Anda di halaman 1dari 19

Draft RUU Perdagangan tgl 21 Jan 2010

RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR . TAHUN
TENTANG
PERDAGANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan pada terwujudnya
kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik ndonesia Tahun 1945;

b. bahwa peranan perdagangan sangat penting artinya bagi peningkatan
pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat serta sebagai sumber devisa
untuk membiayai pembangunan sehingga pengelolaan sektor perdagangan
yang menyeluruh dan terpadu harus dilaksanakan berdasarkan prinsip
kebebasan, keterbukaan, dan keadilan;

c. bahwa peraturan perundang-undangan di bidang perdagangan yang ada
belum memadai dan belum memenuhi perkembangan hukum di bidang
perdagangan sehingga perlu dibentuk undang-undang mengenai perdagangan
yang dapat memayungi, melengkapi, dan mengharmonisasikan peraturan
perundang-undangan di bidang perdagangan yang telah ada;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Perdagangan;

Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
ndonesia Tahun 1945;



Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKLAN RAKYAT REPUBLK NDONESA
dan
PRESDEN REPUBLK NDONESA
MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERDAGANGAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

PasaI 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Perdagangan adalah keseluruhan tatanan kegiatan yang terkait dengan
transaksi barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh Pelaku Usaha, baik
secara langsung atau tidak langsung di dalam negeri maupun yang
melampaui batas wilayah negara, dengan tujuan pengalihan hak atas
barang dan/atau jasa secara terus-menerus atau sementara untuk
memperoleh imbalan atau kompensasi.






2

2. Perdagangan Luar Negeri adalah kegiatan perdagangan yang mencakup
kegiatan impor dan/atau ekspor atas barang dan/atau jasa dari daerah
pabean ke wilayah pabean negara lain dan/atau sebaliknya.

3. Perdagangan Dalam Negeri adalah kegiatan perdagangan barang dan/atau
jasa dalam wilayah Negara Kesatuan Republik ndonesia.

4. Kerja sama Perdagangan nternasional adalah kegiatan untuk mewakili
pemerintah, baik di dalam forum bilateral, regional, maupun multilateral,
untuk mengamankan semua kebijakan perdagangan dan memperluas
akses pasar barang dan/atau jasa.

5. Perdagangan Lintas Batas adalah kegiatan perdagangan yang dilakukan
oleh penduduk setempat yang bertempat tinggal di daerah perbatasan
ndonesia dengan negara tetangga.

6. Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik ndonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian, dan menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang
ekonomi.

7. Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik
bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat
dihabiskan, dan dapat diperdagangkan, dipakai, digunakan, atau
dimanfaatkan oleh konsumen.

8. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang
diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen
atau Pelaku Usaha.

9. Daerah Pabean adalah wilayah Negara Kesatuan Republik ndonesia yang
meliputi wilayah darat, perairan, ruang udara di atasnya, serta tempat
tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya
berlaku Undang-Undang tentang Kepabeanan.

10. Distribusi adalah kegiatan penyaluran barang dan/atau jasa dari produsen
atau pedagang kepada konsumen.

11. Surat zin Usaha Perdagangan, yang selanjutnya disingkat SUP, adalah
surat izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan.


12. Lembaga Usaha Perdagangan adalah suatu institusi/badan yang dapat
berbentuk perseorangan atau badan usaha, baik sebagai eksportir, importir,
pedagang besar, pedagang eceran, maupun lembaga usaha perdagangan
lain yang sejenis, yang di dalam tatanan pemasaran barang dan/atau jasa
melakukan kegiatan perdagangan dengan cara memindahkan barang
dan/atau jasa, baik langsung maupun tidak langsung, dari produsen kepada
konsumen.

13. Promosi Dagang adalah kegiatan mempertunjukan, memperagakan,
memperkenalkan, dan/atau menyebarluaskan informasi hasil produksi
barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen, baik di dalam
negeri maupun di luar negeri, dalam jangka waktu tertentu kepada
masyarakat untuk meningkatkan penjualan, memperluas pasar, dan
mencari hubungan dagang.




14. Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan, termasuk
tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua




3

pihak/pemerintah/keputusan internasional yang terkait dengan
memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan,
lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
pengalaman, serta perkembangan masa kini dan masa yang akan datang
untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.

15. Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan, dan
merevisi standar yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan
semua pihak.

16. Standar Nasional ndonesia, yang selanjutnya disingkat SN, adalah standar
yang ditetapkan oleh lembaga yang mempunyai tanggung jawab dalam
pengembangan dan pembinaan SN.

17. Sertifikasi adalah rangkaian kegiatan penerbitan sertifikat terhadap barang
dan/atau jasa.

18. Pasar adalah lembaga ekonomi tempat para pembeli dan penjual, baik
secara langsung maupun tidak langsung, dapat melakukan transaksi
perdagangan barang dan/atau jasa.

19. Pasar Fisik Komoditas Terorganisasi adalah lembaga ekonomi yang
menyelenggarakan kegiatan transaksi jual beli komoditas melalui sistem
lelang berdasarkan peraturan dan tata tertib.

20. Gudang adalah suatu ruangan tidak bergerak yang terdiri atas gudang
tertutup dan gudang terbuka sebagai tempat untuk menyimpan barang yang
diperdagangkan dan tidak untuk dikunjungi oleh umum.

21. mpor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean.

22. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari Daerah Pabean.

23. Bea Keluar adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang tentang
Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang ekspor.

24. Bea Masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang tentang
Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang yang diimpor.

25. Tarif adalah klasifikasi barang dan pembebanan Bea Masuk atau Bea
Keluar.

26. Devisa adalah aset dan kewajiban finansial yang digunakan dalam transaksi
internasional.

27. Pemerintah Pusat yang selenjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden
Republik ndonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara
Republik ndonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Kesatuan Republik ndonesia Tahun 1945.

28. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau wali kota, dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Daerah.

29. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan perdagangan.




PasaI 2

Pengaturan perdagangan bertujuan untuk:
a. memperlancar distribusi Barang dan/atau Jasa;
b. melindungi konsumen, produsen, dan pedagang;




4

c. menciptakan kepastian usaha serta memperluas kesempatan berusaha dan
lapangan kerja;
d. menciptakan persaingan usaha yang sehat;
e. menciptakan stabilitas harga;
f. memfasilitasi ketersediaan barang kebutuhan pokok dan barang penting;
g. meningkatkan dan memperluas ekspor;
h. memperlancar dan meningkatkan penanaman modal;
i. meningkatkan pemanfaatan alat ukur, takar, timbang, dan perlengkapannya di
bidang metrologi legal; dan/atau
j. memberikan pelindungan terhadap kesehatan manusia, hewan, perikanan,
dan tumbuh-tumbuhan.

BAB II
PERAN PEMERINTAH

Bagian kesatu
Pembinaan

PasaI 3

(1) Pembinaan perdagangan dilakukan melalui penetapan kebijakan,
pengawasan, dan pengendalian.

(2) Pembinaan perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Menteri.

Bagian Kedua
Pemberian FasiIitas

PasaI 4

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi tersedianya barang
kebutuhan pokok dan/atau barang penting di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik ndonesia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik,
dan harga yang terjangkau.

(2) Penetapan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi
dengan menteri terkait.

Bagian Ketiga
Ketersediaan dan StabiIisasi Harga Barang

PasaI 5

(1) Pemerintah menetapkan langkah-langkah stabilisasi harga barang
kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam hal terjadi kelangkaan
dan/atau gejolak harga.

(2) Dalam hal terjadi kelangkaan dan/atau gejolak harga, Pemerintah
menetapkan langkah-langkah pemenuhan ketersediaan dan stabilisasi
harga barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting.


BAB III
PERDAGANGAN BARANG DAN JASA

Bagian Kesatu
Perdagangan Barang

PasaI 6





5

(1) Semua barang dapat diperdagangkan di dalam negeri, diekspor, atau
diimpor, kecuali barang tertentu yang ditetapkan lain berdasarkan peraturan
perundang-undangan.

(2) Barang Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan larangan
dan/atau pembatasan untuk diperdagangkan di dalam negeri, diekspor,
atau diimpor oleh Menteri.

(3) Larangan dan/atau pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan nasional.

(4) Penetapan larangan dan/atau pembatasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan setelah berkoordinasi dengan menteri atau kepala
lembaga pemerintah non kementerian terkait.

