Paper Oestoporosis

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 9

Identifikasi Pengenalan Pola Osteoporosis terhadap Hasil Rontgen Jari Tangan dan Tulang Belakang

Mike Susmikanti, Entin Hartini, Dinan Andiwijayakusuma Pusat Pengembangan Informasi Nuklir-BATAN Kawasan PUSPIPTEK, Serpong, Tangerang E-mail : mike@batan.go.id

Abstrak
Dalam bidang kedokteran merupakan suatu hal yang penting untuk mengetahui kondisi pasien. Terdapat beberapa cara untuk mengetahui kondisi pasien salah satu diantaranya melalui hasil rontgen. Pemodelan dan simulasi merupakan salah satu cara membantu mendukung suatu keputusan yang diberikan untuk mengetahui kondisi pasien. Pengenalan pola hasil rontgen pasien berbasis kecerdasan buatan, khususnya yang terkena Osteoporosis diharapkan dapat membantu para medis. Hasil rontgen pasien pertama-tama dianalisis dengan pengolahan citra menjadi bentuk digital. Penentuan karakteristik dari pola terhadap hasil pengolahan citra dalam bentuk digital, dianalisis dengan metoda prinsipal komponen. Nilai-nilai karakteristik tersebut digunakan dalam pemodelan berbasis kecerdasan buatan pada sistim jaringan syaraf. Dalam pemodelan dilakukan pembelajaran, pelatihan dan simulasi beberapa obyek. Terdapat beberapa metoda pembelajaran dengan pengawasan pada sistem jaringan syaraf. Dalam hal ini dipilih metoda perseptron yang lebih sesuai dalam kasus ini. Diperlukan suatu rancangan spesifikasi untuk identifikasi dalam sistim jaringan syaraf yang terdiri dari sekumpulan neuron dan input. Spesifikasi ini digunakan untuk membedakan klasifikasi pada pengenalan pola terhadap pasien yang terkena Osteoporosis maupun yang tidak terkena Osteoporosis. Dalam pembelajaran dan pelatihan data diambil beberapa data contoh hasil rontgen dari beberapa organ tubuh diantaranya tangan dan tulang belakang, kemudian dilakukan simulasi. Diperoleh hasil identifikasi terhadap struktur pola jari tangan dan tulang belakang normal dan terkena osteoporosis sesuai dengan yang diharapkan. Proses pengenalan pola tersebut diatas secara keseluruhan menggunakan MATLAB. Kata Kunci : Jaringan syaraf, Osteoporosis, Pengenalan Pola, Perceptron

1.

Pendahuluan

Dalam bidang kedokteran merupakan suatu hal yang penting untuk mengetahui kondisi pasien. Terdapat beberapa cara untuk mengetahui kondisi pasien salah satu diantaranya melalui hasil rontgen. Osteoporosis merupakan penyakit tulang yang memicu risiko adanya keretakan tulang, Saat ini telah dimungkinkan mengetahui kondisi tulang melalui hasil rontgen disamping kondisi paru-paru.

Pemodelan dan simulasi merupakan salah satu cara membantu mendukung suatu keputusan yang diberikan. Pengenalan pola hasil rontgen pasien berbasis kecerdasan buatan, khususnya yang terkena osteoporosis diharapkan dapat membantu para medis untuk mengetahui kondisi pasien. Hasil rontgen tulang pasien yang diperkirakan terkena gejala penyakit tulang, khususnya oestoporosis dianalisis pertama-tama dengan pengolahan citra menjadi bentuk digital. Penentuan karakteristik dari pola terhadap hasil pengolahan citra dalam bentuk digital, dianalisis

dengan metoda prinsipal komponen. Nilai-nilai karakteristik tersebut digunakan dalam pemodelan berbasis kecerdasan buatan pada sistim jaringan syaraf. Dalam pemodelan dilakukan pembelajaran, pelatihan dan simulasi beberapa obyek. Terdapat beberapa metoda pembelajaran dengan pengawasan pada sistem jaringan syaraf. Dalam hal ini dipilih metoda perceptron yang lebih sesuai dalam kasus ini. Diperlukan suatu rancangan spesifikasi untuk identifikasi dalam sistim jaringan syaraf yang terdiri atas sekumpulan neuron dan input. Spesifikasi ini digunakan untuk membedakan klasifikasi pada pengenalan pola terhadap pasien yang terkena osteoporosis maupun yang tidak terkena osteoporosis. Dalam pembelajaran dan pelatihan data diambil beberapa data contoh hasil rontgen dari beberapa organ tubuh diantaranya jari tangan dan tulang belakang, kemudian dilakukan simulasi. Proses pengenalan pola tersebut diatas secara keseluruhan menggunakan MATLAB. 2. Pengenalan Pola Osteoporosis

