Anda di halaman 1dari 11

Analisis Kebijakan Road Pricing di Jakarta Dalam rangka Implementasi fungsi Budgetair & Regulerent pada pemungutan PKB

terutama untuk mengatasi kemacetan dibeberapa titik strategis wilayah Ibukota, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana akan menerapkan pungutan atas penggunaan jalan tertentu (road pricing) seperti yang telah dilaksanakan di beberapa Negara : Singapura (ERP sejak tahun 1998), London dan Stockholm Swedia (ERP sejak tahun 2003). Konsep road pricing sendiri adalah pengenaan biaya secara langsung terhadap pengguna jalan karena melewati ruas jalan tertentu.Pada dasarnya terdapat dua tuj an utama u dari road pricing yaitu menambah pemasukan bagi negara dan merupakan instrument mengatur pengguanaan jalan agar tidak terjadi kemacetan.Road pricing juga mempunyai tujuan lain yaitu untuk mendorong penggunaan angkutan umum masal.Road pricing sendiri berdasarkan tujuannya dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu:
y

Road Toll (fixed rate) Yaitu merupakan pengenaan biaya pada jalan-jalan tertentu.Tujuannya untuk meningkatkan pendapatan

Congestion pricing Pengenaan biaya didasarkan atas kepadatan lalu lintas,jika lalu lintas padat maka biaya yang akan digunakan menjadi lebih tinggi,namun jika tidak padat maka biaya yang dikenakan akan lebih rendah.Tujuannya untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi kemacetan

Cordon fees Pengenaan biaya atas penggunaan jalan-jalan tertentu. Tujuannya untuk mengurangi kemacetan di pusat-pusat kota.

HOV lanes Bagi kendaraan yang tidak bisa banyak mengangkut penumpang, maka akan dikenakan pungutan.Tujuannya untuk mendorong peralihan dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum masal

Distance based fees Biaya yang dikenakan kepada kendaraan bergantung pada seberapa jauh kendaraan digunakan.Tujuannya untuk meningkatkan pendapatan dan mengatasi masalah lalu lintas

Pay as you drive insurance 1

Membagi rata pembayaran berdasarkan jarak sehingga asuransi kendaraan menjadi biaya yang tidak tetap. Tujuannya untuk mengurangi berbagai masalah lalu lintas terutama masalah kecelakaan lalu lintas
y

Road space rationing Penggunaan batasan tertentu di jam-jam padat lalu lintas(misalkan berdasarkan nomor kendaraan).Tujuannya pusat-pusat kota. Congestion Pricing atau yang lebih dikenal sebagai ERP (Electronic Road Pricing) untuk mengurangi kemacetan di jalan-jalan utama atau di

merupakan bentuk Road Pricing yang bayan di terapkan di berabagai negara dan sukses menyelesaikan masalah lalu lintas seperti di Singapora dan Londeon,Inggris. Congestion pricing merupakan salah satu economic instrument yang yang bertujuan untuk mengurangi pemakaian kendaraan pribadi. Dengan congestion pricing atau ERP, pengguna kendaraan pribadi akan dikenakan biaya jika mereka melewati suatu area atau koridor yang macet dengan membayar sejumlah uang,sehingga pengguana kendaraan pribadi harus berfikir untuk mencari rute lain.Biaya yang dikenakan juga untuk memberikan kesadaran kepada para pengguna kendaraan pribadi bahwa perjalanan mereka dengan menggunakan kendaraan pribadi memberikan kontribusi atas kerusakan lingkungan. Terkait dengan Undang-Undang mengenai Pajak Daerah dan Retribusi daerah di Indonesia yang bersifat closed list, maka pemerintah daerah dalam menentukan pajak dan retribusi yang dikenakan terhadap masayarakat tidak boleh diluar yang ditetapkan di dalam UU Pajak daerah dan Retribusi Daerah. Jika dilihat dari tujuannya Road Pricing mempunyai tujuan regulerend yang sama dengan Pajak Kendaraan Bermotor ,namun jika dilihat dari tujuan spesifiknya dalam mencegah kemacetan dengan mengenakan sejumlah pungutan tertentu maka atas road pricing lebih memungkinkan untuk dikenakan pungutan atau

retribusi. Di dalam Undnag Undang Pajaka Daerah dan Retribusi Daerah tidak mencantumkan mengenai ketentuaan retribusi dari ERP,melainkan menyebutkan criteria pungutan lain. Oleh karena itu , ERP dapat dimasukkan ke dalam retribusi jasa umum.

