Anda di halaman 1dari 8

Antara Taqlid dan Ittiba'

Oleh Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah Ittiba (mengikuti) kebenaran adalah kewajipan setiap manusia sebagaimana Allah wajibkan setiap manusia agar selalu ittiba kepada wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya. Yang membangkang kepada perintah Allah hanya orang-orang yang taqlid buta kepada 1) nenek moyangnya atau 2) kebiasaan yang berlaku di sekelilingnya atau 3) hawa nafsunya. Tidak ada satu pun kesesatan kecuali disebabkan taqlid kepada kebatilan yang diperindah oleh iblis. IniIah sebab kesesatan orang-orang Nasrani yang taqlid kepada pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka dan setiap kelompok ahli bidah yang taqlid kepada pemikiran-pemikiran sesat mereka. Mereka menggunakan segala cara untuk mempertahankan kesesatan mereka sekaligus mengajak orang-orang selain mereka kepada jalan mereka. Mereka sebarkan syubhat bahwa orang yang ittiba kepada manhaj para ulama adalah taqlid kepada ulama. Mereka campur adukkan antara taqlid dan ittiba. Jika mereka diseru untuk meninggalkan taqlid kepada pemikiran para pemimpin kesesatan mereka, mereka nanti berkata, Wahai para Salafiyyun kalian juga taqlid kepada para ulama kalian! Mereka gabungkan antara kebatilan dengan kebenaran dan kaburkan garis pemisah antara keduanya.

Berikut adalah perbedaan yang asas antara taqlid dan ittiba agar kita memahaminya dengan benar, dan sekaligus - menepis syubhat para pemilik kebatilan dalam masalah ini.

Definisi Taqlid Taqlid secara bahasa adalah meletakkan al-qiladatun (kalung) ke leher. Dipakai juga dalam hal menyerahkan perkara kepada seseorang seakan-akan perkara tersebut diletakkan di lehernya seperti kalung. [Lisanul Arab 3/367 dan Mudzakkirah Ushul Fiqh hal. 3 14]

Adapun taqlid menurut istilah adalah mengikuti perkataan yang tidak ada hujjah-nya sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad. [Jami Bayanil Ilmi waAhlihi 2/993 dan llamul Muwaqqiin 2/178] Ada juga yang mengatakan bahwa taqlid adalah mengikuti perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya. [Mudzakkirah Ushul Fiqh hal. 3 14]

Celaan Terhadap Taqlid Allah Subhanahu wa Taala telah mencela taqlid dalam Kitab-Nya spt firmannya. Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah. (QS. AtTaubah [9] : 31) Ketika Adi bin Hatim Radhiyallahu anhu mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam membaca ayat Ini maka dia mengatakan, Wahai Rasulullah, kami dulu tidak menjadikan mereka sebagai Rabb-

Rabb. Rasulullah SAW bersabda, Ya, Bukankah jika mereka halalkan kepada kalian apa yang diharamkan atas kalian maka kalian juga menghalalkannya, dan jika mereka haramkan apa yang dihalalkan atas kalian maka kalian juga mengharamkannya? Adi Radhiyallahu anhu berkata, Ya. Rasulullah SAW bersabda, ltulah peribadatan kepada mereka. [Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Jami nya 3095 dan Baihaqi dalam Sunan Kubra 10/116 . Allah SWT berfirman. Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: 'Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejakjejak mereka.' (Rasul itu) berkata: Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapakbapakmu menganutnya?' Mereka menjawab: 'Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya'. (QS. Az-Zukhruf [43] : 23-24) Al-Imam lbnu Abdil Barr rahimahullahu berkata, Karena mereka taqlid kepada bapak-bapak mereka maka mereka tidak mau mengikuti petunjuk para Rasul. [Jami Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/977] Allah menyifati orang-orang yang taqlid dengan firman-Nya. Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun. (QS. Al-Anfal [8] : 22) Ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dan orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali (QS. Al-Baqarah [2] : 166) Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata, Para ulama berdalil dengan ayat-ayat ini untuk membatalkan taqlid. [Jami Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/978]

Wajibnya Ittiba Ittiba adalah menempuh jalan orang yang (wajib) diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan. [IIamul Muwaqqiin 2/171] Seorang muslim wajib ittiba kepada Rasulullah SAW dengan menempuh jalan yang beliau tempuh dan melakukan apa yang beliau lakukan. Begitu banyak ayat Al-Quran yang memerintahkan setiap muslim agar selalu ittiba kepada Rasulullah SAW di antaranya firman Allah. Katakanlah: 'Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, makasesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir'. (QS. Ali lmran [3] : 32)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Hujurat [49] : 1)