Gambar 1.b : Struktur tulang dalam keadaan normal Gambar 2.a dan 2.b berikut ini menunjukkan hasil rontgen jari tangan dan tulang belakang (punggung) yang terkena osteoporosis.

Terdapat beberapa macam hilangnya kepadatan tulang, diantaranya adalah Osteoporosis. Osteoporosis menyatakan suatu kondisi tulang, secara keseluruhan ataupun setempat, dimana kuantitas dari tulang per satuan volume menurun dalam jumlahnya, tetapi normal dalam komposisi [2]. Penyakit osteoporosis adalah berkurangnya kepadatan tulang yang progresif, sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Tulang terdiri atas mineral-mineral seperti kalsium dan fosfat, sehingga tulang menjadi keras dan padat. Jika tubuh tidak mampu mengatur kandungan mineral dalam tulang, maka tulang menjadi kurang padat dan lebih rapuh, sehingga terjadilah osteoporosis [3]. Berikut ini adalah mikrostruktur tulang dalam keadaan normal dan mikrostruktur yang terkena osteoporosis (Gambar 1.a dan 1.b)

Gambar 2.a : Hasil rontgen jari tangan yang terkena Osteoporosis

Gambar 2.b : Hasil rontgen tulang belakang yang terkena Osteoporosis Sistem pengenalan pola terhadap hasil rontgen pasien yang terkena osteoporosis meliputi tiga tahapan yaitu pengolahan citra, analisis prinsipal komponen dan sistem jaringan syaraf (Gambar 3). Mikrostruktur pada hasil rontgen jari tangan pasien serta tulang belakang pasien dikonversi melalui proses pengolahan citra menjadi bentuk digital. Untuk menentukan karakteristik pola tersebut, dilakukan analisis prinsipal komponen terhadap bentuk digital tersebut diatas. Identifikasi apakah hasil rontgen pasien menunjukkan terkena osteoporosis ataupun dalam keadaan normal, digunakan kecerdasan buatan dalam sistim jaringan syaraf. Dalam pembelajaran dan pelatihan data

Gambar 1.a : Struktur tulang terkena osteoporosis

diambil beberapa sampel hasil rontgen pasien yang terkena osteoporosis maupun keadaan normal, kemudian dilakukan beberapa simulasi. Adapun sistem diagram alur untuk pengenalan pola dapat digambarkan sebagai berikut [9];

Hasil rontgen

Pengolahan citra

Bentuk digital

Prinsipal komponen

Nilai karakteristik

Jaringan syaraf

Identifikasi

menghasilkan konversi dari struktur citra menjadi bentuk digital [6, 7] . Analisis komponen prinsipal (PCA) adalah suatu teknik statistik yang sangat berguna dan telah dijumpai dalam berbagai bidang aplikasi seperti pengenalan wajah (face recognition) dan kompresi citra (image compression). PCA merupakan teknik menemukan pola dengan dimensi tinggi ke dimensi yang lebih rendah dengan tetap memelihara sebanyak mungkin varians yang muncul dalam kumpulan data. Konsep penggunaan PCA meliputi perhitungan nilai-nilai simpangan baku, matriks kovarians, nilai karakteristik (eigen value) dan vektor karakteristik (eigen vector). PCA dapat menggunakan metoda kovarians atau korelasi. Jika diperlukan, data distandardisasi terlebih dahulu sehingga mendekati sebaran normal baku [4,5,8]. Langkah-langkah perhitungan PCA dengan metoda kovarians sebagai berikut; - Misalkan x1, x2, , xM adalah vektor N x 1 1. Menghitung rata-rata:

x=

1 M

x
i =1

i
_

Hasil Identifikasi

2. Menghitung selisih rata-rata: = x x i i 3. Dari matriks A=[1 2 M] (matriks Nx M), Hitung kovarians:

Gambar 3: Sistem diagram alur untuk pengenalan pola hasil rontgen yang terkena Osteoporosis Suatu pola mempunyai suatu tekstur khusus, dengan berbagai variasi dalam tingkat keabuan atau warna. Rata-rata tingkat keabuan dan simpangan baku dinyatakan sebagai ukuran statistik dalam bentuk momen. Rata-rata dihubungkan dengan momen pertama, simpangan baku tergantung pada momen kedua dan terdapat beberapa ukuran lain yang digunakan untuk menyatakan karakteristik suatu daerah tekstur diantaranya Skewnes (kemencengan) dan Kurtosis (kemelunjuran) [6,7]. Secara umum momen beda unsur ke-k dapat dinyatakan sebagai,

C=

1 M

n =1

T = AA T n

4. Menghitung nilai karakterisik

C : 1 > 2 > .......... . > N

5. Menghitung vektor karakteristik


C : u 1 , u 2 ,......... , u n
Urutkan vektor karakteristik u dan nilai karakteristik dalam matriks diagonal dalam urutan menurun sesuai dengan nilai peluang kumulatif terbesar untuk tiap vektor karakteristik, sehingga diperoleh nilainilai karakteristik yang dominan. Pemodelan jaringan syaraf merupakan pembelajaran dan penyesuaian suatu obyek. Hasil dari analisis komponen prinsipal yang meliputi nilainilai karakteristik dari masing-masing struktur yang paling dominan, digunakan sebagai data masukan untuk pengolahan identifikasi dalam sistim pemodelan tersebut diatas. Adapun pengolahan identifikasi meliputi proses pembelajaran, pelatihan serta simulasi. Jaringan syaraf terdiri atas sejumlah neuron dan sejumlah masukan (Gambar 4). Dalam merancang jaringan syaraf perlu diperhatikan banyaknya spesifikasi yang akan diidentifikasi. Metode perseptron merupakan metode pembelajaran dengan pengawasan dalam sistim jaringan syaraf, sehingga jaringan yang dihasilkan harus mempunyai

Momen

= (i j ) k M [i, j ]
i j

(1) M[i,j] adalah matriks dengan tingkat keabuan yang mengandung informasi mengenai posisi pikselpiksel yang dinyatakan dengan nilai d. Jarak yang tetap dari nilai d sama seperti nilai tingkat keabuan. Selain hal tersebut, arah diantara dua piksel juga perlu diperhatikan. Terdapat empat arah horisontal, vertikal dan dua macam diagonal. Kemudian, untuk setiap nilai d, dengan empat faktor arah citra yang masing-masing mempunyai ukuran 256 x 256, membentuk suatu citra gabungan dengan 256 tingkat keabuan sehingga secara keseluruhan

parameter yang dapat diatur dengan cara mengubah melalui aturan pembelajaran dengan pengawasan [1]. Perseptron merupakan salah satu bentuk jaringan sederhana dan biasanya digunakan untuk mengklasifikasikan suatu pola tipe tertentu yang sering dikenal dengan pemisahan secara linier. Pada dasarnya perseptron dengan satu lapisan memiliki bobot yang dapat diatur. Algoritma yang digunakan oleh aturan perseptron ini akan mengatur parameterparameter bebas melalui proses pembelajaran. Fungsi aktivitasi dibuat sedemikian rupa sehingga terjadi pembatasan antara daerah positif dan negatif. Perseptron memiliki kemampuan lebih baik daripada algoritma pembelajaran Hebb yang memiliki karakteristik sebagai berikut : Jaringan lapis tunggal Fungsi aktivasi adalah fungsi tangga bipolar dengan suatu nilai batas tetap (parameter ) (Gambar 4). f(y_masuk) = 1 Jika y_masuk > f(y_masuk) = 0 Jika y_masuk (2) f(y_masuk) = -1 Jika y_masuk <