Namun dalam penerapannya road pricing tidak mudah dilakukan, terutama di Jakarta terkait dengan sendi-sendi kehidupan lainnya seperti dalam bidang politik, sosial dan ekonomi banyak menimbulkan bentrokan. Isu-isu yang terkait seputar ERP (Electronic Road Pricing) antara lain mengenai isu jalan sebagai Public Goods.Jalan memang merupakan barang umum atau public goods tetapi seiring dengan peningkatan volume kendaraan yang 2

menyebabkan ruang jalan menjadi terbatas maka diperlukannya suatu batasan,dengan adanya pembatasan tersebut maka pemakaian ruang jalan dapat dioptimalkan dan jumlah pengguna jalan dapat dimaksimalkan.Terkait dengan double tax, dimana pemilik kendaraan sudah membayar pajak kendaraan sehingga secara logika, kendaraan tersebut sudah dapat digunakan diseluruh ruas jalan tanpa harus membayar pajak tambahan. Terkait dengan hal tersebut,paling tidak ada 2 alasan bagi pemerintah untuk mengenakan fiscal.Pertama, pada kondisi lalu lintas yang sudah jenuh (saturated) ,setiap kendaraan akan berpotensi menyebabkan kemacetan yang sangat merugikan bagi dirinya sendiri mamupun bagi orang lain, oleh karena itu pengguna jalan pada jalan tersebut harus membayar sejumlah denda atas kemacetan yang ditimbulkannya.Kedua, dengan adanya road pricing maka lalu lintas akan menjadi lancar,sehingga wajar rasanya kalau pengguna jalan harus membayar sejumlah uang untuk kelancaran lalu lintas yang dinikmatinya. Sedangkan pertanyaan yang muncul adalah masalah apa bedanya antara road pricing dan jalan tol. Prinsip road pricing dan jalan tol tentu berbeda. Pada road pricing,pungutan yang dilakukan semata-mata untuk kelancaran dan pengendalian lalu lintas,sedangkan

prinsip pada jalan tol adalah pungutan tol digunakan untuk mengembalikan biaya investasi yang telah dikeluarkan untuk pembangunan jalan tol, sehingga pungutan pada jalan tol lebih dimaksudkan sebagai fungsi budgetair.Sebagai sarana untuk pengendalian lalu lintas, road pricing memang dimaksudkan kepada pengguna kendaraan pribadi untuk dapat beralih ke kendaraan umum masal,sehingga beban lalu lintas menjadi berkurang. Oleh karena itu,road pricing haruslah mahal agar para pengguan kendaraan pribadi secara sukarela beralih ke angkutan umum. Apabila jumlah pengguna kendaraan pribadi dapat beralih ke kendaraan umum, maka diharapkan lalu lintas akan menjadi lebih lancar,sehingga kerugian-kerugian finansial maupun non finansial yang dialami masyarakat akibat kemacetan dapat menjadi lebih berkurang. Terakit dengan isu peningkatan PAD, jawabannya bisa iya atau tidak, tergantung mekanisme pungutan dan penggunaan pungutannya seperti apa.Apabila hasi pungutan dikategorikan sebagai pajak atau retribusi yang seluruhnya dimasukkan ke dalam dinas pendapatan daerah dan selanjutnya digunakan sesuai mekanisme anggaran yang ada, maka tidak dapat dipungkiri bahwa road pricing adalah salah satu sumber PAD.Namun, hal ini juga dapat dilakukan jika ada jaminan tentang komitmen anggaran yang memadai untuk perbaikan sistem transportasi,khusunya sistem angkutan umum,sehingga masayarakat dapat diyakini bahwa uang yang mereka bayar telah betul-betul digunakan untuk perbaikan angkutan umum,

