Anda di halaman 1dari 4

12/13/2007

Industri Baja Nasional Ditengah Konsolidasi Industri Baja Global


Oleh Sunarsip dan Nursanita Nasution Keberadaan industri baja memegang peran vital dalam proses pembangunan. Oleh karenanya, setiap negara merasa melindungi industri bajanya agar tetap eksis dan berkembang. China, misalnya, sangat perhatian terhadap industri baja dalam negerinya. China adalah negara produsen baja terbesar di dunia yang menguasai sebesar 34% produksi baja dunia pada tahun 2006. Meski telah menjadi produsen baja terbesar dunia, China tetap merasa perlu untuk memberikan berbagai insentif bagi industri bajanya. Sehingga, tidak mengherankan bila kebijakan yang diambil oleh pemerintah China tersebut menimbulkan kecemburuan bagi industri baja di negara lain. Di Indonesia, misalnya, produk baja dari China sering mendapat tuduhan melakukan dumping dari industri baja di dalam negeri. Kenapa demikian? Jawabannya sederhana: berkat berbagai insentif yang diberikan pemerintah China, biaya produksi (production cost) baja dari China bisa menjadi lebih murah. Karena faktor inilah, produk baja dari China menjadi rentan terkena tuduhan dumping, dimanapun produk baja China tersebut dipasarkan.

Industri Baja Nasional


Bagaimana dengan industri baja di Indonesia? Saat ini konsumsi baja kita masih sangat rendah, yaitu sekitar 33 kg perkapita, masih di bawah konsumsi negara-negara di Asia Tenggara (lihat Tabel). Saat ini, tingkat produksi baja nasional kita belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan baja. Di tahun 2006, kebutuhan baja nasional untuk jenis crude steel, HRC, dan CRC masing-masing sebesar 5,42 juta ton, 3,33 juta ton, dan 1,44 juta ton. Sementara itu, produksinya hanya sebesar 3,46 juta ton (crude steel), 2,82 juta ton (HRC), 0,92 juta ton (CRC). Kita pun harus mengimpor produk baja dari luar negeri, terutama dari China dan India, karena harga yang relatif murah, meski secara kualitas belum tentu sebaik baja produksi Krakatau Steel dan industri baja dalam negeri lainnya. Relatif murahnya harga baja dari China dan India ini, selain karena industri baja di negara asal syarat dengan insentif, hambatan perdagangan bagi masuknya produk baja luar negeri ke Indonesia juga relatif kecil. Di sisi lain, penerapan standar mutu bagi produk baja dari luar negeri melalui penerapan SNI- belum secara efektif diberlakukan. Akibat mudahnya bagi produk baja luar negeri masuk ke Indonesia, kini industri baja domestik banyak yang bangkrut akibat kalah bersaing dengan produk serupa dari negara lain, khususnya dari China. Indikasi kebangkrutan ini antara lain ditandai dengan adanya penutupan sekitar 30% perusahaan baja di dalam negeri dalam kurun waktu lima

Dimuat REPUBLIKA, Kamis, 13 Desember 2007. Rubrik Pareto, hal. 15. Sunarsip adalah Ekonom Kepala The Indonesia Economic Intelligence Nursanita Nasution adalah Anggota Komisi VI DPR RI

-1-

12/13/2007

tahun terakhir. Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Baja dan Besi (Gapbesi), jumlah perusahaan baja nasional pada 2001 tercatat mencapai 201 unit usaha, namun pada 2006 menyusut tinggal 134 perusahaan. Jika pada 2001 volume impor baja asal China hanya 4 juta ton senilai US$1,68 miliar, pada 2006 angka impor itu meroket menjadi 6,18 juta dengan nilai US$4,2 miliar.

Tabel: Konsumsi Baja Per Kapita (2006) No. 1 2 3 4 5 6 NEGARA INDONESIA FILIPINA VIETNAM THAILAND MALAYSIA SINGAPURA KONSUMSI KG/KAPITA 32.9 35.8 65.9 204 278.9 691

Sumber: diolah dari berbagai sumber

Secara umum, kondisi industri baja nasional saat ini relatif tertinggal dan kalah efisien bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Utilitisasi kapasitas produksi industri baja relatif sangat rendah (rata-rata sekitar 56%). Banyak hal yang menyebabkan kondisi ini terjadi, antara lain (i) industri penyedia bahan baku belum berkembang; (ii) kurangnya ketersediaan dan meningkatnya harga energi industri baja hulu; (iii) ketergantungan permanen industri baja nasional pada bahan baku impor; (iv) rendahnya jumlah investasi pembangunan industri; (v) rendahnya pertumbuhan konsumsi baja nasional; (vi) rendahnya daya saing dari berbagai sisi; (vii) regulasi yang kurang efektif sehingga perlu ada penataan kembali terutama dari sisi pengawasan; dan lain-lain. Kebutuhan baja nasional akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk. Pada tahun 2020, diproyeksikan konsumsi baja mencapai 70 kg perkapita. Ini adalah tantangan yang tidak mudah bagi industri baja nasional untuk dapat memenuhi kebutuhan baja yang tinggi tersebut, di tengah kondisi baja nasional yang kini terseok-seok. Oleh karenanya, pemerintah selaku regulator dan pemilik pabrik baja terbesar di Indonesia (yaitu Krakatau Steel) harus menyiapkan langkah-langkah strategis bagi peningkatan kapasitas industri baja nasional kita.

