Anda di halaman 1dari 3

Sejarah Agama Hindu di Bali

Keberadaan agama hindu di Bali merupakan kelanjutan dari agama Hindu yang berkembang di Jawa. Agama Hindu datang ke Bali disertai oleh agama Budha. Dalam perkembangannya kedua agama tersebut berakulturasi dengan harmonis dan damai. Kejadian ini sering disebut dengan sinkritisme Siwa Budha. Sebelum pengaruh Hindu berkembang di Bali, masyarakatnya telah mengenal sistem kepercayaan dan pemujaan seperti berikut. a) b) Kepercayaan kepada gunung sebagai tempat suci. Gunung oleh masyarakat Bali dipandang sebagai tempat bersemayamnya para roh nenek-moyang yang telah disucikan. Sistem penguburan yang menggunakan sarkofagus (peti mayat). Setiap orang yang meninggal dikubur dengan kepala menghadap arah gunung dan kakinya arah laut. Hal ini memberikan inspirasi kepada kita bahwa gunung dan laut disimbolkan sebagai ulu dan teben, kepala dan kaki, purusa dan predana, serta utama mandala dan nista mandala. Kepercayaan adanya alam sekala dan niskala. Alam sekala merupakan tempat hidup dan kehidupan manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Alam niskala diyakini sebagai tempat bersemayamnya Ida Sang Hyang Widhi beserta manifestasi-Nya dan roh suci manusia setelah meninggalkan jasadnya. Kepercayaan adanya penjelmaan (Punarbhawa). Masyarakat Bali Hindu percaya bahwa roh seseorang yang meninggalkan badan kasarnya setelah kurun waktu tertentu menjelma kembali kedunia nyata ini. Kepercayaan bahwa roh nenek moyang orang bersangkutan dapat setiap saat memberikan perlindungan, petunjuk, sinar, dan tuntunan rohani kepada generasinya.

c)

d)

e)

Demikianlah, sistem kepercayaan masyarakat Bali sebelum pengaruh ajaran Hindu datang ke Bali. Sistem kepercayaan masyarakat Bali tampak memiliki pola sangat sederhana. Setelah datangnya Maharsi Markhandeya di Bali, pola kepercayaan yang sederhana itu kembali disempurnakan. Keterangan tentang Maharsi Markhandeya menyeberkan pengaruh Hindu di Bali dapat diketahui melalui kitab Markhandeya Purana. Kitab tersebut menyatakan bahwa untuk pertama kalinya pengaruh Hindu di Bali disebarkan oleh Maharsi Markhandeya. Beliau datang ke Bali diperkirakan sekitar abad ke 4-5 Masehi melalui Gunung Semeru (Jawa Timur) menuju daerah Gunung Agung (Tolangkir) dengan tujuan hendak membangun asrama atau penataran. Kedatangan beliau untuk pertama kalinya diikuti oleh 400 orang pengiring, namun dikisahkan kurang berhasil. Setelah pulang ke Jawa, beliau kembali datang ke Bali dengan pengiring sebanyak 2000 orang. Kedatangan beliau yang kedua berhasil menanam panca datu di kaki Gunung Agung (Besakih) sekarang. Di tempat inilah sekarang, Pura Besakih berdiri. Selanjutnya dikisahkan bahwa Maharsi Markhandeya berkehendak merambas Tuhan untuk dijadikan sawah guna meningkatkan kesejahteraan para pengiringnya. Hutan yang dirambas itu bernama Desa Sarwada sekarang bernama Desa Taro. Di Desa Sarwada inilah beliau mendirikan tempat suci, beliau meninggalkan sebuah prasasti yang isinya mengisahkan kebesaran jiwa Maharsi Markhandeya. Selama menetap di Bali, Maharsi Markhandeya secara berangsur-angsur mulai meningkatkan kepercayaan masyarakat Bali. a) Masyarakat Bali mulai diajarkan melakukan pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi. Sang Hyang Tuduh, Sang Hyang Prama Kawi, Sang Hyang Prama Wisesa, dan yang lainnya adalah sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa. Dengan mempersembahkan upakara api, air, bunga, dan buah beliau menyembah ke hadapan Surya nyuryasewana tiga kali sehari memuja kebesaran Tuhan. Unsur-unsur upakara yang dipersembahkan itu disebut

