Anda di halaman 1dari 3

1. Hubungan hidup beragama dengan kehidupan multikulturalisme. Keberagaman adalah ciri khas Indonesia.

Indonesia, bukanlah bangunan negara yang tunggal. Dia terdiri dari beragam suku, agama, ras dan golongan. Sehingga, sejatinya Indonesia adalah negara multikultur. Namun keberagaman yang mestinya dirayakan dengan penuh rasa syukur ini, dalam sejarah perjalanan berbangsa, kerap menjadi persoalan. Perjumpaan antara yang berbeda, sering terjadi tidak secara akrab. Saling curiga yang berbuntut pada permusuhan dan konflik sering tak bisa dihindari. Maka, Indonesia butuh etika bersama dalam memaknai keberagaman tersebut. Sebuah sikap dan pemikiran yang memberi tempat bagi kehadiran the other dalam pergaulan publik, perlu dikembangkan. Ini bukan langkah mudah. Sebab, agama-agama atau apapun yang saling berbeda itu akan berhadapan dengan tuntutan menjaga kemurnian ajaran dan keyakinannya. Meski pada hal mendasarnya, karena tuntutan itulah sehingga sikap eksklusif yang tidak menerima kehadiran the other menjadi pilihan dari antara yang berbeda itu. Belakangan muncul sebuah paradigma yang disebut dengan multikulturalisme . Sebelumnya, paradigma pluralisme telah banyak dibicarakan maupun diusahakan dalam merespon semakin majemuknya dunia. Multikulturalisme memang baru dalam wacana dan diskursus pemikiran. Baru sekitar tahun 1970-an gerakan multikultural ini muncul. Pada masa awalnya ini, gerakan yang memberi apresiasi terhadap keberagaman, muncul di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan menyebar di beberapa negara yang khas dengan pluralitas. Multikulturalisme sendiri dipahami sebagai sikap yang menerima dan menghargai eksistensi the others , sebagai bagian dari keberagaman, dengan tidak mempersoalkan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Ada pertanyaan, apakah multikulturalisme bertentangan dengan agama? Penulis artikel ini, Nurul Huda Maarif, memang menganggap pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Sebab, menurut dia, masih ada kecenderungan memahami multikulturalisme sebagai sesuatu yang bukan berasal dari dalam agama, sehingga harus ditolak. Sehingga, mencari titik temu antara konsep multikulturalisme dengan agama, adalah sesuatu yang sedikit sulit dilakukan, tapi bukan mustahil. Sehingga, tidak berarti kesulitan itu kemudian membuntukan usaha mempertemukan antara agama dengan konsep multikulturalisme. Mengutip pendapat Mun im A Sirry, Nurul Huda Maarif menemukan adanya dua pendekatan yang bisa dilakukan untuk mempertemukan keduanya. Pendekatan pertama adalah dengan cara melakukan interpretasi ulang terhadap ajaran atau doktrin-doktrin keagamaan ortodoks yang pada beberapa hal telah dijadikan oleh agama-agama tersebut sebagai alasan untuk bersikap eksklusif. Ini sebagai usaha untuk membuka cakrawala agama sehingga bisa beradaptasi dengan kenyataan keragaman kultur. Pendekatan kedua, bahwa agama perlu membuka diri pada gagasan-gagasan yang modern. Perlu ada modernisasi dalam agama dan hal beragama. Barangkali akan muncul pertanyaan, mengapa harus multikulturalisme? Beberapa pendapat yang dikutip oleh Nurul Huda Maarif menunjukkan bahwa multikulturalisme memiliki visi yang mencerahkan dalam memberi petunjuk untuk memaknai agama secara benar dalam konteks masyarakat yang multikultul seperti Indonesia. Bahwa, multikulturalisme pada prinsipnya membuka ruang dalam sikap yang terbuka dengan penuh semangat persamaan bagi yang saling berbeda suku, ras, agama, golongan dan ideologi untuk hidup bersama dalam suatu arak-arakan kehidupan. Multikulturalisme juga menuntut adanya sikap keterbukaan untuk memaknai secara benar keyakinan yang dianut - tanpa harus dibenturkan dengan yang lain dalam sebuah masyarakat yang multikultur. Visi multikulturalisme adalah terciptanya masyarakat yang multikultur dalam sebuah persamaan hak, berkeadilan, sejahtera dan damai. Masyarakat Indonesia sebenarnya sejak jauh-jauh hari telah memaknai semangat menerima dan menghargai perbedaan, ketika bangunan negara ini memang berpondasikan keberagaman. Bhineka Tunggal Ika, mestinya dimaknai lebih dari sekedar wacana, sebab inilah konsep multikulturalisme

Indoensia yang lahir bersama kelahiran republik ini. Jika semangat multikulturalisme itu diruntuhkan dengan semangat monokulturalisme, maka hancurlah bangunan Indonesia.
