Anda di halaman 1dari 33

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang Peranan kepercayaan dalam organisasi mempengaruhi efektifitas dari komunikasi internal dan eksternal dan juga mempengaruhi tindakan-tindakan dari kemampuan teknis dan manajerial para pegawai yang merupakan faktor yang harus dimiliki dalam organisasi yang baik. Kepercayaan dipercaya memainkan peranan penting dalam kualitas hubungan atasan-bawahan (Butler,1991;liden &Graen, 1980 dalam Gomes dan Rosen, 2001). Kepercayaan manajerial berkaitan erat dengan suatu pekerjaan, dimana pekerjaan merupakan objek formal manajemen. Sehingga manajemen akan senantiasa memperhatikan hakikat kerja dan pekerjaan. Pada hakikatnya orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan atas dorongan atau motivasi. Kebutuhan dipandang sebagai penggerak atau pembangkit perilaku sedangkan tujuan berfungsi mengarahkan perilaku. Oleh karena itu, setiap pekerjaan harus berkontribusi pada pemenuhan kebutuhan pekerja. Seorang manajer harus mengerti dan memahami apa yang menjadi kebutuhan hidup para bawahannya bahkan kalau pun mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup melalui pekerjaan yang diberikan. Agar perilaku ekstra peran ditunjukkan dengan baik, maka efektifitas peran seorang pimpinan dalam hal ini Sekretaris Daerah sangatlah diperlukan.

Pendekatan leader-member exchange mengenali bahwa tidak ada perilaku pemimpin yang konsisten pada seluruh bawahan, leader-member exchange juga menekankan perbedaan hubungan yang dikembangkan atasan-bawahan yang berbeda dalam kelompok kerja, hubungan satu lawan satu ini yang akan menentukan perilaku bawahan (Ivancevich,et al;2006). Dengan demikian, dalam mengembangkan hubungan atasan-bawahan, kepercayaan manajerial dihubungkan dengan persepsi karyawan mengenai kualitas pertukaran, karena dalam in-group relationships dikarateristikkan memiliki kepercayaan tinggi, karyawan yang dipercaya oleh manajernya dikatakan diantara manajer-karyawan tersebut memiliki kualitas hubungan yang tinggi, sebaliknya dalam out-group relationships dikarateristikkan memiliki kualitas hubungan manajer-bawahan rendah(Dienesch & Liden,1996 dalam Gomes dan Rosen, 2001). Karyawan yang memiliki hubungan dan interaksi yang tinggi antara pimpinan-bawahan dalam kelompok in-group seperti adanya perlakuan-perlakuan khusus yang diberikan pimpinan kepada bawahan, adanya perhatian yang memadai dari pimpinan terhadap karyawan, adanya kepercayaan pimpinan terhadap karyawan dan sebaliknya, kemauan menerima tambahan tanggungjawab dari organisasi, kemauan karyawan tinggi untuk menerima tugas yang tidak terstruktur dan kemauan karyawan untuk sukarela bekerja. Sementara hubungan dan interaksi pimpinan-bawahan pada posisi out-group terjadi sebaliknya dari posisi in-group.

Hal tersebut memiliki implikasi yakni ketika atasan mempercayai secara penuh terhadap bawahannya, atasan tidak akan segan-segan memperlakukan yang disukai oleh bawahanya, seperti informasi, kebebasan dan keleluasaan bertindak. Teori Leader-Member Exchange di bangun dalam konstruk kepercayaan dan menejerial pemberdayaan pegawai. Walaupun konstruk-konstruk tersebut sering dikatakan overlap dalam teori dan praktek, upaya untuk melakukan validasi pengukuran konstruk itu memotivasi para peneliti untuk melakukan riset mengenai hubungan kepercayaan manajerial, Leader-Member Exchange dan pemberdayaan (Gomez dan Rosen, 2001). Mayor davis, & Schoorman, 1995; Mishra & Spreitzer,1994 dalam Gomes dan Rosen,2001 menyatakan bahwa dengan adanya pendelegasian wewenang dari pemimpin, manager dapat memainkan peran kritis dalam proses pemberdayaan karyawan. Suatu syarat yang mutlak sebelum manajer memberdayakan karyawannya sehingga dalam hal ini dapat diketahui tindakan manajerial yang memiliki wewenang untuk mengimplementasikan arahan konseptual dari atasan yang selanjutnya wewenang tersebut diberikan kepada manajer agar manajer leluasa memberdayakan pegawai sesuai konseptual atasan. Pemberdayaan pegawai sangat penting dikaitkan dengan upaya peningkatan semangat kerja pegawai. Rendahnya suatu kepercayaan pada manajerial dan pemberdayaan pegawai sangat dipengaruhi oleh perhatian pemimpin atau atasan terhadap pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM), dalam meningkatkan profesionalisme pelayanan kepada masyarakat dan juga untuk meningkatkan etos kerja pegawai. Sebagai di ketahui, manfaat terhadap pemberdayaan Sumber Daya

Manusia (SDM) sangat besar bagi upaya menciptakan tujuan organisasi dalam mencapai kesuksesan. Setiap atasan untuk memberdayakan bawahannya sangat diperlukan sehingga tujuan organisasi mencapai hasil yang maksimal, kepercayaan bawahan kepada atasan merupakan faktor yang mempengaruhi semangat bawahan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya. Ada hal-hal menarik diantara peneliti dan praktisi dalam membahas mengenai konsep pemberdayaan/empowerment serta hubungannya dengan praktek-praktek manajemen (Bennis & Nanus, 1985; Block, 1987; Burke 1986; Kanter,1979; McClellnEand, 1975 Neilsen, 1986 dalam Konger & Kanugo, 1988). Pertama, studi mengenai kepemimpinan dan keahlian manajemen menyatakan bahwa praktek pemberdayaan bawahan adalah sebuah komponen utama dalam manajerial dan keefektifitan organisasi. Kedua, analisis tentang kekuasaan dan pengendalian organisasi menunjukkan bahwa produktivitas organisasi tumbuh bersamaan ketika pimpinan mendelegasikan sebagian kekuasaan dan kontrolnya terhadap bawahan. Ketiga, pengalamanan dalam tim kerja menyatakan bahwa teknik pemberdayaan memainkan peran krusial dalam pengembangan tim kerja (Beckhard, 1969; Neilsen, 1986 dalam Conger & Kanugo, 1988). Dengan demikian, pengelolaan terhadap bawahan yang diwujudkan dalam bentuk pemberdayaan membutuhkan manajemen sumber daya manusia yang professional. Berdasarkan pemantauan peneliti terhadap pegawai pada sekretariat daerah kabupaten kerinci, ditemui adanya pegawai yang berperilaku kerja hanya

melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya sebagaimana yang tercantum dalam uraian tugas tanpa kerja sama antara bawahan dan atasan, yang disebut sebagai prilaku in-group dan pegawai yang perilaku kerjanya melebihi uraian tugas serta atasan dan bawahan yang disebut out-group. Motivasi peneliti mereplikasi penelitian Gomez dan Rosen (2001) adalah untuk menguji apakah variabel kepercayaan manajerial dapat berpengaruh langsung terhadap proses pemberdayaan karyawaan, ataukah harus dimediasi oleh variabel leader-member exchange. seringkali penelitian tentang perilaku pemimpin dengan setting yang berbeda dapat memberikan hasil penelitian yang berbeda. Hal ini disebabkan bahwa pada dimensi budaya yang berlainan, setiap karakter pemimpin dengan bawahan mempunyai kecenderungan sikap dan prilaku yang tidak sama. Untuk itu, analisis mengenai Leader-Member Exchange di Sekretariat Daerah Kabupaten Kerinci ini akan memberikan masukan untuk menetapkan berbagai kebijakan hubungan kepercayaan atasan-bawahan pada Sekretaris Daerah Kabupaten Kerinci. Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka penulis sangat tertarik untuk meneliti fenomena tersebut, dengan mengambil judul PENGARUH LEADER-MEMBER MANAJERIAL EXCHANGE PADA HUBUNGAN PEGAWAI adanya kerjasama antara

KEPERCAYAAN

DAN

PEMBERDAYAAN

(STUDI PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN KERINCI). 1.2. Perumusan Masalah

Mengacu kepada latar belakang yang dikemukakan, maka dapat dijabarkan perumusan masalah penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana kepercayaan menejerial berpengaruh positif terhadap persepsi

pegawai mengenai kualitas Leader Member Exchange?


2. Bagaimana Leader Member Exchange

berpengaruh positif terhadap

pemberdayaan pegawai?
3. Bagaimana kualitas Leader Member Exchange memediasi hubungan

antara kepercayaan menejerial dengan pemberdayaan pegawai?

1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
1.

Untuk mengetahui kepercayaan managerial berpengaruh positif terhadap persepsi pegawai mengenai kualitas Leader-Member Exchange

2.

Untuk mengetahui Leader-Member Exchange berpengaruh positif terhadap pemberdayaan pegawai.

3.

Untuk mengetahui kualitas Leader-Member Exchange memediasi hubungan antara kepercayaan manajerial dengan pemberdayaan pegawai.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :


1.

Bagi organisasi (Sekretariat Daerah Kabupaten Kerinci). Sebagai bahan masukan dan saran untuk meningkatkan kepercayaan manajerial dan pemberdayaan pegawai Sekretariat Daerah Kabupaten Kerinci.

2.

Bagi peneliti selanjutnya. Dapat digunakan sebagai bahan referensi dan acuan bagi peneliti selanjutnya yang berminat mengadakan penelitian mengenai LeaderMember Exchange.

3.

Bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Dapat memberikan sumbangan dalam menjelaskan pengaruh LeaderMember Exchange pada hubungan kepercayaan manajerial dan pemberdayaan pegawai Sekretariat Daerah Kabupaten Kerinci.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

2.1. Kepercayaan Manajerial Gibb (1965) dalam Gomez dan Rosen (2001) menyatakan bahwa kepercayaan adalah sebuah elemen penting manajemen dalam memprediksi perilaku bawahan yang akan membantu kesuksesan organisasi. Semakin tinggi tingkat kepercayaan atasan kepada bawahannya, maka semakin tinggi pula kemungkinan atasan melakukan pemberdayaan untuk bawahan. Para manajer peduli mengenai bagaimana mereka dapat mengajari para pegawai untuk berperilaku dalam cara-cara yang paling memberi manfaat kepada organisasi. Ketika kita mencoba untuk mencetak para individu dengan memandu pembelajaran mereka dengan langkah-langkah bertahap, kita sedang membentuk perilaku (shapping behavior). Perilaku seorang pegawai berbeda secara signifikan dari apa yang dicari oleh manajemen. Jika manajemen hanya memperkuat individual itu ketika ia memperlihatkan respon-respon yang diinginkan, mungkin sangat sedikit penguatan yang terjadi. Dalam kasus ini, pembentukan menawarkan suatu pendekatan yang logis terhadap tercapainya perilaku yang diinginkan. Untuk membentuk perilaku dengan memperkuat secara sistematis tiap langkah yang berturutan menggerakan individu lebih dekat ke respon yang diinginkan. Jika seorang pegawai, yang secara kronis terlambat setengah jam, datang terlambat hanya 20 menit, kita dapat memperkuat perbaikan-perbaikan.

Penguatan akan meningkat dengan makin dekatnya respon mendekati perilaku yang diinginkan. Menurut Hasibuan (2007) karyawan manajerial adalah setiap orang yang berhak memerintah bawahannya untuk mengerjakan sebagian pekerjaannya dan dikerjakan sesuai dengan perintah. Mereka mencapai tujuannya melalui kegiatankegiatan orang lain.

