Anda di halaman 1dari 5

Zikir Berjamaah pada Malam Tahun Baru

REPUBLIKA, Sabtu, 02 Januari 2010 pukul 08:03:00 Oleh: Nurman Kholis (Staf Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Depag) Sejak beberapa tahun terakhir ini, harian Republika secara rutin menyelenggarakan acara zikir nasional untuk menyambut tahun baru masehi yang diadakan pada malam hari setelah salat Isya. Acara ini selalu dipandu oleh Ustaz Muhammad Arifin Ilham dan bertempat di Masjid At-Tin Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Acara zikir berjamaah menjelang tahun baru masehi tersebut menjadi salah satu warna tersendiri dalam menggambarkan kiprah kaum Muslim di Indonesia dari masa ke masa. Sebab, sejak awal penyebaran Islam ke bumi nusantara ini tidak lepas dari ijtihad para ulama. Mereka mempertahankan tradisi-tradisi lokal yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW, namun substansi tradisi tersebut diarahkan kepada upaya untuk meningkatkan kualitas iman dan takwa umat Islam. Hal ini sebagaimana dilakukan ulama terdahulu yang mengganti pembacaan mantra-mantra dengan zikir kepada Allah melalui pengucapan kalimat tahlil La Ilaha Illallah sebanyak-banyaknya. Biasanya, pembacaan zikir tersebut digemakan dalam peringatan 1, 3, dan 40 hari setelah kematian sehingga acara peringatan itu disebut tahlilan. Selain mengganti pembacaan mantra dengan zikir, para ulama juga mengganti maksud penyajian makanan. Bila berabad-abad sebelumnya penyajian makanan dimasudkan sebagai sesajen untuk para arwah, itu pun diubah sebagai jamuan bagi para tamu yang datang. Selain menggemanya kalimat La Ilaha Illallah dalam peringatan kematian, acara tersebut menjadi ajang yang dapat mempererat silaturahim di antara sesama umat Islam. Berkat silaturahim yang erat ini, lambat laun Indonesia yang terletak sekian kilometer dari Arab menjadi kawasan yang mayoritas penduduknya memeluk Islam dan dapat disatukan dalam satu wilayah meskipun terdiri atas berbagai suku, bahasa, pulau, dan perbedaan lainnya. <B>Kesamaan ide<B> Menurut KH M Sufyan Raji Abdullah dalam buku Bid'ahkah Tahlilan dan Selamatan Kematian? , ritual acara setelah kematian telah ada sebelum Islam, sekitar 5.000 tahunan Sebelum Masehi. Pada mulanya, kegiatan itu dilakukan oleh para penyembah dewa 'Yang' untuk menghormati dan mengenang jasa-jasa keluarga yang telah wafat. Dalam upacara ini, berisi persembahan sesaji untuk sang dewa pada malam ke-1, ke-3, ke-7, ke-9, ke-15, ke-40, ke-100, ke-1000 hari, ke-1, dan ke-3 tahun dari kematian. Peringatan kematian ini kemudian mengalami sinkretisasi dengan agama Hindu dan Buddha yang ditambah dengan pembacaan mantra-mantra