PasaI 7

(1) Barang yang diekspor dan barang yang diimpor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) dapat diberlakukan ketentuan asal barang.

(2) Pemberlakuan ketentuan asal barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada ketentuan perjanjian dengan negara lain berupa perjanjian
unilateral, perjanjian bilateral, perjanjian regional, dan/atau perjanjian
multilateral.

(3) Ketentuan asal barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Presiden.

Bagian Kedua
Perdagangan Jasa

PasaI 8

(1) Perdagangan Jasa dalam Undang-Undang ini mencakup seluruh sektor
jasa yang diperdagangkan, baik di dalam negeri maupun ke luar negeri,
kecuali jasa yang telah diatur dalam undang-undang.

(2) Dalam hal untuk kepentingan nasional Menteri menetapkan larangan
dan/atau pembatasan terhadap jasa tertentu untuk diperdagangkan di
dalam negeri atau ke luar negeri.

(3) Penetapan larangan dan/atau pembatasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri
terkait.

PasaI 9

(1) Pelaku Usaha yang bergerak di bidang perdagangan jasa wajib memiliki
tenaga teknis yang kompeten dan dibuktikan dengan sertifikat kompetensi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pelaku Usaha yang tidak memiliki tenaga teknis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenai sanksi adminstratif.


(3) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan melalui tahapan peringatan tertulis, penghentian sementara
kegiatan usaha, dan pencabutan izin usaha.

PasaI 10

Pemerintah memberi pengakuan terhadap sertifikat kompetensi tenaga teknis dari
negara lain sepanjang sudah dilakukan perjanjian saling pengakuan, baik secara




6

bilateral maupun regional.

Bagian ketiga
Cara Pembayaran

PasaI 11

(1) Pembayaran terhadap perdagangan barang dan/atau jasa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 8 dapat dilakukan dengan cara:
a. letter of credit/LC; atau
b. pembayaran lain yang digunakan dalam perdagangan internasional dan
disalurkan melalui Bank Devisa Dalam Negeri.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai cara pembayaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian keempat
Harga Patokan Ekspor

PasaI 12

(1) Dalam hal barang yang diekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) jika ditetapkan sebagai barang yang dikenakan Bea Keluar
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan
penetapan harga patokan ekspor.


(2) Harga patokan ekspor barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri.

(3) Penetapan harga patokan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan secara periodik berdasarkan usulan dari menteri dan/atau Kepala
Lembaga Pemerintah Nonkementerian terkait dengan pertimbangan:
a. menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri;
b. melindungi kelestarian sumber daya alam;
c. mengantisipasi kenaikan harga yang signifikan dari komoditi ekspor
tertentu di pasaran internasional; dan/atau
d. menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri.

Bagian KeIima
Harga Patokan DaIam Negeri

PasaI 13

(1) Pemerintah dapat menetapkan harga patokan komoditi tertentu untuk
menjamin ketersediaan informasi publik.

(2) Harga patokan komoditi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri dan/atau
Kepala Lembaga Pemerintah Nonkementerian terkait.


(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan harga patokan komoditi tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB IV
PERIZINAN

PasaI 14

(1) Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha perdagangan wajib memiliki
SUP yang di terbitkan oleh Menteri.




7


(2) SUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk melakukan
kegiatan usaha perdagangan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
ndonesia.

(3) SUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. SUP Mikro;
b. SUP Kecil;
c. SUP Menengah; dan
d. SUP Besar.

(4) Penerbitan SUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan
kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan kriteria sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah usaha.

(5) Terhadap kegiatan usaha perdagangan tertentu, baik perdagangan dalam
negeri maupun perdagangan luar negeri, Menteri dapat mewajibkan Pelaku
Usaha untuk memiliki izin khusus, persetujuan, pendaftaran, penetapan,
dan/atau pengakuan.


(6) Kewajiban memiliki SUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan terhadap:
a. perusahaan yang tidak melakukan kegiatan usaha di sektor
perdagangan;
b. kantor cabang perusahaan, kantor pembantu, atau kantor perwakilan
perusahaan; dan
c. pelaku usaha mikro.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai SUP sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan izin khusus, persetujuan, pendaftaran, penetapan, dan/atau
pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.

