Anda di halaman 1dari 3

458 Benda Cagar Budaya Magelang Terancam Punah

Politikindonesia - Kabupaten Magelang, Jawa Tengah adalah salah satu daerah yang banyak memiliki peninggalan bersejarah. Setidaknya ada 458 benda cagar budaya berupa prasasti dan candi. Sayang, kondisinya kini tidak terawat dan bahkan terancam punah. Kepala bidang Sejarah, Museum dan Purbakala, Bahasa dan Film Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Magelang, Djoni Susmiyanto mengemukakan dari 458 benda cagar budaya yang dipunyai Magelang, 99,9 persen merupakan batu candi atau andesit. Sisanya dari kayu, perunggu dan kulit. Semua benda peninggalan sejarah ini kondisinya kini memprihatinkan. Dana perawatan benda cagar budaya sangat tinggi dan pemerintah daerah setempat mengaku kelabakan. Posisi ini merugikan banyak pemerintah daerah bahkan negara sebab sifat benda cagar budaya itu tidak bisa diperbarui," jelas Djoni, Selasa (21/06). Selama ini, dana pemeliharaan yang dianggarkan untuk perawatan cagar budaya sangat minim. Saat ini dana perawatan hanya untuk juru pelihara yang menjaga dan jumlahnya sedikit. Perawatan dan pemeliharan benda cagar budaya belum tersedia anggaran yang cukup. Biaya perawatan dan pemeliharaan benda cagar budaya memang mahal. Sulit untuk mengajukan dana karena biayanya besar, tapi pemasukannya sangat sedikit. Bahkan sering dianggap hanya pemborosan," ujar Djoni. Dikemukakan Djoni, pihaknya kini tengah melakukan pendataan benda cagar budaya. Sifatnya masih awal. Cagar budaya yang didata tersebar di sebanyak 12 kecamatan di Kabupaten Magelang yaitu Kecamatan Salam, Muntilan, Ngluwar, Dukun, Sawangan, Borobudur, Mertoyudan, Mungkid, Salaman, Windusari, Bandongan dan Grabag. Serta tersebar di desa-desa terutama di wilayah Borobudur. Selain di 13 kecamatan itu, satu lagi cagar budaya berada di Kota Magelang. Cagar budaya yang berupa Situs Nambangan ini berupa bangunan situs dari batu bata di Kecamatan Rejowinangun Utara, Kota Magelang. Belum keseluruhan benda cagar budaya terdata seperti yang lain diketahui berada di Desa Gunungpring, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang," jelas Djoni. Djoni mengeluh, jika kondisi yang berlangsung saat ini dibiarkan dalam waktu lama, maka benda cagar budaya akan banyak yang hilang. Padahal, dibalik benda cagar budaya ini sangat bermanfaat untuk informasi, referensi, maupun ekonomi dan ilmu pengetahuan. Saat ini sudah ada yang musnah, seperti situs Candi Banon di Jelibudan di Desa Borobudur. Lalu Candi Pakem yang hanya menyisakan batu bata saja di Komplek Hotel Aman Jiwo, juga Candi Lumbung di Desa Sengi terancam hancur karena berada 50 cm dari tebing Kali Apu setelah dihantam banjir lahar dingin," terang dia. Djoni menambahkan cagar budaya itu terancam punah karena faktor alam dan ulah manusia.

Banyak masyarakat, khususnya generasi muda tidak memahami manfaat peninggalan kuno tersebut. Kami harap ada konsep program pemeliharaan dan pelestarian lebih intensif dan proporsional. Supaya benda-benda cagar budaya memberi dampak positif bagi kehidupan masyarakat sekitarnya," harap dia. Beritalumajang.com : Hasil penelusuran dan investgasi Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (Madya) Indonesia dan Masyarakat Peduli Peninggalan Mojopahit (MPPM) Lumajang pada kerusakan di situs Biting (Benteng) di Dusun Biting Desa Kutorenon Kecamatan Sukodono ternyata, kerusakan dan hancurnya situs biting saat ini banyak disebabkan ulah dan tangan tangan jahil manusia dibanding bencana alam.

Salah satu faktor terbesar ulah manusia yang nyata yakni kerusakan akibat ulah manusia yakni adanya pelebaran dan perluasan perumahan nasional (Perumnas) yang tidak terlebih dahulu mempertimbangkan keaslian sejarah. Sebenarnya, pengembang (investor) sudah faham kalau lahan tersebut merupakan area bekas situs atau kerjaaan yang menjadi kebanggaan masyarakat Lumajang. Apalagi masih terlihat dengan jelas pada bagian benteng yakni Bastion (lokasi pengintaian) atau pangunggaan sudah ada bangunan jalan, saluran drainase air dan bangunan rumah diatas benteng. "Kerusakan yang paling parah memang dari perumahan yakni sebelah barat. Bahkan pembangunan masih berlangsung," kata Koordinator Madya Indonesia, Joe Marbun pada (04/02/2011). Selaian kerusakan oleh perluasaan dan pembangunan perumahan, ada juga daerah Kkeraton dimana petani melakukan olah tanah yang banyak menemukan batu bata. Sedangkan kerusakan bencana pada benteng sekitar sungai, lebih diakibatkan oleh abrasi dan berubahnya pola alur sungai. "Ada benteng yang terputus akibat perubahan alur sungai, pada bastian utara ke arah barat, tepatnya diutara perumahan," ungkap Joe Marbun. Sementara, Koordinator MPPM Lumajang, Mansur Hidayat mengatakan, kerusakan yang terjadi akibat ulah manusia yang juga dibiarkan oleh pemerintah. Padahal pemetaan pembangunan tata ruang sudah diatur oleh Bappeda Pemprov Jatim ditahun 1996. Namun hal itu tak diindahkan oleh pengembang. "Jika pembangunan perumahan terus berlanjut, kerusakan disitus Biting akan berlanjut," ungkapnya. Madya dan MPPM Lumajang mendesak pemerintah mengambil langkah kongkrit penyelamatan terhadap bangunan situs Biting yang terancam rusak. Selain itu, pemerintah harus mensosialisasikan soal UU no 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan adanya situs Biting yang merupakan cikal bakal bedirinya Lumajang. "Pemerintah harus secepatnya mengambil langkah tegas agar identitas Lumajang tidak hancur dan menjadi menjadi mitos belaka,"jelasnya