Gambar 4. Arsitektur jaringan syaraf dengan s neuron dan R masukan Algoritma pembelajaran dalam jaringan syaraf meliputi langkah-langkah : 1. Inisialisasi nilai bobot, bias dan laju pembelajaran a, (0 < a 1) wi = 0 (i = 1 sampai n) 2. Selama syarat berhentinya iterasi belum terpenuhi, lakukan langkah 3 sampai dengan 7 3. Pada setiap pasang pelatihan (s,t) lakukan langkah 4 sampai dengan 6 4. Tentukan nilai aktivasi untuk setiap unit masukan xi = si 5. Hitung tanggapan untuk unit keluaran 6. Jika masih ada galat, perbaharui bobot dan bias 7. Uji kondisi syarat berhenti. Jika masih ada bobot yang berubah pada langkah 3, kembali ke langkah 2, jika tidak kembali kelangkah 3 Berikut ini langkah untuk algoritma pelatihan : 1. inisialisasi nilai bobot ( digunakan nilai bobot yang diperoleh dari algoritma pelatihan) 2. Untuk setiap vektor x, lakukan langkah 3 sampai 5 3. Set nilai aktivasi dari unit masukan, xi = si 4. Hitung total masukan ke unit keluaran 5. Gunakan fungsi aktivasi 3. Hasil dan Pembahasan

Gambar 4. Fungsi Aktivasi Apabila terjadi kesalahan untuk pola masukan pelatihan bobot wi akan disesuaikan dengan perumusan wi (baru ) = wi (lama ) + tx i , t adalah nilai target +1 atau 1.

Tahap pertama pada proses pengenalan pola, hasil rontgen jari tangan dan tulang belakang yang terkena osteoporosis maupun dalam keadaan normal dilakukan analisis dengan pengolahan citra. Dianalisis beberapa contoh hasil rontgen jari tangan dan tulang belakang yang terkena osteoporosis, maupun dalam keadaan normal dengan melakukan

konversi hasil rontgen yang berbentuk struktur menjadi nilai digital (lampiran A). Pada tahap kedua, dengan analisis prinsipal komponen, matriks data hasil konversi digital diolah sehingga menghasilkan nilai-nilai karakteristik dan vektor karakteristik dari setiap struktur hasil rontgen (Lampiran A). Diambil enam nilai karakteristik yang terbesar atau paling dominan. Tahap selanjutnya dalam proses sistim jaringan syaraf, diambil tiga puluh dua contoh input hasil rontgen jari tangan yang masing-masing mempunyai karakteristik dominan dari hasil proses pada lampiran A. Diantaranya adalah tujuh belas contoh input untuk hasil rontgen jari tangan yang terkena osteoporosis, lima belas contoh input untuk hasil rontgen jari tangan dalam keadaan normal, enam belas contoh input untuk hasil rontgen tulang belakang yang terkena osteoporosis dan enam belas contoh input untuk hasil rontgen tulang belakang dalam keadaan normal. Diberikan pembelajaran, pelatihan dan simulasi dengan catatan, kode 10 untuk hasil rontgen jari tangan dalam keadaan normal dan kode 01 untuk hasil rontgen jari tangan yang terkena osteoporosis (Lampiran B). Demikian pula halnya untuk hasil rontgen terhadap tulang belakang. Diberikan pembelajaran, pelatihan, dan simulasi dengan catatan, kode 10 untuk hasil rontgen tulang belakang dalam keadaan normal dan kode 01 untuk hasil rontgen tulang belakang yang terkena osteoporosis (lampiran C). Hasil identifikasi untuk hasil rontgen dalam keadaan normal maupun yang terkena osteoporosis terhadap jari tangan diberikan pada Tabel 1, masingmasing lima belas contoh input dalam keadaan normal diperoleh hasil ketelitian 93% serta tujuh belas contoh input yang terkena osteoporosis diperoleh hasil ketelitian 88%. Tabel 1: Hasil Identifikasi Osteoporosis jari tangan Jari Tangan Normal Osteoporosis Jumlah benar 14 15 Jumlah Salah 1 2 % Ketelitian 93 88

Tabel 1 : Hasil Identifikasi Osteoporosis tulang belakang Tulang belakang Normal Osteoporosis Jumlah benar 12 12 Jumlah Salah 4 4 % Ketelitian 75 75

4.

