Anda di halaman 1dari 16

Asma

Asma adalah suatu keadaan di mana saluran nafas mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan; penyempitan ini bersifat sementara.

Penyebab
Pada penderita asma, penyempitan saluran pernafasan merupakan respon terhadap rangsangan yang pada paru-paru normal tidak akan mempengaruhi saluran pernafasan. Penyempitan ini dapat dipicu oleh berbagai rangsangan, seperti serbuk sari, debu, bulu binatang, asap, udara dingin dan olahraga. Pada suatu serangan asma, otot polos dari bronki mengalami kejang dan jaringan yang melapisi saluran udara mengalami pembengkakan karena adanya peradangan dan pelepasan lendir ke dalam saluran udara. Hal ini akan memperkecil diameter dari saluran udara (disebut bronkokonstriksi) dan penyempitan ini menyebabkan penderita harus berusaha sekuat tenaga supaya dapat bernafas. Sel-sel tertentu di dalam saluran udara (terutama sel mast) diduga bertanggungjawab terhadap awal mula terjadinya penyempitan ini. Sel mast di sepanjang bronki melepaskan bahan seperti histamin dan leukotrien yang menyebabkan terjadinya: - kontraksi otot polos - peningkatan pembentukan lendir - perpindahan sel darah putih tertentu ke bronki. Sel mast mengeluarkan bahan tersebut sebagai respon terhadap sesuatu yang mereka kenal sebagai benda asing (alergen), seperti serbuk sari, debu halus yang terdapat di dalam rumah atau bulu binatang. Tetapi asma juga bisa terjadi pada beberapa orang tanpa alergi tertentu. Reaksi yang sama terjadi jika orang tersebut melakukan olah raga atau berada dalam cuaca dingin. Stres dan kecemasan juga bisa memicu dilepaskannya histamin dan leukotrien. Sel lainnya (eosnofil) yang ditemukan di dalam saluran udara penderita asma melepaskan bahan lainnya (juga leukotrien), yang juga menyebabkan penyempitan saluran udara.

Gejala
Frekuensi dan beratnya serangan asma bervariasi. Beberapa penderita lebih sering terbebas dari gejala dan hanya mengalami serangan serangan sesak nafas yang singkat dan ringan, yang terjadi sewaktu-waktu. Penderita lainnya hampir selalu mengalami batuk dan mengi (bengek) serta mengalami serangan hebat setelah menderita suatu infeksi virus, olah raga atau setelah terpapar oleh alergen maupun iritan. Menangis atau tertawa keras juga bisa menyebabkan timbulnya gejala.

Suatu serangan asma dapat terjadi secara tiba-tiba ditandai dengan nafas yang berbunyi (wheezing, mengi, bengek), batuk dan sesak nafas. Bunyi mengi terutama terdengar ketika penderita menghembuskan nafasnya. Di lain waktu, suatu serangan asma terjadi secara perlahan dengan gejala yang secara bertahap semakin memburuk. Pada kedua keadaan tersebut, yang pertama kali dirasakan oleh seorang penderita asma adalah sesak nafas, batuk atau rasa sesak di dada. Serangan bisa berlangsung dalam beberapa menit atau bisa berlangsung sampai beberapa jam, bahkan selama beberapa hari. Gejala awal pada anak-anak bisa berupa rasa gatal di dada atau di leher. Batuk kering di malam hari atau ketika melakukan olah raga juga bisa merupakan satu-satunya gejala. Selama serangan asma, sesak nafas bisa menjadi semakin berat, sehingga timbul rasa cemas. Sebagai reaksi terhadap kecemasan, penderita juga akan mengeluarkan banyak keringat. Pada serangan yang sangat berat, penderita menjadi sulit untuk berbicara karena sesaknya sangat hebat. Kebingungan, letargi (keadaan kesadaran yang menurun, dimana penderita seperti tidur lelap, tetapi dapat dibangunkan sebentar kemudian segera tertidur kembali) dan sianosis (kulit tampak kebiruan) merupakan pertanda bahwa persediaan oksigen penderita sangat terbatas dan perlu segera dilakukan pengobatan. Meskipun telah mengalami serangan yang berat, biasanya penderita akan sembuh sempurna, Kadang beberapa alveoli (kantong udara di paru-paru) bisa pecah dan menyebabkan udara terkumpul di dalam rongga pleura atau menyebabkan udara terkumpul di sekitar organ dada. Hal ini akan memperburuk sesak yang dirasakan oleh penderita.

Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya yang khas. Untuk memperkuat diagnosis bisa dilakukan pemeriksaan spirometri berulang. Spirometri juga digunakan untuk menilai beratnya penyumbatan saluran udara dan untuk memantau pengobatan. Menentukan faktor pemicu asma seringkali tidak mudah. Tes kulit alergi bisa membantu menentukan alergen yang memicu timbulnya gejala asma. Jika diagnosisnya masih meragukan atau jika dirasa sangat penting untuk mengetahui faktor pemicu terjadinya asma, maka bisa dilakukan bronchial challenge test.

Pengobatan

Obat-obatan bisa membuat penderita asma menjalani kehidupan normal. Pengobatan segera untuk mengendalikan serangan asma berbeda dengan pengobatan rutin untuk mencegah serangan. Agonis reseptor beta-adrenergik merupakan obat terbaik untuk mengurangi serangan asma yang terjadi secara tiba-tiba dan untuk mencegah serangan yang mungkin dipicu oleh olahraga. Bronkodilator ini merangsang pelebaran saluran udara oleh reseptor beta-adrenergik. Bronkodilator yang yang bekerja pada semua reseptor beta-adrenergik (misalnya adrenalin), menyebabkan efek samping berupa denyut jantung yang cepat, gelisah, sakit kepala dan tremor (gemetar) otot. Bronkodilator yang hanya bekerja pada reseptor beta2-adrenergik (yang terutama ditemukan di dalam sel-sel di paru-paru), hanya memiliki sedikit efek samping terhadap organ lainnya. Bronkodilator ini (misalnya albuterol), menyebabkan lebih sedikit efek samping dibandingkan dengan bronkodilator yang bekerja pada semua reseptor beta-adrenergik. Sebagian besar bronkodilator bekerja dalam beberapa menit, tetapi efeknya hanya berlangsung selama 4-6 jam. Bronkodilator yang lebih baru memiliki efek yang lebih panjang, tetapi karena mula kerjanya lebih lambat, maka obat ini lebih banyak digunakan untuk mencegah serangan. Bronkodilator tersedia dalam bentuk tablet, suntikan atau inhaler (obat yang dihirup) dan sangat efektif. Penghirupan bronkodilator akan mengendapkan obat langsung di dalam saluran udara, sehingga mula kerjanya cepat, tetapi tidak dapat menjangkau saluran udara yang mengalami penyumbatan berat. Bronkodilator per-oral (ditelan) dan suntikan dapat menjangkau daerah tersebut, tetapi memiliki efek samping dan mula kerjanya cenderung lebih lambat. Jenis bronkodilator lainnya adalah theophylline. Theophylline biasanya diberikan per-oral (ditelan); tersedia dalam berbagai bentuk, mulai dari tablet dan sirup short-acting sampai kapsul dan tablet long-acting. Pada serangan asma yang berat, bisa diberikan secara intravena (melalui pembuluh darah). Jumlah theophylline di dalam darah bisa diukur di laboratorium dan harus dipantau secara ketat, karena jumlah yang terlalu sedikit tidak akan memberikan efek, sedangkan jumlah yang terlalu banyak bisa menyebabkan irama jantung abnormal atau kejang. Pada saat pertama kali mengkonsumsi theophylline, penderita bisa merasakan sedikit mual atau gelisah. Kedua efek samping tersebut, biasanya hilang saat tubuh dapat menyesuaikan diri dengan obat. Pada dosis yang lebih besar, penderita bisa merasakan denyut jantung yang cepat atau palpitasi (jantung berdebar). Juga bisa terjadi insomnia (sulit tidur), agitasi (kecemasan, ketakuatan), muntah, dan kejang. Corticosteroid menghalangi respon peradangan dan sangat efektif dalam mengurangi gejala asma. Jika digunakan dalam jangka panjang, secara bertahap corticosteroid akan menyebabkan berkurangnya kecenderungan terjadinya serangan asma dengan mengurangi kepekaan saluran udara terhadap sejumlah rangsangan. Tetapi penggunaan tablet atau suntikan corticosteroid jangka panjang bisa menyebabkan:

gangguan proses penyembuhan luka terhambatnya pertumbuhan anak-anak hilangnya kalsium dari tulang perdarahan lambung katarak prematur peningkatan kadar gula darah penambahan berat badan kelaparan kelainan mental.