Merusak yang Sudah Termakan Usia


Oleh Andi Nur Aminah Berbagai bangunan atau situs cagar budaya di Indonesia, kini terancam kelestariannya. Keberadaannya memang sudah dilindungi dengan adanya UU No 11/2010 tentang Cagar Budaya yang disahkan, Oktober 2010 lalu. Namun, UU tak menjadi jaminan situs dan cagar budaya akan aman. Berikut ini, sederet fakta -- salah satunya yang dikumpulkan oleh Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (Madya) - tentang pengrusakan situs dan warisan budaya yang selayaknya harus dilindungi. Ibarat tulang, bangunanan ini sudah keropos, lapuk termakan usia.Memang, tak semua kerusakan yang terjadi akibat kejahilan atau ulah manusia. Beberapa kerusakan terhadap situs atau warisan budaya dikarenakan musibah atau bencana alam. Namun yang pasti, sebuah situs dan warisan budaya lainnya, harusnya dijaga kelestariannya, karena sejarah yang tertoreh di masa lalu, toh tak akan pernah kembali. Fakta-Fakta pengrusakan warisan budaya yang muncul sepanjang 2009-2010 :1. Perusakan situs Trowulan akibat pembangunan PIM. (Jawa Timur) "Niat hati untuk membangun informasi tentang peradaban Majapahit secara lengkap, apa daya nafsu yang sangat besar telah mengarahkan pikiran untuk merusak situs besar tadi.'' Barangkali ini adalah kata yang tepat mewakili ketidakindependenan oknum Pimpinan Balai Peninggalan Pelestarian Purbakala (BP3) Jawa Timur, mewakili institusi dan dasar keilmuannya guna kegiatan pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM). Pembangunan yang didanai APBN senilai Rp 20 miliar dengan penanggung jawab Menbudpar RI itu, berhasil mengoyakkan integritas diri dan anggota yang lain--sesama arkeolog--untuk menghancurkan situs yang seharusnya dijaga dengan baik. Tindakan penelitian tidak dilakukan sepenuhnya dalam proyek ini. Benda hasil temuan saat penggalian tidak diperlakukan sesuai dengan kaidah ataupun prinsip penelitian arkeologi. Benda hasil temuan diperlakukan tak beda dengan memperlakukan sampah. Sampai saat ini, kasus hukum terhadap permasalahan ini belum ada kejelasan kapan diselidiki dan disidik. Madya pernah mengirimkan surat tentang permintaan dan usulan menindaklanjuti proses hukum pengrusakan Situs Trowulan kepada pihak berwajib, 24 Maret 2009 kepada TIM Evaluator bentukan Menbudpar RI dan ditembuskan ke Menbudpar RI. Surat yang sama juga telah ditembuskan ke Menbudpar RI, Kepolisian RI, Presiden RI, DPR RI, DPD RI namun tidak mendapat tanggapan sampai saat ini.2. Penghancuran bangunan Masjid Perak, Kotagede. (Yogyakarta)Peristiwa ini berawal dari kejadian bencana gempa bumi di wilayah DI Yogyakarta, 2006. Salah satu dari dua masjid Muhammadiyah rusak karena gempa, yaitu Masjid Perak Kotagede. Kerusakan Masjid Perak Kotagede sebenarnya masih bisa diperbaiki. Namun, secara sepihak, pihak takmir masjid membongkar seluruh bangunan masjid tanpa diketahui oleh pengurus cabang Muhammadiyah Kotagede yang bertanggung jawab langsung atas keberadaan masjid itu. Masjid Perak Kotagede sendiri merupakan masjid pertama Muhammadiyah (1912) di Kotagede yang didirikan pada 1938 di atas tanah yang dibeli oleh Kiai Amir, Kiai Muhsin, dan Kiai Mudzakir. Penamaan Masjid Perak muncul karena masjid ini dibangun dengan dukungan dana para pengusaha perak yang pada masa itu berada dalam masa-masa kejayaan. Orang-orang Kalang yang kaya raya di Kotagede pun ikut ambil bagian dalam pendanaan pembangunan masjid yang kepengurusannya dipimpin Kiai Mashudi. Masjid Perak merupakan wujud monumen kebersamaan di Kotagede.3. Jual-beli rumah rumah tradisional Kotagede. (Yogyakarta) Jual beli dan pembongkaran rumah tradisional di Kotagede bukan hanya terjadi pada 2009. Kegiatan ini sebetulnya sudah berlangsung dari...

Anda mungkin juga menyukai