Anda di halaman 1dari 14

SKROFULODERMA

Sarlita Indah Permatasari, S.Ked Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Unsri/RSMH Palembang 2010

Pendahuluan Tuberkulosis kutis (tb kutis) merupakan salah satu penyakit kulit yang sulit untuk ditegakkan diagnosisnya terutama bagi ahli kulit di negara-negara berkembang. Hal ini tidak hanya dikarenakan banyaknya diagnosis banding yang harus dipikirkan namun juga diakibatkan sulitnya untuk mendapatkan konfirmasi mikrobiologi untuk kasus ini.1 Secara garis besar terdapat empat kategori dari tb kutis yaitu inokulasi dari faktor eksogen (inokulasi tb primer dan tuberkulosis verukosa kutis), penyebaran secara endogen (skrofuloderma) atau yang dikenal sebagai autoinokulasi (tuberkulosis kutis orifisialis), penyebaran secara hematogen (lupus vulgaris, tuberkulosis miliaris akut dan tuberkulosis ulkus, guma atau abses) dan tuberkulid (eritema induratum [Bazins disease], tuberkulid papulonekrotik, dan liken skrofulosorum).2 Skrofuloderma merupakan bentuk tertua tb kutis yang disebutkan dalam literatur kedokteran dan dikenal sebagai the kings evil. Skrofuloderma adalah bentuk tb kutis tersering di negara berkembang dan sebagian eropa. Penyakit ini menyerang semua usia mulai dari anakanak, dewasa muda hingga orang tua.1 Skrofuloderma merupakan hasil penjalaran secara perkontinuitatum dari organ di bawah kulit yang menjadi fokus tuberkulosis. Biasanya berupa kelenjar limfe, tulang atau sendi, kelenjar lakrimalis dan duktus yang terinfeksi tb sebelumnya. Pada sebuah laporan kasus yang melibatkan dua puluh tiga pasien dengan skrofuloderma, didapatkan hasil skrofuloderma yang terjadi berasal dari nodus limfe servikal, lalu diikuti oleh aksila, inguinal, epitroklear, retroaurikular, tibia dan fibula. Wajah, leher dan dinding dada adalah tempat predileksi utama lesi dari skrofuloderma.1,3 Penegakan diagnosis skrofuloderma dibangun berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis skrofuloderma awalnya ditandai dengan limfadenitis tuberkulosis, lalu timbul nodul subkutan, likuifaksi hingga terbentuknya jaringan

parut.5. Pengobatan dengan obat antituberkulosis (OAT) menjadi pilihan utama terapi skrofuloderma disamping terapi pembedahan.1 Walaupun skrofuloderma merupakan penyakit yang bisa sembuh sendiri, namun dikarenakan tingginya insidensi penyakit ini dan kemungkinan timbulnya jaringan parut yang dikenal sebagai typical cord-like scars, maka penulis tertarik untuk membahas srofuloderma pada sari pustaka ini. Definisi Skrofuloderma atau yang dikenal sebagai Tuberculosis colliquativa cutis adalah tuberkulosis subkutan yang mengarah pada pembentukan abses dingin dan kehancuran sekunder dari kulit di atasnya. Hal ini terjadi akibat penjalaran langsung dari suatu organ bawah kulit yang mengandung kuman tb dan meluas melalui dermis, contohnya limfadenitis tb, tb tulang dan sendi, atau epididimitis tb.2,5

Gambar 1. Skrofuloderma: terdapat underlying limfadenopati tb servikal. Bentuk karakteristik skar yang berlipat/berkerut.1

Epidemiologi Bakteri Mycobacterium tuberculosis hanya sekitar 5-10% infeksi menunjukkan manifestasi klinis. Bakteri ini memiliki distribusi di seluruh dunia, lebih umum di daerah dengan iklim dingin dan lembab, tetapi juga dapat terjadi di daerah tropis. 4 Kini skofuloderma paling sering terdapat pada anak-anak dan imigran dewasa dari negara-negara berkembang. Konsumsi susu yang belum dipasteurisasi dan mengandung Mycobacterium bovis adalah penyebab umum

