah-istilah sendiri, bermunculanlah ilmu-ilmu yang mandiri, yang diantaranya adalah dalam bidang ilmu mushthalah al-Hadis. Dalam bidang mushthalah al-Hadits, yang pertama menulis kitabnya adalha Al-Ramahurmuzi dengan judul AlMuhaddits al-Fashil bayn al-Rawi wa al-WaI. kitab ini dipandang sebagai kitab yang pertama dalam bidang ilmu ushul al-Hadits (mushthalah al-Hadits). Selain kitab al-Muhaddits al-Fashil, al-Ramahurmuzi juga menulis sejumlah kitab, yang diantarannya adalah : Adab al-Muwaid, Abad al-Nathiq, Imam al-Tanzil fi al-Quran alKarim, Amtsal al-Nabawi, al-Illal fi Mukhtar al-akhbar dan lain-lain. Al-Ramahurmuzi meninggal dunia pada tahun 360 H di Ramahurmuzi.

Bukhari (194-256 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn AlMughirah Ibn Bardizbah al-Jufi (al-Jafai) al- Bukhari. Dia dilahirkan pada hari jumat 13 Syawal 194 H di Bukhara, ayahnya Ismail adalah adalah seorang ulama hadits yang pernah belajar hadits dari sejumlah ulam terkenal seperti Malik ibn Anas, Hammad ibn

Zaid, dan ibn al-Mubarak. Namun, ayahnya meninggal dunia ketika Bukhari masih dalam usia sangat muda. Bukhari mulai mempelajari hadits sejak usianya masih nuda sekali, bahkan sebelum mencapai usia 10 tahun. Meskipun usianya masih sangat muda, dia memiliki kecerdasan dan kemampuan menghafal yang luar biasa, menjelang usia 16 tahun dia telah mampu menghafal sejumlah buku hasil karya ulam terkenal pada masa sebelumnya, seperti ibn al-Mubarak, Waki, dan lainnya. Dia tidak hanya menghapal hadits-hadits dan karya ulama terdahulu saja, tetapi juga mempelajari dan menguasai biografi dari seluruh perawi yang terlibat dalam periwayatan setiap hadits yang di hafalnya, mulai dari tanggal dan tempat tanggal lahir mereka, juga tanggal dan tempat mereka meninggal dunia, dan sebagainya. Beliau merantau ke negeri Syam, mesir, Jazirah sampai dua kali, ke basrah empat kali, ke Hijaz bermukim 6 tahun dan pergi ke bagdad bersama-sama para ahli hadits yang lain, sampai berkali-kali semua itu beliau lakukan untuk memperoleh informasi yang lengkap mengenai suatu hadits. Baik matan ataupun sanatnya. Pada suatu ketiaka, beliau pergi ke bagdad para ulam ahli hadits sepakat menguji ulama muda yang mulai menanjak namanya. Ulama hadits terdiri dari 10 orang yang masing-masing akan mengutarakan 10 hadits kepada beliau, yang sudah di tukar-tukar sanad dan matannya. Imam Bukhari di undangnya pada suatu pertemuan umum yang dihadiri juga oleh muhatdditsin dari dalam dan luar kota. Bahkan diundang juga ulam hadits dari khurasan. Satu demi satu dari ulama 10 hadits tersebut menanyakan 10 hadits yang telah mereka persiapkan. Jawaban beliau terhadap setiap hadits yang dikemukakan oleh penanya pertama ialah saya tidak mengetahuinya. Demikianlah selesai penanya pertama, majulah penanya ke dua dengan satu persatu dikemukakan hadits yang sudah dipersiapkan dan seterusnya sampai selesai penanya yang kesepuluh dengan hadits-haditsnya sekali, jawabannyapun saya tidak mengetahui. Tetapi setelah beliau mengetahui gelagat mereka yang bermaksud mengujinya, lalu beliau menerangkan dengan membenarkan dan mengembalikan sanad-sanadnya pada matan yang sebenarnya satu per satu sampai selesai semuanya. Para ulama yang hadir tercengang dan terpaksa harus mengakui kepandaiannya, ketelitiannya dan kehafalannya dalan ilmu hadits. Beliau telah memperoleh hadits dari beberapa hafidh, antara lain Maky bin Ibrahim, Abdullah bin Usman al-Marwazy, Abdullah bin Musa Abbasy, Abu Ashim As-Syaibany dan Muhammad bin Abdullah AlAnshary. Ulama-ulama besar yang telah pernah mengambil hadits dari beliau, antara lain : Imam Muslim, Abu Zurah, At-Turmudzy, Ibnu khuzaimah dan An-Nasaiy. Karya-karya beliau banyak sekali, antara lain : (1) Jamius-shahih, yakni kumpulan tersebut berisikan hadits-hadits shahih yang beliau persiapkan selama 16 tahun lamanya. Kitab tersebut berisikan hadits-hadits shahih semuanya, berdasarkan pengakuan beliau sendiri, ujarnya, saya tidak memasukkan dalam kitabku ini kecuali shahih semuanya.