Kesimpulan dan Saran

Pada proses pengenalan pola hasil rontgen, jari tangan dan tulang belakang dalam keadaan normal serta yang terkena osteoporosis dalam pembelajaran, pelatihan dan simulasi tersebut diatas, diperoleh hasil yang sesuai dan yang diharapkan. Pola dari hasil rontgen jari tangan dan tulang belakang dapat dinyatakan dan dikonversi dalam bentuk digital dengan proses pengolahan citra. Dengan analisis prinsipal komponen dapat ditentukan karakteristik yang dominan pada pola tersebut yang selanjutnya dapat dianalisis pada sistem jaringan syaraf. Metoda perseptron, sesuai untuk pemodelan klasfikasi hasil rontgen dalam sistim jaringan syaraf. Daftar Pustaka [1] Fu, LiMin, Neural Networks in Computer Intelligence, McGraw-Hill, Inc., Singapore, 1994. [2] Greenfield, George B.; Radiology of Bone Diseases, J.B. Lippincott Company, Philadelphia and Toronto, 1980 [3]http://www.medicastore.com/osteoporosis,

26/06/2009
[4]http://en.wikipedia.org/wiki/Principal_Component s_Analysis, 23/02/2007 [5]http://www.ittelkom.ac.id/PCA, 26/06/2009 [6] Parker J. R., Algorithms for Image Processing and Computer Vision, Wiley Computer Publishing, John Wiley & Sons, Inc, 1997 [7] Pearson, Don, Image Processing, McGraw-Hill International Editions, 1991. [8] Smith, Lindsay I, A Tutorial on Principal Components Analysis, 26/02/2002 [9] Susmikanti, M; Sitompul, A; Handayani, A; Pattern Recognition of Material Creep and Fatigue used in Nuclear Power Plant, Proceedings International Conference on Advances in Nuclear Science and Engineering (ICANSE), ITB Bandung, November 2007.

Demikian pula hasil identifikasi untuk hasil rontgen yang terkena osteoporosis maupun dalam keadaan normal terhadap tulang belakang diberikan pada Tabel 2, masing-masing untuk enam belas contoh input dalam keadaan normal diperoleh hasil ketelitian 75% dan enam belas contoh input yang terkena osteoporosis diperoleh hasil ketelitian 75%.

Lampiran A : Program konversi citra dan menghitung nilai karakteristik dominan (eigen value) untuk salah satu citra hasil rontgen pasien untuk jari tangan atau tulang belakang clear; clc; fb=fopen('fighand32B.m','w'); X=imread('fighand32B.bmp'); DX=double(X); COVDX=cov(DX); fprintf(fb,'\n Eigen Value S \n'); EIGDX=eigs(COVDX); fprintf(fb,'%9.2f\n',EIGDX); [VS,DS,FLAG]=eigs(COVDX); fprintf(fb,'\n VS \n'); fprintf(fb,'%9.2f',VS); fprintf(fb,'\n DS \n'); fprintf(fb,'%9.2f %9.2f %9.2f %9.2f %9.2f %9.2f\n',DS); fprintf(fb,'\n Flag \n'); fprintf(fb,'%9.2f\n',FLAG); SVDS=svds(COVDX) fprintf(fb,'\n SVDS : \n'); fprintf(fb,'%9.2f\n',SVDS); fprintf(fb,'\n Principal componen from covariance :'); [PC,LATENT,EXPLAINED]=pcacov(COVDX); fprintf(fb,'\n LATENT \n'); fprintf(fb,'%9.2f\n',LATENT); fprintf(fb,'\n Explained \n'); fprintf(fb,'%9.2f\n',EXPLAINED); fclose(fb); Hasil Program : DS 3427.13 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 651.93 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 484.60 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 321.38 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 300.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 215.76 Flag 0.00 SVDS : 3427.13 651.93 484.60 321.38 300.03 215.76 Principal componen from covariance : LATENT 3427.13 651.93 484.60 321.38 300.03

215.76 . . 124.75 116.84 100.28 . . 10.24 Lampiran B : Program Identifikasi Osteoporosis jari tangan clear; clc; fb=fopen('hand_osteoporosis.txt','w'); % A. Tahap pembelajaran jaringan % A.1 Deklarasi dan Inisialisasi jaringan neuron net1=newp([0 1;0 1;0 1;0 1;0 1;0 1],1); net2=newp([0 1;0 1;0 1;0 1;0 1;0 1],1); w1=net1.IW{1,1,1,1,1,1}; w2=net2.IW{1,1,1,1,1,1}; b1=net1.b{1}; b2=net2.b{1}; % A.2 Deklarasi matriks karakteristik p = [3576.21 939.27 679.76 449.09 198.51 113.72; % Non Osteoporosis 8645.87 1796.24 1303.69 891.36 578.65 437.60]; % Osteoporosis pTotal=p'; % A.3 Deklarasi Target t1 = [1 0]; t2 = [0 1]; % A.4 Proses Pembelajaran net1=train(net1,pTotal,t1); net2=train(net2,pTotal,t2); fprintf(fb,' Proses Pembelajaran :\n'); alearn=[sim(net1,pTotal)] fprintf(fb,'%4.0f\n',alearn); alearn=[sim(net2,pTotal)] fprintf(fb,'%4.0f\n',alearn); % B. Tahap Pelatihan % B.1 Deklarasi dan Inisialisasi Jaringan net11=newp([0 1;0 1;0 1;0 1;0 1;0 1],1); net21=newp([0 1;0 1;0 1;0 1;0 1;0 1],1); w1=net11.IW{1,1,1,1,1,1}; w2=net21.IW{1,1,1,1,1,1};