Hal orang-arang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah Ia kepoda Allah (AlQur an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa [4] : 59)

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintal Alloh, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Ali lmran [3] : 31)

Rasulullah SAW bersabda. Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya seandainya Musa hidup maka tidak boleh baginya kecuali mengikutiku.[Dikeluarkan oleh Abdur Razzaq dalam Mushannafnya 6/Fl 3, lbnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya 9/47, Ahmad dalam Musnadnya 3/387, dan lbnu Abdil Barr dalam Jami Bayan Ilmi 2/805, Hadits ini merupakan dalil yang qathi atas wajibnya mengesakan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam hal ittiba, dan ini merupakan konsekuensi syahadatanna Muhammadan rasulullah, karena itulah Allah sebutkan dalam ayat di atas (QS. Ali lmran [3] : 31) bahwa ittiba kepada Rasulullah bukan kepada yang lainnya adalah dalil kecintaan Allah kepadanya. [Muqaddimah Bidayatus Sul fi Tafdhili Rasul hal. 5-6] Demikian juga Alloh memerintahkan setiap muslim agar ittiba kepada sabilil mukminin yaitu jalan para sahabat Rasulullah dan mengancam dengan hukuman yang berat kepada siapa saja yang menyeleweng darinya: Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan Ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan Ia ke dalam jahanam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa [4] : 115)

Pengertian lain dari ittiba adalah jika engkau mengikuti suatu perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihannya sebagaimana diktakan oleh Al-Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya Jami Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/787. Al-Imam Asy-Syafii berkata, Aku tidak pernah mendebat seorang pun kecuali aku katakan: Ya Alloh jalankan kebenaran pada hati dan lisannya, jika kebenaran bersamaku maka dia ittiba kepadaku dan jika kebenaran bersamanya maka aku ittiba padanya. [Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam oleh AlIzz bin Abdis Salam 2/I 36]

Taqlid Bukanlah Ittiba Al-Imam lbnu Abdil Barr berkata, Taqlid menurut para ulama bukan ittiba, karena ittiba adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang yang nampak bagi mu keshahihan perkataannya,

dan taqlid adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang dalam keadaan engkau tidak tahu segi dan makna perkataannya. [Jami Bayanil Ilmi waAhlihi 2/787] Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad berkata, Taqlid maknanya dalam syariat adalah merujuk kepada suatu perkataan yang tidak ada argumennya, ini adalah dilarang dalam syariat, adapun ittiba maka adalah yang kukuh argumennya. Beliau juga berkata, Setiap orang yang engkau ikuti perkataannya tanpa ada dalil yang mewajibkan mu untuk mengikutinya maka engkau telah taqlid kepadanya, dan taqlid dalam agama tidak shahih. Setiap orang yang dalil mewajibkanmu untuk mengikuti perkataannya maka engkau ittiba kepadanya. Ittiba dalam agama dibolehkan dan taqlid dilarang. [Dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya Jami Bayanil Ilmi waAhlihi 2/993]

Para Imam Melarang Taqlid dan Mewajibkan Ittiba Diantara hal lain yang menunjukkan perbedaan yang mendasar antara taqlid dan ittiba adalah larangan para imam kepada para pengikutnya dan taqlid dan perintah mereka kepada para pengikutnya agar selalu ittiba: Al-Imam Abu Hanifah berkata, Tidak halal atas seorangpun mengambil perkataan kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya Dalam riwayat lain beliau berkata, Orang yang tidak tahu dalilku, haram atasnya berfatwa dengan perkataanku. [Dinukil oleh Ibnu Abidin dalam Hasyiyahnya atas Bahru Raiq 6/293 dan Sya rany dalam Al-Mizan 1/55]

Al-Imam Malik berkata : Sesungguhnya aku adalah manusia yang boleh benar dan keliru. Lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesual dengan Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah. [Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam AlJami 2/32]