BAB V
LEMBAGA USAHA PERDAGANGAN

PasaI 15

(1) Lembaga usaha perdagangan dalam tatanan pemasaran berfungsi sebagai
perantara untuk memindahkan barang dan/atau jasa, baik langsung
maupun tidak langsung, dari produsen kepada konsumen.

(2) Fungsi lembaga usaha perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa kegiatan ekspor, impor, keagenan, distribusi,
perkulakan/grosir, dan eceran/retail.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga usaha perdagangan dan
kegiatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.

PasaI 16

(1) Pemasaran barang dan/atau jasa, baik langsung maupun tidak langsung,
dari produsen kepada konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
ayat (1) dapat dilakukan dengan:
a. perdagangan umum;
b. waralaba;
c. penjualan langsung; atau
d. sistem pemasaran lain.





8

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasaran barang dan/atau jasa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.

PasaI 17

(1) Pelaku usaha mikro dan pelaku usaha kecil dapat memasarkan barang
langsung kepada konsumen akhir.

(2) Pelaku usaha menengah dan pelaku usaha besar yang tidak berfungsi
sebagai pengecer hanya dapat memasarkan barang melalui lembaga usaha
perdagangan yang bertindak sebagai perantara.

(3)
Dalam hal pelaku usaha menengah dan pelaku usaha besar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) memperdagangkan barang :
a. berdasarkan pesanan dari pabrikan, kontraktor atau pelaku usaha lain
sebagai bahan baku atau bahan pendukung; atau
b. yang lokasi produksinya juga berfungsi sebagai pengecer;
dapat dilakukan tanpa melalui lembaga usaha perdagangan yang bertindak
sebagai perantara.

(4) Pelaku usaha menengah dan pelaku usaha besar yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi
administratif.

(5) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dilakukan melalui tahapan peringatan tertulis, penghentian sementara
kegiatan usaha, dan pencabutan izin usaha.

BAB VI
SARANA PERDAGANGAN

Bagian Kesatu
Pasar

PasaI 18

Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Pelaku Usaha, baik secara sendiri-
sendiri maupun bersama-sama, dapat bekerja sama dalam membangun pasar.

PasaI 19

(1) Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 terdiri atas pasar tradisional,
pusat perbelanjaan, dan toko modern.

(2) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pasar
tradisional, pusat perbelanjaan, dan toko modern sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menjamin kepastian berusaha serta hubungan kerja sama
antara pemasok dan Pelaku Usaha yang berkeadilan.

(3) Untuk menciptakan hubungan kerja sama sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat
perbelanjaan, dan toko modern.

(4) Penataan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi
aspek perizinan, lokasi pendirian, kemitraan, dan kerja sama usaha.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan dan pembinaan pasar
tradisional, pusat perbelanjaan, dan toko modern sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.

PasaI 20





9

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Pelaku Usaha, baik sendiri-
sendiri maupun bersama-sama, dapat menyelenggarakan Pasar Fisik
Komoditas Terorganisasi.

(2) Pasar Fisik Komoditas Terorganisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menggunakan sistem lelang.

(3) Sistem lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menggunakan
waktu penyerahan segera dan/atau penyerahan kemudian.

(4) Pasar Fisik Komoditas Terorganisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus diselenggarakan berdasarkan peraturan dan tata tertib.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pasar Fisik Komoditas Terorganisasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Gudang

PasaI 21

(1) Gudang merupakan salah satu sarana penunjang perdagangan yang
berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang untuk mendorong
kelancaran distribusi barang yang diperdagangkan, baik di dalam negeri
maupun dari dan ke luar negeri.

(2) Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau Pelaku Usaha dapat membangun
gudang atau berusaha di bidang jasa pergudangan.

PasaI 22

(1) Gudang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) meliputi:
a. gudang tertutup; dan
b. gudang terbuka;

(2) Gudang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan oleh setiap
pemilik sesuai dengan penggolongan gudang menurut luasnya.

(3) Setiap pemilik, pengelola, atau penyewa gudang yang melakukan
penyimpanan barang yang ditujukan untuk diperdagangkan wajib
menyelenggarakan pencatatan administrasi barang baik yang masuk
maupun yang keluar dari gudang.