terjadinya skrofuloderma di negara berkembang.6 Prevalensinya lebih tinggi pada anak, remaja, dan orang tua.1,5 Etiologi Skrofuloderma diakibatkan kuman tb yang secara langsung menginvasi kulit (ekstensi dari suatu fokus tuberkulosis ke jaringan luar sehingga menimbulkan kerusakan jaringan kulit dan luka terbuka).5 Mycobacterium tuberkulosis merupakan penyebab utama dari skrofuloderma. Bakteri ini adalah bakteri aerobik, non motil, tahan terhadap asam dan alkohol yang dibungkus oleh senyawa lipid kompleks sehingga membuat bakteri ini resisten terhadap degradasi setelah fagositosit. Mycobacterium scrofulaceum, Mycobacterium bovis, Mycobacterium avium, dan vaksin yang mengandung Bacillus Calmette Guerin (BCG) juga merupakan etiologi lain dari skrofuloderma.5 Patogenesis Skrofuloderma timbul akibat penjalaran per kontinuitatum dari organ di bawah kulit yang telah diserang penyakit tuberkulosis, yang tersering berasal dari kelenjar getah bening, juga dapat berasal dari sendi dan tulang. Oleh karena itu tempat predileksinya pada tempat-tempat yang banyak didapati kelenjar getah bening superfisialis, yang tersering pada leher, kemudian disusul di ketiak dan yang terjarang di lipatan paha.6 Porte dentree skrofuloderma di daerah leher ialah pada tonsil atau paru. Jika di ketiak maka kemungkinan porte dentree pada apeks pleura, jika dilipat paha pada ekstremitas bawah. Kadang-kadang ketiga tempat predileksi tersebut diserang sekaligus, yakni pada leher, ketiak dan lipat paha. Pada kejadian tersebut kemungkinan besar terjadi penyebaran secara hematogen.6 Kelenjar limfe yang terinfeksi tuberkulosis akan mengalami adenitis, kemudian periadenitis. Akibatnya satu kelenjar dengan kelenjar lain yang bersamaan terinfeksi dapat bergabung menyebabkan perlengketan kelenjar tersebut dengan jaringan sekitarnya. Kelenjarkelenjar tersebut akan melunak membentuk abses, lalu membentuk fistula dan ulkus ke permukaan kulit secara per kontinuitatum. Sifat khas ulkus berbentuk linier atau ireguler dengan terowongan dibawahnya, daerah sekitar berwarna merah kebiru-biruan, dasar jaringan yang bergranulasi, dan teraba lunak. Dapat pula terbentuk jaringan parut menghubungkan daerah yang

mengalami ulserasi atau bahkan kulit normal. Kadang-kadang di atas sikatriks (jaringan parut) tersebut terdapat jembatan kulit (skin brigde).6 Tes Tuberkulin Dasar dari tes tuberkulin adalah respon imun termediasi sel terhadap protein tuberkulin atau respon terhadap M.tuberkulosis. Tes ini hanya berguna bila pasien memiliki sistem imun yang utuh terhadap protein tuberkulin. Hasil tes akan positif antara 2 sampai 10 minggu setelah infeksi dan tetap positif setelah bertahun-tahun. Biasanya dengan cara menyuntikkan Purified Protein Derivative (PPD) 0.1 cc intrakutan dengan kekuatan 5 tuberkulin unit (TU). Bila hasil positif [indurasi 10 mm atau lebih, untuk pasien Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif 5 mm], berarti sedang atau pernah mengalami infeksi M.tuberkulosis, M.bovis, vaksinasi BCG dan Mycobacteria patogen lainnya.2 Menurut Ramos-e-silva dkk, hasil tes tuberkulin biasanya positif pada penderita skrofuloderma.5 Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) BCG merupakan basil M. bovis yang telah dilemahkan yang digunakan di penjuru dunia untuk meningkatkan imunitas terhadap tuberkulosis. Vaksinasi ini diberikan hanya pada pasien dengan hasil tes tuberkulin yang negatif. Sekali pasien divaksinasi, maka tes tuberkulinnya akan memberikan hasil yang positif dan bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama. Tingkat efektivitas vaksinasi ini juga akan menurun seiring dengan penambahan usia.4 Komplikasi dari vaksinasi BCG jarang ditemukan. Dostrowsky dkk melaporkan hanya 27 pasien dari 200.000 pasien yang mendapatkan vaksinasi yang mengalami reaksi pada kulit.2 Casanova et al dalam pustaka lain menyebutkan, dari survei yang dilakukan di Perancis tahun 1974 dan 1994 didapatkan prevalensi komplikasi dari vaksin BCG adalah sebesar 0.59 tiap 1.000.000 kasus dari total pasien yang mendapatkan vaksinasi. Walaupun terdapat data jumlah keterjadian komplikasi vaksinasi BCG yang berbeda di berbagai sentra kesehatan, rata-rata komplikasi lokal yang terjadi berkisar antara 0.1-0.5 tiap 1000 vaksinasi, dengan komplikasi serius kurang dari 1 tiap 1.000.000 vaksinasi.4 Secara umum komplikasi yang timbul akibat vaksinasi BCG dibagi menjadi dua yaitu: komplikasi infeksi (ulkus dan abses pada tempat suntikan, limfadenitis regional yang berat, lupus vulgaris, Koch phenomenon-like reaction, lesi jauh seperti penyakit diseminata dan osteitis) dan 4

