Anda di halaman 1dari 7

Bertemu Godot

Suatu hari di sebuah kota sebuah negeri, berkas sinar matahari pagi
menyeruak, menyusup dan menari di tembok tinggi gedung-gedung. Jalanan
telah bergerak sejak dini hari, bahkan jauh sebelum itu. Ribuan mobil
menggeram memecah urat nadi kota yang hitam, asap berkepul meninggalkan
endapan kehitaman pada embun yang menempel di pucuk-pucuk antena. Pagi di
kota besar yang tak pernah berhenti mendengus selama duapuluh empat jam
hampir tidak berarti apapun. Di atas jembatan besar yang melintang di atas
sungai yang membelah kota itu, seorang laki-laki berjalan pelan dari ujung ke
ujung, mencari-cari sesuatu. Matanya cermat meneliti setiap sudut jembatan.
Sinar matahari kekuningan menampilkan kesan aneh pada wajahnya yang
pucat.
“Sudah hampir jam tujuh,seharusnya dia ada di sini.” Gumamnya. “Apa aku
salah lagi membaca pesannya?”
Lelaki itu mengeluarkan sebuah lipatan kertas dari saku jaketnya, dan
berjongkok membentangkan kertas itu di susuran jembatan dan mengamatinya
dengan cermat, tidak peduli pada orang-orang yang memandangnya dengan
kening berkerut.
“Tidak salah, koordinatnya tepat!” Gumamnya lagi. Ia mendongak menatap
langit kota yang abadi berwarna abu-abu. “Tapi kenapa tidak kelihatan?
Mungkinkah kali ini dia juga tidak muncul?”
Dihisapnya rokoknya yang tinggal beberapa mili panjangnya dengan
hisapan pendek dan cepat, ditatapnya ragu-ragu, dihisapnya beberapa kali lalu
menjentikkannya ke bawah jembatan, berpijar di udara, melengkung tajam lalu
jatuh ke dalam air sungai kotor kehijauan, ekor asapnya tertinggal di udara
seperti asap jet yang baru melintas. Tiba-tiba satu pikiran muncul di benaknya.
“Mungkinkah ia ada di bawah jembatan?” Ia bangkit dan menjenguk ke bawah
jembatan. Kertasnya terbang terseret sebuah truk yang melaju kencang.
Seorang pengemis bertopi kulit berteriak, “Pak! Kertasnya!”
Ia menoleh, “Biar saja. Saya masih punya salinannya di rumah.” Lalu
kembali menjenguk ke bawah jembatan, tapi sedetik kemudian ia menoleh cepat,
“Tunggu!” Teriaknya memanggil pengemis yang berjalan menjauh. Pengemis itu
berhenti, matanya berkejap-kejap.
“Memanggil saya, Pak?”
“Tunggu!” Laki-laki itu mendekat. Dari dompetnya ditariknya beberapa
lembar uang dan selembar kertas kumal yang kemudian ternyata sketsa wajah
seseorang. Pengemis itu keheranan, sebab menurut pandangannya laki-laki itu
bukan dari jenis yang gemar mengulurkan uang kepada pengemis.
“Ada apa, Pak?”
“Terimalah!” Diulurkannya beberapa lembar uang itu. Si pengemis
tercengang-cengang.
“Puji Tuhan! Terima kasih, Pa…”
“Itu bukan gratis.” Tukas laki-laki itu cepat. “Anda pernah lihat orang ini?”
Lelaki itu menyodorkan sketsa wajah yang dipegangnya.
Pengemis itu kembali tercengang. “Anda minta bantuan saya?” Lembaran
uang itu diulurkannya lagi. “Saya tidak bisa menerimanya.”
“Kenapa? Jumlahnya kurang?” Kening laki-laki itu berkerut.
“Bukan demikian.” Jawabnya tenang. “Anda lihat, saya ini pengemis. Nah,
karena itu saya tidak mungkin menerima uang itu sebagai imbalan pekerjaan.”