Tablet atau suntikan corticosteroid bisa digunakan selama 1-2 minggu untuk mengurangi serangan asma yang berat. Untuk penggunaan jangka panjang biasanya diberikan inhaler corticosteroid karena dengan inhaler, obat yang sampai di paru-paru 50 kali lebih banyak dibandingkan obat yang sampai ke bagian tubuh lainnya. Corticosteroid per-oral (ditelan) diberikan untuk jangka panjang hanya jika pengobatan lainnya tidak dapat mengendalikan gejala asma. Cromolin dan nedocromil diduga menghalangi pelepasan bahan peradangan dari sel mast dan menyebabkan berkurangnya kemungkinan pengkerutan saluran udara. Obat ini digunakan untuk mencegah terjadinya serangan, bukan untuk mengobati serangan. Obat ini terutama efektif untuk anak-anak dan untuk asma karena olah raga. Obat ini sangat aman, tetapi relatif mahal dan harus diminum secara teratur meskipun penderita bebas gejala. Obat antikolinergik (contohnya atropin dan ipratropium bromida) bekerja dengan menghalangi kontraksi otot polos dan pembentukan lendir yang berlebihan di dalam bronkus oleh asetilkolin. Lebih jauh lagi, obat ini akan menyebabkan pelebaran saluran udara pada penderita yang sebelumnya telah mengkonsumsi agonis reseptor beta2-adrenergik. Pengubah leukotrien (contohnya montelucas, zafirlucas dan zileuton) merupakan obat terbaru untuk membantu mengendalikan asma. Obat ini mencegah aksi atau pembentukan leukotrien (bahan kimia yang dibuat oleh tubuh yang menyebabkan terjadinya gejala-gejala asma).

Pengobatan

Pengobatan untuk serangan jantung


Suatu serangan asma harus mendapatkan pengobatan sesegera mungkin untuk membuka saluran pernafasan. Obat yang digunakan untuk mencegah juga digunakan untuk mengobati asma, tetapi dalam dosis yang lebih tinggi atau dalam bentuk yang berbeda. Agonis reseptor beta-adrenergik digunakan dalam bentuk inhaler (obat hirup) atau sebagai nebulizer (untuk sesak nafas yang sangat berat). Nebulizer mengarahkan udara atau oksigen dibawah tekanan melalui suatu larutan obat, sehingga menghasilkan kabut untuk dihirup oleh penderita. Pengobatan asma juga bisa dilakukan dengan memberikan suntikan epinephrine atau terbutaline di bawah kulit dan aminophylline (sejenis theophylline) melalui infus intravena. Penderita yang mengalami serangan hebat dan tidak menunjukkan perbaikan terhadap pengobatan lainnya, bisa mendapatkan suntikan corticosteroid, biasanya secara intravena (melalui pembuluh darah). Pada serangan asma yang berat biasanya kadar oksigen darahnya rendah, sehingga diberikan tambahan oksigen. Jika terjadi dehidrasi, mungkin perlu diberikan cairan intravena. Jika diduga terjadi infeksi, diberikan antibiotik. Selama suatu serangan asma yang berat, dilakukan:

pemeriksaan kadar oksigen dan karbondioksida dalam darah pemeriksaan fungsi paru-paru (biasanya dengan spirometer atau peak flow meter) pemeriksaan rontgen dada.

Pengobatan Jangka Panjang


Salah satu pengobatan asma yang paling efektif adalah inhaler yang mengandung agonis reseptor beta-adrenergik. Penggunaan inhaler yang berlebihan bisa menyebabkan terjadinya gangguan irama jantung.

Jika pemakaian inhaler bronkodilator sebanyak 2-4 kali/hari selama 1 bulan tidak mampu mengurangi gejala, bisa ditambahkan inhaler corticosteroid, cromolin atau pengubah leukotrien. Jika gejalanya menetap, terutama pada malam hari, juga bisa ditambahkan theophylline per-oral.