komplikasi noninfeksi (reaksi hipersensitivitas seperti eritema nodosum dan konjungtivitis pliktenular, dan reaksi imun lainnya keloid, liken skrofulosorum, urtikaria, eritema multiform, eksema, dan erupsi makula simpel).4 Gejala Klinis Skrofuloderma paling sering timbul di regio parotid, submandibula, dan supraklavicula, serta di leher sebelah lateral. Hal ini diduga merupakan penjalaran dari kelenjar getah bening (KGB) servikal, sedangkan lokasi lain yang cukup sering adalah aksila dan inguinal.5 Skrofuloderma diawali dengan limfadenitis tuberkulosis, setelah berbulan-bulan, liquifaksi dan perforasi terjadi, membentuk ulkus dan sinus. Karakteristik ulkus yaitu bentuk memanjang, serpiginosa, tidak teratur, dengan dasar yang cekung, sekitarnya berwarna merah kebiru-biruan (livid), menggaung, lunak dengan dasar jaringan granulasi tertutup pus seropurulen. Terdapat saluran-saluran sinusoid di bawah kulit.5

Gambar 2. Skrofuloderma pada regio klavikula: abses, ulkus, dan ekstrusi purulen dan perkijuan.5

Gambar 3. Skrofuloderma pada regio aksila: plak dan nodul dengan ulkus sentral yang mengakibatkan skar dan retraksi.4

Saluran sinusoid yang terbentuk dapat berhubungan langsung dengan area infeksi organ dalam, atau membentuk saluran menuju fokus primer infeksi terutama di leher, dinding dada, dan pelvis. Kadang-kadang terbentuk cordlike scars atau jaringan parut. Jaringan parut ini menghubungkan area ulseratif atau bahkan menarik kulit normal dengan proses penyembuhannya memakan waktu yang lama.4 Diagnosis Skrofuloderma ditegakkan diagnosisnya berdasarkan beberapa hal berikut: 1. Anamnesis Riwayat tinggal di daerah endemis tuberkulosis.
Riwayat terpapar tuberkulosis dari orang sekitar penderita (rumah, sekolah, tempat

kerja, dan lain-lain). Riwayat mendapatkan pengobatan tuberkulosis sebelumnya. Riwayat penyakit sistemik yang meningkatkan faktor resiko infeksi tuberkulosis.
Riwayat keluhan mengarah pada tanda tuberkulosis pada penderita, misalnya: batuk

lama, berkeringat banyak di malam hari, nafsu makan menurun, kelainan miksi, dan lain-lain.7 2. Pemeriksaan fisik

Pembesaran kelenjar getah bening Abses dan multipel sinus

Ulkus yang khas Jaringan parut Jembatan kulit (skin bridge)3,5 Pemeriksaan radiologis pada posisi posterior-anterior. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mencari fokal infeksi terutama yang berasal dari paru. Pemeriksaan bakteriologik. Pemeriksaan bakteriologik yang dimaksud adalah pemeriksaan basil tahan asam (BTA) dengan pengecatan Ziehl-Neelsen (ZN) terhadap bahan yang diambil dari dasar ulkus dan biakan pada media Lowenstein Jensen atau inokulasi pada marmut. Pada penderita dengan skrofuloderma, hasil pemeriksaan BTA akan ditemukan adanya bakteri penyebab skrofuloderma, misal Mycobacterium tuberculosis.