Kekhawatiran Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) tentang pluralisme agama (paham yang mengajarkan semua agama sama) dan multifaith education atau pengajaran semua agama ke setiap anak didik (Republika, 21/4) saya kira wajar karena dalam keyakinan kaum Muslimin Islam adalah agama terakhir yang diturunkan untuk menyempurnakan serta meluruskan penyimpangan-penyimpangan dari doktrin-doktrin agama yang diturunkan sebelumnya. Jadi pada hakikatnya setiap agama itu berbeda. Pernyataan yang berkembang dari kedua paham tesebut seperti ''semua pemeluk agama dijamin masuk surga'' bisa benar hanya jika diteruskan dengan klausa ''menurut konteks keyakinan agama masingmasing'' Agama dan konflik Berkembangnya paham pluralisme agama dan multifaith education kemungkinan besar berasal dari kesalahan paradigma orang dalam mempelajari agama. Mereka mempelajari agama dengan mempelajari kenyataan umat agama yang dinilai sebagai representasi dari agama itu sendiri. Dalam konteks Islam, misalnya, banyak orang mempelajari Islam dengan melihat keterbelakangan umat Islam di dunia pendidikan dan fundamentalisme yang kemudian sering dihubungkan dengan terorisme dan sumber peyebab konflik-konflik bernuansa SARA. Padahal menurut Razak (1986) Islam seharusnya dipelajari secara integral dan dari sumber aslinya, yakni Alquran dan Sunnah. Agama, terutama jika dikaitkan dengan kesukubangsan dan ras memang sering menjadi sumber penyebab terjadinya konflik-konflik sosial di Indonesia. Apa yang telah terjadi di Ambon, Sambas, Sampit dan daerah-daerah lain adalah contoh betapa faktor keyakinan keagamaan dalam kesukubangsaan telah ikut andil dalam konflik-konflik berdarah yang telah menewaskan ribuan orang dan memaksa ribuan lainnya untuk meninggalkan tempat tinggalnya. Dalam kaitannya dengan kebudayaan sebagai pedoman hidup, agama yang dipeluk oleh warga suku bangsa biasanya dipeluk secara menyeluruh dan menjadi kebudayaan atau standar moral dari sukubangsa tersebut. Yinger (1994) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat dekat antara kesukubangsaan dengan agama. Kedekatan ini semakin kuat terasa pada saat sentimen primordial muncul dalam kesukubangsaan suatu masyarakat saat menghadapi tantangan-tantangan hidupnya: This affinity is strongest where the sense of a primordial attachment to an ancestral group and its traditions is most deeply felt. Agama suatu suku bangsa semakin dirasakan kepentingannya saat masyarakat suku bangsa tersebut merasa bahwa mereka tidak bisa mengatasi tantangan-tantangan dalam hidup mereka, termasuk di dalamnya adalah dalam menghadapi konflik dengan masyarakat sukubangsa lain. Diskriminasi terhadap WNI keturunan Tionghoa yang dikaitkan dengan agama tertentu dapat pula dijadikan contoh masalah ras yang masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. Memang harus diakui bahwa Pemerintah Indonesia telah cukup banyak berusaha untuk mengurangi kebijaksanaan-kebijaksanaan yang bersifat diskriminatif. Meskipun demikian, masyarakat WNI keturunan Tionghoa sampai sekarang masih merasakan perlakuan-perlakuan diskriminatif terhadap mereka. Kelompok ini sering merasa bahwa loyalitas mereka terhadap negara diragukan dan seringkali mereka hanya menjadi korban tak berdaya