2.2. Pemberdayaan Pegawai Meski banyak teori dan konseptualisasi pemberdayaan, tetapi pada dasarnya pemberdayaan dapat didefinisikan dalam dua kelompok besar, yaitu pemberdayaan dalam konstruk relasional dan pemberdayaan dalam konstruk motivasional. Pertama, pemberdayaan sebagai konstruk relasional. Dalam literatur manajemen dan literatur pengaruh sosial, kekuasaan dirumuskan sebagai sebuah konsep relasional yang digunakan untuk menggambarkan persepsi tentang kekuasaan atau kendali yang dimiliki oleh seorang pelaku atau sebuah unit organisasi terhadap pihak-pihak lain (pfeffer,1981). Literatur manajemen merumuskan pemberdayaan berdasarkan teori pertukaran sosial (social Exchange theory) (Homans, 1974 dalam Conger dan Kunango, 1988), sehingga literatur ini menafsirkan kekuasaan sebagai sebuah fungsi ketergantungan dan kemandirian dari para pelaku (actor). Kekuasaan relative yang dimiliki seorang pelaku terhadap pelaku lain adalah produk dari besarnya ketergantungan yang satu terhadap yang lain (pfeffer,1981)

10

Kedua, pemberdayaan sebagai konstruk motivasional. Dalam literatur psikologi, kekuasaan dan kendali digunakan sebagai kondisi kepercayaan (belief state), yang bersifat motivasional atau yang mengandung pengharapan dan bersifat informal dalam diri tiap-tiap individu. Dalam artian motivasional, kekuasaan adalah kebutuhan intristik dari dalam individu untuk memiliki kebebasan membuat keputusan (self-determination) (Decy et al.,1989), atau kebutuhan instristik untuk merasa yakin pada dalam efektifitas konstruk diri (self-efficacy) relasional (Bandura,1989). to Jadi

pemberdayaan

adalah

empower

(memberdayakan), sedangkan dalam konstruk motivasional, pemberdayaan berarti to enable berarti meningkatkan motivasi individu dengan cara meningkatkan keyakinan individu itu pada efektifitas dirinya sendiri. 2.2.1. Pengertian Pemberdayaan Pegawai Pemberdayaan adalah merupakan suatu tehnik manajemen yang digunakan oleh perusahaan untuk meningkatkan efektivitas organisasi (Conger dan Kanungo, 1998; Kanter, 1989 dalam Laschinger et al.,2001a; Spreitzer, 1995). Menurut Kanter, bekerja dalam kondisi terberdayakan memiliki suatu dampak yang positif bagi para karyawan, yaitu meningkatnya perasaan keyakinan diri dan kepuasan kerja, motivasi yang lebih tinggi, dan keletihan fisik/mental yang rendah. Pemberdayaan pegawai adalah suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan teknis, teoritis, konseptual, dan moral pegawai sesuai dengan kebutuhan pekerjaan/jabatan melalui pendidikan dan latihan (Hasibuan 2000:69). Pemberdayaan pegawai adalah setiap usaha untuk memperbaiki pelaksanaan pekerjaan yang sekarang maupun yang akan datang, dengan memberikan

11

informasi, memepengaruhi sikap atau menambah kecakapan. Dengan kata lain pemberdayaan pegawai adalah setiap kegiatan yang dimaksudkan untuk mengubah perilaku orang terdiri dari pengetahuan, kecakapan dan sikap (moekijat 1991:8). Mulyadi dkk (2001:2 164) pemberdayaan berarti memampukan (enable) memberikan kesempatan (allow) atau mengizinkan (to permit),yang dapat dilakukan baik inisiatif atau diopicu orang lain. Pemberdayaan karyawan berrti memampukan dan memberikan kesempatan kepada karayawan untuk

merencanakan, mengendalikan mengimplementasikan rencana pekerjaan yang menjadikan tanggung jawabnya. Ditinjau dari sudut manajer pemberdayaan karyawan merupakan proses untuk rencana pekerjaan yang menjadi tanggung jawab karyawan. Ditijau dari sudut karyawan pemberdayaan karyawan merupakan proses untuk meningkatkan keandalan dirinya agar dipercayai oleh menejer didalam merencanakan dan

mengendalikan implementasi renccana pekerjaan yang menjadi tanggung jawab karyawan. Prijono (1996:139-145) menjelaskan bahwa dalam mengimplementasikan proses pemberdayaan, menyatakan bahwa terdapat diantara lain dua aspek penting yaitu partisipatif dan tersedentralisasi. Aspek partisipatif yaitu melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan sejak dari perencanaan, pelaksanaan, imementingkan penurunan wewenang pembuatan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan kepada karyawan.

12

Siagian (2001:3) menyatakan memberdayakan sumber daya manusia merupakan etos kerja yang sangat mendasar yang harus dipegang teguh oleh semua eselon manajemen dalam seluruh organisasi (Siagian 2001:3). Dengan demikian karyawan yang memberdaya akan memberikan keuntungan diri sendiri dan organisasi. Mereka akan lebih merasa memiliki daya guna dalam tugas dan hidupnya, dan keterlibatan karyawan secara langsung akan dapat terwujud dalam bentuk proses dan sistem yang ada dilingkungan kerja secara berkelanjutan. Dalam organisasi yang berdaya para karyawan dapat mengembangkan gagasan-gagasan dan inisatif-inisiatif terbaiknya bagi peningkatan produktivitas kerja, dengan perasaan senang, perasaan memiliki dan perasaan bangga,

disamping itu mereka akan bertindak secara bertanggung jawab dan akan mengutamakan perhatiannya kepada organisasi. Maka dalam hal ini pimpinan memberikan kebebasan untuk menggunakan pengetahuan, pengalaman, dan motivasi dalam diri orang guna mencapai hasil yang mengagumkan. (Ken Blanchard : 2002). Manthis mendefinisikan pemberdayaan pegawai sebagai kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan kecakapan pegawai guna pertumbuhan yang berkesinambungan didalam organisasi. Pemberdayaan pegawai adalah suatu usaha yang ditujukan untuk memajukan pegawai baik dari segi karir, pengetahuan maupun kemampuan (Moenir 1992:160). Pemberdayaan pegawai adalah usaha untuk memperbaiki atau

meningkatkan pengetahuan umum bagi pegawai agar pelaksanaan tujuan lebih efektif dan efisien (Suad Husnan 1991:74).

13

Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan pegawai adalah suatu usaha yang ditujukan untuk memajukan pegawai sehingga dapat mengubah perilaku pegawai terhadap pekerjaannya, baik dari segi sikap, pengetahuan maupun kemampuan. Contohnya adalah Sekretariat Daearah Kabupaten Kerinci mengadakan program pemberdayaan pegawai bagi semua pegawai sesuai dengan bagiannya. 2.2.1.2. Tujuan Pemberdayaan Pegawai Suad Husnan mengemukakan bahwa tujuan dari pemberdayaan pegawai adalah untuk memperbaiki efektifitas kerja pegawai dalam mencapai hasil-hasil kerja yang telah ditetapkan. Perbaikan efektifitas kerja tersebut dapat dilakukan dengan cara memperbaiki pengetahuan dan keterampilan pegawai maupun sikap pegawai itu sendiri terhadap tugas-tugasnya (Suad Husnan 1991:74). Sedangkan Manulang mengemukakan bahwa tujuan pemberdayaan pegawai adalah untuk menambah pengetahuan, menambah keterampilan dan merubah sikap.