3. Pemeriksaan penunjang

Gambar 4. Pewarnaan Ziehl-Neelsen: kelompok kecil basil tahan asam, merah, pada tengah lapangan pandang.8

Pemeriksaan laboratorium darah Hasil umumnya menunjukkan peningkatan laju endap darah (LED). Pemeriksaan histopatologi

Saluran sinusoid pada skrofuloderma menunjukkan adanya inflamasi akut dan kronik yang bersifat nonspesifik. Bagian tengah lesi didominasi oleh nekrosis masif dan pembentukan abses.4 Namun, bagian perifer dari abses atau batas-batas sinus mengandung granuloma tuberkuloid.5 Nekrosis perkijuan dengan bakteri dalam jumlah besar ditemukan pada struktur kulit yang lebih dalam. Basil tb dapat diisolasi dengan mudah melalui pus.3

Gambar 4. Skrofuloderma: tampak abses dikelilingi infiltrat predominan histiosit.8

Tes tuberkulin. Biasanya hasilnya positif. Biakan dari bahan yang berasal dari lesi atau ulkus. Dilakukan pada media Lowenstein-Jensen, pengeraman pada suhu 37C. Jika positif, koloni tumbuh dalam waktu 8 minggu, artinya kuman tuberkulosis.

Diagnosis Banding Skrofuloderma didiagnosis banding dengan limfadenitis Mycobacterium aviumintraselular, infeksi Mycobacterium scrofuloderma, guma sifilis, sporotrikosis, aktinomikosis, bentuk-bentuk berat dari akne konglobata, dan hidradenitis supurativa.2,5 Limfadenitis M. Avium intracellulare dan infeksi M. Scrofuloderma dapat dibedakan melalui pemeriksaan biakan bakteri. Jika didaerah aksila, dibedakan dengan hidradenitis supurativa, yakni infeksi oleh piokokus pada daerah apokrin. Penyakit tersebut sering didahului oleh trauma/mikrotrauma, misalnya banyak keringat, pemakaian deodorant, atau rambut ketiak

digunting. Hidradenitis supurativa bersifat akut disertai tanda-tanda radang akut yang jelas, terdapat gejala konstitusi, dan leukositosis. Skrofuloderma di daerah inguinal kadang-kadang mirip penyakit venerik yaitu limfogranuloma venereum. Perbedaan yang penting adalah pada limfogranuloma venereum terdapat tersangka senggama pada anamnesis, disertai gejala konstitusi (demam, malaise, artralgia), dan terdapat tanda radang akut. Lokalisasinya juga berbeda, pada limfogranuloma venereum yang diserang adalah kelenjar getah bening inguinal medial dan perineal, sedangkan pada skrofuloderma menyerang kelenjar getah bening inguinal lateral dan femoral. Pada stadium lanjut, pada limfogranuloma venereum terdapat gejala bubo bertingkat yang berarti pembesaran kelenjar di inguinal medial dan fossa iliaca. Skrofuloderma di daerah ektremitas harus dibedakan dengan sporotrikosis. Biasanya pada sporotrikosis timbulnya nodul subkutan disertai dengan tanda-tanda radang, terdapat indurasi, dan penyebarannya khas limfogen proksimal sesuai dengan perjalanan pembuluh getah bening. Pada pembiakkan akan ditemukan jamur penyebabnya. Uji tuberkulin biasanya negatif. 5 Penatalaksanaan Penatalaksanaan tb kutis terdiri dari pemberian regimen obat multipel dengan durasi yang panjang dan terapi bedah ditujukan tidak hanya untuk membunuh mikroorganisme yang menjadi etiologi tetapi juga untuk mencegah resistensi strain bakteri tertentu terhadap obat dan timbulnya rekurensi. Tata laksana tb kutis sama dengan tb sistemik. Hal ini dikarenakan jumlah bakteri penyebab tb kutis jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tb sistemik. 7 Tb kutis, termasuk skrofuloderma, tergolong tb ekstra paru ringan yang mendapat pengobatan tb kategori III. Centers for disease control and prevention (CDC) merekomendasikan kemoterapi tb kutis menjadi 2 fase terdiri dari: Fase inisial Fase ini meliputi pemberian dosis harian regimen obat antituberkulosis (OAT); isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol selama 8 minggu. Terapi fase inisial dimaksudkan untuk memusnahkan bakteri penyebab tb kutis.7