tertentu dari kedua agama ini. Dalam kitab I'anatut Thalibin Juz II hlm 145-146, dinyatakan cara penyampaian rasa dukacita dengan cara penghidangan makanan tertentu dan berkumpul dalam ritual kematian tersebut dan acara ritual kematian pada malam ke-40 yang seperti itu (jahiliyah) adalah haram. Ia juga menambahkan bahwa acara peringatan kematian yang diperbolehkan oleh syariat Islam adalah acara yang diisi dengan membaca Alquran, shalawat, zikir, dan sebagainya. Ia pun mengutip hadis dari Ashim bin Kulaib dari ayahnya dan salah seorang sahabat Anshar yang bercerita, ''Kami keluar bersama Nabi SAW untuk mengantar jenazah salah seorang di antara penduduk yang wafat. Setelah pulang, kami diundang oleh istri yang berduka untuk datang ke rumahnya. Kemudian, ia menghidangkan makanan. Rasulullah SAW pun mengambil makanan yang dihidangkan tersebut dan beliau memakannya. Kemudian, para sahabat dan para undangan juga ikut memakan makanan tersebut.'' (HR Ahmad yang dikutip dari kitab Hasyiyah ala Maraqi al-Falah karya Ahmad ibn Isma'il at-Thanthawy, Juz I, hlm 409, cet Maktabah al-Bab al-Halaby, Mesir, 1318). Hadis tersebut menunjukkan bolehnya mengadakan acara zikir dan doa bersama untuk mayat dan menghidangkan makanan yang bukan diperuntukkan sebagai sesaji seperti yang berlaku di kalangan jahiliyah. Sebab, jika peringatan kematian itu diharamkan, tentu beliau tidak akan hadir dan ikut makan dalam acara tersebut. Dengan demikian, ide penyelenggaraan zikir berjamaah pada malam pergantian tahun masehi memiliki kesamaan dengan ide dalam penyelenggaraan zikir berjamaah pada acara tahlilan. Ide yang mendasari tahlilan adalah penggantian tradisi yang tidak Islami, seperti pembacaan mantra-mantra dan pemberian sesajen untuk para arwah pada acara peringatan 3, 7, dan 100 hari setelah kematian diganti dengan pembacaan kalimat tahlil, pembacaan Alquran, dan salawat serta makanan yang tersaji dimaksudkan untuk para tamu. Sedangkan, ide yang mendasari zikir berjamaah pada malam tahun baru masehi adalah penggantian acara peniupan terompet, penyalaan petasan, dan perbuatan sia-sia lainnya dengan zikir yang beberapa bacaannya juga terdapat dalam acara tahlilan. Sebagaimana acara tahlilan yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya di nusantara, tentunya acara zikir berjamaah pada malam tahun baru masehi juga ada yang pro dan kontra. Karena itu, supaya umat Islam tidak menghabiskan energi dalam perdebatan yang tidak pernah kunjung selesai, para penganjur acara zikir berjamaah pada malam tahun baru masehi perlu juga menjelaskan bahwa acara tersebut hanya merupakan suatu tradisi sebagaimana tahlilan. Ia bukan bagian dari syariah sebab tidak pernah dicontohkan, diperintahkan, dan juga tidak pernah dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Kedua tradisi tersebut mubah yang berarti tidak wajib dan tidak pula haram untuk dilakukan.
SUMBER: REPUBLIKA

Sabtu, 02 Januari 2010 pukul 08:01:00

Gus Dur dan Islam


Oleh: Ma'mun Murod Al-Barbasy (Ketua PP Pemuda Muhammadiyah) Innalillahi wa inna ilahi roji'un . Tokoh besar dan bapak bangsa dengan beragam predikat, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), telah berpulang ke rahmatullah pada 30 Desember 2009. Siapa pun yang mengenal Gus Dur secara dekat, baik dalam artian fisik maupun dekat, karena gagasan pemikirannya dipastikan paling merasa kehilangan. Gus Dur adalah sosok pemikir Islam genuine Indonesia. Gus Dur merupakan sosok pemikir Muslim yang lebih menggambarkan wajah Islam Indonesia yang sesungguhnya: akulturatif, moderat, dan toleran. Pemikiran Gus Dur berbeda dengan pemikiran mereka yang mencoba menampilkan wajah 'Islam skripturalis' yang serba rigid dan berbeda juga dengan mereka yang mencoba menampilkan wajah Indonesia yang sekuleristik. Pendekatan serba fikih Lazimnya kebanyakan pemikir dari kalangan pesantren yang mendasarkan pemikiran pada pendekatan fikih, Gus Dur juga dikenal sebagai pemikir yang dalam menyikapi perkembangan selalu mendasarkan pada pendekatan fikih. Dampak pendekatannya yang serba fikih menjadikan tampilan pemikiran Gus Dur selalu tidak 'hitam-putih'. Ini mengingat banyaknya sumber yang dijadikan sebagai rujukan pemikiran. Dalam tradisi NU, yang menjadi sumber hukum bukan sekadar Alquran dan hadis, melainkan juga ijmak dan qiyas. Dalam hal sikap dan pemikiran politiknya, Gus Dur juga selalu berusaha mengambil jalan tengah ( tawassuth ). Gus Dur tidak mau terjebak dan mengambil jalan ekstrem ( tatharuf ) atau mengambil jalan paling lunak. Asas tunggal Ketika rezim Orde Baru bermaksud menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal, NU melalui Munas Alim Ulama 1983 di Situbondo dan diperkuat oleh keputusan Muktamar NU ke-27 1984 di tempat yang sama menerima asas tunggal. Motor penerimaan asas tunggal ini tidak lain adalah Gus Dur dan KH Achmad Siddiq. Keduanya dipilih melalui mekanisme ahlul halli wal aqdhi sebagai ketua Tanfidziyah dan rais Am Syuriah PBNU. Dibanding ormas lainnya, NU adalah ormas pertama yang menerima asas tunggal.