Al-Imam Asy-Syafii berkata, Jika kalian menjumpai sunnah Rasulullah SAW, ittiba-lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun. [Diriwayatkan oleh Abu Nuaim dalam Hilyatul Auliya 9/107 dengan sanad yang shahih] Beliau juga berkata, Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadits shahih yang bertentangan, maka hadits Nabi, lebih utama untuk diikuti. Janganlah kalian taqlid kepadaku. [Diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam Adab Syafii hal. 93 dengan sanad yang shahih] Al-Imam Ahmad berkata, Janganlah engkau taqlid dalam agamamu kepada seorang pun dari mereka, apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya ambillah. Beliau juga berkata, Ittiba adalah jika seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi SAW dan para sahabatnya. [MasaiI Al-Imam Ahmad oleh Abu Dawud hal.276- 277]

Ittiba adalah Jalan Ahli Sunnah dan Taqlid adalah Jalan Ahli Bidah Al-Imam Ibnu Abil Izz Al Hanafy berkata, Umat ini telah sepakat bahwa tidak wajib taat kepada seorangpun dalam segala sesuatu kecuali kepada Rasulullah SAW, mak barangsiapa yang (fanatik) kepada salah seorang imam dan mengesampingkan yang lainnya seperti orang yang taashub kepada seorang sahabat dan mengesampingkan yang lainnya, seperti orang-orang Rafidhah yang taashub kepada Ali dan mengesampingkan tiga khalifah yang lainnya. ini jalannya ahlul ahwa. [Al-Ittiba cet. kedua hal. 80] Ibnu Taimiyah berkata, Barangsiapa yang ta ashub kepada seseorang, dia kedudukannya seperti orang-orang Rafidhah yang taashub kepada salah seorang sahabat, dan seperti orang-orang Khawarij. Ini adalah jalan ahli bid ah dan ahwa yang mereka keluar dan syariat dengan kesepakatan umat dan menurut Kitab dan Sunnah, yang wajib kepada semua makhluk adalah ittiba kepada seorang yang mashum (yaitu Rasulullah SAW) yang tidak mengucap dan hawa nafsunya, yang dia ucapkan adalah wahyu yang diturunkan kepadanya. [Mukhtashar Fatawa Mishniyyah hal. 46-47]

Bantahan Para Ulama Kepada Pembela Taqlid Al-Imam Al-Muzani berkata, Dikatakan kepada orang yang berhukum dengan taqlid, Apakah kamu punya hujjah pada apa yang kamu hukumi? Jika dia mengatakan,Ya, secara otomatik dia membatalkan taqlid-nya, karena hujjah yang mewajibkan dia menghukumi itu bukan taqlid-nya. Jika dia mengatakan, Aku menghukumi tanpa memakai hujjah. Dikatakan kepadanya, Kalau begitu mengapa engkau tumpahkan darah, engkau halalkan kemaluan, dan engkau musnahkan harta padahal Allah mengharamkan semua itu kecuali dengan hujjah, Alloh berfirman: Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. (QS. Yunus [10] : 68) Kalau dia mengatakan, Aku tahu kalau aku menepati kebenaran walaupun aku tidak mengetahui hujjah, karena aku telah taqlid kepada seorang ulama besar yang dia tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyi dariku Dikatakan kepadanya, Jika dibolehkan taqlid kepada gurumu karena dia tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyi darimu, maka taqlid kepada guru dan gurumu lebih utama karena dia tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyl dari gurumu sebagaimana gurumu tidak berkata kecuali dengan hujjahyang tersembunyi darimu. Kalau dia mengatakan, Ya, maka dia harus meninggalkan taqlid kepada guru dari gurunya dan yang di atasnya hingga berhenti kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Kalau dia enggan melakukan itu berarti dia telah membatalkan ucapannya dan dikatakan kepadanya, Bagaimana dibolehkan taqlid kepada orang yang lebih kecil dan lebih sedikit ilmunya dan tidak boleh taqlid kepada orang yang lebih besar dan lebih banyak ilmunya? ini jelas bertentangan. Kalau dia mengatakan, Karena guruku -meskipun dia lebih kecil- dia telah menggabungkan ilmu orang-orang yang di atasnya kepada ilmunya, karena itu dia lebih paham apa yang dia ambil dan lebih tahu apa yang dia tinggalkan Dikatakan kepadanya, Demikian juga orang yang belajar dari gurumu maka dia sungguh telah menggabungkan ilmu gurumu dan ilmu orang-orang yang di atasnya kepada