Selanjutnya menurut Dale Yoder, Alfred Laitener dan Joseph Triffin, tujuan pemberdayaan pegawai pada umumnya adalah : 1. Supaya pegawai dapat melakukan pekerjaan dengan lebih efisien. Dengan diadakan suatu pemberdayaan yang disusun secara cermat dan didasarkan pada metode yang berpedoman pada keterampilan yang dibutuhkan diharapkan pegawai dapat melaksanakan pekerjaan dengan lebih efisien.
2. Supaya pengawasan lebih sedikit terhadap pegawai.

14

Pemberdayaan pegawai yang berpedoman pada keterampilan diharapkan menghasilkan pegawai yang cakap dan keterampilan akan dapat bekerja lebih efektif dan efisien yang mana akan berdampak pada bekurangnya pengawasan yang dilakukan oleh atasan. 3. Supaya pegawai lebih cepat berkembang. Dengan adanya pemberdayaan pegawai, salah satu harapan adalah hasil kerja yang lebih baik dan prestasi pegawai yang meningkat, maka adanya daya saing akan makin besar. Dengan demikian tujuan organisasi tercapai. 2.2.1.3. Faedah/manfaat Pemberdayaan Pegawai Faedah/manfaat pemberdayaan pegawai dapat dilihat dari 2 segi,yaitu dari segi pegawai atau individu dan dari segi organisasi. Dari segi individu, pemberdayaan pegawai dapat memberi faedah dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Menambah pengetahuan, terutama penemuan terakhir dalam bidang ilmu

pengetahuan. 2. Menambah dan memperbaiki keahlian dalam bidang tertentu sekaligus memperbaiki cara-cara pelaksanaan yang lama.
3. Merubah sikap. 4. Memperbaiki atau menambah imbalan/ balas jasa yang diperoleh dari

organisasi tempat bekerja.

2.3. Leader-Member Exchange (LMX)

15

2.3.1. Pengertian Leader-Member Exchange Menurut Robbins (2007:368), akibat dari tekanan waktu pemimpin menetapkan bahwa adanya sebuah hubungan khusus dengan suatu group yang terdiri dari beberapa pengikutnya. Group ini dibagi menjadi 2, pertama disebut dengan In-Group, yang terdiri dari orang-orang yang dipercaya dan mendapatkan ketidakseimbangan perhatian dari seorang leader dan cenderung mendapatkan hak-hak khusus. Yang kedua di sebut dengan out-group. Mereka mendapatkan sedikit dari waktu yang diberikan oleh leadernya, sedikit control yang diberikan oleh leader dalam hal pemberian penghargaan, dan hubungan leader dengan out group berdasarkan pada hubungan wewenang yang formal. Agar hubungan leader-member Exchange tetap utuh, pemimpin dan pengikutnya harus saling mengerti bagaimana cara membina hubungan yang baik. Pengertian Leader-Member Exchange sebagaimana pendapat Morrow,et al.,(2005:682) bahwa Leader-Member Exchange merupakan peningkatan kualitas hubungan antara supervise dengan karyawan dan mampu meningkatkan kerja keduanya. Namun realitasnya, hubungan antara karyawan dan supervise dapat dikelompokan pada dua hubungan yang baik dan hubungan yang buruk. Hubungan yang baik akan menciptakan kepercayaan karyawan, sikap positif, dan loyalitas, namun hubungan yang buruk berpengaruh sebaliknya . Pengertian Leader-Member Exchange menurut Organ (1998) sebagaimana dikutip oleh Bhal (2006:107) bahwa perilaku karyawan terhadap perusahaan mempunyai peran penting terhadap keberhasilan sebuah organisasi. Perlakuan yang baik terhadap karyawan akan mampu menciptakan perasaan sukarela pada

16

karyawan untuk bias berkorban bagi perusahaan. Selain itu, melaui perlakuan khusus yang positif akan mampu meningkatkan kontribusi karyawan pada perusahaan dimana karyawan bekerja. Truckenbrodt (2000 : 233) menyatakan bahwa Leader-Member Exchange di fokuskan pada penilaian terhadap hubungan dan interaksi antara supervisor (atasan) dan bawahan. Tingkat kedekatan dari hubungan antara pimpinan dan bawahan ini yang menunjukan adanya indikasi dari LeaderMember Exchange di perusahaan Dalam sebuah organisasi, dimungkinkan terdapat hubungan yang berbeda antara pimpinan dengan karyawan yang menjadi anak buahnya. Tingkat kedekatan hubungan ini biasa di sebut dengan Leader-Member Exchange. Menurut Welliam (2003:1), teori Leader-Member Exchange menmpatkan konsep hubungan sebagai dasar penilaian terjadinya Leader-Member Exchange. Dalam lingkunagn organisasi, maka Leader-Member Exchange ini mengarahkan pada hubungan antara pimpinan dengan karyawan yang menjadi pengikut pimpinan. Grean and Scadula (1987) sebagaimana dikutip oleh Truckenbodt (2000:234) menyatakan bahwa dalam sebuah organisasi dari segi hubungan dan interaksi antara atasan dan bawahan, dapat dikelompokan menjadi dua kelompok, yaitu in group dan out group. Perbedaan antara kedua kelompok ini adalah tingkat kedekatan hubungan dan interaksi antara pimpinan dan bawahan. Karyawan yang memiliki hubungan dan interaksi yang tinggi antara pimpinan dan bawahan dalam kelompok in group dan diluar kelompok in group adalah kelompok out group.