Fase lanjutan Fase ini diberikan regimen obat isoniazid dan rifampisin dosis harian, sebanyak 23xseminggu selama 16 minggu. Terapi pada fase ini ditujukan untuk mengeliminasi sisa bakteri yang menjadi etiologi tb kutis.7 Tabel 1. Paduan OAT Kategori III7
Tahap pengobatan Tahap inisial (dosis harian) 1 Tahap lanjutan (dosis 3xseminggu) 18 minggu 2 Dosis: Dosis: 10mg/kgbb 10mg/kgbb 54 8 minggu 1 1 3 1 60 Lama pengobatan Tablet Isoniazid (5mg/kgbb) Tablet Rifampisin (10mg/kgbb) Tablet Pirazinamid (25mg/kgbb) Tablet Etambutol (18mg/kgbb) Jumlah kali minum obat

Penatalaksanaan lebih lanjut juga harus dilakukan pada infeksi tb di organ lain seperti tulang, kelenjar dan paru yang menjadi fokus infeksi skrofuloderma. Regimen pengobatan yang diberikan didasarkan pada kriteria WHO adalah sebagai berikut: OAT kategori I OAT kategori I diindikasikan pada penderita baru BTA positif, penderita baru dengan BTA negatif dengan kelainan radiologis yang luas dan penderita tb ekstraparu berat misalnya tb ginjal, tb milier, meningitis tb, peritonitis tb, perikarditis tb, efusi pleura bilateral, osteomielitis dan spondilitis. Regimen pengobatan terdiri dari pemberian Isoniazid, rifamfisin, pirazinamid, dan etambutol (2HRZE/ 4H3R3). OAT kategori I disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (KDT) dan bentuk kombipak, yaitu paket obat lepas yang terdiri dari isoniazid, rifamfisin, pirazinamid, dan etambutol dalam kemasan blister.14

10

Tabel 1.1 Paduan OAT KDT kategori I10


Tahap Intensif tiap hari selama 56 hari Berat badan 30 37 kg 38 54 kg 55 70 kg 71 kg RHZE (150mg/75mg/400mg/275mg) 2 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150mg/150mg) 2 tablet 2KDT 3 tablet 2KDT 4 tablet 2KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 1.2 Paduan OAT kombipak kategori I


Tahap terapi Inisial Lanjutan Lama terapi 8 minggu 16 minggu INH (5mg/kg) @300mg 1 2 (10mg/kg) Dosis per hari/kali Rifamfisin Pirazinamid (10mg/kg) @450mg 1 1 (10mg/kg) (25mg/kg) @500mg 3 Etambutol (15mg/kg) @250mg 3 Jumlah minum obat 56 48

OAT kategori II OAT kategori II diindikasikan untuk kasus gagal, kambuh dan pengobatan setelah lalai. Regimen OAT kategori II juga tersedia dalam bentuk KDT dan kombipak, terdiri dari isoniazid, rifamfisin, pirazinamid, sterptomisin dan etambutol (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3).10 Tabel 2.1 Paduan OAT KDT kategori II10
Tahap Intensif tiap hari RHZE (150mg/75mg/400mg/275mg) + Berat badan S Selama 56 hari Selama 28 hari 2 tab 4KDT Tahap Lanjutan 3 kali seminggu RH (150mg/150mg) + E(400mg) 2 tab 2KDT + 2 tab Etambutol

30-37 kg

2 tab 4KDT + 500 mg

11

38-54 kg

Streptomisin inj. 3 tab 4KDT + 750 mg Streptomisin inj. 4 tab 4KDT

3 tab 4KDT

3 tab 2KDT + 3 tab Etambutol 4 tab 2KDT

55-70 kg

4 tab 4KDT

Tabel 2.2 Paduan OAT kombipak kategori II10


Tahap terapi Inisial Lama terapi 8 minggu 4 Lanjutan minggu 20 minggu 1 2 Dosis: 10mg/kg 1 1 Dosis : 10mg/kg 3 3 INH (5mg/kg) @300mg 1 Rifamfisin (10mg/kg) @450mg 1 Pirazinamid (25mg/kgbb) @500mg 3 Etambutol Tab Tab 250mg 3 400mg 0,75gr 28 60 Streptomisin injeksi Jumlah minum obat 56