(4) Ketentuan kewajiban pendaftaran gudang dan pencatatan administrasi
barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dikecualikan
untuk gudang yang berada pada:
a. pelabuhan yang dikuasai oleh penguasa pelabuhan;
b. kawasan berikat; dan
c. gudang yang melekat dengan usaha industri.

(5) Setiap pemilik, pengelola, atau penyewa gudang sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) yang tidak menyelenggarakan pencatatan administrasi dapat
dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pencabutan tanda pendaftaran gudang; dan/atau
c. pencabutan SUP.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai gudang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Presiden.





10

BAB VII
PROMOSI DAGANG

PasaI 23

(1) Promosi dagang merupakan salah satu sarana penunjang perdagangan
yang bertujuan untuk memperkenalkan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang dilakukan
oleh:
a. Pemerintah;
b. Pemerintah Daerah; dan/atau
c. Pelaku Usaha.

(2) Promosi dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. pameran dagang;
b. misi dagang;
c. penyediaan informasi pasar;
d. jasa konsultasi; dan/atau
e. pendidikan dan pelatihan promosi.

(3) Setiap penyelenggaraan promosi dagang yang dilakukan oleh Pelaku
Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan atas
persetujuan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan oleh Menteri
kepada Pelaku Usaha berdasarkan klasifikasi:
a. promosi dagang internasional;
b. promosi dagang nasional; atau
c. promosi dagang lokal.

(5) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat memberikan fasilitas
dan/atau kemudahan untuk memperlancar pelaksanaan kegiatan promosi
dagang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai promosi dagang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Presiden.

PasaI 24

(1) Untuk menunjang pelaksanaan kegiatan promosi dagang ke luar negeri,
dapat didirikan badan promosi dagang di luar negeri.


(2) Pendirian badan promosi dagang di luar negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dan
pertimbangan tertulis dari menteri terkait.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pendirian badan
promosi dagang di luar negeri diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Presiden.

BAB VIII
PELINDUNGAN PERDAGANGAN

PasaI 25

(1) Menteri bertanggung jawab untuk memberikan pelindungan kepada
produsen dalam negeri dan mengamankan akses pasar di luar negeri.

(2) Pengamanan akses pasar di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat




11

(1) dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian perdagangan
internasional.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan produsen dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.

BAB IX
KERJA SAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL

PasaI 26

(1) Menteri bertanggung jawab dalam melakukan kerja sama perdagangan
internasional.

(2) Kegiatan kerja sama perdagangan internasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan asas kesamaan kedudukan dan
asas manfaat bersama dengan mempertimbangkan kepentingan nasional.

(3) Menteri melakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan menteri dan/atau
kepala lembaga pemerintah non kementerian terkait dalam menentukan
posisi nasional yang akan dirundingkan dalam forum kerjasama
perdagangan internasional.

PasaI 27

(1) Dalam meningkatkan kerja sama perdagangan internasional, Pemerintah
dapat memberikan preferensi perdagangan kepada negara sedang
berkembang dan/atau negara kurang berkembang.

(2) Pemberian preferensi perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa:
a. penurunan tarif bea masuk;
b. pembebasan bea masuk; dan/atau
c. kemudahan mengakses pasar dalam negeri.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian preferensi perdagangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Presiden.



BAB X
PERDAGANGAN LINTAS BATAS

PasaI 28

Perdagangan Lintas Batas harus dilaksanakan berdasarkan perjanjian bilateral
dengan negara lain yang wilayahnya berbatasan dengan wilayah Negara
Kesatuan Republik ndonesia, baik perbatasan darat maupun laut.

PasaI 29





12

(1) Perdagangan Lintas Batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 hanya
dapat dilakukan oleh penduduk wilayah perbatasan dengan penduduk
wilayah perbatasan negara lain yang diatur dalam perjanjian bilateral paling
sedikit mengatur:
a. perdagangan yang dilakukan melalui pos keluar atau pos masuk;
b. jenis barang yang diperdagangkan;
c. nilai maksimal transaksi;
d. perdagangan yang hanya dapat dilakukan di tempat atau wilayah
tertentu; dan
e. kepemilikan kartu pass lintas batas.

(2) Pos keluar atau pos masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
harus mempunyai fasilitas bea cukai, imigrasi, dan karantina.

