Anda di halaman 1dari 12

ENSEFALITIS

I. PENDAHULUAN Infeksi susunan saraf pusat (SSP) dapat mengenai jaringan otak (ensefalitis), medulla spinalis (mielitis) atau menings (meningitis). Infeksi SSP merupakan masalah kesehatan serius yang perlu segera diketahui dan diobati untuk meminimalkan gejala sisa neurologis yang serius dan memastikan keselamatan pasien. Infeksi SSP oleh virus relatif jarang terjadi namun dapat berbahaya. Pada umumnya, virus menyerang SSP melalui darah, walaupun beberapa infeksi tertentu seperti rabies dan varicella-zooster menyerang SSP melalui saraf perifer.1 Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak oleh berbagai macam mikroorganisme yang disertai disfungsi dari neurofisiologi fokal. Pada ensefalitis terjadi peradangan jaringan otak yang dapat mengenai selaput pembungkus otak dan medula spinalis. Penyebab ensefalitis paling sering karena infeksi, namun dapat disebabkan juga oleh noninfeksi misalnya karena proses demielinasi pada ensefalitis akut. Berdasarkan epidemiologi dan patofisiologi, ensefalitis berbeda dari meningitis, meskipun pada evaluasi klinis, keduanya sering berdampingan dengan tanda dan gejala inflamasi pada meningeal seperti fotofobia, sakit kepala, dan kaku kuduk. 1,2,3

II. EPIDEMIOLOGI Menurut data statistik dari 214 pasien ensefalitis 54% (115 orang) dari penderitanya adalah anak-anak. Virus yang paling sering ditemukan adalah virus herpes simpleks (31%). Statistik lain mengungkapkan bahwa ensefalitis primer yang disebabkan oleh virus yang dikenal mencangkup 19%. Ensefalitis primer dengan penyebab yang tidak diketahui dan ensefalitis para-infeksiosa masing-masing

mencakup 40% dan 41% dari semua kasus ensefalitis yang telah diselidiki. Di Amerika Serikat dilaporkan kurang lebih 20.000 kasus per tahun,hal ini menunjukkan angka yang cukup tinggi. 4,5 Herpes Simpleks Ensefalitis yang merupakan penyebab paling umum ensefalitis sporadis di negara-negara Barat relatif langka, kejadian secara keseluruhan 0,2 per 100.000 (infeksi neonatal terjadi pada 2-3 per 10.000 kelahiran hidup). Arbovirus adalah penyebab paling umum ensefalitis episodik dengan melaporkan kejadian serupa dengan Herpes Simpleks Virus. 2 Jumlah terbesar kasus ensefalitis arbovirus di Amerika Serikat disebabkan oleh virus ensefalitis St.Louis. Namun, pada tahun 2002, West Nile Virus menghasilkan epidemi ensefalitis terbesar yang pernah tercatat di Amerika Serikat, dengan 4.156 kasus dan 284 kematian. Penyebab baru dari ensefalitis viral terus bermunculan, sebagaimana dibuktikan dengan adanya 257 kasus ensefalitis dengan angka kematian sebesar 40 % di Malaysia yang disebabkan oleh virus Nipah, anggota baru dari family Paramyxovirus. 5 Di antara penyebab umum ensefalitis virus, ensefalitis varisella-zoster memiliki angka kejadian 2000 orang terinfeksi dalam 1 tahun. Pada campak, terdapat 2 bentuk ensefalitis yaitu post infeksius yang terjadi pada 1 dari 1000 orang yang terinfeksi, dan Subacute Sclerosing Panencephalitis (SSPE) terjadi sekitar 1 dari 100.000 pasien yang terinfeksi. Biasanya 0,3 % kasus-kasus ensefalitis rabies tidak teridentifikasi per tahun. Japanese virus ensefalitis (JE), adalah ensefalitis virus yang paling umum di luar Amerika Serikat terutama terjadi di Jepang, Asia Tenggara, Cina, dan India. 2