Pencegahan
Serangan asma dapat dicegah jika faktor pemicunya diketahui dan bisa dihindari. Serangan yang dipicu oleh olah raga bisa dihindari dengan meminum obat sebelum melakukan olah raga

Senin, 23 Maret 2009


hipersensitivitas

Imunoterapi Anti-IgE Terhadap Penderita Asma Bronchial


Imunoterapi Anti-IgE Terhadap Penderita Asma Bronchial (Anti-IgE Immunotherapy For Bronchial Asthma Victim) HARRY MULYONO Abstract : Asthma is one of hypersensitivity reaction example (tipe I) that mediated by IgE. IgE play important role asthma reaction. Initially inhalant allergen was recognized by antigen presenting cell (APC). After recognized, allergen is processed and present to T cell. T cell respon by interleukins producing that stimulate B cell for producing Ig-E. This antibody binds mast cell and basofil at high affinity receptor on surface of mast cell and basofil. Ig-E binding induces degranulation of mast cell and basofill that release inflammatory mediators (i.e histamin). Using recombinant monoclonal Anti-IgE is one of example for asthma immunotherapy. Recombinant monoclonal Anti-IgE reduces direct binding of IgE on mast cell and basofil surface. Because IgE cannot interact with inflammatory cell (I,e mast cell, basofil), so that, hypersensitivity can be reduced. Keywords ; asthma, immunotherapy, hypersensitivity, anti-IgE. Abstraksi : Asma merupakan salah satu contoh reaksi hipersensitivitas (tipe I) yang termediasi ileh Ig-E. Ig-E memegang peranan penting dalam reaksi asma. Berawal dari allergen yang terhirup dikenali oleh antigen presenting cell (APC). Setelah dikenali, allergen diproses dan dipresentasikan menuju sel T. sel T membrikan respom berupa interleukin yang menstimulasi sel B untuk memproduksi Ig-E. antibody ini mengikat mast cell dan basofil pada reseptor berafinitas tinggi di permukaan mast cell dan basofil. Ikatan Ig-E menginduksi degranulasi mast cell dan basofil sehingga melepaskan mediator inflamasi (seperti histamin). Penggunaan rekombinan monoclonal anti-IgE adalah satu contoh imunoterapi asma.

Rekombinan monoclonal anti-IgE menghambat ikatan langsing IgE pada permukaan mast cell dan basofil. Karena IgE tidak dapat berinteraksi dengan sel inflamasi (seperti mast cell , basofil), sehingga reaksi hipersensitivitas dan dikurangi (direduksi). Kata kunci : asma, imunoterapi, hipersensitivitas, anti-IgE.

Pendahuluan
Asma bronchial merupakan salah satu reaksi contoh reaksi allergy berupa peradangan (inflamasi) pada saluran pernafasan. Secara imunologi, asma termasuk dalam reaksi hipersensitivitas tipe I yang termediasi oleh Ig-E. Berbagai macam penelitian tentang allergy asma bronchial telah dilakukan. Namun penelitian tersebut masih harus diperbaiki terkait dengan peningkatan keakuratan dalam medikasi. Contoh penelitian tersebut antara lain penekanan jumlah eosinofil dengan penggunaan adjuvant (interleukin-12). Penelitian ini didasarkan pada penemuan jumlah eosinofil pada penderita asma. Namun meskipun dengan eliminasi eosinofil oleh IL-12 berhasil, hal ini tidak menurunkan hiperreaktivitas saluran pernafasan pada penderita asma. Dalam karya ilmiah ini akan dibahas secara singkat tentang imunoterapi dengan rekombinan monoclonal anti-IgE. Metode yang digunakan dalam karya tulis ini berupa study pustaka dari beberapa sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.

Isi

Sistem imun
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut system imun dan reaksi yang dikoordinasi sel-sel dan molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respon imun. System imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup.1 Pada masa sekarang arti respon imun sudah lebih luas, yang dasarnya mencakup pengertian pengaruh zat atau benda asing bagi suatu makhluk hidup, denagn segala rangkaian kejadian yang melibatkan system retikuloendotelial. Rangkaian kejadian yang dimaksud mencakup netralisasi,

metabolism ataupun penyingkiran zat asing tersebut dengan atau tanpa akibat berupa gangguan pada makhluk hidup yang bersangkutan.2