Konsolidasi Global
Bila China menjadi negara produsen baja terbesar di dunia, Arcelor Mittal adalah pabrikan baja terbesar di dunia. Arcelor Mittal merupakan hasil merger antara Arcelor (Uni Eropa) dan Mittal (milik Lakshmi Mittal, pengusaha asal India bermukim di Inggris). Pada 2006, Arcelor Mittal memproduksi sekitar 117,2 juta metrik ton crude steel, atau sekitar 9,4% dari total produksi baja dunia yang mencapai 1.244,2 juta metrik ton crude steel.
-2-

12/13/2007

Struktur industri dan pemain baja di dunia saat ini cenderung mengalami konsolidasi. Setiap negara atau pabrikan baja kini berlomba-lomba menjadikan dirinya sebagai produsen baja terbesar di dunia. Dengan menjadikan dirinya sebagai yang terbesar berharap dapat menggiring pasar dan price maker. Kiprah Mittal, yang kini menjadi Arcelor Mittal diawali dengan mendirikan pabrik baja di Indonesia dengan nama Isphat Indo pada 1976. Sejumlah langkah akusisi dilakukan Mittal untuk memperbesar bisnisnya, baik di Afrika, Amerika Latin, Eropa, Amerika Serikat, dan kini giat berekspansi di Asia. Arcelor Mittal kini menjadi pabrik baja terbesar di dunia yang sulit ditandingi oleh pabrik baja manapun. Terlebih lagi, kini Arcelor Mittal dan Nippon Steel (pabrik baja terbesar kedua) tengah melakukan negosiasi untuk membangun aliansi. Jika negosiasi ini berhasil dan berlanjut dengan merger, dapat dipastikan pabrikan baja ini akan semakin memperkuat posisinya di industri baja dunia. Hal yang sama juga terjadi di China dan India. Di China, misalnya, dalam beberapa tahun terakhir ini telah terjadi proses konsolidasi dalam rangka memperkuat struktur industri baja di dalam negeri. Langkah ini dilakukan dalam rangka memenuhi target pada 2010, China akan memiliki 2 Grup pabrik baja dengan kapasitas 30 juta metrik ton per tahun dan beberapa grup perusahaan baja dengan kapasitas 10 juta metrik ton per tahun. Saat ini, meski China adalah produsen baja terbesar di dunia, namun industrinya sangat tersebar, baik dari sisi pelaku maupun geografisnya. Kondisi ini dinilai tidak efisien sehingga perlu dikonsolidasikan. Dalam rangka konsolidasi ini, pemerintah China memberikan insentif berupa transfers of ownership yang memungkinkan bagi produsen baja untuk mengakuisisi fasilitas baru dan ekspansi produksi pada harga yang lebih rendah atau bahkan tanpa biaya. India kini juga sedang melakukan ekspansi pabrik baja ke sejumlah negara untuk memenuhi kebutuhan komoditas baja dalam negeri dan ekspor. Langkah ini dilakukan dalam rangka mewujudkan strategic goal dari national steel policy 2005 yaitu memiliki industri baja yang modern dan efisien dengan standar global yang mampu memenuhi permintaan atas berbagai jenis baja serta mencapai keunggulan global (global competitiveness), tidak hanya dalam biaya, kombinasi produk dan kualitas, tetapi juga dalam efisiensi dan produktivitas menurut standar global. Essar Steel, salah satu pabrikan baja terbesar di India, diketahui sedang mengincar KS untuk diakuisisi. Selain itu, Essar Steel juga akan membangun proyek pengolahan pellet di Kalimantan Selatan dan steel making antara lain HRC/CRC di Cilegon dengan total kapasitas 4 juta ton senilai US$1,6 miliar dan ditargetkan selesai pada 2011. Jika kedua proyek ini sukses, hal ini akan menjadikan Essar mampu mengintegrasikan operasinya (hulu hilirnya) di ASEAN.

Strategi Ke Depan
Berdasarkan analisis di atas, jelas bahwa industri baja nasional kita memang membutuhkan peningkatan kapasitas untuk memenuhi defisit baja nasional. Namun,

-3-

12/13/2007

langkah ini akan sulit terealisasi bila industri baja nasional kita dibiarkan bertarung dengan pemain global yang sudah kuat. Langkah pemerintah membiarkan tarif impor bagi baja luar negeri lebih rendah dibandingkan negara lain (seperti Thailand dan Malaysia) dalam jangka pendek memang dapat dibenarkan bila dilihat dari kepentingan konsumen. Namun dalam jangka panjang, kebijakan ini akan menyebabkan matinya industri baja dalam negeri yang ujungnya akan merugikan kepentingan konsumen. Penjualan KS ke pihak asing (bila ada rencana ini) juga bukan solusi yang tepat bila dikaitkan untuk meningkatkan kapasasitas produksi baja KS dan nasional. Bila KS dijual ke asing dalam kondisi masih merugi (distress), maka harganya pasti akan jatuh. Diluar ini, banyak kasus akuisisi baja mengalami kegagalan karena masalah incompatible motive, incompatible culture, overpromising, cheating, minimum commitment on development, dan sebagainya yang perlu menjadi pelajaran bagi kita. Dan terpenting, sebagai aset strategis, semestinya KS tetap dipertahkan pemerintah untuk sewaktu-waktu dibutuhkan dalam rangka menjaga gawang pemerintah di industri baja nasional. Yang dibutuhkan untuk meningkatkan kapasitas produksi baja nasional adalah dengan membuka investasi baru yang seluas-luasnya bagi pemain baru (lokal dan asing). Dengan demikian, sejumlah hambatan regulasi di sektor investasi baja perlu dibenahi. Inilah langkah yang tepat untuk mengatasi berbagai problem di industri baja nasional.***

-4-

Anda mungkin juga menyukai