Anda di halaman 1dari 3

MEMBANGUN KETAHANAN DENGAN MEMBANGUN SISTEM PENYAMPAIAN INFORMASI PRB Pengurangan Risiko Bencana (PRB) sebenarnya sudah sering

kita dengar 6 pada tahun-tahun belakangan ini, tapi pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang tidak dapat mengakses informasi PRB. Selain itu pelibatan semua orang termasuk kelompok rentan masih sangat minim. Dalam Undang-Undang no.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa salah satu prinsip penanggulangan bencana adalah nondiskriminatif dan memberikan prioritas perlindungan terhadap kelompok rentan. Prinsip tersebut harusnya mendorong kita semua untuk melibatkan kelompok rentan termasuk penyandang cacat dalam upaya PRB karena dalam situasi darurat seorang penyandang cacat menghadapi kesulitan yang lebih besar jika kebutuhan khususnya tidak terpenuhi. Sementara sebelum terjadi bencana penyandang cacat kesulitan mengakses informasi sederhana mengenai perlindungan diri. Kunci dari PRB adalah meningkatkan kapasitas masyarakat dalam kesiapsiagaan dan mengurangi kerentanan masyarakat dalam menghadapi bencana. Kerentanan masyarakat dapat dikurangi dengan adanya peningkatan pengetahuan dan latihan pembiasaan diri dalam mengambil langkah kesiapsiagaan yang tepat, tidak terkecuali untuk penyandang cacat. Menyikapi kenyataan diatas, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dan Sleman di Provinsi D.I. Yogyakarta telah memeloporipembangunan sebuah mekanisme penyampaian informasi PRB kepada masyarakat secara inklusif, yang nantinya juga akan diformalkan menjadi regulasi di tingkat kabupaten. Mekanisme tersebut sebenarnya merupakan hal yang sederhana. Intinya adalah informasi PRB dan pelatihan kesiapsiagaan dapat disampaikan dari pusat sumber kepada seluruh lapisan masyarakat dengan mudah, cepat dan hemat biaya. SKEMA MEKANISME KOORDINASI PENYAMPAIAN INFORMASI PENGURANGAN RISIKO BENCANA SKEMA MEKANISME PENYAMPAIAN INFORMASI PENGURANGAN RISIKO BENCANA PEMERINTAH KABUPATEN

KADER TANGGAP BENCANA KECAMATAN

KADER TANGGAP BENCANA DESA

WARGA MASYARAKAT (TERMASUK PENYANDANG CACAT DAN KELOMPOK RENTAN LAINNYA)

Hal tersebut dilakukan dengan membentuk kader-kader PRB di setiap kecamatan yang dilatih untuk menjadi pelatih PRB. Selanjutnya, kader tingkat kecamatan akan melatih kader-kader di desanya masing-masing, dan baru pada akhirnya kader tingkat desa menyampaikan pelatihan kepada masyarakat. Kader-kader yang terlibat dalam mekanisme ini adalah kader-kader yang sebenarnya sudah ada di masyarakat Indonesia, seperti Tenaga Kesejahterahan Sosial Masyarakat, Pekerja Sosial Masyarakat, Organisasi Penyandang Cacat setempat, dan Kader Penggerak PKK, dll. Kelebihan dari kader-kader tersebut antara lain, mereka sudah terbiasa untuk melakukan kegiatan kemasyarakatan, termasuk penyuluhan kepada masyarakat. Selain itu, karena kebanyakan kader adalah ibu rumah tangga, mereka memiliki motivasi yang tinggi dan waktu luang lebih banyak untuk melakukan kegiatan kemasyarakatan. Masyarakat perempuan sendiri pada umumnya akan lebih nyaman jika mengutarakan pendapat dan pertanyaan kepada penyuluh perempuan. sehingga kapentingan mereka akan lebih terakomodir. Sedangkan pelibatan kader dari organisasi penyandang cacat lokal sebagai pelatih dalam mekanisme ini memberikan motivasi lebih kepada penyandang cacat lainnya, karena mereka dapat melihat langsung bahwa penyandang cacat juga mampu terlibat dalam upaya PRB. Penyandang cacat juga lebih memahami dan mengetahui kebutuhan khusus yang diperlukan dalam upaya PRB. Untuk menjaga inklusifitas, kader penyandang cacat dan non-penyandang cacat saling berkoordinasi mulai dari persiapan, hingga pelaksanaan pelatihan. Pembentukan kader PRB saja, baik di tingkat kecamatan maupun desa tidaklah cukup dalam mekanisme ini. Peran aparat pemerintah baik di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa yang menangani bidang Kader Desa sedang menyampaikan penanggulangan bencana, sosial dan pemberdayaan pelatihan PRB kepada penyandang cacat anak masyarakat / kemasyarakatan juga sangat penting untuk melakukan monitoring terhadap kegiatan-kegiatan PRB, yang dilakukan para

kader di level masyarakat. Hasil dari monitoring tersebut tentunya sangat bermanfaat untuk mengevaluasi dan mengembangkan program dan kegiatan PRB yang berkelanjutan. Dengan adanya mekanisme berkelanjutan dari kader di tingkat kecamatan dan desa hingga ke masyarakat, Pemerintah sangat terbantu dalam mempercepat proses penyebaran informasi dan pelatihan PRB. Pemberdayaan kader-kader setempat sebagai kader pelatih PRB dengan berbagai latar belakang juga semakin mendukung penyampaian yang efisien, efektif dan inklusif. Mekanisme ini akan berjalan dengan baik, jika didukung dengan pengunaan materi dan metode pelatihan PRB yang sederhana, praktis, dan disesuaikan dengan kebutuhan khusus penyandang cacat. Terakhir, himbauan resmi dari Pemerintah Kabupaten mengenai praktek simulasi evakuasi yang harus dilakukan secara rutin, akan mendorong masyarakat untuk membangun kebiasan diri berbudaya aman dalam menghadapi bencana. Ke depannya diharapkan mekanisme ini dapat diadopsi dan diadaptasikan di kabupaten-kabupaten lain di Indonesia. Puthut W S

Anda mungkin juga menyukai