b)

c)

d)

e)

alat-alat bebali. Selanjutnya, beliau mengajarkan bahwa segala sesuatu yang dikerjakan adalah untuk mewujudkan keselamatan, hendaknya didahului dengan mempersembahkan bebali ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi. Ajaran yang demikian disebut agama bebali. Pada saat itu mulai dikenal tentang daerah Bali. Bali diartikan daerah yang segala sesuatunya mempergunakan sesajen atau sarana bebali. Masyarakat Bali yang menjadi pengiringnya dan mendiami daerah pegunungan disebut orang-orang Bali Aga. Pura Besakih mulai dibangun dan difungsikan sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa guna memohonkan keselamatan umatnya. Tempat suci lainnya yang dibangun oleh beliau, antara lain adalah Pura Andakasa, Lempuyang, Watukaru, dan Sukawana. Warna merah dan putih mulai dipergunakan sebagai ider-ider atau umbul-umbul di tempattempat suci. Kedua warna itu melambangkan kesucian yang bersumber dari warna surya dan bulan. Upacara bebali untuk keselamatan binatang dan peternakan ditetapkan pada tumpek kandang atau hari sabtu-kliwon wuku uye. Untuk keselamatan tumbuh-tumbuhan ditetapkan pada tumpek pengatag atau hari sabtu-kliwon wuku wariga. Personifikasi Tuhan Yang Maha Esa yang menganugerahkan keselamatan kepada binatang dan tumbuh-tumbuhan disebut Sang Hyang Rareangon dan Sang Hyang Tumuwuh.

Upaya dan usaha peletarian agama Hindu di Bali setelah Maharsi Markhandeya dilanjutkan Mpu Sang Kulputih. Beliau disebut-sebut sebagai pemongmong Pura Besakih. Banyak peran yang dilakukan oleh beliau dalam meningkatkan peran dan kualitas agama Hindu, antara lain sebagai berikut. a) b) Mengajarkan tentang bebali dalam bentuk seni yang mengandung makna simbolis dan suci. Mengajarkan orang-orang Bali Aga menjadi orang-orang suci untuk Pura Kahyangan, seperti Pemangku, Jro Gede, dan Jro Kebayan. Untuk menjadikan diri orang bersangkutan suci diajarkan pula tentang tata cara melakukan tapa, brata, yoga, dan samadhi. Mpu Sang Kulputih yang mengajarkan masyarakat untuk melaksanakan hari-hari suci, seperti Galungan, Kuningan, Sugian, Pagerwesi, Tumpek dan yang lainnya. Di samping itu, beliau juga mengajarkan tata cara membuat arca lingga dari kayu, logam, atau uang kepeng sebagai perwujudan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya.

c)

Bertempat di Pura Puseh (Desa Bedulu Gianyar) ditemukan peninggalan arca Siwa. Menurut tipenya arca itu dinyatakan serupa dengan arca Siwa yang terdapat di Candi Dieng. A. J. Bernet Kemper mengatakan arca tersebut berasal dari abad ke 8 Masehi. Prasati Blanjong yang berangka tahun 913 Masehi menyebutkan bahwa Raja Putri Mahendradatta yang bergelar Gunapriya Dharmapatni mangkat di Buruan Kutri Gianyar. Beliau diwujudkan dalam bentuk Dhurga Mahisa Asura Mardhani, yaitu Bhatari Dhurga yang sedang membunuh para setan yang ada di badan seekor kerbau. Prasasti tersebut kini tersimpan di Pura Blanjong Sanur. Pada masa pemerintahan Raja Marakatta Pangkaja Sthanottunggadewa tahun 944-948 Saka (1022-1026 Masehi) datanglah Mpu Kuturan ke Bali. Beliau berasal dari Jawa Timur. Setibanya di Bali, ia membangun asrama di Padangbai (Pura Silayukti) sekarang. Beliau mengajarkan masyarakat Bali silakrama, filsafat tentang makrokosmos, Sang Hyang Widhi, Jiwatman, Karmaphala, Wali, dan Wewalen. Beliau juga mengajarkan Kusuma Dewa, Widhi Satra, Sangkara Yoga, dan tata cara membangun Kahyangan atau bangunan suci lainnya. Bangunan suci ini ada yang sampai sekarang dibangun menurut ajaran beliau, antara lain sebagai berikut. a. Sanggah Kemulan, Taksu, dan Tugu untuk setiap rumah tangga dalam satu pekarangan.

b.

c. d.