17

Menurut Leonard (2002:1), bahwa pemahaman terhadap Leader-Member Exchange tidak hanya pada ikatan fisik, dimana bawahan harus selalu mengikuti instruksi atasan, namun lebih dalam lagi yaitu ikatan interaksi antara atasanbawahan. Ikatan bawahan ini menyangkut pada ikatan emosional antara atasanbawahan. Pendekatan Leader-member Exchange mengenali bahwa tidak ada perilaku pemimpin yang konsisten pada seluruh bawahan. Leader-member Exchange juga menekankan perbedaan hubungan yang dikembangkan atasanbawahan yang berbeda dalam kelompok kerja. Hubungan satu lawab satu ini, akan menentukan perilaku bawahan. (Ivancevich et al,.2006) 2.3.2. Prinsip Dasar Leader-Member Exchange Prinsip dasar Leader-Member Exchange adalah para pemimpin yang mengembangkan jenis hubungan pertukaran yang berbeda dengan para bawahan mereka yang mana kualitas ini mempengaruhi perilaku dan sikap anggota para atasan (Gerstner& Hari,1997;Liden et al.,1997;Sparrow& Liden, 1997). Yang dikembangkan sebagai suatu alternative pada pendekatan gaya kepemimpinan umum, teori Leader-Member Exchange diambil dari teori pertukaran social

(Blan,1964) dalam rangka menjelaskan pengembangan hubungan dyadic dan pertaliannya antara proses kepemimpinan dan hasil. Singkatnya, teori pertukaran social menyatakan bahwa ada sesuatu yang dianggap harus dipenuhi para pemimpin dalam mempengaruhi bawahan mereka, yaitu menciptakan sikap saling member dan membangun hubungan yang setara (Blau,1964;Gouldner,1960) dan peranan pekerja dengan hubungan dyadic itu dikembangkan dan dirundingkan

18

dari waktu ke waktu melalui suatu rangkaian pertukaran (Dienech& Liden, 1986). Dalam teori riset empiris tentu saja telah mempertunjukan bahwa Leader-Member Exchange mempunyai pengaruh penting terhadap prestasi tugas, kepuasan, perputaran, dan komitmen organisatoris (Gerstoer & Hari,1997)

2.4. Kerangka teoritis dan Rumusan Masalah 2.4.1. Kepercayaaan manajerial terhadap Leader-Member Exchange Kepercayaan memainkan peran penting dalam kualitas hubungan atasanbawahan (butler,1991;Liden & Graen 1980 dalam Gomes dan Rosen,2001). Riset Liden&Graen dalam Gomes &Rosen (2001) mengenai Leader Member Exchange memprediksi bahwa dalam keanggotaan in-group yang dipilih oleh manajer, berdasarkan penilain manajer mengenai (1) keahlian karyawan (2) motivasi karyawan menerima tanggung jawab yang lebih besar (3) besarnya kepercayaan manajer terhadap bawahannya bahwa mereka dapat dipercaya. Penilaian yang dibuat oleh manajer bawahannya diduga berpengaruh terhadap kualitas pertukaran atasan-bawahan dengan memperhatikan dimensidimensi kepercayaan yang meliputi : kompetensi, kejujuran, perhatian, dan dapat dipercaya (Mishra&Spreitzer, 1994 dalam Gomes&Rosen,2001). Sebagai contoh, mengukur kepercayaan melibatkan didalamnya penilaian dari seseorang kepada orang lain, bahwa orang tersebut memiliki kompetensi. Penelitian sebelumnya oleh McAliister (1995) (dalam Gomes dan Rosen,2001) menemukan bahwa peneliti LMX melihat ada hubungan antara kinerja dengan kualitas pertukaran manajer dan bawahan. Disamping itu, hasil penelitian, mengidikasikan bahwa

19

kepercayaan berdasarkan kognisi (cognition-based trust) seperti dapat dipercaya dan kopetensi selalu berkembang terlebih dahulu dari pada kepercayaan berdasar affect (affect-based trust) yakni pada emosi individu. Dengan demikian, dalam mengembangkan hubungan pemimpin-anggota, kepercayaan manajerial dihubungkan dengan persepsi karyawan mengenai kualitas pertukaran. Karena dalam in-group relationship di karakteristikkan memiliki kepercayaan tinggi, karyawan yang dipercaya oleh manajernya dikatakan diantara manajer-karyawan tersebut memiliki kualitas hubungan yang tinggi sebaliknya, dalam out-group relationship, dikarakteristikkan memiliki kualitas hubungan manajer-bawahan rendah (Dienesch&Liden,1986 dalam Gomes&Rosen,2001) H1: Kepercayaan manajerial berpengaruh positif terhadap persepsi pegawai mengenai kualitas Leader-Member Exchange 2.4.2. Leader-Member Exchange terhadap Pemberdayaan Pegawai Riset sebelumnya oleh Kozlowski&Doherty (1989) (dalam Gomes dan Rosen,2001) mengenai leader-member exchange menemukan bahwa anggota dengan kualitas leader-member exchange yang tinggi menerima berbagai perlakuan yang lebih disukai oleh bawahan, seperti tanggung jawab dan otonomi dalam pengambilan keputusan yang lebih besar kepada bawahan). Hal menarik yang ditemukan dalam riset Bauer&Graen (1996) dalam Gomes &Rosen (2001) bahwa manajer menggunakan fungsi pendelegasiannya untuk menguji kualitas pertukaran. Manajer yang mendelegasikan wewenangnya kepada bawahan dapat ditinjau melalui penilaiannya mengenai dapat tidaknya dipercaya, kompetensi, dan kemampuan bawahannya.

20

Keller & Dansereau (1995) dalam gomes dan rosen (2001) menemukan bahwa keyakinan karyawan menerima kekuasaan dan dukungan dari

supervisornya, perception mengenai tingkat pengendalian meningkat. Dengan demikian dapat dikataan bahwa pada saat kualitas leader-member exchange tinggi, maka dukungan pimpinan dalam bentuk pendelegasian dan tanggung jawab yang lebih besar kepada bawahannya akan meningkat. H2 : Leader-Member Exchange pemberdayaan pegawai berpengaruh positif terhadap

2.3.3. Kepercayaan manajerial terhadap Leader-Member Exchange dan Pemberdayaan Pegawai Gibb (1965) dalam Gomes dan Rosen (2001) menyatakan bahwa kepercayaan merupakan elemen penting bagi manajer dalam hubungan kerjanya dengan bawahan. Kepercayaan manajerial dipandang memiliki pengaruh dalam peningkatan kualitas hubungan pimpinan-anggota. Ketika seorang pemimpin menunjukkan kepercayaannya kepada bawahan, pada saat itulah sebenarnya kualitas pertukaran pemimpin-anggota meningkat lebih baik, karena hal ini ditunjukan oleh meningkatnya kerja sama diantara kedua pihak. Meningkatnya kualitas leader-member exchange akan berpengaruh bagi pemimpin untuk memberikan sebagian wewenangnya kepada bawahan dan otonomi dalam pengambilan keputusan bagi bawahan dengan lebih luas. Biasanya pemimpin memberi otonomi kepada beberapa orang bawahan dan manfaatmanfaat sebagai imbalan terhadap kesetiaan mereka, komitmen dan bantuan yang lebih besar dalam menjalankan tugas-tugas administratif.

