Anda di halaman 1dari 3

AGAMA, Faktor Utama dalam Merumuskan Pengertian Pornografi dan Pornoaksi Judul : Pornografi dan Pornografi Penulis : Neng

Djubaedah Penerbit : Kencana, Jakarta, Juli 2003 Hal : xviii+388 Belakangan, kembali marak pembicaraan mengenai pornoaksi dan pornografi di masyarakat. Hal ini bukan hanya karena dibahasnya kembali RUU tentang Pornografi dan Pornoaksi di Komisi IX DPR, atau akan diterbitkannya majalah Playboy edisi Indonesia Maret mendatang, tetapi juga kebutuhan akan informasi dan pengertian mengenai pornoaksi dan pornografi yang sesungguhnya. SAAT ini, masalah pornografi dan pornoaksi semakin memprihatinkan dan dampak negatifnya pun semakin nyata, di antara, sering terjadi perzinaan, perkosaan dan bahkan pembunuhan maupun aborsi. Orang-orang yang menjadi korban tindak pidana tersebut tidak hanya perempuan dewasa, tetapi banyak korban yang masih anak-anak, baik anak laki-laki maupun perempuan. Para pelakuknya pun tidak hanya orang-orang yang tidak dikenal, namun juga terjadi pelakunya adalah dalam lingkungan keluarga sendiri. Dalam hukum Islam, sejak abad ketujuh Masehi, perbuatan-perbuatan tersebut sudah dilarang secara tegas, karena teramat jelas pula kemudaratannya. Namun, yang perlu segera dikemukakan adalah, sampai saat ini masih ada pendapat bahwa hukum Islam tidak sesuai dengan hak asasi manusia, karena melanggar hak-hak kemanusiaan sebagai individu, kejam dan demoralisasi. Menurut mereka, tubuh bagi setiap orang adalah hak mutlak pribadi masing-masing. Masing-masing individu bebas memperlakukan tubuhnya, termasuk memperlakukan tubuhnya untuk hal-hal pornografi dan pornoaksi. Menurut mereka, orang yang bersalah dan yang amoral dan asusila adalah orang yang merasa terangsang nafsu birahinya ketika ia atau mereka melihat, atau mendengar, atau menyentuh hal-hal yang pornografi maupun pornoaksi. Hukum publik, menurut mereka, dilarang ikut serta mengatur perilaku seseorang terhadap sikap, perbuatan, tidakan, perlakuan terhadap tubuh masing-masing, karena tubuh adalah merupakan hak mutlak masing-masing orang atau individu, bukan hak (hukum) publik. Karena itu pula, mereka berpendapat bahwa, pelacuran adalah merupakan perbuatan yang boleh dilakukan sepanjang pelacuran itu dilakukan oleh masing-masing pihak yang sudah dewasa, secara suka sama suka, dan tidak mengganggu hak lain, yaitu suami atau istri yang sah dari pasangan lacurnya. Pendapat-pendapat tersebut sebetulnya didasarkan pada pendapat orang-orang Barat, bahwa setiap orang adalah mempunyai hak mutlak atas tubuhnya masingmasing, dan yang dijadikan batasan hanya rasa kesusilaan masyarakat setempat. Sementara, dalam KUHP maupun RUU-KUHP tidak melarang pelacuran sebagai salah satu bentuk pemanfaatan tubuh dan sarana pencari nafkah hidup pribadi. Pemanfaatan tubuh adalah hak mutlak setiap manusia sebagai individu. Yang dilarang KUHP dan RUU-KUHP adalah pekerjaan sebagai mucikari (Pasal 296 KUHP dan pasal 432 RUU-KUHP). Memang RUU-KUHP melarang pelacuran, tetapi pelacuran yang dilarang Pasal 434 RUU-KUHP adalah pelacuran yang dilakukan oleh orang yang bergelandangan dan berkeliaran dijalan atau di tempat umum dengan tujuan melacurkan diri, ia atau mereka diancam pidana denda paling banyak Kategori I, yaitu menurut Pasal 75 RUU-KUHP sebesar Rp. 150.000,- (seratus limapuluh ribu rupiah). Artinya, pelacuran yang dilakukan secara tidak bergelandangan di tempat umum, baik disertai atau disebabkan oleh pornografi dan pornoaksi maupun tidak, tidak dilarang dalam RUU-KUHP. Peraturan tersebut merupakan salah satu contoh perbedaan pendapat dan ketentuan yang sangat mencolok antara hukum pidana Islam dan hukum pidana nasional yang