sehingga mereka yang beralih menggunakan angkutan umum mendapatkan fasilitas yang nyaman,bersih sert murah. Road pricing sebagai pemindahan simpul kemacetan lalu lintas. Idealnya road pricing diterapkan disuatu kawasan (area bases), bukan hanya pada ruas kawasan tertentu.Sehingga tidak terjadi pemindahan kemacetan karena arus lalu lintas diseluruh kawasan tersebut dapat dikendalikan dengan baik.Tetapi apabila kebijakan road pricing ini hanya dilakukan pada ruas jalan tertentu (corridor bases) maka.pemindahan kemacetan tidak dapat

dihindarkan.Namun hal ini dapat diantisipasi dengan menggunakan teknik simulasi dan pemodelan, sehingga titik-titik kemacetan baru sudah dapat diantisipasi sejak dini.Dengan melakukan antisisapi sejak dini, maka pemerintah dapat dengan sigap mempersiapkan tindakan-tindakan seperti apa yang diperlukan apabila terjadi perpindahan titik

kemacetanmisalnya saja dengan cara memperbaiki dan memperluas jaringan angkutan umum,sehingga dalam jangka panjang masyarakat tidak tergantung lagi kepada kendaraan pribadi.

Analisis Kebijakan Pajak atas Reklame Untuk penyelenggaraan Reklame Papan dengan ukuran diatas 24 m2, Wajib Pajak diharuskan melengkapi persyaratan berupa perizinan tata letak reklame (blok Plan) dari Dinas Tata Ruang dan perizinan Konstruksi bangunan / Izin Mendirikan Bangunan Bangun Reklame ( IMB-BR) dari Dinas Pengawasan Pembangunan Kota (DP2K), atas permohonan perizinan tersebut Wajib Pajak harus melakukan pembayaran tertentu kepada Pemerintah Daerah. Pungutan yang dilakukan tersebut merupakan kategori Retribusi Perijinan Tertentu. Retribusi ini merupakan pungutan yang dikenakan sebagai pembayaran atas pemberian ijin untuk melakukan kegiatan tertentu yang perlu dikendalikan oleh daerah.Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Retribusi Daerah mengenai Ketentuan Umum Retribusi Daerah yang dimaksud dengan Retribusi Perizinan Tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah yang diwakili oleh Dinas Pengawas Pembangunan Kota (DP2K) memberikan suatu izin untuk Mendirikan Bangunan Bangun Reklame (IMB4

BR) kepada Pemohon Perizinan tersebut, atas pemberian izin yang lakukan oleh DP2K, pihak DP2K sebagai wakil Pemerintah Daerah yang menangani masalah pembangunan kota mengenakan sejumlah pungutan tertentu kepada pemohon izin, Pungutan yang dilakukan oleh DP2K ini termasuk kedalam jenis Retribusi Perizinan Tertentu. Lebih lanjut mengenai tujuan dilakukan pungutan dalam pemberian izin IMB-BR sebagaimana terdapat dalam Pasal 140 UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang,penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Dari pasal ini terlihat jelas bahwa dasar tujuan dilakukannya pungutan atas pemberian izin IMB-BR adalah sebagai upaya guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Untuk Reklame yang berukuran diatas 24 M2 tentu akan menimbulkan dampak secara langsung bagi masyarakat ,terutama masyarakat yang berdekatan dengan reklame tersebut, selain menimbulkan ketidaknyamanan, reklame tersebut juga akan menimbulkan ancaman keselamatan bagi masyarakat, oleh karena itulah diperlukan pengaturan oleh Pemerintah Daerah guna melindungi kepentingan masyarakat umum. Terkait dengan kelestarian lingkungan, Reklame yang berukuran lebih dari 24 M2 juga akan menimbulkan dampak bagi lingkungan, atas dasar inilah maka atas dampak yang ditimbulkan oleh reklame tersebut harus dipungut sejumlah imbalan tertentu atas dampak yang ditimbulkannya. Dasar Hukum pemungutan atas pemberian izin IMB-BR tersebut sebagaimana terdapat dalam Pasal 141 UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bahwa Jenis Retribusi Perizinan tertentu termasuk di dalamnya retribusi Izin Mendirikan bangunan. Maka atas pemberian izin mendirikan banguanan bangun reklame juga termasuk kedalam pengertian Izin mendirikan Bangunan, sehingga atas IMB-BR dapat dilakukan pungutan berupa retribusi Izin Mendirikan Bangunan.