(3) Perdagangan yang dilakukan melalui pos keluar atau pos masuk yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan
ketentuan di bidang ekspor dan impor.

(4) Menteri melakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan menteri terkait dalam
menetapkan perjanjian Perdagangan Lintas Batas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perdagangan Lintas Batas diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Presiden.

BAB XI
PRAKTIK PERDAGANGAN YANG DILARANG

PasaI 30

(1) Dalam hal terjadi kelangkaan barang, gejolak harga dan/atau hambatan lalu
lintas perdagangan barang, pelaku usaha dilarang menyimpan barang
kebutuhan pokok dan/atau barang penting.

(2) Pelaku Usaha dilarang melakukan manipulasi data atau informasi mengenai
persediaan barang.

PasaI 31

(1) Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan barang yang terkait dengan
keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup, baik barang
produksi dalam negeri maupun barang asal impor, yang tidak didaftarkan di
kementerian yang membidangi urusan perdagangan.

(2) Penetapan dan kewajiban pendaftaran barang yang terkait dengan,
keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan atau berdasarkan Peraturan
Presiden.

(3) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang ditemukan beredar di
pasar dalam negeri dengan tidak mencantumkan tanda pendaftaran wajib
ditarik dari peredaran oleh produsen dan/atau importir.

(4) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang ditemukan ditingkat
distributor, subdistributor, agen, dan subagen wajib dihentikan
perdagangannya.

(5) Perintah penarikan barang dari peredaran dan penghentian kegiatan
perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan




13

oleh Menteri.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan penarikan terhadap barang serta penghentian
kegiatan perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.

BAB XII
STANDARDISASI

Bagian Kesatu
Standardisasi Barang

PasaI 32

(1)

Barang yang diperdagangkan wajib memenuhi regulasi teknis berbasis SN
atau spesifikasi teknis yang diberlakukan secara wajib.

(2) Pemberlakuan SN atau persyaratan teknis secara wajib sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi
dengan menteri atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian terkait.

(3) Regulasi teknis berbasis SN atau spesifikasi teknis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek keamanan,
keselamatan, kesehatan, lingkungan, dan/atau pertimbangan ekonomi serta
mempertimbangkan kemampuan/kesiapan dunia usaha dan kesiapan
infrastruktur lembaga penilaian kesesuaian.





(4) Barang yang telah ditetapkan regulasi teknis berbasis SN atau spesifikasi
teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibubuhi tanda SN atau
tanda kesesuaian atau dilengkapi sertifikat kesesuaian yang diakui oleh
Pemerintah.

(5) Barang yang diperdagangkan dan memenuhi SN, tetapi belum ditetapkan
menjadi regulasi teknis oleh Pemerintah dapat menggunakan tanda SN
atau tanda kesesuaian lain sesuai dengan prosedur yang berlaku.

(6) Tanda SN, tanda kesesuaian, dan/atau sertifikat kesesuaian sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diterbitkan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang
sudah diakreditasi dan terdaftar pada lembaga yang ditetapkan oleh
Menteri.

(7) Akreditasi terhadap lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) dilakukan oleh lembaga yang berwenang.

(8) Standar dan/atau penilaian kesesuaian yang ditetapkan oleh negara lain
diakui oleh Pemerintah jika telah dilakukan perjanjian saling pengakuan
yang telah disepakati.


(9) Pelaku usaha yang memperdagangkan barang yang telah menerapkan
regulasi teknis berbasis SN atau spesifikasi teknis tetapi tidak dibubuhi
tanda SN atau tanda kesesuaian atau tidak dilengkapi sertifikat kesesuaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa
penarikan barang dari peredaran.

(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai standardisasi barang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Bagian kedua
Standardisasi Jasa

PasaI 33





14

(1) Jasa yang diperdagangkan dapat diberlakukan wajib untuk memenuhi
kualifikasi atau standar teknis sesuai dengan jenis jasa.

(2) Pemberlakuan kualifikasi atau standar teknis secara wajib sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi
dengan menteri atau kepala lembaga pemerintah non kementerian terkait.

(3) Pemberlakuan kualifikasi atau standar teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek keamanan,
keselamatan, kesehatan, lingkungan, dan/atau pertimbangan ekonomi serta
mempertimbangkan kemampuan/kesiapan dunia usaha dan kesiapan
infrastruktur lembaga penilaian kesesuaian.