Reaksi hipersensitivitas
System imun merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam perlindungan terhadap penyakit, tapi kadang terjadi reaksi yang berlebihan di dalam tubuh dalam rangka melakukan fungsi proteksi tersebut yang disebut reaksi hipersensitivitas. Gell dan coombs membagi reaksi hipersensitivitas emnjadi 4 :  Tipe I : reaksi hipersensitivitas terjadi dengan mediator antobodi IgE, yang berikatan dengan mast cell. Ketika berikatan dengan antigen, IgE memacu pecahnya mast cell yang mengeluarkan mediator yang bertanggung jawab terhadap gejala anafilaksis. Reaksi bersifat cepat, Nampak beberapa menit setelah terpapar antigen.  Tipe II : sitolitik atau reaksi sitoklasik terjadi saat antibody IgM atau IgG berikatan dengan antigen pada permukaan sel dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan sel.  Tipe III : reaksi imun komplek terjadi, ketika komplek antigen dan antibody IgM atau IgG terakumulasi di sirkulasi atau pada jaringan yang mengaktifkan komplemen. Granulosit ikut dalam reaksi dan menyebabkan kerusakan pada sel dari terlepasnya enzim lisis dari granulosit. Reaksi Nampak dalam beberapa jam setelah terpapar dengan antigen.  Tipe IV : reaksi cell mediated immunity (CMI) atau hipersensitivitas tipe lambat (delayed type hipersensitivity) atau reaksi tuberculin yang terjadi dengan mediator sel T. Aktivitas sel T menyebabkan terlepasnya limfokin yang menyebabkan kerusakan local. Reaksi tipe ini memiliki onset yang lambat dan Nampak setelah 1-2 hari terpapar antigen.3

Pathogenesis Asma bronchial


Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran napas yang berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas dan batuk terutama pada malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan luas inflamasi, menyebabkan obstruksi saluran napas yang bervariasi derajatnya dan bersifat reversibel secara spontan maupun

dengan pengobatan. Pada asma khas ditandai dengan peningkatan eosinofil, mast cell, makrofag serta limfosit-T di lumen dan mukosa saluran napas. Proses ini dapat terjadi pada asma yang asimptomatik dan bertambah berat sesuai dengan berat klinis penyakit.4 Antigen-presenting cells / APC (seperti makrofag, sel dendritik) pada saluran pernafasan menangkap, memproses dan mempresentasikan antigen menuju sel T helper, sehingga sel T helper teraktivasi dan menskresikan sitokin. Sel T helper dapat terinduksi dan berkembang (berdeferensiasi) menjadi Th1 (contoh sekresi : , interferon-gamma, interleukin [IL] 2) atau TH2 (contoh sekresi : IL-4, IL-5, IL-9, IL-13). Sekresi sitokin tersebut mengakibatkan sel B memproduksi antibody Ig E (yang spesifik terhadap allergen3) dan pengerahan eosinofil.5 Dalam keadaan normal, IgE dalam serum kadarnya berkisar antara 0,1-0,4 ug/ml, apabila tubuh tersensitisasi oleh allergen lua, maka kadar IgE meningkat lebih dari 1mg/ml dan disebut IgE yang tersensitasi. IgE yang tersensitasi memiliki dua reseptor spesifik Fc-epsilon-RI dan Fc-epsilon-RII. Fcepsilon-RI IgE akan berikatan dengan Fc-R pada permukaan mast-cell dan sel basofil.6 Ikatan antara Fc-epsilon-RI IgE dengan dinding mast cell, akan meningkatkan cairan membrane sehingga terbentuk peningkatan kanal kalsium (Ca++). Peningkatan kanal Ca++ akan meningkatkan uptake Ca++ ke dalam intrasel. Peningkatan Ca++ intrasel akan merangsang reticulum endoplasma untuk membentuk granulasi.6 Degranulasi mast cell akan mengeluarkan mediator mast cell seperti histamine dan protease sehingga berakibat respon allergy berupa asma.5 Histamin berasal dari sintesis histidin dalam aparatus Golgi di mast cell dan basofil. Histamin mempengaruhi saluran napas melalui tiga jenis reseptor. Rangsangan pada reseptor H-1 akan menyebabkan bronkokonstriksi, aktivasi refleks sensorik dan meningkatkan permeabilitas vaskular serta epitel. Rangsangan reseptor H-2 akan meningkatkan sekresi mukus glikoprotein. Rangsangan reseptor H3 akan merangsang saraf sensorik dan kolinergik serta menghambat reseptor yang menyebabkan sekresi histamin dari mast cell.