Wajib Pajak sebelum mengajukan permohonan Ketetapan Pajak Reklame ke Dinas Pelayanan Pajak diwajibkan melampirkan perizianan Blok Plan dan IMB-BR. Dinas Pelayanan Pajak tidak dapat menetapkan SKPD Reklame tersebut sebelum persyaratan Blok Plan dan IMB-BR dipenuhi. Hal tersebut berdampak pada terhambatnya percepatan realisasi penerimaan. Kebijakan apa yang harus ditempuh apabila terdapat Reklame yang sudah terpasang tetapi belum meliki perizinan Blok Plan dan IMB-BR dimaksud, agar tidak terjadi potensial loss atas penyelenggaraan reklame tersebut. 5

Hal yang dapat dilakukan agar tidak terjadi potensial loss, salah satunya adalah dengan memberlakukan kredit pajak, sama seperti yang diterapkan dalam Pajak Penghadilan (PPh). Jadi pemerintah daerah dapat mengenakan pajak atas reklame tersebut sejak reklame tersebut dipasang. Pajak yang dikenakan atas reklame tersebut dapat dianggap sebagai pajak yang dibayar di muka (prepaid tax) bagi wajib pajak, dan setelah Wajib pajak memiliki Blok Plan dan IMB-BR sehingga dapat diterbitkan SKPD,maka pajak yang terutang atas SKPD tersebut dapat disesuaikan dengan Pajak yang telah dibayar di muka oleh Wajib Pajak. Jika pajak yang dibayar dimuka oleh wajib pajak lebih besar dari pajak yang terutang menurut SKPD maka atas kelebihan pembayaran pajak tersebut ,WP dapat meminta pengembalian atas pembayaran kelebihan pajak, atau jika pajak yang dibayar dimuka oleh WP ternyata lebih kecil dari pajak yang terhutang menurut SKPD,maka atas kekurangan pembayaran tersebut Pemerintah Daerah dapat melakukan pemungutan Pajak yang kurang bayar.

Analisis Kebijakan Pengenaan Pajak atas Pemanfaatan Air Bawah Tanah Pajak atas pemanfaatan air permukaan dan air bawah tanah menganut official assessment system.Secara garis besar yang dimaksud dengan official assessment system adalah suatu system pemungutan pajak dimana fiscus yang aktif melakukan pemungutan pajak. Pada sistem ini aparat pajak menetapkan besarnya Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan air permukaan terutang yang harus dibayar wajib pajak deng menggunakan an Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) sebagai sarana penagihannya.Dalam tata laksana pajak pemanfaatan air bawah tanah, selain dinas pendapatan daerah DKI Jakarta juga melibatkan Dinas Pertambangan DKI Jakarta, Kantor Pengelola Teknologi Informasi DKI Jakarta, Bank DKI dan Kantor Pembendaharaan dan Kas Daerah. Mekanisme Pemungutan Pajak Air Bawah Tanah saat ini diatur dalam Petunjuk Pelaksanaan sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta No 44 Tahun 2001 tentang petunjuk pelaksanaan penyelenggaraan dan pemungutan pajak air bawah tanah dan air permukaan di DKI Jakarta. Orang pribadi atau badan yang melakukan pemanfaatan air bawah tanah dan permukaan wajib mendapatkan izin terlebih dahulu dari dinas yang bersangkutan. Dispenda untuk pemanfaatan air bawah tanah, Dinas pekerjaan umum DKI Jakarta untuk pemanfaatan air permukaan. Selain perizinan, wajib pula memiliki NPWPD. Secara ringkas, mekanisme pemungutan PABT adalah sebagai berikut:

a.Melakukan Pencatatan Meteran air

Pencatatan meter air dilakukan setiap tanggal 1 sampai dengan 15 tiap bulannya, kemudian membuat rekapitulasi oleh Dinas Pendapatan Daerah DKI Jakarta (Dispenda). Hasil rekapitulasi dibuat rangkap 2, rangkap ke-1 sebagai dasar pengennaan pajak oleh Dispenda, lalu rangkap ke-2 untuk disampaikan ke Dinas Pertambangan DKI untuk

pengendalian pemakaian air. Dispenda menyampaikan rekapitulasi sebagai dasar pengenaan pajak ke kantor KPTI (kantor pengelolaan teknologi informasi) paling lambat tanggal 18 tiap bulannya. b. Kegiatan penerbitan SKPD Daftar yang diterima oleh KPTI (Kantor Pengelolaan Teknologi Informasi) dijadikan dasar untuk membuat SKPD rangkap 4, rangkap ke-1 untuk wajib pajak, ke-2 untuk Dispenda, ke-3 untuk Kantor Pembendaharaan dan Kas Daerah (KPKD), sedangkan rangkap ke-4 untuk Bank DKI atau tempat lain yang ditunjuk oleh gubernur . kemudian SKPD dalam 4 rangkap beserta daftar rekapitulasinya oleh KPTI diserahkan kepada dispenda paling lambat tanggal 25 tiap bulannya. c. Kegiatan pencocokan meneliti SKPD (Surat Ketetapan Pajak Daerah) Surat Ketetapan Pajak Daerah yang diterima dari KPTI, oleh Dispenda kemudian diteliti dandilakukan pencocokan dengan daftar rekapitulasi. Dalam hal terjadi

ketidakcocokan maka SKPD dikembalikan kepada KPTI untuk dilakukan perbaikan. Sedangkan untuk SKPD yang telah sesuai dengan daftar rekapitulasi, akan diproses dan disahkan sebagai SKPD. d. Perbaikan penerbitan SKPD KPTI menerima koreksi SKPD dan daftar rekapitulasi paling lambat tanggal 28 setiap bulannya. Berdasarkan data koreksi tersebut KPTI membuat/mencetak SKPD yang telah dikoreksi dan disampaikan kepada dispenda paling lambat tanggal 29 setiap bulannya. e. Penyampaian SKPD SKPD diterima dispenda dari KPTI paling lambat tanggal 29 setiap bulannya. SKPD rangkap 4 ini kemudian disampaikan dispenda kepada bank DKI atau tempat lain yang ditunjuk berdasarkan keputusan gubernur paling lambat akhir bulan bersangkutan. f. Pembayaran pajak air bawah tanah Setiap tanggal 1 s/d 15 setiap bulannya bank DKI atau tempat lain yang ditunjuk berdasarkan keputusan gubernur melayani dan menerima pembayaran pajak. Terhadap SKPD yang telah dilunasi, bank DKI atau tempat lain dengan menyampaikan lembar ke untuk -1 wajib pajak, ke-2 untuk dispenda, ke-3 KPKD, dan lembar ke-4 untuk arsip Bank DKI. Atas SKPD yang tidak/belum dibayar, dikembalikan kepada dispenda. Pembayaran yang terlambat 7

atau yang dilakukan setelah tanggal 15 setiap bulannya serta yang berdasarkan STPD dilakukan di KPKD. g. Penerbitan STPD Pada tanggal 16 setiap bulannya, dispenda menerima SKPD rangkap 4 yang tidak/belum dilunasi dari bank DKI atau tempat lain. Berdasarkan SKPD tersebut dispenda melakukan penagihan pajak dengan menerbitkan STPD rangkarp 4, rangkap ke-1 untuk wajib pajak, ke2 untuk unit penagihan aktif pendapatan.