“Saya mengerti….” Ujar lelaki itu tak yakin. Meski ragu-ragu uang itu
diterimanya lagi.
“Tidak! Anda tidak mengerti.” Dia tersenyum. “Tapi coba kita lihat apa yang
bisa saya lakukan. Mungkin saya pernah melihatnya.” Diamatinya sketsa itu
dengan kening berkerut, sementara si lelaki meremas-remas kepalan tangannya.
“Hmmm, wajah yang aneh, tidak seperti wajah-wajah yang di tunjukkan kepada
saya beberapa hari ini. Sepertinya wajah ini amat akrab dengan saya, namun
seingat saya belum pernah melihatnya.” Gumamnya.
Laki-laki itu mengeluh panjang, “Mungkin takdir tidak memungkinkan kami
bertemu. Sudah cukup lama saya mencarinya.”
“Saya rasa bukan begitu. Hanya saja, bukan saya sok tahu, garis
perjalanan kalian belum bersinggungan dalam ruang dan waktu.” Jawab
pengemis itu.
“Apa?!” Tanpa sadar lelaki itu berseru terkejut, “Eh, maaf, maksud saya…
eh, bagaimana mungkin anda…eh…”
“Sudahlah, lupakan saja. Itu bukan kata-kata saya sendiri. Saya
mendengarnya dari orang lain.”
“Tadi anda bilang gambar ini tidak seperti gambar-gambar yang lain,
apakah ada orang lain yang mencari seseorang juga?”
“Ya, beberapa hari ini ada beberapa orang yang bertanya kepada saya.”
“Mencari siapa?”
“Teroris. Siapa laki-laki tua dalam gambar anda itu? Teroris juga? Atau ayah
anda?”
“Bukan.” Si lelaki menggeleng. “Bukan siapa-siapa.”
“Aneh. Lalu kenapa anda kelihatan begitu repot mencarinya?”
“Ada urusan yang saya harus bertemu dengannya.” Dikeluarkannya
sebungkus rokok.”Rokok?” Si pengemis menggeleng. Lelaki itu menyulut
sebatang dan dihisapnya dengan gaya yang sama, pendek dan cepat. Keduanya
bersandar pada besi pengaman jembatan menatap matahari yang semakin
tinggi. Kota sudah sepenuhnya bangun dan jalan raya semakin ramai oleh hiruk-
pikuk. Lelaki itu menunduk lalu katanya lagi, “Lebih dari dua puluh tahun saya
mencarinya.”
“Selama itu? Wah, begitu pentingkah pertemuan itu bagi anda?”
“Ya. Selama itu saya menyimpan banyak pertanyaan yang harus dia jawab.
Siapa dia sebenarnya, dan masih banyak lagi. Ini masalah hidup-mati, sebab
begitu gencarnya pertanyaan itu sampai saya tidak sempat melakukan hal lain
seperti orang lain, bermain, bekerja, bersanggama. Saya bahkan tidak bisa
tertawa. Saya sudah bosan. Ah, sudahlah!”
Seekor kelelawar terbang tergesa-gesa menyusup ke bawah jembatan
menyadari ia sudah terlambat pulang.
“Anda tinggal di dekat sini, maksud saya sering lewat jembatan ini?” Ujar
laki-laki itu lagi.
Pengemis itu tertawa. “Sejak kapan seorang pengemis punya tempat
tinggal? Kalaupun ada, rumah itu ada di hati orang-orang yang mengasihani, di
sanalah kami tinggal. Tapi rumah itu sekarang sudah bobrok sebentar lagi
roboh.”
“Saya yakin anda bukan pengemis biasa.” Jawab lelaki itu tanpa menoleh.
Aneh juga sebenarnya, sedari tadi mereka bercakap-cakap tanpa sekalipun
bertatapan wajah.
“Kenapa anda berpikiran begitu?”
“Kata-kata anda. Itu bukan kata-kata yang bisa keluar dari mulut pengemis
biasa. Terlalu, maaf, intelek.”