III. ANATOMI

Infeksi intrakranial dapat terjadi pada menings (meningitis) dan ada parenkim otak (ensefalitis) atau pada keduanya (meningoensefalitis). Menings adalah lembaran jaringan ikat yang membungkus medulla spinalis, terdiri atas duramater, arachnoid dan piameter. Duramater spinalis terdiri dari jaringan fibrous yang kuat, berwarna putih, terdiri atas lamina meningealis dan lamina endostealis. Lamina endostealis melekat erat pada dinding canalis vertebralis dan menjadi endostum (periosteum). Di antara lamina endostealis dan lamina meningealis terdapat spatium extra duralis (spatium epiduralis), berisi jaringan ikat longgar, lemak dan plexus venosus. Antara duramater dengan arachnoid terdapat spatium subdural, yang berisi cairan limfe.7

Arachnoidea mater spinalis dibentuk oleh jaringan ikat tipis yang transparan. Ke arah cranialis arachnoidmater berhubungan dengan arachnoid cerebri, dan ke arah caudal berakhir pada ujung filum terminale internum. Antara arachnoid dan piameter terdapat spatium subarachnoideum yang berisi liquor cerebrospinalis. Piamater spinalis adalah jaringan ikat tipis yang mengandung banyak pembuluh-pembuluh darah kecil. Selaput ini melekat erat pada medulla spinalis.7

IV. ETIOLOGI Penyebab ensefalitis paling sering karena infeksi virus, namun dapat disebabkan juga oleh noninfeksi misalnya karena proses demielinasi pada ensefalitis akut. Biasanya ensefalitis virus dibagi dalam 3 kelompok: 1) Ensefalitis primer yang biasa disebabkan oleh infeksi virus kelompok herpes simpleks, virus influenza, ECHO, Coxackie dan arbovirus, 2) Ensefalitis primer yang belum diketahui penyebabnya, 3) Ensefalitis para-infeksiosa, yaitu ensefalitis yang timbul sebagai komplikasi penyakit virus, seperti rubeola,varisela, herpes zoster, parotitis epidemika, mononucleosis infeksiosa dan vaksinasi. Selain karena virus, ensefalitis juga dapat disebabkan oleh bakteri yang patogen seperti Mycoplasma sp, parasit dan jamur seperti Toxoplasma gondii. 2,4

V. Banyak virus yang ditularkan oleh manusia, meskipun sebagian kasus HSE dianggap reaktivasi virus herpes simpleks yang dorman di ganglia trigeminal. Nyamuk dan kutu merupakan vector dari arbovirus serta virus rabies ditransfer melalui gigitan hewan. Secara umum, virus bereplikasi di luar SSP dan masuk ke SSP secara hematogen atau melalui perjalanan saraf (rabies, HSV, Varicella Zoster Virus) dan penciuman (HSV). 2 Setelah melintasi sawar darah otak, virus memasuki sel-sel saraf dan mengganggu fungsi sel saraf tersebut, kemudian terjadi kongesti perivaskular, perdarahan, dan respon inflamasi difus yang mempengaruhi difusi substansia alba dan grisea. Defisit neurologi merupakan akibat dari kerusakan reseptor membran sel saraf yang hanya ditemukan pada bagian tertentu dari otak. Sebagai contoh, HSV memiliki kecenderungan menyerang lobus temporal inferior dan medial. Lain halnya dengan virus yang menyerang Grey Matter, seperti ensefalitis akut dan postinfeksiencephalomyelitis (PIE), campak, Epstein-Barr Virus, dan Citomegalo Virus (CMV),

merupakan proses respon kekebalan tubuh yang mengakibatkan demielinisasi multifokal dari White Matter. 2