Kendala terbesar bagi pemerintah dalam menjalankan pemungutan PABT adalah keterbatasan SDM di tingkat Dinas Pelayanan Pajak yang melaksanakan pencatatan Meter Air. Dalam pencatatan meteran air, Dispenda DKI Jakarta masih menggunakan tenaga dari luar Dispenda, yaitu dengan mengerahkan bantuan Dinas Pertambangan. Kendala inilah yang menjadi celah kebocoran bagi penerimaan dari PABT. Apabila pengawasan dalam hal pencatatan meter air tidak berjalan dengan baik,maka pencatatan banyak jumlah air bawah tanah yang terpakai juga tidak terkontrol,sehingga pemerintah daerah juga dirugikan dari adanya kebocoran ini. Untuk mencegah hal ini berlanjut, dengan adanya SDM dari dalam Dispenda yang terbatas, Pemerintah Daerah dapat menggunakan tenaga dari luar, misalnya dengan menggunakan pegawai out scorching dalam menangani masalah pencatatan air, sehingga masalah ini dapat ditangani.

Dasar pertimbangan Pemerintah melakukan kebijakan pengendalian Air Bawah Tanah (ABT) adalah mengingat dampak pemanfaatan air bawah tanah yang mulai menimbulkan keresahan terkait kondisi keseimbangan lingkungan.. Menurut Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah(BPLHD) DKI Jakarta yang merupakan hasil riset Walhi untuk pemakaian air tanah di Jakarta per tahunnya mencapai 251,8 juta m3, sedangkan pemakaian air bawah tanah yang ideal seharusnya sebesar 186,2 m3. Akibat pemakaian air bawah tanah yang berlebihan tersebut diperkirakan terjadi penurunan sebesar 26 cm per tahun. Untuk itulah diperlukan suatu pengendalian untuk mencegah penurunan permukaan tanah.Pengendalian ABT dilakukan untuk mengakomodir dua kepentingan, yakni yang pertama, meningkatkan pencapaian target pendapatan atas Pajak Air Bawah Tanah (PABT) dan yang kedua, meminimalisasi dampak kerusakan lingkungan akibat pemanfaatn ABT secara b erlebihan. Kebijakan pengendalian ABT dengan menerapkan Progresif HDA memang cukup potensial agar masyarakat terdorong untuk beralih memanfaatkan air dari perusahaan air minum 8

(PAM). Akan tetapi kebijakan tersebut tidak akan berjalan efektif jika pencataan meter air masih belum memadai. Oleh sebab itu, perlunya kebijakan standardisasi pencatatan meter air yang ketat dan akurat. Perbaikan dalam kinerja PAM sendiri juga dibutuhkan, mengingat tingkat kebocoran air PAM yang tinggi dan ini menuntut pengawasan dari pihak Pemerintah. Agar pencapaian pendapatan daerah atas pemanfaatan ABT optimal, sebaiknya pemerintah juga menetapkan peraturan khusus bagi para pengusaha industri yang sifatnya memerlukan volume air yang banyak, misalnya berupa pembatasaan jumlah pemanfaatan air bawah tanah dan pengenaan sanksi bagi yang melanggar ketentuan tersebut.