b1=net11.b{1}; b2=net21.b{1}; % B.2 Deklarasi Matriks p1=[335.32 80.94 65.41 43.98 38.31 30.42; % Non Oestoporosis 9905.41 1267.38 850.48 455.60 333.15 313.27] % Oestoporosis pTotal1=p1'; % B.3 Deklarasi Target t11 = t1; t21 = t2; % B.4 Proses Pelatihan net11=train(net11,pTotal1,t11); net21=train(net21,pTotal1,t21); fprintf(fb,' Proses Pelatihan :\n'); atrain=[sim(net11,pTotal1)] fprintf(fb,'%4.0f\n',atrain); atrain=[sim(net21,pTotal1)] fprintf(fb,'%4.0f\n',atrain); % C. Simulasi 1 % C.1 Deklarasi p2=[ 2773.59 664.44 511.99 434.36 284.16 167.42; % Oestoporosis 3427.13 651.93 484.60 321.38 300.03 215.76] % Oestoporosis pTotal2=p2'; % C.2 Proses Simulasi 1 net12=train(net11,pTotal2,t11); net22=train(net21,pTotal2,t21); fprintf(fb,' Proses Simulasi 1 :\n'); asim1=[sim(net12,pTotal2)] fprintf(fb,'%4.0f\n',asim1); asim1=[sim(net22,pTotal2)] fprintf(fb,'%4.0f\n',asim1); % D. Simulasi 2 % D.1 Deklarasi p3=[4079.93 1618.90 585.17 401.91 285.20 212.11; % Oestoporosis 5276.31 1360.98 1017.08 527.42 349.45 332.14] % Oestoporosis pTotal3=p3'; % D.2 Proses Simulasi 2 net13=train(net11,pTotal3,t11); net23=train(net21,pTotal3,t21); fprintf(fb,' Proses Simulasi 2 :\n'); asim2=[sim(net13,pTotal3)]

fprintf(fb,'%4.0f\n',asim2); asim2=[sim(net23,pTotal3)] fprintf(fb,'%4.0f\n',asim2); fclose(fb); Hasil Program Simulasi Identifikasi Osteoporosis Jari Tangan: alearn = 1 0 alearn = 0 1 p1 = 1.0e+003 * 0.3353 0.0809 0.0304 9.9054 1.2674 0.3133 atrain = 1 0 atrain = 0 1 p2 = 1.0e+003 * 2.7736 0.6644 0.1674 3.4271 0.6519 0.2158 asim1 = 1 0 asim1 = 0 1 p3 = 1.0e+003 * 4.0799 1.6189 0.2121 5.2763 1.3610 0.3321 asim2 = 1 0 asim2 = 0 1 >>

0.0654 0.8505

0.0440 0.4556

0.0383 0.3332

0.5120 0.4846

0.4344 0.3214

0.2842 0.3000

0.5852 1.0171

0.4019 0.5274

0.2852 0.3494

Lampiran C : Program Identifikasi Osteoporosis tulang belakang clear; clc; fb=fopen('tblk_osteoporosis.txt','w'); % A. Tahap pembelajaran jaringan % A.1 Deklarasi dan Inisialisasi jaringan neuron net1=newp([0 1;0 1;0 1;0 1;0 1;0 1],1); net2=newp([0 1;0 1;0 1;0 1;0 1;0 1],1); w1=net1.IW{1,1,1,1,1,1}; w2=net2.IW{1,1,1,1,1,1};