bersumber pada hukum Barat. Dalam KUHP dan RUU-KUHP yang dilarang hanyalah mengedarkan, menyebarluaskan, menempelkan, menyiarkan, mempertunjukan gambar-gambar atau tulisan-tulisan yang erotis dan sensual, dan memperdengarkan suara-suara yang erotis dan sensual di muka umum yang dapat membangkitkan nafsu birahi orang yang melihatnya atau mendengarnya. Ditinjau dari hukum Islam, pendapat tersebut sangat tidak sesuai, karena hukum Islam telah mengatur secara tegas cara orang memelihara tubuh, seperti yang diatur dalam QS An-Nuur ayat 30 dan 31. Tubuh, menurut ajaran Islam, merupakan amanah Allah yang wajib dipelihara oleh setiap insan dalam rangka memelihara kehormatan. Islam secara tegas menuntun, membimbing, mengarahkan dan menentukan manusia dalam memperlakukan dan memanfaatkan tubuh agar terjaga kehormatan, derajat dan martabat diri, baik dalam keluarga, masyarakat dan bangsa, untuk mencapai kebahagiaan hidup dan kehidupan di dunia dan akhirat kelak. Abu Ishaq asy-Syatibi telah merumuskan tujuan Islam dalam al-maqasid asy-syar iyyah, yaitu untuk memelihara agama, jiwa, akal keturunan dan harta. Mohammad Muslehuddin menambahkannya dengan tujuan hukum Islam yang keenam, yaitu untuk memelihara kehormatan dirinya. Pemeliharaan diri dari hal-hal yang pornografis dan perbuatan pornoaksi berarti merupakan pemelihaaan tubuh, jiwa, akal dan ruhani yang menyatu dan terwujud dalam tubuh setiap manusia yang sekaligus juga memelihara agama, keturunan dan harta sekaligus kehormatan dirinya. Pemeliharaan tubuh sebagai amanat Allah, merupakan ajaran Islam, tidak terlepas dari pemeliharaan terhadap agama (yang terdiri dari memelihara akidah, syari ah dan akhlak), jiwa, akal, keturunan harta dan kehormatan. Islam mengajarkan bahwa tujuan utama hidup dan kehidupan manusia adalah untuk mendapat ridha Allah semata, untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dalam upaya mencapai ridha Allah, Islam mengajarkan tentang rukun iman. Yaitu rukun iman yang salah satunya adalah percaya pada hari akhir, yaitu hari perhitungan bagi setiap insan untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya selama hidup di dunia, termasuk pertanggungjawaban dalam memperlakukan dan memanfaatkan tubuhnya masing-masing, sebagai amanat Allah. Kepedulian umat Islam terhadap hukum pidana Islam, khususnya terhadap pornografi dan pornoaksi telah diwujudkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI sebagai pemrakarsa merekomendasikan melalui Keputusan fatwa Nomor 287 tahun 2001 tentang pornografi dan pornoaksi, pada tanggal 22 Agustus 2001, agar semua penyelenggara negara terkait menetapkan peraturan perundang-undangan tentang pornografi dan pornoaksi. Dasar-dasar hukum yang digunakan MUI dalam fatwa adalah, QS Al-Isra ayat 32, QS An-Nur ayat 30 dan 31, QS Al-Ahzab ayat 59 dan QS Al-Maidah ayat 2. Hadits rasulullah SAW yang dijadikan rujukan adalah hadis yang melarang orang berpakaian tembus pandang, erotis, sensual dan sejenisnya (diriwayatkan oleh Imam maloik dan Imam Ahmad). Hadis yang melarang orang berperilaku tertentu, yaitu orang laki-laki yang berpenampilan seperti tokoh dan singgah di masjid, tetapi istrinya telanjang (Imam Ahmad). Hadis yang melarang orang berkhalwat (Imam Bukhari dan Ibnu Abbas) dan hadis tentang batas aurat perempuan dan melarang kaum perempuan berpakaian tipis (Abu Daud). Sedangkan kaidah usul fiqh yang dipakai antara lain yang menyatakan bahwa semua hal yang dapat menyebabkan terjadinya perbuatan haram adalah haram. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata porno yang berasal dari kata porne berarti cabul. Sedangkan pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan untuk membangkitkan nafsu birahi. Di Indonesia, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi dan perlu dipertimbangkan dalam merumuskan pengertian pornografi dan pornoaksi, yaitu tidak saja faktor agama, tetapi faktor sosial, faktor tradisi dan budaya Indonesia yang beragam (hukum adat dan masyarakat adat), faktor ekonomi, faktor politik, faktor pendidikan, faktor

kesehatan mental dan faktor lingkungan, serta faktor budaya asing yang masuk ke Indonesia juga harus diperhatikan dalam rangka mewujudkan manusia Indonesia yang sehat fisik, mental, spiritual dan sosial. Namun faktor utama yang paling harus diperhatikan dalam merumuskan pengertian pornografi dan pornoaksi adalah faktor agama. Karena itu, pengertian, asas dan pidana pornografi maupun tidakan pornoaksi harus mendasarkan kepada Pembukaan dan pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 beserta perubahannya.***

Anda mungkin juga menyukai