dari kebencian yang disebarluaskan oleh oknum-oknum dari kelompok-kelompok agama dan etnis lain. Dalam Tragedi Mei 1998, sebagai minoritas, masyarakat WNI keturunan Tionghoa tak bisa berbuat apa-apa saat dijadikan kambing hitam dari semua masalah yang menimpa Indonesia. Menurut saya urgensi untuk mengadopsi ideologi multikulturalisme lebih besar daripada urgensi untuk menerapkan paham pluralisme agama dan multifaith education. Jika kita benar-benar ingin serius untuk membangun demokrasi, kita harus memberikan perhatian yang sungguh-sungguh bahwa sudah saatnya bagi Indonesia untuk mendorong dan memberikan dasar-dasar hukum yang kuat bagi peraturanperaturan atau kebijakan-kebijakan untuk mengembangkan ideologi multikulturalisme. Hal ini penting karena multikulturalisme tidak dapat terwujud tanpa law enforcement yang konsekuen dan konsisten. Sifat manusia dari kelompok suku bangsa maupun ras mana pun cenderung untuk rasis, karena jati diri ras atau jati diri kesukubangsaan merupakan sesuatu yang primordial (yang pertama dan utama) dalam hidupnya. Jati diri ras atau kesukubangsaan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui proses sosialisasi dan enkulturasi. Pilihan pada multikulturalisme Menurut para antropolog ternama termasuk antropolog senior UI, Prof Parsudi Suparlan, multikulturalisme adalah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara sosial maupun individual. Sebuah masyarakat dalam model multikultural dilihat sebagai

memiliki ''kebudayaan bersama'' . Multikulturalisme lalu dapat melindungi apa yang disebut sebagai pluralisme budaya dan dapat melindungi hak-hak golongan atau kelompok minoritas baik dari segi segi hukum maupun sosial. Bahkan dalam model masyarakat multikultural, seseorang bisa saja mengadopsi kebudayaan-kebudayaan dari ras atau sekubangsa selain ras atau sukubangsanya sendiri karena multikulturalisme menghendaki jati diri ras atau kesukubangsaan diredupkan. Sebagai gantinya, kebudayaan-kebudayaan dari setiap ras atau suku bangsa yang dihidupkan. Pemerintah dapat mengambil pelajaran dari apa yang telah terjadi di Amerika. Sejarah hubungan ras, agama, dan kesukubangsaan di Amerika adalah berdarah dan suram. Dalam buku-buku sejarah Amerika, tercatat bahwa populasi kulit hitam tidak memperoleh bagian yang sama dalam kebebasan dan kemakmuran Amerika. Orang-orang Indian dicurangi dan dicabut hak miliknya. Pada pertengahan abad ke-19 imigran asal Irlandia yang beragama Katolik didiskriminasi secara politik, sosial, dan ekonomi oleh golongan White Anglo-Saxon Protestant (WASP) yang mengaku sebagai suku bangsa asli Amerika. Orang-orang Cina di Pantai Barat menjadi sasaran pelecehan hukum dan sosial pada akhir abad ke-19. Selama Perang Dunia II warga Amerika keturunan Jepang dikirim ke kemah-kemah gurun pasir dengan tuduhan palsu. Pada paruh pertama abad ke-20 hukum imigrasi bersifat sangat rasis. Orang-orang Asia dilarang masuk ke Amerika atau menjadi warga negara. Tindakan-tindakan diskriminatif menimpa bukan hanya ras minoritas, melainkan juga golongan-golongan minoritas lainnya. Pemerintah Federal tercatat pernah memenjarakan para Pendeta Mormon karena dianggap mempunyai kepercayaan yang aneh dan merendahkan martabat. Kaum perempuan yang