(4) Jasa yang sudah ditetapkan regulasi teknis berbasis pemenuhan kualifikasi
atau standar teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilengkapi
dengan tanda kesesuaian atau sertifikat kesesuaian yang diakui oleh
Pemerintah.

(5) Jasa yang diperdagangkan dan memenuhi kualifikasi atau standar teknis
yang belum ditetapkan menjadi regulasi teknis oleh Pemerintah dapat
menggunakan tanda kesesuaian sesuai dengan prosedur yang berlaku.

(6) Tanda kesesuaian dan/atau sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) diterbitkan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang sudah
diakreditasi dan terdaftar pada lembaga yang ditetapkan oleh Menteri.

(7) Akreditasi terhadap lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) dilakukan oleh lembaga yang berwenang.

(8) Kualifikasi atau standar teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
ditetapkan oleh negara lain diakui oleh Pemerintah jika telah dilakukan
perjanjian saling pengakuan.

(9) Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa yang tidak dilengkapi tanda
kesesuaian atau sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dikenai sanksi administratif berupa penghentian kegiatan usaha.

(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai standardisasi jasa diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Standar Satuan Ukuran

PasaI 34

(1) Penetapan persyaratan teknis terhadap standar satuan ukuran, metode
pengukuran, serta alat ukur, takar, timbang, dan perlengkapannya yang
digunakan dalam setiap transaksi barang dan/atau jasa yang berdasarkan
ukuran, takaran, dan timbangan dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang metrologi legal.

(2) Pelaku Usaha yang melakukan transaksi perdagangan yang berdasarkan
ukuran, takaran, dan timbangan wajib menggunakan satuan ukuran
dan/atau alat ukur, takar, timbang, dan perlengkapannya yang berlaku di
ndonesia.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar satuan ukuran dan alat ukur,
takar, timbang, dan perlengkapannya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dengan undang-undang tersendiri.

BAB XIII
TRANSAKSI PERDAGANGAN MELALUI MEDIA ELEKTRONIK

PasaI 35





15

Transaksi perdagangan dapat diselenggarakan melalui media elektronik.

PasaI 36

(1) Para pihak dalam melaksanakan transaksi perdagangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 wajib beritikad baik dengan menyediakan
informasi secara lengkap dan benar, baik mengenai identitas, barang,
dan/atau jasa yang diperdagangkan, harga, cara pembayaran, maupun
penyerahan barang.

(2) Jika disepakati oleh para pihak, transaksi perdagangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dituangkan ke dalam kontrak elektronik.

(3) Para pihak dalam melaksanakan transaksi perdagangan, baik dengan
maupun tidak menggunakan kontrak elektronik, wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

PasaI 37

Ketentuan lebih lanjut mengenai transaksi perdagangan melalui media elektronik
dan kontrak elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36 diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

BAB XIV
PENGAWASAN

PasaI 38

(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap kegiatan perdagangan yang
dilakukan oleh Pelaku Usaha.

(2) Pengawasan kegiatan perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat meliputi:
a. aspek perizinan, pengakuan, persetujuan, dan/atau pendaftaran;
b. kegiatan distribusi;
c. kegiatan perdagangan yang dilarang; dan/atau
d. pelaksanaan regulasi teknis berbasis SN atau spesifikasi teknis.

(3) Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana di maksud pada
ayat (2) dapat dikenai sanksi administratif berupa:
a. pengamanan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. penarikan barang dari peredaran;
c. penghentian kegiatan usaha perdagangan; atau
d. pencabutan izin usaha.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan kegiatan perdagangan diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.

PasaI 39

(1) Petugas pengawas di bidang perdagangan yang ditunjuk melaksanakan
tugas pengawasan, berwenang:
a. memasuki dan memeriksa tempat yang diduga digunakan sebagai
kegiatan perdagangan secara tidak benar dan tidak sah;
b. menghentikan dan memeriksa sarana transportasi yang diduga
mengangkut barang yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan/atau
c. melakukan langkah pengamanan terhadap barang dan/atau jasa
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b untuk dilarang




16

diperdagangkan.