Penatalaksanaan operatif yakni eksisi dapat membantu menangani skrofuloderma karena dapat mengurangi morbiditas.5 Prognosis Penyembuhan spontan pada skrofuloderma dapat terjadi, namun ini terjadi secara amat lambat dan dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum lesi digantikan sepenuhnya oleh jaringan parut.
5

Keberadaan infeksi tb pada organ lain seperti tulang, kelenjar, dan paru juga

perlu penatalaksanaan lebih lanjut.3 Kesimpulan Skrofuloderma adalah tuberkulosis subkutis yang menyebabkan pembentukan abses dingin dan kerusakan sekunder kulit di atasnya. Penyebab skrofuloderma adalah penyebaran kuman dari suatu fokus infeksi ke jaringan luar sehinga menimbulkan kerusakan kulit. Kuman penyebab skrofuloderma antara lain

12

Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium scrofuloderma, Mycobacterium bovis dan Mycobacterium avium. Manifestasi klinis skrofuloderma bervariasi bergantung pada lamanya penyakit. Jika penyakitnya telah menahun, maka gambaran klinisnya lengkap, artinya terdapat semua kelainan yang telah disebutkan. Bila penyakitnya belum menahun, maka sikatriks dan jembatan kulit belum terbentuk. Skrofuloderma sering terjadi pada daerah parotis, submandibula, dan supraklavikula dan mungkin bilateral. Untuk mendiagnosis skrofuloderma dengan anamnesis dan pemeriksaan klinis yang dibantu dengan pemeriksaan penunjang. Baku emas untuk diagnosis tuberkulosis kutis adalah pemeriksaan biakan. Skrofuloderma, termasuk TB ekstra paru yang terapinya adalah paduan obat anti tuberkulosis (OAT) kategori-1 yang digunakan di Indonesia.

Daftar Pustaka
1. Bravo FG, Gotuzzo E. Cutaneous tuberculosis. Clinics in Dermatology 2007;

25:173-80.
2. Odom RB, James WD, Berger TG. Mycobacterial diseases. In: Odom RB, James

WD, Berger T, editors. Andrews Diseases of The Skin: Clinical Dermatology. 9th ed. Philadelphia: WB Saunders Company, 2000: 417-21.

13

3. Yates VM, Rook GAW. Mycobacterial infection. In: Burns T, Breathnach S, Cox

N, Griffits C, editors. Rooks textbook of dermatology. 7th ed. London: Blackwell Publishing, 2004:1228-32, 1309-47, 1482-7, 1498-1500.
4.

Bolognia, Juan L. Cutaneous Tuberculosis. In: Callen, Jeffrey,editors. Bolognia Dermatology. 2nd ed. Vol 1. United States; Mosby Elsevier; 2008.

5. Tappeiner G. Tuberculosis and other mycobacterial infection. In: Wollf K,

Goldsmith LA, editors. Fitzpatricks dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill, 2008: 1806-16.
6.

Barbagallo J, Tager P, Ingleton R, J Hirsch R, M Weinberg J. Cutaneous tuberculosis, diagnosis and treatment. Am J of Clin Derm 2002; 3 (5): 319-28.

7. S Meltzer M, A Nasy, C. Cutaneus tuberculosis. Available from: URL

http://www.emedicine.com/cutaneustuberculosis. Diakses tanggal: 10 Oktober 2010 pukul 20.15 wib.


8. McKee PH, Calonje E, Granter SR. Tuberculosis. In: McKee PH. Pathology of The Skin

with Clinical Correlations. 3th ed. China: Elsevier Mosby, 2005.


9. Ramos-e-Silva, Ribeiro de Castro MC. Mycobacterial infections. In: Bolognia JL,

Jonizzo JL, Rapini RP, editors. Dermatology. 2nd ed. Toronto: Mosby, 2003: 110726 10. Aditama YT, Kamso S, Basri C, Surya A. Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis. Ed 2. Jakarta: Departemen kesehatan republik indonesia. 2007: 20-3.

14

Anda mungkin juga menyukai