ilmunya, maka engkau harus taqlid kepada orang ini dan meninggalkan taqlid kepada gurumu. Demikian juga engkau lebih berhak untuk taqlid kepada dirimu sendiri daripada taqlid kepada gurumu! Jika dia tetap pada perkataannya ini berarti dia menjadikan orang yang lebih kecil dan orang yang berbicara dari para ulama junior lebih patut di-taqlid-i daripada para sahabat Rasulullah SAW. Demikian juga menurut dia seorang sahabat harus taq lid kepada seorang tabiin, dalam keadaan seorang tabi in di bawh sahabat menurut analogi perkataannya, maka yang lebih tinggi selamanya lebih rendah, maka cukuplah ini merupakan kejelekan dan kerusakan. [Diriwayatkan oleh Al-Khathib Al-Baghdady dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih 2/69-70 dan dinukil oleh lbnu Abdil Barr dalam Jami Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/992-993] Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata, Dikatakan kepada orang yang taqlid: Mengapa engkau taqlid dan menyelisihi salaf dalam masalah ini, karena salaf tidak melakukan taqlid? Kalau dia mengatakan, Aku taqlid karena aku tidak paham tafsir Kitabullah dan aku belum menguasai hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Sedangkan yang aku taqlid-i telah mengetahui semuanya itu maka berarti aku taqlid kepada orang yang lebih berilmu daripadaku. Dikatakan kepadanya, Adapun para ulama, jika mereka sepakat pada sesuatu dan tafsir Kitabullah atau periwayatan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, atau sepakat pada sesuatu maka itu adalah al-haqyang tidak ada satu pun keraguan di dalamnya. Akan tetapi mereka telah berselisih dalam hal yang kamu taqlid-i, lalu apa argumenmu di dalam taqild kepada sebagian mereka tidak kepad yang lainnya, padahal mereka semua berilmu. Bisa jadi orang yang tidak kamu pakai perkataanya lebih berilmu daripada orang yang engkautaqlid-i? Jika dia mengatakan, Aku taqlid kepadanya karena aku tahu dia di atas kebenaran. Dikatakan kepadanya, Apakah kamu tahu hal itu dengan dalil dari Al-Kitab, Sunnah, dan ijma?Jika dia mengatakan, Ya, maka dia telah membatalkan taqlid-nya dan dituntut untuk mendatangkan dalil dan perkataannya [Jami Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/994]

Hukum Taqlid Taqlid terbagi menjadi tiga macam sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam lbnul Qayyim dalam kitabnya ilamul Muwaqqiin 2/187: (1) Taqlid yang diharamkan, (2) Taqlidyang diwajibkan, dan (3) Taqlid yang dibolehkan. Macam yang pertama yaitu taqlid yang diharamkan terbagi menjadi tiga jenis: 1. Taqlid kepada perkataan nenek moyang sehingga berpaling dari apa yang diturunkan Alloh. 2. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.

3. Taqlid kepada perkataan seseorang setelah tegak argumen dan dalil yang menyelisihi perkataannya. Alloh Subhanahu wa Taala telah mencela tiga macam taqlidini di dalam ayat-ayat yang banyak sekali dalam Kitab-Nya sebagaimana telah kita sebutkan pada uraian di atas. Macam yang kedua yaitu taqlid yang diwajibkan adalah yang dikatakan oleh Al-Imam lbnul Qayyim, SesungguhnyaAlloh telah memerintahkan agar bertanya kepada Ahlu Dzikr, dan Adz-Dzikr adalah AlQuran dan Al-Hadits yang Alloh perintahkan agar para istri Nabi-Nya selalu mengingatnya sebagaimana dalam finman-Nya : Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dan ayat-ayat Alloh dan hikmah (Sunnah Nabimu). (QS. Al-Ahzab [43] : 34) lnilah Adz-Dzikr yang Alloh penintahkan agar kita selaluittiba kepadanya, dan Alloh perintahkan orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya. Inilah yang wajib atas setiap orang agar bertanya kepada ahli ilmu tentang Adz-Dzikr yang Alloh turunkan kepada Rasul-Nya agar ahli ilmu ini memberitahukan kepadanya. Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba kepadanya. [llamul Muwaqqiin 2/241] Macam yang ketiga yaitu taqlid yang dibolehkan adalah yang dikatakan oleh Al-Imam lbnul Qayyim, Adapun taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba kepada apa yang diturunkan Alloh. Hanya saja sebagian darinya tensembunyi bagi orang tersebut sehingg dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah terpuji dan tidak tencela, dia mendapat pahala dan tidak berdosa.... [Ilamul Muwaqqi in 2/169] Syaikhul Islam lbnu Taimiyah berkata, Adapun orang yang mampu ijtihad apakah dibolehkan baginya taqlid? ini adalah hal yang diperselisihkan, dan yang shahih adalah dibolehkan ketika dia dalam keadaan tidak mampu berijtihad entah karena dalil-dalil (dan pendapat yang berbeda) samasama kuat atau karena sempitnya waktu untuk berijtihad atau karena tidak nampak dalil baginya. [Majmu Fatawa 20/203-204] Mengikuti Manhaj Para Ulama Bukan Berarti Taklid Kepada Mereka Al-Imam lbnul Qayyim berkata, Jika ada yang mengatakan: Kalian semua mengakui bahwa para imam yang di-taqlid-i dalam agama mereka berada di atas petunjuk, karena itu maka orang-orang yang taqlidkepada mereka pasti di atas petunjuk juga, karena mereka mengikuti langkah para imam tersebut. Dikatakan kepadanya, Mengikuti langkah para imam ini secara otomatis membatalkan sikap taqlid kepada mereka, karena jalan para imam ini adalah ittiba kepada hujjahdan melarang umat dan taqlid kepada mereka sebagaimana akan kami sebutkan hal ini dan merekalnsya Alloh. Maka barangsiapa yang meninggalkan hujjahdan melanggar larangan para imam ini (dan sikap taqlid) yang juga dilarang oleh Alloh dan Rasul-Nya, maka jelas orang ini tidak berada di atas jalan para imam ini, bahkan termasuk orang-orang yang menyelisihi mereka.