21

H3 : Kualitas leader-member exchange memediasi hubungan antara kepercayaan manajerial dengan pemberdayaan pegawai. 2.3.4. Kepercayaan manajerial terhadap Pemberdayaan Pegawai

2.4. Kerangka konseptual Kerangka konseptual yang mendasari penelitian ini adalah bahwa hubungan kepercayaan manajerial sangat ditentukan oleh kualitas interaksi atasan dan bawahan dalam pemberdayaan pegawai yang bersangkutan terhadap organisasi Sekretariat daerah Kerinci. Perlakuan atasan-bawahan yang dirasakan adanya hubungan kepercayaan manajerial terhadap pemberdayaan pegawai, akan mempengaruhi prestasi kinerja para pegawai. Apa bila hal ini terus berlanjut ada hubungannya maka akan perlu diketahui oleh pimpinan dalam berintaraksi

dengan bawahannya sehingga dapat diketahui peran atasan terhadap Sekretariat Daerah Kerinci.

2.5. Model penelitian Berdasarkan kerangka konseptual diatas, maka model penelitian yang menggambarkan pengaruh hubungan antara Leader-member exchange, dan hubungan kepercayaan manajerial terhadap pemberdayaan pegawai dapat digambarkan sebagai berikut.

Kepercayaan Manajerial (X)

LMX (Y)

Pemberdayaan Pegawai

22

Gambar 2.1 Kerangka konseptual Pengaruh Leader-member Exchange pada hubungan kepercayaan manajerial dan pemberdayaan pegawai. Dari gambar diatas dapat dijelaskan, bahwa pengaruh kepemimpinan Leader-member exchange, pada kepercayaan manajerial dan pemberdayaan pegawai yang dengan baik akan berpengaruh pada leader-member exchange.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Objek dan lokasi penelitian

23

Sebagai objek penelitian adalah pejabat struktural dan staf Sekretariat daerah Kabupaten Kerinci, tidak termasuk Sekretaris Daerah.

3.2. Populasi dan Sampel Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis. Populasi yang dimaksud adalah seluruh Pegawai Sekretaris Daerah Kabupaten Kerinci Kabupaten Kerinci. Sebagai sampel penelitian ini adalah seluruh populasi Pegawai Sekretaris Daerah tidak termasuk Sekretariat Daerah Kabupaten Kerinci.

3.3. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang diperlukan guna mendukung penelitian ini diperoleh dari Data primer dan data sekunder, diperoleh secara langsung dari pegawai Sekretariat Daerah Kabupaten Kerinci. Data diperoleh melalui penyebaran daftar pertanyaan (kuisioner) baik dari variabel dependen maupun dari variabel independen. Dan data ini merupakan jawaban yang dianalisis untuk kepentingan pengujian statistik. 3.4. Teknik Pengumpulan Data Data yang diperoleh dengan cara mengadakan pengamatan langsung pada Pegawai Sekretariat Daerah Kabupaten Kerinci serta menyebarkan kuisioner dalam bentuk lembaran-lembaran pertanyaan kepada para pegawai yang dijadikan sebagai objek penelitian dan dikumpulkan langsung oleh peneliti.

24

3.5. Definisi Operasional variable dan Pengukuran Variabel Untuk membatasi penulis dan pembaca berikut ini penulis akan mendifinisikan variable penelitian sebagai berikut : 1. Kepercayaan manajerial (X) Kepercayaan manajerial adalah Kepercayaan atasan kepada bawahan untuk menerima pendelegasian tugas dan meyelesaikan tugas dengan tetap memperhatikan dimensi-dimensi kepercayaan yaitu kopetensi, kejujuran, perhatian dan dapat dipercaya. Kepercayaan manajerial (X) disebut variable independen 2. Leader-member exchange (Y) Leader-member exchange didefinisikan sebagai kualitas teknis yang terdiri dari dua unsur yaitu hubungan kerja yang ditinjau antara anggota organisasi dengan pimpinannya dalam dimensi hubungan penghormatan,kepercayaan dan saling tanggung jawab(Graen & Uhl-Bien, 1995). Leader-member exchange(Y) adalah variable dependen

3. Pemberdayaan Pegawai(Z) Pemberdayaan pegawai adalah setiap usaha untuk memperbaiki pelaksanaan pekerjaan sekarang maupun akan datang, dengan memberikan informasi, mempengaruhi sikap atau menambah kecakapan.

25

Peemberdayaan pegawai(Z) adalah variabel Dependen 3.6. Teknik Analisis Data Teknik Analisis menggunakan Maximum Likelihood Estimation (MLE) dalam Structural Equation Model (SEM). Data diolah menggunakan program LISREL. Agar instrumen yang digunakan dapat mengukur variabel-variabel dalam penelitian dengan baik, maka dilakukan beberapa uji, diantaranya :

3.6.1 Uji Validitas Pengukuran yang dilakukan terhadap variabel independen dalam penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis yang dikemukakan sehingga dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Untuk mengukur variabelvariabel dependent dan independent tersebut diperlukan instrumen yang cukup baik agar menjamin keakuratan hasil pengukuran, sehingga akan meningkatkan bobot kualitas ilmiah penelitian, untuk menguji seberapa baik instrumen yang digunakan maka perlu digunakan uji reliabilitas dan uji validitas. Validitas adalah suatu ukuaran yang menunjukan tingkat kevalitan dan kesahihan suatu instrument penelitian. Sebuah instrument penelitian dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan mampu mengungkapkan data yang diteliti secara cepat. Tinggi rendahnya validitas instruemen menunjukan sejauh mana data yang terkumpul tidak menyimpang dari gambaran variable yang dimaksud. Uji validitas dilakukan dengan setiap analisa faktor setiap variabel.

