Lima Tahun belakangan ini bisa disebut masa kebangkitan film Indonesia. Para sineas muda dalam negeri mulai
menunjukan jati dirinya lewat film-film berkualitas. Sayngnya belum ada satu pun yang membuat film dengan latar
belakang perjuangan Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Mungkin karena biaya yang dibutukan membuat film
perang tak sedikit.
Film perjuangan marak di bioskop tanah air pada era 1980-an. Tapi bila menilik perjalanan perfilman Indonesia, sudah
ada puluhan film yang bertema pertempuran. Dari sebanyak itu, hanya beberapa yang paling sering diputar di televisi.
Kami memilih 10 film bertema perjuangan yang sering diputar dan terpopuler. Daftar berikut berdasarkan tahun rilis.
Film durasi 137 menit yang di sutradarai Alam Surawidjaya ini mengangkat sisi lain saat perang kemerdekaan
Indonesia. Secara keseluruhan film ini seperti sebuah reportase. Laura jadi titik sentral cerita film ini. karena sakit
hati akan perlakuan gerilyawan republic hingga ibunya meninggal. Laura memihak Belanda dan diselundupkan sebagai
mata-mata ke pasukan Kapten Wira (Kusno Sudjarwadi) di sector selatan, suatu daerah pedalaman terpencil. Laura
menyamar sebagai Fatimah dan mengaku kakak anggota Laskar yang ditawan Belanda. Dia berhasil mengadu domba
antara Wira dan Kobar (Lahardo). Konflik ini memuncak dengan pengepungan Kobar atasarkas Wira. Melihat situasi
ini, lewat penghubungnya Laura mengundang pesawat Belanda menyerbu dan membebaskan ahli perang urat syaraf
yang di tawan Wira. Merasa diketahui penyamarannya, Laura lari dan akhirnya tewas di pelukan Rengga (Dicky
Zulkarnaen), anggota Laskar yangt dicintainya.
Janur juning di produksi pada tahun 1979. film yang disutradarai oleh Alam Rengga Surawidjaja ini dibintangi antara
lain oleh Kaharudin Syah, Deddy Sutomo, Dicky Zulkarnaen, Amak Baldjun dan Sutopo H.S Film ini merupakan film
kedua tentang peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 (sebelumnya film Enam Jam di Jogja yang di produksi 1951).
Film ini bisa dibilnag film dengan biaya termahal saat itu, sekitar 375 juta dan sempat macet sebulan saat syuting
karena kehabisan biaya. Biaya sebanyak ini digunakan untuk membuat 300 seragam tentara dan seragam untuk sekitar
8000 orang pemain figuran.
Film ini mendapat Mendali Emas PARFI, FFI 1980 untuk Pameran Harapan Pria (Amak Baldjun), Plaket PPFI, FFI 1980
untuk produser Filma yang mengolah Perjuangan Bangsa. Unggulan FFI 1980 untuk Pameran Pembatu Pria (Amak
Baldjun).
Janur Kuning menceritakan perjuangan pejuang Indonesia dalam meraih kembali kemerdekaannya yang direbut oleh
pasukan sekutu dan berhasil merebut kota Yogyakarta selama 6 jam. Janur kuning adalah lambang yang dipakai para
pejuang sebagai tanda perjuangan saat itu.
Nagabonar (1987)
Film berdurasi 95 menit ini digarap sutradara M.T. Risyaf pada 1987. Nagabonar (Deddy Mizwar), adalah seorang
pecopet yang mendapatkan kesempatan menyebut dirinya seorang Jenderal di pasukan kemerdekaan Indonesia di
Sumatera Utara.
Pada awalnya Nagabonar melakukan ini hanya sekedar untuk mendapatkan kemewahan hidup sebagai seorang jenderal,
akan tetapi pada akhirnya dia menjadi seorang tentara yang sesungguhnya, dan memimpin Indonesia dalam
peperangan bersama pasukannya termasuk Kirana (Nurul Arifin), Bujang (Afrizal Anoda), dan Mak (Roldyah
Matulessy).
Film Nagabonar memborong enam Piala Citra dalam ajang FFI 1987, yakni untuk kategori Film terbaik, Aktor terbaik
(Deddy Mizwar), Pemeran Pembantu Terbaik (Roldiah Matulessy), Cerita Asli dan Skenario Terbaik (Asrul Sani),
Penata Suara Terbaik (Hadi Hartomo), dan Penata Musik Terbaik (Franky Raden). Selain itu, film ini juga menjadi film
Indonesia pertama yang masuk dalam seleksi film berbahasa asing di ajang Academy Award. Selain dibuat skuelnya
(Nagabonar Jadi 2), tahun ini, Nagabonar kembali diputar ulang di bioskop setelah melewati proses remastering.
Film ini menceritakan tentang pejuang wanita asal Aceh, Tjoet Nya’ Dhien dan bagaimana dia dokhianati salah satu
jendralnya , Pamglima Laot.
Tjoet Nya’ Dhien di buat tahun 1988 distudarai Eros Djarot. Syutingnya memakan waktu sekitar 2,5 tahun dengan
menghabiskan biaya sekitar 1,5 milyar rupiah. Film ini memenangkan piala Citra sebagai film terbaik. Dibintangi
Christine Hakim sebagai Tjoet Nya’ Dhien, Piet Burnama sebagai panglima Laot, Rudy Wowor sebagai Snouck
Hurgronje dan Slamet Raharjo sebagai Teuku Umar.
Tjoet Nya’ Dhien jadi film terlaris di Jakarta pada 1988 dengan 214.458 penonton (data dari perfin). Film ini juga
merupakan film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes pada tahun 1989. Film ini mendapat piala
Citra FFI 1988 untuk Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Pameran Utama Terbaik, Cerita Terbaik, Musik Terbaik,
Fotografi Terbaik, dan Artistik.
Soerrabaja’45 (1990)
Film ini berdasarkan kisah nyata di Surabaya saat merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Dalam pertempuran ini
banyak Arek Suroboyo yang gugur. Yang kemudian terkenal dengan sebutan peristiwa 10 November.
Film ini dimulai ketka Jep[ang kalah perang dan proklamasi kemerdekaan Indonesia berkumandang di radio-radio.
Ketika pasukan Inggris yang tiba di Surabaya, masyarakat menerima, sebab pasukan Inggris datang untuk melucuti
tentara Jepang. Masalah-masalah muncul ketika Inggris tidak mengakui kemerdekaan Indonesia. Pemuda-pemuda
Surabaya pun angkat senjata melawan Inggris.
Film garapan Imam Tantowi ini cukup unik, karena ada lima bahasa yang digunakan dalam dialog para pemain. Yaitu ;
Indonesia, Inggris, Jepang, Belanda, dan bahasa Jawa. Film yang menghabiskan biaya sekitar 1,8 Milyar rupiah ini
dibintangi Usman Effendy, Leo Kristi, Tuty Koesnender dan Juari Sanjaya. Film ini juga mendapat piala Citra FFI
1991 untuk sutradara Terbaik dan penghargaan Dewan Juri FFI 1991 untuk Film yang menggambarkan semangat juang
Indonesia.
(AstroGuide)_