Formulasi HDA dalam menyeimbangkan fungsi budgetair dan regulerend Formulasi HDA yang telah berlaku saat ini, yakni dengan mengalikan Harga Air Baku (HAB) dengan Faktor Nilai Air (Fn-Air) sebenarnya telah mencerminkan upaya Pemerintah Daerah dalam menjalankan fungsi regulerend dalam pemungutan Pajak Air Bawah Tanah.Namun kenyataannya dengan formulasi ini ternyata Pajak atas pemanfaatan air bawah tanah (PPABT) yang dikenakan masih lebih rendah daripada harga air baku yang dijual PAM, oleh karena itu belum ada kecenderungan masyarakat untuk mengganti pemakaian air ke air PAM.Untuk mengatasi hal ini, mungkin salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengubah komposisi komponen HDA yang selama ini bobotnya adalah sebesar 60% untuk sumber daya air dan 40% untuk biaya kompensasi pemulihan (Pasal 3 ayat 2 Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 37 Tahun 2009 tentang Nilai Perolehan Air sebagai Dasar Pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah). Karena pemungutan Pajak Air Bawah Tanah pada awalnya lebih bersifat regulerend, yakni untuk meminimalisasi dampak kerusakan akibat pengambilan air bawah tanah, maka akan lebih baik apabila dilakukan perubahan komposisi bobot komponen HDA menjadi 40% untuk sumber daya air dan 60% untuk biaya kompensasi pemulihan. Dengan demikian, penghitungan besarnya HDA sebagai berikut: HDA = HAB x Fn-Air = HAB x (perkalian komponen SDA + perkalian komponen kompensasi pemulihan) = HAB x [(40% x komponen SDA) + (60% x komponen kompensasi pemulihan)] Misalnya untuk pengambilan air bawah tanah di kedalaman > 1.000 m3 bagi industri kecil. Berdasarkan Pasal 6 ayat 6 Peraturan Gubernur tersebut, bobot komponen biaya kompensasi pemulihan ditetapkan sebesar 6,5. Dengan asumsi lokasi pengambilan air di luar jangkauan PAM, maka besarnya bobot komponen SDA adalah 3 (Pasal 6 ayat 5). 9

Jika menggunakan ketentuan yang berlaku saat ini, maka besarnya Fn-Air: (60% x 3) + (40% x 6,5) = 4,4

Sedangkan jika komposisi tersebut dibalik, maka besarnya Fn-Air: (40% x 3) + (60% x 6,5) = 5,1

Semakin besar Fn-Air, maka semakin besar pula HDA-nya. Hal tersebut juga akan berbanding lurus dengan besarnya DPP dan jumlah Pajak Air Bawah Tanah terutang. Dengan demikian, fungsi budgetair dapat terpenuhi tanpa mengesampingkan fungsi regulerend. Mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan atas pengambilan air tanah ini berbeda-beda untuk setiap kelompok pengguna, maka kebijakan untuk mengubah komposisi komponen HDA juga harus disesuaikan, misalnya untuk pengguna yang masuk dalam kelompok non niaga dan niaga kecil tetap menggunakan komposisi sebagaimana yang berlaku sekarang, sedangkan untuk kelompok industri kecil, niaga besar dan industri besar baru diterapkan kebijakan penyesuaian komposisi komponen HDA.

Dasar pertimbangan penarikan Pajak Air Bawah Tanah menjadi pajak kabupaten/ kota Penarikan Pajak Air Bawah Tanah menjadi pajak kabupaten/ kota merupakan wujud dari pelaksanaan desentralisasi fiskal, yakni penyerahan tanggung jawab fiskal dari pemerintah di tingkat yang lebih tinggi kepada pemerintah di tingkat yang lebih rendah. Desentralisasi fiskal itu sendiri memberikan peluang bagi pemerintah kabupaten/ kota untuk menggali potensi keuangan yang ada di daerahnya. Salah satu tujuan ditariknya Pajak Air Bawah Tanah menjadi pajak kabupaten/ kota adalah untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah di tingkat kabupaten/ kota, sebagaimana halnya perubahan UU Nomor 28 tahun 2009 yang pada dasarnya mempunyai tujuan sebagai berikut: a) memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. b) meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan

penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah.

10

c) memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.

Alasan lainnya mengapa penarikan Pajak Air Bawah Tanah menjadi objek Pajak Kabupaten atau Kota adalah lebih kea rah alasan praktis, yaitu agar lebih mudah dalam pengadministrasiannya. Pemakaian air bawah tanah lebih mudah dikontrol dan dilakukan pengawasan karena berada langsung di bawah tanah, sedangkan jika pemakaian air permukaan dijadikan pajak kabupaten atau kota hal ini akan lebih tidak efisien, karena biasanya pemanfaatan air permukaan seperti sungai atau danau berada di lebih dari satu kabupaten,sehingga akan sulit dalam pengadministrasiannya.

11

Anda mungkin juga menyukai