26

Nilai KMO (Kaiser-Meyer-Oloikin) diatas 0,5. dan hal ini juga akan menunjukkan constuct validity dari masing-masing variabel (Yanti, 2008). Uji validitas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan instrument penelitian mengukur apa yang seharusnya diukur (Cooper dan Schindler, 2003). Untuk mengetahui tingkat validitas peertanyaan-pertanyaan dalam instrument maka digunakan Standard Loading Factor. Metode yang digunakan adalah varimax rotation dan setiap variabel diharapkan mempunyai factor loading lebih dari 0,4 (Hair et. Al, 1998) dalam isbiyantoro (2004).

3.6.2 Uji Reliabilitas Uji reliabilitas adalah suatu alat pengukuran yang menunjukkan akurasi, konsistensi dan ketepatan dari pengukurnya (Hartono, 2004). Konsistensi menunjukkan seberapa baik item-item pertanyaan yang mengukur sebuah konsep bersatu menjadi sebuah kumpulan (Sekaran, 2006). Suatu kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan adalah konsisten dari waktu ke waktu (Cooper dan Schindler, 2003). Apabila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dengan menggunakan alat pengukuran yang sama pula. Instrumen yang reliable (handal) akan dapat dipakai dengan aman, karena instrumen yang reliable akan kuat, dan dapat bekerja dengan baik pula pada waktu yang berbeda pula. Dalam penelitian ini, uji reabilitas akan dilakukan dengan menggunakan Nilai CR (Construct Reliability) pada semua variabel dengan nilai lebih dari 0,70.

27

3.6.3 Uji Asumsi Klasik Pengujian asumsi klasik dimaksudkan untuk mengetahui apakah Structural Equation Model (SEM) cocok untuk digunakan. Pelanggaran terhadap asumsi klasik model ini akan menyebutkan koefisien-koefisien regresi memiliki standar error atau ragam (variance) yang besar, sehingga akan mengurangi kehandalan (estimate) parameter. Selain itu pelanggaran terhadap asumsi klasik juga menyebabkan stasistik yang dihasilkan analisis varian tidak akurat. Asumsi klasik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji normalitas.

3.6.4 Uji Normalitas Persyaratan analisis yang harus dipenuhi sebelum melakukan analisis adalah melakukan uji normalitas. Tujuan dari pengujian normalitas adalah untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi variabel dependent dan independent atau keduanya memiliki distribusi normal atau tidak. Menurut Central Limit Theorem, asumsi normalitas akan terpenuhi apabila jumlah sampel yang digunakan lebih dari atau sama dengan 30 (Mendenhall dan Beaver, 1992). Normalitas memegang peranan penting karena analisis SEM sangat peka dengan penyebaran data. Teknik untuk menguji univariate normalitas data pada penelitian ini digunakan nilai critical ratio (c.r) dari kemencengan data (skewness), dengan

membandingkan Z-score dari skewness dengan nilai kritis berdasarkan tingkat signifikansi yang telah ditetapkan (= 0,05) yaitu sebesar +/- 2.58 untuk tingkat signifikansi 1% dan nilai kritis +/- 2 untuk tingkat signifikansi 5% (Ferdinand,

28

2002:95).Uji normalitas data dilakukan untuk melihat apakah data yang digunakan berdistribusi normal atau tidak.

3.6.5 Uji Multikolinearitas Uji Multikolineritas adalah suatu keadaan yang menggambarkan hubungan linear yang sempurna atau pasti antara beberapa atau semua variabel independen dari model yang diteliti. Multikolinearitas akan mengakibatkan koefisisen regresi tidak pasti atau mengakibatkan kesalahan standarnya menjadi tidak terhingga, sehingga menimbulkan bias spesifikasi. Hair dkk (1992) menawarkan cara mengetahui ada atau tidaknya multikolinearitas, yaitu dengan melihat besarnya nilai toleransi atau variance inflation factor (VIF). Apabila VIF kecil dari 1 atau lebih besar dari 10 maka terjadi multikolinearitas, sebaliknya apabila VIF berada pada kisaran 1 sampai 10 tidak multikolinearitas.

3.7 Teknik Pengujian Hipotesis 3.7.1 Uji Structural Equation Modeling (SEM) Model persamaan structural (SEM) adalah generasi kedua teknik analisis multivariate (Bagozzi dan Forell 1982) yang memungkinkan peneliti untuk menguji hubungan antara variabel yang kompleks baik recursive maupun nonrecursive untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai keseluruhan model.

29

Tidak seperti analisis multivariate biasa (regresi berganda, analisis faktor), SEM dapat menguji secara bersama-sama (Bollen, 1989) : 1. Model Struktural : hubungan antara konstruk independen dan dependen 2. Model Measurement : hubungan (nilai loading) antara indikator dengan konstruk (variabel laten) Digabungkannya pengujian model structural dan pengukuran tersebut memungkinkan peneliti untuk:
1. Menguji kesalahan pengukuran (measurement error) sebagai bagian yang

tidak terpisahkan dari Structural Equation Modeling (SEM) 2. Melakukan analisis faktor bersamaan dengan pengujian hipotesis.