b1=net1.b{1}; b2=net2.b{1}; % A.2 Deklarasi matriks karakteristik p = [3069.08 645.25 376.56 237.73 190.51 188.82; % Non Osteoporosis 6811.66 1478.07 643.38 447.16 385.50 301.99]; % Osteoporosis pTotal=p'; % A.3 Deklarasi Target t1 = [1 0]; t2 = [0 1]; % A.4 Proses Pembelajaran net1=train(net1,pTotal,t1); net2=train(net2,pTotal,t2); fprintf(fb,' Proses Pembelajaran :\n'); alearn=[sim(net1,pTotal)] fprintf(fb,'%4.0f\n',alearn); alearn=[sim(net2,pTotal)] fprintf(fb,'%4.0f\n',alearn); % B. Tahap Pelatihan % B.1 Deklarasi dan Inisialisasi Jaringan net11=newp([0 1;0 1;0 1;0 1;0 1;0 1],1); net21=newp([0 1;0 1;0 1;0 1;0 1;0 1],1); w1=net11.IW{1,1,1,1,1,1}; w2=net21.IW{1,1,1,1,1,1}; b1=net11.b{1}; b2=net21.b{1}; % B.2 Deklarasi Matriks p1=[3010.15 465.79 256.03 199.84 165.16 156.58; % Non Oestoporosis 5089.67 1261.13 850.25 315.37 275.70 232.82] % Oestoporosis pTotal1=p1'; % B.3 Deklarasi Target t11 = t1; t21 = t2; % B.4 Proses Pelatihan net11=train(net11,pTotal1,t11); net21=train(net21,pTotal1,t21); fprintf(fb,' Proses Pelatihan :\n'); atrain=[sim(net11,pTotal1)] fprintf(fb,'%4.0f\n',atrain); atrain=[sim(net21,pTotal1)] fprintf(fb,'%4.0f\n',atrain); % C. Simulasi 1 % C.1 Deklarasi p2=[4549.79 747.55 403.22 266.76 184.85 144.86; % Non Oestoporosis 4972.53 1601.72 806.64 520.48 416.08 248.58] % Oestoporosis

pTotal2=p2'; % C.2 Proses Simulasi 1 net12=train(net11,pTotal2,t11); net22=train(net21,pTotal2,t21); fprintf(fb,' Proses Simulasi 1 :\n'); asim1=[sim(net12,pTotal2)] fprintf(fb,'%4.0f\n',asim1); asim1=[sim(net22,pTotal2)] fprintf(fb,'%4.0f\n',asim1); % D. Simulasi 2 % D.1 Deklarasi p3=[2569.80 1321.99 649.40 355.89 298.04 226.98; % Oestoporosis 3186.27 1044.13 653.16 455.95 287.69 245.14] % Oestoporosis pTotal3=p3'; % D.2 Proses Simulasi 2 net13=train(net11,pTotal3,t11); net23=train(net21,pTotal3,t21); fprintf(fb,' Proses Simulasi 2 :\n'); asim2=[sim(net13,pTotal3)] fprintf(fb,'%4.0f\n',asim2); asim2=[sim(net23,pTotal3)] fprintf(fb,'%4.0f\n',asim2); fclose(fb); Hasil Program Simulasi Identifikasi Osteoporosis Tulang Belakang alearn = 1 0 alearn = 0 1 p1 = 1.0e+003 * 3.0101 0.4658 0.1566 5.0897 1.2611 0.2328 atrain = 1 0 atrain = 0 1 p2 = 1.0e+003 * 4.5498 0.7475 0.1449 4.9725 1.6017 0.2486 asim1 = 1 0

0.2560 0.8502

0.1998 0.3154

0.1652 0.2757

0.4032 0.8066

0.2668 0.5205

0.1848 0.4161

asim1 = 0 1 p3 = 1.0e+003 * 2.5698 1.3220 0.2270 3.1863 1.0441 0.2451 asim2 = 1 0 asim2 = 0 1 >>

0.6494 0.6532

0.3559 0.4559

0.2980 0.2877

[CV Penulis] Mike Susmikanti, menyelesaikan studi S1 bidang Matematika Statistik pada Universitas Indonesia, dan sampai saat ini bekerja di Badan Tenaga Nuklir Nasional, Pusat Pengembangan Informasi Nuklir, bidang komputasi.

Anda mungkin juga menyukai