(2) Petugas pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
melaksanakan kewenangannya dapat berkoordinasi dengan Penyidik

(3) Dalam hal melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditemukan bukti awal dugaan terjadi tindak pidana di bidang
perdagangan, petugas pengawas melaporkan kepada penyidik.

(4) Petugas pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaporkan hasil
kegiatan pengawasan kepada Menteri.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pelaksanaan kewenangan
pengawasan oleh petugas pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB XV
PENYIDIKAN

PasaI 40

(1) Selain Pejabat Penyidik Polisi Negara Republik ndonesia, Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang perdagangan, baik di pusat maupun di
daerah, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(2) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan mengenai terjadinya suatu
perbuatan yang diduga merupakan tindak pidana di bidang
perdagangan;
b. memeriksa kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan
tindak pidana di bidang perdagangan;
c. memanggil orang atau badan hukum untuk dimintai keterangan dan alat
bukti sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang
perdagangan;
d. memanggil orang atau badan hukum untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi berkenaan dengan dugaan terjadi tindak pidana di bidang
perdagangan;
e. memanggil dan melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan
hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perdagangan;
f. memeriksa pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan
tindak pidana di bidang perdagangan;
g. memeriksa kejadiaan perkara di tempat tertentu yang diduga terdapat
alat bukti serta melakukan penyitaan dan/atau penyegelan terhadap
barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara
tindak pidana di bidang perdagangan; dan
h. memanggil dan meminta bantuan atau keterangan ahli dalam rangka
melaksanakan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perdagangan.

(3) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menyampaikan berkas perkara hasil penyidikan kepada Penuntut Umum
melalui Pejabat Penyidik Polisi Negara Republik ndonesia sesuai dengan
Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.

(4) Pelaksanaan penyidikan tindak pidana di bidang perdagangan
dikoordinasikan oleh unit khusus di lingkungan kementerian yang
membidangi urusan perdagangan.





17

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pelaksanaan penyidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB XVI
KETENTUAN PIDANA

PasaI 41

Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha perdagangan yang tidak memiliki
izin usaha perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan izin
khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).


PasaI 42

Setiap pemilik gudang yang tidak melakukan pendaftaran gudang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).


]
PasaI 43

(1) Pelaku Usaha yang menimbun barang dan mengakibatkan terjadinya
hambatan terhadap lalu lintas perdagangan barang yang menimbulkan
kelangkaan barang dan gejolak harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah).

(2) Pelaku Usaha yang melakukan manipulasi data atau informasi mengenai
persediaan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp75.000.000.000,00 (tujuh puluh lima miliar
rupiah).

PasaI 44

Pelaku Usaha yang tidak melakukan penarikan atas barang yang tidak terdaftar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).



PasaI 45


(1) Pelaku Usaha yang memperdagangkan barang yang tidak memenuhi
regulasi teknis berbasis SN atau spesifikasi teknis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).


(2) Pelaku Usaha yang memperdagangkan jasa yang tidak memenuhi
kualifikasi atau standar teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

PasaI 46

Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan mengenai ukuran, takaran, dan
timbangan yang tidak menggunakan satuan ukuran dan/atau UTTP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling 5 (lima)




18

tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).

PasaI 47

Para pihak yang terlibat dalam kegiatan atau transaksi perdagangan melalui media
elektronik tidak beritikad baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN

PasaI 48

Peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya
Undang-Undang ini sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini
dinyatakan tetap berlaku sampai dengan dicabut, diganti, atau diperbarui.

BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP

PasaI 49

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Undang-Undang Penyaluran Perusahaan 1934 (Bedrijfsreglementerings
Ordonnantie 1934, Staatsblad 1938 Nomor 86);
b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang
menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik ndonesia Tahun 1961
Nomor 215, Tambahan Lembaran Negara Republik ndonesia Nomor 2210);
dan
c. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1965 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 2 Prp Tahun 1960 tentang Pergudangan
menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik ndonesia Tahun 1962
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik ndonesia Nomor 2759)
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
PasaI 50

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik ndonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal ...............

PRESDEN REPUBLK NDONESA,

ttd

SUSLO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal ........

MENTER HUKUM DAN HAK ASAS NDONESA
REPUBLK NDONESA,




19


ttd

PATRALS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLK NDONESA TAHUN ..... NOMOR ....

Anda mungkin juga menyukai