“Jalan pikiran anda aneh. Anda heran melihat pengemis intelek, tetapi
biasa-biasa saja melihat intelek-intelek mengemis. Mengemis bagi saya bukan
masalah kesempatan, tetapi pilihan, yang sama sucinya dengan pilihan yang
lain. Malah jauh lebih jujur. Kami meminta anda memberi, tetapi soalnya tidak
berhenti di situ. Banyak hal yang lahir setelahnya. Ada yang menjadi besar, ada
yang menjadi kerdil, sebagian orang memperoleh pencerahan dengan memberi,
sebagian lain justru semakin tenggelam dalam kegelapan. Tergantung kejujuran
masing-masing. Mungkin anda tidak percaya, tapi pengemis selalu diperlukan
sebagai batu sandungan peradaban.”
“Saya yakin seandainya ada partai pengemis anda pasti direkrut untuk
menjadi pemimpin. Tidak tertarik mendirikan partai pengemis? Saya pikir jumlah
pengemis di kota ini saja cukup untuk sebuah partai yang besar.”
“Ha..ha..ha, jangan terlalu yakin. Pengemis seperti saya tidak mungkin
banyak jumlahnya.”
“Saya tidak tahu mengemis dan mengemis itu ada bedanya.”
“Lho, bukankah anda sendiri yamg nilang saya bukan pengemis biasa? Tapi
bagaimanapun anda benar, partai itu akan besar sekali dan mungkin akan
menjadi satu-satunya partai di negeri ini. Tidak percaya? Ah, lupakan omong
kosong itu. Saya tinggal di mana saya berhenti. Di emper toko, di bawah
jembatan, pendeknya di mana saja. Gelandangan tidak pernah tersesat, karena
ke manapun selalu menuju pulang, begitu seseorang berkata.”
“Siapa?”
“Godot.”
Laki-laki itu berjingkat, wajahnya seperti baru saja sesosok hantu
menamparnya, atau sebuah bom meledak di dekat kakinya. Ditatapnya wajah
pengemis itu lekat-lekat.“Godot?
“Iya, Godot! Kenapa? Anda belum pernah mendengar namanya? Nama itu
sedang populer sekarang. Di mana-mana orang menyebut namanya, di kaki
lima, di perempatan-perempatan, di bawah jembatan. Di Maluku, Aceh, Porong,
semua Godot…Godot…Godot. Padahal tak seorang pun, paling tidak sedikit
sekali, yang benar-benar tahu siapa dirinya.”
Laki-laki itu menyeringai aneh, matanya berkilat-kilat. “Lihat! Lihat baik-
baik!” Ia kembali memperlihatkan sketsa wajah itu. Si pengemis menatapnya tak
yakin. “Anda tak mengenalinya? Dia adalah Godot!” Kata si lelaki tajam.
Sekali lagi pengemis itu mengamati sketsa wajah yang dipegangnya. “Tidak
mungkin! Ini bukan Godot. Terlalu tua!” Katanya.
“Ini adalah citra wajah Godot yang berhasil ditangkap oleh seorang
paranormal dalam meditasinya beberapa waktu yang lalu.”
Pengemis itu tertawa serak, lalu katanya, “Jangan terlalu mudah percaya
omongan orang. Seperti kataku tadi sekarang banyak yang mengaku-aku kenal,
mengaku pernah bertemu, bahkan ada yang mengaku saudaranya, muridnya,
ditawarkan ke sana ke mari seperti barang dagangan.”
Percakapan mereka terhenti oleh derum truk sampah yang menaikkan
sampah diujung jembatan.
Laki-laki itu tiba-tiba teringat sesuatu. “Eh, bagaimana anda bisa bilang
kalau wajah itu terlalu tua kalau anda belum pernah bertemu Godot?” Sekali ini
dipandanginya pengemis itu lekat-lekat.
“Teman saya pernah bertemu dengannya, dan menurutnya dia belum terlalu
tua.”
“Teman anda pernah bertemu Godot?” Laki-laki itu bertanya setengah
berteriak.
“Ya!”
“Di mana teman anda sekarang?”