VI. DIAGNOSIS Manifestasi Klinis Riwayat anamnesis lengkap diperlukan, karena umumnya pasien sering datang dengan penurunan kesadaran, disorientasi, delirium atau bahkan koma. Selain demam akut seperti pada meningitis, pasien dengan ensefalitis umumnya mengalami konfusi/ kebingungan, kelainan perilaku, tingkat kesadaran yang berubah, terdapat tanda dan gejala kelainan neurologis lainnya. Perubahan tingkat kesadaran dapat terjadi, mulai dari kelesuan yang ringan sampai koma dalam. Pasien dengan ensefalitis mungkin memiliki halusinasi, agitasi, perubahan kepribadian, gangguan perilaku, dan kadang-kadang terjadi keadaan psikotik. 5,14 Kejang fokal atau umum terjadi pada sebagian besar pasien dengan ensefalitis berat. Hampir setiap jenis kemungkinan gangguan neurologik fokal telah dilaporkan pada ensefalitis virus, dengan tanda dan gejala mencerminkan adanya infeksi dan peradangan. Gejala yang paling sering ditemukan adalah afasia, ataksia, hemiparesis (dengan hiperaktif reflex tendon dan respon ekstensor plantar, dan defisit saraf kranial (kelemahan otot wajah). Keterlibatan hipotalamus sumbu pituitary dapat menyebabkan disregulasi temperatur, diabetes insipidus, dan berkembang menjadi SIADH. Meskipun daerah SSP yang diserang pada setiap virus berbeda, namun cukup sulit untuk membedakan tipe ensefalitis virus tersebut jika ditinjau dari gambaran klinis. 5

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium: Darah Rutin; lekosit : normal atau lekopeni

(lekositosis ringan). Dari kimia darah ditemukan amilase serum sering meningkat pada parotitis, fungsi hati abnormal dijumpai pada hepatitis virus dan mononucleosis infeksiosa, dan pemeriksaan anti bodi-antigen spesifik untuk HSV, CMV, dan HIV. Elektrolit; dalam batas normal, SIADH terjadi pada 25% pasien dengan ensefalitis St Louis.
2. Punksi

Lumbal apabila tidak ada kontraindikasi, ditemukan cairan

serebrospinal jernih dan tekanannya dapat normal atau dapat meningkat dan fase dini dapat dijumpai peningkatan sel PMN serta glukosa dan klorida normal.
3. Elektroensefalografi (EEG) dilakukan apabila ada manifestasi kejang. 4. Polymerase chain reaction (PCR); PCR untuk DNA HSV 100% spesifik dan

75-98% sensitif dalam 25-45 jam pertama.


5. Radiologi; CT-scan merupakan salah satu modalitas pilihan pada kasus ensefalitis. Pada keadaan awal, dapat tidak ditemukan kelainan intrakranial. Namun, pada proses lanjut dapat ditemukan lesi yang hipodens dan terjadi penyangatan/enhancement post pemberian kontras disertai edema yang hebat disekitarnya (perifokal edema) sehingga menimbulkan efek massa intracranial. Dapat pula ditemukan perdarahan intrakranial. Lokasi tersering adalah pada lobus frontalis dan temporalis baik unilateral maupun bilateral. 8,9

(1)

(2)

Gambar 5. (1) CT scan kepala potongan aksial menunjukkan lesi massa yang besar dengan edema pada hemisfer kanan. (2) CT scan dengan kontras menunjukkan lesi massa yang besar dengan gambaran annular di hemisfer kanan disertai mid line shift ke kiri.