Sanggah Pemerajan yang terdiri atas Surya, Meru, Gedong, Kemulan, Taksu, Pelinggih Pengayatan Sad Kahyangan, dan Paibon, serta yang lainnya untuk menyungsung lebih dari satu kepala keluarga atau pekarangan. Pura Dadia, Pemaksan, Panti, dan lainnya yang menyungsung lebih dari satu Paibon atau Pemerajan. Kahyangan Tiga (Pura Puseh, Bale Agung, dan Dalem) sebagai tempat pemuja Tri Murti dibangun pada setiap Desa Pakraman atau adat.

Selain pembangunan tempat-tempat suci tersebut di atas, beliau juga mengajarkan pembangunan Kahyangan Jagat, seperti Pura Besakih, Pura Batur, Pura Uluwatu, Pura Lempuyang, Pura Adakasa, Pura Goalawah, dan Pura Pusering Tasik. Pada masa pemerintahan Raja Marakatta dilaksanakan penghormatan kepada Maharsi Agastya, sebagaimana disebarkan dalam prasati tersebut yang berangka tahun 944 Caka. Kalimatnya berbunyi, Rasa nikang sapatha Bhatara Puntahyang Hyang Anggasti Maharsi purwa satya daksina..... Lontar Dwijendra Tattwa menjelaskan bahwa kedatangan Maharsi Agastya di Bali mengajarkan agama Siwa. Selanjutnya menyatakan bahwa beliau mengajarkan tentang ilmu gaib (Tantrisme atau Tantra) kepada para raja dan kaum bangsawan. Ajaran inilah yang sering disebut aywawera. Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong yang berkedudukan di Gelgel tahun 1470-1550 Masehi, datanglah Dang Hyang Dwijendra di Bali. Beliau juga disebut Dang Hyang Nirartha. Kedatangan beliau di Bali melalui Blambangan-Banyuwangi, mengarungi segara rupek (selat Bali) dan sampailah di Desa Pulaki. Dari sini, beliau melajutkan perjalanan menuju Desa Gadingwangi, Desa Mundeh, Mengwi, Kapal, Tuban, Buangan, dan sampailah di Desa Mas. Dalam Waturenggong memerintahkan Ki Gusti Penyarikan Dauh Baleagung untuk mendak Dang Hyang Nirartha datang ke Puri Gelgel menjadi Purohitha (pendeta) Kerajaan. Dang Hyang Nirartha banyak mengajarkan pengetahuan agama pada para raja dan masyarakat bali. Ajarannya antara lain sebagai berikut. a. b. c. d. Ilmu tentang pemerintahan Ilmu tentang peperangan (Dharmayuddha) Pengetahuan tentang smaragama (cumbwana karma) ajaran tentang pertemuan semara laki dan perempuan Ajaran tentang pelaksanaan mamukur, maligia, dan mahasraddha

Setelah lama menjadi Purohita di Puri Gelgel seizin Raja Dalem Waturenggong, akhirnya Dang Hyang Nirartha pergi untuk mengadakan perjalanan suci mengelilingi Bali. Dari Puri Gelgel beliau berjalan menuju Pura Rambut Siwi dan selanjutnya menuju Pura Uluwatu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Genta Samprangan, Tengkulak, Goa Lawah, Pojok Batu, Pengajengan, Masceti, Peti Tenget, dan tempat suci lainnya. Akhirnya, beliau dinyatakan moksa di Pura Leluhur Uluwatu. Berdasarkan data tersebut di atas, sangatlah besar jasa Dang Hyang Nirartha di Bali. Beliau telah mengajarkan tata cara pemerintahan, keagamaan, arsitektur, kesusastraan, pembimbing masyarakat, dan tata cara membangun pelinggih Padmasan untuk memuja Sang Hyang Widhi dalam rangka mempermulia keimanan umat manusia.

Anda mungkin juga menyukai