Imunoterapi anti Ig-E terhadap penderita asma bronchial

Omalizumab (xolair, genentech) merupakan IgG1 manusia rekombinan monoclonal (anti IgE) yang berikatan dengan molekul IgE di epitop yang sama pada bagian Fc yang berikatan dengan Fcepsilon RI. Desain ini menunjukan bahwa omalizumab bukan anafilaktogenik, karena omalizumab tidak berinteraksi dengan IgE, yang bersiap untuk berikatan dengan permukaan sel dan tidak menginduksi degranulasi pada mast cell atau basofil. Selain itu, omalizumab mengikat sirkulasi IgE dengan mengabaikan allergen spesifik, secara biologi ikatan komplek IgE- anti IgE tanpa mengaktifkan komplemen. 7 Rekombinan antibody manusia monoclonal (rhuMAb-E-25) telah dikembangkan dengan mengimunisasi tikus dengan IgE. Antibody monoclonal terpilih dengan mengenal IgE pada tempat yang sama yaitu reseptor berafinitas tinggi untuk IgE (Fc-epsilon-RI). Antibody monoclonal ini membentuk ikatan kompleks dengan IgE bebas (tak berikat) selain IgG atau IgA. Antibody monoclonal ini memblok ikatan IgE ke cell membrane receptor , sehingga menghambat pelepasan mediator, tetapi tidak mengikat ikatan sel IgE. 8 Penggunaan antibody monoclonal (rhuMAb-E-25) menurunkan konsentrasi serum IgE segera setelah penyuntikan pertama, rangkaian terapy, memperpendek reaksi fase awal dan akhir terhadap allergen yang terhisap.8 Saat ini anti IgE disetujui oleh FDA dan tersedia di Amerika untuk terapi asma. Telah ditunjukan sangat efektif dalam mengeblok respon hipersensitivitas tipe segera dengan jalan mengeblok degranulasi mast cell, yang mana ini merupakan masalah yang sangat besar dalam fase ekskalasi dari imunoterapi allergen konvensional. Bila anti-IgE mAb diberikan sebelum dimulainya imunoterapi konvensional, fase ekskalasi imunoterapi dapat diperpendek tetapi allergen tetap dapat menginduksi pengaturan sel T.6

Kesimpulan
1. Asma merupakan salah satu contoh reaksi hipersensitivitas tipe I yang termediasi oleh Ig-E 2. Ig-E memegang peranan penting dalam patofisiologi asma

3. Ig-E yang berikatan dengan permukaan mast cell dan basofil melalui reseptor Fc-epsilon-RI dan Fc akan menstimulasi pelepasan mediator inflamasi (seperti histamin) yang berakibat reaksi hipersensitivitas tipe I berupa asma allergy. 4. Rekombinan monoclonal anti-IgE dapat mereduksi ikatan Ig-E dengan sel Inflamasi (seperti mast cell dan basofil) sehingga menghambat terjadinya reaksi asma allergy. 5. Antibody monoclonal manusia secara langsung melawan IgE sebagai pengobatan pada allergy asma.8

Ucapan Terimakasih
1. Syukur Alhamdulillah kepada Allah subhanahu wa ta ala yang telah member kemudahan dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini. 2. Ucrapan terimakasih kepada kedua orang tua yang selalu memberi doa dan mendukung dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini 3. Ucapan terimakasih kepada Universitas Sebelas Maret yang menyelenggaran symposium the latest perspective of allergy 4. Ucapan terimakasih kepada semua teman-temanku yang mendukung dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini khususnya Lala FK Unissula 2007, Mbak Pamela FK Unissula 2005, Sandra FK Unissula 2007.

Daftar Pustaka
1. Baratawidjaja, K Garna. 2004. IMUNOLOGI DASAR. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. Hal.1 2. Bagian Farmakologi FKUI. 1998. FARMAKOLOGI DAN TERAPI. Gaya Baru : Jakarta. Hal.702 3. Anan, MK. 2004. HYPERSENSITIVITY REACTION, IMMEDIATE. Emedicine Specialties.
Http://www.emedicine.com/emedicinespecialties/allergy/pathogenesis.htm

4. Indah Rahmawati dkk. 2003. Patogenesis dan Patofisiologi Asma. Cermin Dunia Kedokteran.
Http://kalbe.co.id

5. Kelly, William. 2006. Allergic and Environmental Asthma. Emedicine Specialties.


http://www.emedicine.com/med/allergAsthma.htm

6. Guntur, AH. 2004. One airway one disease. Perspektif Masa Depan Imunologi-infeksi. Edisi I. editor: Reviono. Sebelas Maret University Press : Surakarta 7. Strunk, Robert C dkk. 2006. Omalizumab for Asthma. www.nejm.org 8. Milgrom, Henry dkk. 1999. Treatment of Allergic Asthma with Monoclonal Anti-IgE Antibody.
www.nejm.org