Yang menempuh jalan para imam ini adalah orang yang mengikuti hujjah, tunduk kepada dalil, dan tidak menjadikan seorang pun yang dijadikan perkataannya sebagal timbangan terhadap Kitab dan Sunnah kecuali Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Dari sini nampaklah kebatilan pemahaman orang yang menjadikan taqlid sebagai ittiba, mengaburkannya dan mencampuradukkan antara keduanya, bahkan taqlidmenyelisihi ittiba. Alloh dan Rasul-Nya telah memilahkan antara keduanya demikian juga para ulama. Karena sesungguhnya ittiba adalah menempuh jalan orang yang diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan. [Ilamul Muwaqqiin 2/170-l71] [Pembabasan ini banyak mengambil faedah dan risalah Syaikhuna Al-Fadhil Muhammad bin Hadi AlMadkhaly yang berjudul Al Iqna bi Majaa an Aimmati Da wah minal Aqwal fil Ittiba]

Kesimpulan Taqlid menurut istilah adalah mengikuti perkataan yang tidak ada hujjah-nya atau mengikuti perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya. Taqlid terbagi menjadi tiga macam. 1. Taqlid yang diharamkan, yaitu taqlid kepada perkataan nenek moyang sehingga berpaling dan apa yang diturunkan oleh Alloh, taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya, dan taqlid kepada perkataan seseorang setelah tegak argumen dan dalil yang menyelisihi perkataannya. lnilah taqlid yang dicela Alloh dalam Kitab-Nya. 2. Taqlid yang diwajibkan, yaitu orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya tentang Adz-Dzikr yaitu apa yang Alloh turunkan kepada Rasul-Nya. Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittibakepadanya. 3. Taqlid yang dibolehkan, yaitu taqlid-nya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba kepada apa yang diturunkan oleh Alloh dalam suatu permasalahan. Hanya saja sebagian dari hujjahnya tersembunyi bagi orang tersebut sehingga dia taqlidkepada orang yang lebih berilmu darinya dalam permasalahan tersebut. Ittiba adalah menempuh jalan orang yang (wajib) diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan atau jika engkau mengikuti suatu perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihannya. Taqlid bukanlah ittiba, karena ittiba adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihan perkataannya, dan taqlid adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang dalam keadaan engkau tidak tahu segi dari makna penkataannya. Para imam melarang para pengikutnya dan taqlid dan memerintahkan mereka agar selalu ittiba. Ittiba adalah jalan Ahlu Sunnah dan taqlid adalah jalan ahli bidah. Mengikuti manhaj para ulama bukanlah taqlid kepada mereka, karena manhaj para ulama ini adalah ittibakepada hujjah dan melarang umat dan taqlid kepada mereka, maka orang yang menempuh manhaj mereka juga ittiba sebagaimana mereka.

Anda mungkin juga menyukai