(2) (3) (4) (5) (6) Birrui-Walidain.

Qadlayass-shahabah

wat-tabiin. At-TarikhuI-Ausath. At-TarikhuI-Kabir At-AdabuI-Munfarid

Beliau wafat pada malam sabtu selesai sholaat Isya, tepat pada malam Idul Fitri tahun 252 H. dan dikebumikan sehabis sholat Dhuzur di Khirtank, suatu kampung tidak jauh dari kota Samarkand.

Muslim (204-261 H)
Nama lengkapnya Imam Muslim adalah Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj alQusyairy, beliau dinisbatkan kepada Naisabury, karena beliau adalah putra kelahiran Naisabur, pada tahun 204 h, yakni kota kecil di Iran bagian timur laut. Beliau juga dinisbatkan kepada nenek memangnya Qusyair bin Kaab Rabiah bin Sha-shaah suatu keluarga bangsawan besar. Imam Muslim salah seorang Muhaddisin, hafidh lagi terpercaya terkenal sebagai ulama yang gemar bepergian mencari hadits. Ia mulai belajar hadits pada tahun 218 H saat berusia kurang lebih lima belas tahun. Beliau kunjungi kota Khurasan untuk berguru hadits kepada Yahya ibn Yahya dan Ishaq ibn Rahawaih, didatanginya kota Rey untuk belajar hadits pada Muhammad ibn Mahran, Abu Masad dan di Mesir beliau berguru kepada Amir ibn Sawad, Harmalah ibn Yahya dan kepada ulama hadis yang lain. Selain yang disebutkan diatas masih banyak ulama hadits yang menjadi gurunya, seperti Qatadah ibn Said, al-Qanaby, Ismail Ibn Abi Muhammad ibn al-Muksanna, Muhammad ibn rumbi dan lain-lainnya. Ulama-ulama besar, ulama-ulama yang sederajat dengan beliau dan para hafidh, banyak yang berguru hadits kepada beliau, seperti Abu Halim, Musa ibn Haram, Abu Isa alTirmidzi, Yahya ibn Said, Ibnu Khuzaimah, dan Awawanah, Ahmad ibn al-Mubarak dan lain sebagainya. Karya-karya Imam Muslim antara lain : 1. Shahih muslim yang judul aslinya, al-Musnad al-Shahih, al-Mukhtashar min al-Sunan bi Naql al-Adlan Rasulullah. Telah diakui oleh jumhur ulama, bahwa shahih Bukhari adalah sesahih-sahih kitab hadis dan sebesar-besar pemberi faidah, sedang shahih muslim adalah secermat-cermat isnadnya dan berkurang-kurang perulangannya, sebab sebuah hadits yang telah beliau letakakan pada suatu maudhu, tidak lagi ditaruh di maudhu lain. Jadi kitab shahih ini berada satu tingkat dibawahi sahih Bukhari. 2. Al-Musnad Al-Kabir. Kitab yang menerangkan tentang nama-nama Rijal Al-Hadits. 3. Al-Jamial-kabir 4. Kitab Ial wa Kitabu Uhamil Muhadditsin 5. Kitab Al-Tamyiz

6. Kitabu man Laisa lahu illa Rawin Wahidun 7. Kitabu al-Tahbaqat al-Tabiin 8. Kitab Muhadlramin 9. Kitab lainnya adalah : Al-Asma wa al-Kuna, Irfad Al-Syamiyyin, Al-Agran, Al-Intifa bi Julus al-Shiba, Aulad Al-Sha-habah, al-Tharikh, Hadist Amr ibn Syuaib, Rijalurwah, Sha-lawatuh Ahmad ibn Hanbal, Masyayikh al-Tsauri, Masyayikh Malik dan Al-Wuhdan. Imam muslim wafat pada hari ahad bulan Rajab 261 H dan dikebumikan pada hari senin di Naisabur.

Imam Malik bin Anas (93-179 H)