mencapai separuh populasi pun direndahkan secara hukum dan sosial. Bagaimanapun, perjuangan hak-hak asasi yang dimulai sejak tahun 1950-an lalu kemudian disusul dengan pelarangan perlakuan diskriminasi oleh orang kulit putih terhadap kulit hitam dan berwarna dan ditetapkannya berbagai kegiatan affirmative action atau diskriminasi terbalik, secara bertahap orang Amerika dapat menerima apa yang disebut dengan multikulturalisme. Ideologi multikuturalisme yang menekankan pada kesederajatan tentu saja sangat mendukung terwujudnya demokrasi seutuhnya di Indonesia. Adalah pilihan yang tepat jika pemerintah sekarang mulai merintis usaha-usaha membangun multikulturalisme. Mengapa demikian? Karena sejak penerapan UU Pemerintah Daerah yang mendasari pelaksanaan otonomi daerah muncul kekuasaan ''raja-raja kecil di daerah'' dan semangat rasis dan kesukuan (dan keagamaan) yang besar dari penduduk di daerah yang merasa diri mereka asli dan bermaksud ''memurnikan'' daerah tempat tinggal mereka dari pendatang. Kuncinya keberhasilan penerapan ideologi multikulturalisme adalah penerapan hukum yang konsekuen dan konsisten. Penerapan hukum yang baik akan menghasilkan perilaku hukum yang baik pula. Friedman (2001) mengatakan bahwa apa yang disebut perilaku hukum (legal behavior) adalah perilaku yang dipengaruhi oleh aturan, keputusan, perintah, atau undang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat dengan wewenang hukum. Jika orang berperilaku secara khusus atau mengubah perilakunya secara khusus karena diperintahkan hukum. Inilah perilaku hukum. Untuk mempengaruhi perilaku hukum masyarakat atau untuk mendorong mereka mematuhi hukum, Friedman juga menguraikan beberapa hal yang harus dilakukan. Dua hal di antaranya, yang saya anggap paling penting adalah komunikasi hukum dan sanksi hukum. Komunikasi hukum diperlukan karena sangat aneh jika orang mematuhi hukum atau tidak mematuhi hukum tanpa mengetahui aturan yang sebenarnya. Dengan kata lain, aturan harus dikomunikasikan. Namun tidak cukup bahwa norma atau aturan telah dikomunikasikan kepada audiens yang menjadi sasarannya. Karena yang mendorong mereka ke arah mematuhi atau tidak mematuhi norma atau aturan itu adalah berkaitan dengan ganjaran (reward) dan hukuman (punishment). Orang mengikuti aturan karena mereka takut apa yang akan terjadi jika mereka tidak mengikutinya. Dengan kata lain, hukum dan sanksi mencegahnya. Lebih jauh lagi, pranata hukum akan disegani oleh masyarakat jika bersifat adil dalam artian tidak memihak salah satu golongan atau kelompok, dan peranan-peranan yang ada di dalam pranata tersebut dilakukan secara sungguhsungguh. Jadi ketimbang mencoba bereksperimentasi dengan paham pluralisme agama dan multifaith education yang boleh jadi akan mendapatkan reaksi keras bukan hanya dari umat Islam, melainkan juga dari umat-umat agama lainnya, adalah lebih tepat jika para pembuat keputusan di negeri ini untuk mulai menerapkan kebijakan-kebijakan berbasis multikulturalisme. Kebijakan ini akan membuat penduduk Indonesia yang sangat beragam latar belakang kebudayaan dan agamanya untuk belajar memahami satu sama lain dan menghilangkan atau, paling tidak, mereduksi potensi konflik sosial di antara mereka.

Anda mungkin juga menyukai