MRI jauh lebih sensitif dalam mendeteksi perubahan parenkim otak, bahkan sejak onset 24-48 jam pertama. Pada fase akut setelah pemberian kontras media selektif peningkatan hipokampus dapat diamati, menunjukkan afinitas virus pada hipokampal, parahipokampal dan korteks insular. Dalam hal perluasan infeksi, MRI dapat menunjukkan lesi di pusat korteks atau korteks temporal anterior, insula dan inti grey matter pada hemisfer serebral.2,8,10

Gambar 6. MRI otak dengan (1a) aksial T2-weighted, (b) peningkatan T1- weighted sagital, (c) aksial isotropik diffusionweighted (d) sesuai peta ADC. Sebuah lesi bulat telur dengan perpanjangan sinyal ringan T1 dan T2 terlihat di pusat splenium dari SCC (Splenium the Corpus Callosum) dengan difusi nyata terbatas dan penurunan nilai ADC (Apparent Diffusion Coefficient). 11

VII. DIAGNOSIS BANDING 1. Abses otak Abses otak adalah suatu proses infeksi yang melibatkan parenkim otak; terutama disebabkan oleh penyebaran infeksi dari fokus yang berdekatan atau melalui system vaskuler. Riwayat sebelumnya menderita penyakit otitis media, mastoiditis, sinusitis supuratif, atau infeksi pada wajah, kulit kepala, atau tengkorak. Abses otak jarang ditemukan dan memiliki gambaran nyeri kepala, demam, dan tanda neurologis fokal. Secara umum abses berdekatan dengan tempat infeksi. Abses metastasis biasanya terletak disepanjang arteri serebri media. Abses otak paling sering terjadi antara usia 20 50 tahun namun pernah ditemukan dalam semua kelompok usia.1 Umumnya, CT Scan dapat mengidentifikasi dan melokalisasi abses besar dan abses-abses kecil di sekitarnya. Pada CT scan, infeksi awal dapat dilihat hanya sebagai daerah hypodensity, dengan sedikit peningkatan terjadi setelah pemberian

media kontras intravena. Seiring waktu, sebagai neovascularity dan kapsul kolagen berkembang, pola peningkatan dering akan menjadi jelas.1,13 2. Meningitis
6.

Meningitis merupakan infeksi yang menyerang menings biasanya disebabkan oleh bakteri, virus, jamur. Meningitis sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari tempat lain di tubuh, misalnya sinus, telinga, atau saluran napas atas. Pada ensefalitis ataupun meningitis dapat timbul gejala peningkatan tekanan intrakranial, fotofobia, demam, biasanya gejalanya lebih parah pada ensefalitis. Pada meningitis sering dijumpai nyeri dan kekakuan leher akibat iritasi saraf spinalis.1,13 VIII. TERAPI
-

Umum: perawatan 5 B yang meliputi: Brain; untuk mencegah timbulnya edema otak dan timbulnya kejang. Breathing; dengan membebaskan jalan nafas dan ventilasi diusahakan adekuat. Bila ada indikasi, berikan O2 1-2 liter/ menit sampai hasil analisis gas darah menunjukkan PaO2 > 90 % dan PaCO2 28-34 mmHg. Blood; mempertahankan perfusi darah ke otak tetap adekuat/optimal. Bladder; kandung kemih dikosongkan dengan kateteriasi. Bowel; fungsi defekasi / pencernaan dan nutrisi harus tetap terjaga. Nutrisi peroral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik. Bila pasien tidak sadar dianjurkan melalui pipa nasogastrik.

Terapi simtomatik: anti edema serebri; deksametasone 0,2 mg/kgBB/i.v dilanjutkan 0,1 mg/kgBB/i.v (tappering off) atau manitol 20% 1-2 mg/ kgBB/kali diberikan tiap 6 jam dilanjutkan 0,25-0,5 g/kgBB (tapering off). Kejang; diazepam 10-20 mg iv perlahan-lahan dapat diulang sampai 3x dengan interval 15-30 menit. Bila masih kejang berikan phenytoin 100-200 mg/12 jam/hari dilarutkan dalam NaCl dengan kecepatan maksimal 50 mg/ menit.

Terapi kausal: Untuk HSV, diberikan Acyclovir 10-12,5 mg / kgBB / 8 jam selama 10 hari atau 200 mg/kgBB diberikan selama 5 6 kali sehari.