Imam Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amr bin Amr bin alHarits adalah seorang imam Darul Hijrah dan seorang faqih, pemuka mazhab malikiyah. Silislah beliau berakhir sampai kepada Tarub bin al-Qahthan al-Ashbahy. Nenek moyang kita, Abu Amir adalah seorang sahabat yang selalu mengikti seluruh peperangan yang terjadi pada zaman Nabi, kecuali perang Badar, sedang kakeknya, Malik adalah seorang tabiin yang besar dan fuqaha kenaman dan salah seorang dari 4 orang tabbiin yang jenazahnya dihusung sendiri oleh khalifah Utsman kelompok pemakamannya. Imam Malik bin Anas, dilahirkan pada tahun 93 Hijriah, dikota Madinah, setelah tak tahan lagi menunggu didalam rahim ibunya selama tiga tahun. Sebagai seorang muhaddits yang selalu menghormati dan menjunjung tinggi hadits Rasulullah saw, beliau bila handak memberikan hadits, berwudhu lebih dahulu, kemudian duduk diatas shalat dengan tenang dan berwudhu. Beliau benci sekali memberikan hadits sambil berdiri, ditengah jalan atau dengan tergesa-gesa. Beliau mengambil hadits secara qiraah dari Nafi bin Abi Nuaim, Az-zuhry, Nafi, pelayan ibnu Umar r.a dan lain sebagiannya. Ulama-ulama yang pernah berguru kepada beliau antara lain : al-Auzaiy, Sufyan ats-Tsaury, Sufyan bin Uyainah, IbnuI Mubarak, asy-Syafiiy, dan lain sebagainya. Disamping keahliannya dalam bidang ilmu fiqhi, seluruh ulama telah mengakuinya sebagai muhaddits yang tangguh , seluruh warga Negara Hijaz memberikan gelar kehormatan baginya Sayyidi Fuqahai-Hijaz. Imam Yahya bin Said al-Qahthan dan Imam Yahya bin Main menggelarinya sebagai Amirulmukminin FiI-Hadits. Imam Bukhari mengatakan bahwa sanad yang dikatakan ashahui-asnaid, ialah bila sanad itu terdiri dari Malik, NafiI, dan IbnuUmar r.a. Karya beliau yang sangat gemilang dalam bidang ilmu hadits, ialah kitab-kitab AlMuwaththa tersebut ditulis pada tahun 144 H, atas anjuran khalifah Jafar al-Manshur, sewaktu bertemu di saat-saat menunaikan ibadah haji.

Beliau wafat pada hari ahad, tanggal 14 Rabiul Awwal tahun 169 (menurut sebagian pendapat, tahun 179 H), di Madinah, dengan meninggalkan 3 orang putra : Yahya, Muhammad dan Hammad.

Imam Ahmad bin Hanbal


Imam Abu Abdillah bin Muhammad bin Hanbal al-Marwazy adalah ulama hadits yang terkenal kelahiran Bagdad. Disamping sebagai seorang muhadditsin, terkenal juga sebagai salah seorang pendiri dari salah satu mazhab empat yang dikenal oleh orangorang kemudian, dengan nama mazhab Hanabilah (Hanbaly). Beliau dilahirkan pada bulan Rabiul Awal, tahun 169 H. dikota Bagdad. Dari Bagdad inilah beliau memulai mencurahkan perhatiannya belajar dan mencari hadits sekhidmat-khidmat, sejak beliau baru berumur 16 tahun. Beliau juga berkirim surat kepada ulama-ulama hadits di beberapa negeri, untuk kepentingan yang sama, yang kemudian diikuti dengan peratauannya ke kota-kota Mekah, Madinah, Syam, Yaman, Basrah dan lain-lain. Dari peratauan ilmiah, beliau mendapatkan guru-guru hadits yang kenamaan, antara lain : Sufyan bin Uyainah, Ibrahim bin saad, Yahya bin qaththan. Adapun ulama-ulama besar yang pernah mengambil ilmu dari padanya antara lain : Imam-imam Bukhary. Muslim, Ibnu Abid-Dunya dan Ahmad bin Abil Hawarimy. Beliau sendiri adalah seorang murid imam As-SyafiI yang paling setia. Tidak pernah berpisah dengan gurunya kemana pun sang guru berpergian. Para ulama telah sepakat menetapkan keimanan, ketakwaan, ke-wara-an dan ke-zuhudan beliau, disamping keahliannya dalam bidang perhaditsan. Sehabis salat Ashar, beliau berdiri dengan bersandar pada tembok dibawah menara mesjidnya. Kemudian berkerumunlah orang untuk menanyakan hadits. Disambutnya pertanyaan mereka dengan gembira dan sekaligus meluncurkan berpuluh-puluh hadits dan hafalannya lewat mulutnya. Dan menurut Abu zurah, beliau mempunyai tulisan sebanyak 12 macam yang semuanya sudah dikuasai diluar kepala. Juga beliau mempunyai hafalan matan hadits sebanyak 1.000.000 buah. Beliau dituduh bahwa beliaulah yang menjadi sumber pendapat, bahwa Al-Quran adalah makhluk, sehingga mengakibatkan penyiksaan dan harus meringkuk dipenjara atas tindakan pemerintah diwaktu itu. Diantara karya beliau yang sangat gemilang ialah musnadui kabir kitab musnad ini merupakan satu-satunya kitab musnad terbaik dan terbesar diantara kitab-kitab musnad yang pernah ada. Beliau wafat pada hari Jumat bulan Rabiul Awal tahun 241 H di Bagdad dan dikebumikan di Marwaz, sebagian ulama menerangkan bahwa disaat meninggalnya. Jenazahnya diantar oleh 800.000 orang laki-laki dan 60.000 orang perempuan dan suatu

kejadian yang menakjubkan disaat itu, pula 20.000 orang dari kaum Nasrani, Yahudi dan Majusi masuk agama Islam, makamnya paling banyaj dikunjungi orang.

Anda mungkin juga menyukai