“Dia mati beberapa hari setelah pertemuan itu.”
“Ah, seperti yang lain-lain, selalu saja begitu.” Desis laki-laki itu. “Di mana
dia bertemu Godot?”
“Di jembatan ini.”
“Apa? Di jembatan ini?” Mata laki-laki itu berubah berbinar. “Berarti betul dia
yang mengirim pesan itu!”
“Siapa? Godot mengirim pesan untuk anda?”
“Ya, Godot! Dia berjanji akan menemui saya di jembatan ini!”
“Berjanji?”
“Dengar, ini terjadi lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Suatu pagi saya
melihat siaran berita televisi, tiba-tiba saja menyelip di antara berita-berita itu
satu pesan yang disampaikan langsung ke gagasan saya: saudara diharap
menemui Tuan Godot di jembatan dengan koordinat sekian sekian pada jam
tujuh lebih satu, tepat! Sejak itu saya menghabiskan waktu mencari jembatan
dengan koordinat itu. Setelah dua puluh tahun akhirnya ketemu juga. Jembatan
ini!!” Kata laki-laki itu berapi-api. “Dan selama dua puluh tahun itu dia terus
menghubungiku dengan cara yang tidak bisa kujelaskan, pokoknya tiba-tiba saja
dia memenuhi kepalaku dengan gagasan yang tidak kupahami.”
“Kalau benar, anda orang yang sangat beruntung, karena tidak sembarang
orang bisa bertemu dia.” Pengemis itu berdesis. “Tetapi apa anda tidak takut?”
“Kenapa?”
“Kabarnya setelah pertemuan itu seseorang akan kehilangan segala-
galanya?”
“Tidak!” Jawab laki-laki itu mantab. “Saya telah mengorbankan segala-
galanya demi pencarian ini. Itu tidak ada artinya dibanding beban pertanyaan
yang mesti dia jawab!”
Sesaat keheningan yang aneh terasa.
“Jam berapa sekarang?” Tanya pengemis itu tiba-tiba.
Laki-laki itu menengok jam tangannya. “Jam tujuh lebih lima puluh sembilan
de….tik!” Tepat ketika angka lima puluh sembilan itu berubah menjadi nol,
kesunyian yang amat sangat mencekam seolah-olah sebuah gelembung raksasa
yang tidak kasat mata tiba-tiba turun dari angkasa melingkupi tempat itu. Laki-
laki itu terhenyak melihat semua disekelilingnya berhenti bergerak. Jam berhenti,
mobil-mobil membeku, asap melayang tak bergerak, orang-orang terhenti pada
gerak terakhirnya, matahari mengapung diam.
“Akhirnya kau datang juga.” Sebuah suara bergema di telinganya, suara
yang selama dua puluh tahun diakrabinya lewat perbincangan dan dialog-dialog
bisu sepanjang malam.
Ia menoleh. Pengemis itu masih berdiri memandanginya, tetapi mata itu
sekarang bersinar penuh cahaya. “Aku hampir jemu menunggumu.”
“Kau…kau…?” Katanya tergagap. Sorot mata itu berkilat tajam seperti mata
pedang, menusuk langsung ke dalam matanya.
“Ya! Ini aku! Apa yang membuatmu begitu lama?”
“Go…Godot? Ka..ka…kau Godot?
“Apa itu masih juga penting bagimu? Kita sudah bertemu! Selamat datang!”
Pengemis itu tersenyum. Dan senyum itu menjelma tangan-tangan cahaya yang
menyusup kedalam kepala laki-laki itu, membongkar dan mengosongkannya dari
timbunan gagasan, ide-ide, pertanyaan-pertanyaan, kenangan dan mimpi-mimpi
tentang ruang dan waktu, menyusup semakin dalam menjangkau inti
eksistensinya lalu pecah menjadi berjuta-juta kunang-kunang. Tiba-tiba kepala
dan tubuhnya terasa ringan. Sangat ringan! ***(inspired by: Namah Sarvajnaya)

Gunung Kunir, November 2007

Anda mungkin juga menyukai