IX. PROGNOSIS Prognosis ensefalitis sangat tergantung kondisi klinis pasien dan etiologinya. Beberapa penyebab ensefalitis, seperti rabies, biasanya berakibat fatal, yang lain, seperti Ebstein bar Virus (EBV), memiliki prognosis yang cukup baik.
Angka mortalitas bervariasi dari 50 % pada ensefalitis HS hingga kurang dari 1 % pada ensefalitis arbovirus jenis khusus. Sering timbul gejala sisa seperti kejang, hidrosefalus, dan defisit neurologi lainnya. Komplikasi yang dapat terjadi yaitu kerusakan otak permanen dan dapat mempengaruhi pendengaran, memori, sensasi, bicara, dan penglihatan.

X. SIMPULAN Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak yang sering disebabkan terutama oleh virus. Diagnosis ensefalitis ditegakkan berdasarkan gambran klinis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. Terapi yang diberikan berupa terapi umum, simptomatik dan kausal tepatnya penanganan yang diberikan dan etiologi dari infeksi akan mempengaruhi luaran pasien.

10

DAFTAR PUSTAKA
1. Price A.Sylvia, Wilson M.Lorraine. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-

proses Penyakit. Edisi VI. Jakarta: EGC; 2006. p.1154.


2. Lazoff M. Encephalitis. [online] Feb 26, 2010. [cited on May 13, 2011]:

Available from: URL: http://emedicine.medscape.com.


3. Dahnert Wolfgang. Dahnert Radiology Review Manual. Phoenix: Lippincott

Williams & Wilkins; 1999. p.232.


4. Mardjono Mahar, Sidharta Priguna. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian

Rakyat; 2000. p.313-15


5. Roos L.Karen, Tyler L. Kenneth. Meningitis,Encephalitis, Brain Abses,and

Empyema. In: Kasper, Brounwald, Fauci, Hauser,Longo, Jameson, eds. Harrisons Principal of Internal Medicine. 16th ed. New York: Mc Graw Hill Companies; 2005. p.2480-83.
6. Saladin K. Anatomy and Phisiology The Unity of form and function. 3rd eds:

McGraw-Hill; 2003. p.516-535.


7. Datu Razak. Diktat Susunan Saraf Pusat. Bagian Anatomi Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin


8. Bonetti M.G, Ciritella P, Valle G,et all. Nuclear Medicine in Neurologi

Emergency. In: Scarabino T, Salvolini U, Jinkins R. Emergrncy Neuroadiology. Berlin: Springer; 2006. p.389-91.
9. McCann J.W.J, Phelan E. Pediatric Neurological Emergencies. In: Marincek

Borut, Dondelinger F.Robert, eds. Emergency Radiology Imaging and Intervention. Berlin: Springer; 2007. p.590.
10. Eisenberg L.Ronald, Johnson M. Nancy. Encephalitis. In: Eisenberg

L.Ronald, Johnson M. Nancy, eds. Comprehensive Radiographic Pathology. 4th ed. Philadelphia: Mosby Inc; . p.312.
11. Yeh I.B, Tan L.C, Sitoh. Reversible Splenial Lesion in Clinically Mild

Enchephalitis. [online] Dec, 2005. [cited on May 13, 2011].


12. Lewis Paul,Glaser A.Carol. Encephalitis. [online] Okt 10, 2005. [cited on

May 13, 2011]: Available from: URL: http://pedsinreview.aappublications.org 13. Corwin, Elizabeth. Patofisiologi. Jakarta : EGC; 2001. p. 182-4

11

14. Pillay, prem. Enchephalitis in the medical dictionary. [online] Aug 1, 2005.

[cited on May 13, 2011]: http://G:/enchephalitis/enchephalitis.htm from: URL: http://medline plus.urac.org

Available

from:

URL:

15. Bleck TP. Encephalitis. [online] 2010. [cited on May 13, 2011]: Available

12

Anda mungkin juga menyukai