Structural Equation Modeling memiliki dua tujuan utama dalam analisisnya. Tujuan pertama adalah untuk menentukan apakah model plausible (masuk akal) atau fit; atau dengan bahasa yang lebih mudah apakah model benar berdasarkan suatu data yang dimiliki. Sedangkan tujuan yang kedua adalah untuk meunguji berbagai hipotesis yang telah dibangun sebelumnya. Metode estimasi yang paling populer digunakan pada penelitian SEM, dan secara default digunakan oleh LISREL adalah Maximum Likelihood (ML). Maximum Likelihood akan menghasilkan estimasi parameter yang valid, efisien dan reliable apabila data yang digunakan adalah multivariate normality (normalitas multivariate) dan akan robust (tidak terpengaruh/kuat) terhadap

30

penyimpangan multivariate normality yang sedang (moderate). Tetapi estimasi pada ML akan bias apabila pelanggaran terhadap multivariate normality sangat besar. Maximum Likelihood memiliki hasil yang cukup valid dengan besaran sampel minimal 50, tetapi menurut Hair et al (1998) ukuran sampel sebesar itu tidak dianjurkan. Ukuran sampel yang disarankan untuk pengguna estimasi Maximum Likelihood adalah sebesar 100-200. Kelemahan dari metode ML ini adalah ML akan menjadi sangat sensitif dan menghasilkan indeks goodness of fit yang buruk apabila data yang digunakan adalah besar (antara 400-500). Dalam Lisrel, tidak terdapat nilai signifikansi yang langsung dapat memberitahu apakah hubungan antara suatu variabel dengan variabel lainnya adalah signifikan. Pada setiap esitmasi parameter dalam Lisrel, terdapat tiga informasi yang sangat berguna; yaitu koefisien regresi, standar error dan nilai t. Standar error digunakan untuk mengukur ketepatan dari setiap estimasi parameter. Dibawah standar error adalah nilai t yang diperoleh melalui perbandingan antara nilai estimasi dengan standar error. Untuk mengetahui signifikan tidaknya hubungan antara variabel, maka nilai t harus lebih besar dari nilai t-tabel pada level tertentu yang tergantung dari ukuran sampel dan level signifikansi tersebut. Tidak ada ukuran yang pasti mengenai seberapa besar level signifikansi, tetapi umumnya level signifikansi adalah 1%, 5%, dan 10%. Pada jumlah sampel besar (lebih besar 150), jika nilai t yang dihasilkan oleh Lisrel lebih besar daripada nilai t-tabel pada level 5%, yaitu 1.960, maka hubungan antara variable adalah signifikan. Dengan jumlah sampel 120 pada level

31

1%, hubungan yang signifikan akan ditunjukan jika nilai t (Lisrel) lebih besar daripada 2.617.

DAFTAR PUSTAKA

Artanti, Yessy. 2002. Pengaruh Perilaku Kepemimpinan Transaksional Kepemimpinan Transformasional Terhadap Organisional Citizenship Behavior Dengan Pemberdayaan Psikologis Dan Subsitut Kepemimpinan Sebagai Variable Pemoderasi, Tesis. UGM Azwir.2009.Pengaruh Kualitas Interaksi Atasan-Bawahan, Kepuasan atas Kualitas kehidupan kerja dan Komitmen organisasi terhadap Perilaku Ektra Peran (Study pada Guru-Guru SMA Kabupaten Kerinci) Bandura, A. 1986, Social Foundition of Thought and action; A Social Cognitive Theory, Englewood Clift, N. J. Prentice Hall Baron, R. M,.&Kenny, D. A. 1986. The moderator-mediator variable distinction social psyhologicalresearch; conceptual, strategic, and statistical considerations. Journal of Personality and Social Psykology, 6: 11731182. Conger, Jay. A & kanungo, Rabindra, N.1988. the Empowerment process:integrating theory and practice. The Academy of Management Review, july, 13, 3. Debora. 2006. Pengaruh Pemberdayaan Kerja dan Psikologis terhadap Kepercayaan Organisasional. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan Vol.8. no.2. September 2006:61-71.

32

Dessler, Gary.2000. Human Resource Management, 8 th edition. New Jersey: Prentice Hall Ferris, G. R.,& Kacmar, K. M. 1992. Perception of organizational politics. Journal of Management.18 (1):93-116. Fred Luthans. 2006. Edisi 10. Perilaku Organisasi. Djohartini, Siti, N. 2005. Hubungan Kepemimpinan Karismatik dengan Respek, Kepercayaan dan Pemberdayaan Pengikut. Thesis. UGM. Gomez, Carolina & Rosen, Benson. 2001. The Leader-member exchange as a link between managerial trust and employee empowerment. Group and Organization Management. Vol. 26, No. 1, March:53-69. Greenberg, J & Baron, R. A. 1997. Behavior in The Human Side of Work. New Jersey, USA: Prentice Hal 1 International, INC. Kasali, Renald. 2005. Change. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Leonard, Kelly. (2002). Leader Member Exchange Theory. 16 Juni 2007 (http://changingminds) Niehoff, Brian, P., P. Moorman, Robert, H., Blekely, G., & Fuller, Jack. 2001. Group and Organization Management. Vol.26 No 1, March Nangoi, zronald,2001. Empowerment Dalam Memperkuat Bisnis. Manajement, Maret. Jakarta. Nilmawati. 2002. Mencapai Kesuksesan Organisasi Melalui Pemberdayaan Karyawan. Jurnal. Ekobis, Vol. 4 (2): 2111-220. Nugroho, Marno. 2004. Analisis Pemberdayaan Dosen Unisula untuk Meningkatkan Kinerja Dosen. Jurnal Ekobis, Vol 5 (1a), April 29-43. Rokhman, Wahibur.2001. Pemberdayaan dan Komitmen: Upaya mencapai Kesuksesan Organisasi dalam Menghadapi Persaingan Global. Usahawan, No, 06THXXX, Juni. Jakarta. Sekawan, U. 1992. Research Methods for Business: A Skill-Building Approach. John Wiley & Sons, Inc Soemardi, Susanto. 2008. Studi Komparatif Leader-Member Exchange Terhadap Perbedaan Komitmen Organisasi di PT Sari Guna Prima Tirta. Spreitzer, G. M. 1996. Social Structural Characteristic of Psychological Empowerment, Academy of Management. Journal. 39 (2): 483-504.

33

Wening, Nur.2002. Empowerment: Sebuah Kunci dalam Persaingan, Telaah Bisnis, Vol. 2, No. 1, Juli: 39-46. Wikaningrum, Tri. 2004. Pengaruh Co-Warker Exchange dan Leader-member Exchange terhadap Sikap Kerja: studi Mengenai Dyads Rekan Kerja. Thesis. UGM. Yulianto, Harry.2004. Pengaruh Organizational Justice sebagai Variabel Pemediasi Hubungan Learder-member Exchange (LMX) dengan Kepuasan Kerja, Komitmen Oeganisasional dan Tumever intention. Thesis. UGM.``

Anda mungkin juga menyukai