PERAWATAN ASMA BRONKIAL PENGERTIAN Asma adalah keadaan klinik yang ditandai oleh masa penyempitan bronkus yang refersibel, dipisahkan oleh masa dimana ventilasi relatif. . ETIOLOGI Sampai saat ini etiologi asma belum diketahui dengan pasti, suatu hal yang menonjol pada semua penderita asma adalah fenomena hiperreaktivitas bronkus. Bronkus penderita asma sangat peka terhadap rangsangan imunologi maupun non imunologi. Karena sifat inilah maka serangan asma mudah terjadi akibat berbagai rangsangan baik fisis, metabolik, kimia, alergen, infeksi dan sebagainya. Rangsangan atau pencetus yang sering menimbulkan asma perlu diketahui dan sedapat mungkin dihindarkan. Fakrtor-faktor tersebut adalah : 1. Alergen utama debu rumah, spora jamur dan tepung sari rerumputan 2. Iritan seperti asap, bau-bauan, polutan 3. Infeksi salutran nafas terutama yang disebabkan oleh virus 4. Perubahan cuaca yang ekstrim 5. Kegiatan jasmani yang berlebihan 6. Lingkungan kerja 7. Obat-obatan 8. Emosi 9. Lain-lain seperti refluks gastro esofagus. PATHOFISIOLOGI Pencetus serangan (alergen, emosi/stress, obat-obatan, infeksi) Kontraksi otot polos Edema mukusa Hipersekresi Penyempitan saluran pernapasan (obstruksi) Hipoventilasi distribusi ventilasi tak merata dengan sirkulasi darah paru Gangguan difusi gas di alveoli

Hipoxemia Hiperkarpia

TANDA DAN GEJALA Objektif : Sesak napas yang berat dengan ekspirasi disertai wheesing Dapat disertai batuk dengan sputum kental, sukar dikeluarkan Bernapas dengan menggunakan otot-otot tambahan Sianosis, takikardi, gelisah, pulsus paradoksus Fase ekspirium memanjang disertai wheesing (di apeks dan hilus) Subyektif : Klien merasa sukar bernapas, sesak, dan anoreksia Psikososial : Klien cemas, takut, dan mudah tersinggung Kurangnya pengetahuan klien terhadap situasi penyakitnya Hasil Pemeriksaan Spirometri : Peningkatan FEV, atau FVC sebanyak 20 % Pemeriksaan Radiologi : Pada umumnya normal. Dilakukan tindakan bila ada indikasi patologi di paru, misalnya: Pneumothorak, atelektasis, dll. Analisa Gas darah : Hipoxemia, Hiperkapnia, Asidosis Respiratorik. Pemeriksaan Sputum : Adanya eosinofil Kristal charcot Leyden Spiral Churschmann Miselium Asoergilus Fumigulus Pemeriksaan darah : Jumlah eosinofil meningkat. PENATALAKSANAAN Prinsip-prinsip penatalaksanaan asma bronkial: Diagnosis status asmatikus. Faktor penting yang harus diperhatikan : Saatnya serangan Obat-obatan yang telah diberikan (macam obatnya dan dosisnya) Pemberian obat bronchodilator Penilaian terhadap perbaikan serangan Pertimbangan terhadap pemberian kortikosteroid Setelah serangan mereda : Cari faktor penyebab Modifikasi pengobatan penunjang selanjutnya OBAT-OBATAN Bronchodilator Tidak digunakan alat-alat bronchodilator secara oral, tetapi dipakai secara inhalasi atau parenteral. Jika

sebelumnya telah digunakan obat golongan simpatomimetik, maka sebaiknya diberikan aminofilin secara parenteral sebab mekanisme yang berlainan, demikian sebaliknya, bila sebelumnya telah digunakan obat golongan Teofilin oral maka sebaiknya diberikan obat golongan simpatomimetik secara aerosol atau parenteral. Obat-obat bronchodilator golongan simpatomimetik bentuk selektif terhadap adreno reseptor (Orsiprendlin, Salbutamol, Terbutalin, Ispenturin, Fenoterol ) mempunyai sifat lebih efektif dan masa kerja lebih lama serta efek samping kecil dibandingkan dengan bentuk non selektif (Adrenalin, Efedrin, Isoprendlin) Obat-obat Bronkhodilatator serta aerosol bekerja lebih cepat dan efek samping sistemik lebih kecil. Baik digunakan untuk sesak nafas berat pada anak-anak dan dewasa. Mula-mua diberikan 2 sedotan dari suatu metered aerosol defire ( Afulpen metered aerosol ). Jika menunjukkan perbaikan dapat diulang tiap 4 jam, jika tidak ada perbaikan sampai 10 - 15 menit berikan aminofilin intravena. Obat-obat Bronkhodilatator Simpatomimetik memberi efek samping takhikardi, penggunaan perentral pada orang tua harus hati-hati, berbahaya pada penyakit hipertensi, kardiovaskuler dan serebrovaskuler. Pada dewasa dicoba dengan 0,3 ml larutan epineprin 1 : 1000 secara subkutan. Anakanak 0.01mg / kg BB subkutan (1mg per mil ) dapat diulang tiap 30 menit untuk 2 - 3 x tergantung kebutuhan. Pemberian Aminophilin secara intrvena dosis awal 5 - 6 mg/kg BB dewasa/anak-anak, disuntikan perlahan-lahan dalam 5 - 10 menit. untuk dosis penunjang 0,9 mg/kg BB/jam secara infus. Efek samping TD menurun bila tidak perlahan-lahan. Kortikosteroid Jika pemberian obat-obat bronkhodilatator tidak menunjukkan perbaikan, dilanjutkan dengan pengobatan kortikosteroid . 200 mg hidrokortison atau dengan dosis 3 - 4 mg/kg BB intravena sebagai dosis permulaan dapat diulang 2 - 4 jam secara parenteral sampai serangan akut terkontrol, dengan diikuti pemberian 30 - 60 mg prednison atau dengan dosis 1 - 2 mg/kg BB/hari secara oral dalam dosis terbagi, kemudian dosis dikurangi secara bertahap. Pemberian Oksigen Melalui kanul hidung dengan kecepatan aliran O2 2-4 liter/menit dan dialirkan melalui air untuk memberi kelembaban. Obat Ekspektoran seperti Gliserolguayakolat dapat juga digunakan untuk memperbaiki dehidrasi, maka intik cairan peroral dan infus harus cukup, sesuai dengan prinsip rehidrasi, antibiotik diberikan bila ada infeksi. Prioritas masalah Keperawatan : Mempertahankan jalan nafas Mengkaji untuk fasilitas pertukaran gas/ gangguan pertukaran gas Meningkatkan intake nutrisi Mencegah komplikasi, kondisi progresif yang lambat Berikan imformasi tentang proses penyakit Cemas

Diagnosa Keperawatan yang mungkin timbul : Gangguan jalan nafas sehubungan dengan Brokhospasme, peningkatan produksi sekret ( sekret yang tertahan, kental) , menurunnya energi/fatique. Gangguan pertukaran gas sehubungan dengan kurangnya suplai oksigin (obstruksi jalan nafas karena sekret, bronkhospasme, air trapping) obstruksi alveoli. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan sehubungan dengan dyspnea, fatique, efek samping obatobatan, produksi sputum, anoreksia, nausea/vomiting. Potensial terjadi infeksi sehubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer (penurunan aktifitas, cilia, statis sekret) tidak adekuatnya kekebalan (destruksi jaringan, proses penyakit kronik, malnutrisi). Kurangnya pengetahuan (kebutuhan belajar) , kondisi kesehatan, pengobatan, kurang imformasi. Mekanisme koping yang tidak efektif sehubungan dengan cemas. Gangguan aktivitas sehubungan dengan tidak seimbangnya kebutuhan dan pemenuhan oksigen. DAFTAR PUSTAKA Soeparman,Sarwono Waspadji, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II,Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1990 Sylvia Anderson Price, Pato Fisiologi Proses-Proses Penyakit, Buku Pertama, Edisi Empat,EGC,Jakarta,1994 Marilyn E Doenges, Nursing Care Plans, F.A. Davis Company, Philadelphia, 1993 SELENGKAPNYA di: PERAWATAN ASMA BRONKIAL askep-askeb-kita.blogspot.com | asuhankeperawatan-kebidanan.co.cc

Anda mungkin juga menyukai