Alasannya bukan didasarkan pada 'strategi perjuangan politik' dalam artian yang abstrak, melainkan keabsahannya di mata fikih. NU juga memberi batasan yang jelas antara 'wilayah kekuasaan agama' dan 'wilayah kekuasaan negara'. Gus Dur menyatakan bahwa antara agama dan negara mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri. Dalam hal yang tidak sama, katakanlah dalam melaksanakan wawasan Islam, itu menjadi tanggung jawab umat Islam, tanpa harus membebani negara. Negara diminta hanya untuk mengayomi hal-hal yang terkait dengan maslahatil ammah , tanpa membedakan suku, agama, bahasa, dan warna kulitnya. Atas dasar ini, tidak heran kalau NU dengan mudah menerima asas tunggal. Menurut Gus Dur, kehidupan yang diasastunggali Pancasila merupakan wewenang negara. Tapi, ada juga kehidupan yang tidak berada di bawah wewenang negara, yaitu akidah (iman). Sementara itu, ormas lain sangat kesulitan beradaptasi dengan keinginan pemerintah ini. Hal ini karena mereka tidak mampu mendudukkan antara keimanan dan ideologi. Mereka juga menganggap bahwa soal Pancasila itu berada di luar masalah agama karena Pancasila hanya diterima sebagai ideologi tanpa dikaitkan dengan alasan keagamaan. Ini juga, menurut Gus Dur, tidak benar karena berarti mereka mempunyai kesetiaan ganda: setia pada Pancasila dan pada agama. Dalam pandangan Gus Dur, kalau kita setia pada Islam, juga harus setia pada negara. Sebab, negara merupakan bagian dari kegiatan masyarakat yang dibuat bersama dengan orang lain. Sementara itu, akidah merupakan milik kita sendiri. Jadi, ada perbedaan, tetapi tetap dalam satu kaitan. Relasi agama dan negara Komitmen dan pembelaan yang begitu total terhadap Pancasila menjadikan Gus Dur sebagai salah satu dari sedikit cendekiawan Muslim yang menolak setiap upaya menjadikan Islam sebagai dasar negara. Penolakan ini tentu bukan tanpa alasan. Paling tidak, ada dua alasan mendasar, yaitu selain Pancasila dipandang sebagai bentuk 'kompromi politik' final, juga Islam sendiri, menurut Gus Dur, tidak mempunyai konsep tentang negara. Dalam Alquran misalnya, tidak terdapat kata al-daulah . Pengertian kenegaraan hanya menggunakan istilah baldah . Jadi, di sini, Islam tidak mempunyai konsep yang definitif. Dalam persoalan yang paling pokok terkait suksesi kekuasaan, Islam juga tidak cukup konsisten. Terkadang, memakai istikhlaf, bay'ah , atau ahlul halli wal aqdhi . Padahal, suksesi kekuasaan adalah persoalan cukup urgent dalam masalah kenegaraan. Tidak adanya bentuk yang baku tentang negara, menurut Gus Dur, telah membuat perubahan historis atas bangunan negara yang ada menjadi tak terelakkan. Dengan kata lain, kesepakatan akan bentuk negara tidak dilandaskan pada dalil naql (nash) ,

melainkan pada kebutuhan masyarakat. Inilah yang membuat hanya sedikit sekali Islam berbicara tentang bentuk negara dan proses suksesi kekuasaan. Meski menolak negara Islam, bukan berarti Gus Dur tak menghendaki terciptanya 'masyarakat Islami' (lebih pada value ). Gus Dur berbeda pendapat dengan mereka yang ingin membina 'masyarakat Islam'. Sebab, itu merupakan pengkhianatan terhadap konstitusi karena ia akan menempatkan non-Muslim sebagai masyarakat kelas dua. Tapi, sebuah masyarakat Indonesia yang di dalamnya terdapat umat Islam yang tumbuh kuat dan berfungsi akan dianggap lebih baik. Pembela minoritas Gus Dur juga dikenal sebagai pembela kelompok minoritas. Tidak saja dalam hal keagamaan, tapi juga minoritas dalam politik. Dalam kasus Monitor 1990 yang dinilai melecehkan Muhammad SAW, Gus Dur justru tampil membela dan mengecam keras pemberedelan Tabloid Monitor . Karena, itu sama artinya memberikan otoritas dan membenarkan perilaku otoriter pemerintah dalam melakukan pemberedelan. Pembelaan Gus Dur bukan lantaran tidak marah atas polling Monitor , namun karena sikap umat Islam yang terkesan mau main hakim sendiri, termasuk menuntut pencabutan SIUPP yang sama sekali tidak demokratis. Usai politik sapu bersih pemerintah dalam peristiwa penyerbuan kantor DPP PDI, 27 Juli 1996, suara-suara kritis yang tadinya begitu keras hilang seketika. Masyarakat juga dibuat ketakutan luar biasa. Dalam suasana yang mencekam ini, Gus Dur tampil dengan mendirikan posko pengaduan bagi mereka yang merasa kehilangan keluarganya serta mengalami kerugian fisik ataupun harta benda. Pembelaannya terhadap keluarga Kong Hu Chu dalam persidangan di PTUN Surabaya, yang kebetulan perkawinannya tidak diakui pemerintah, lantaran mereka bersikukuh beragama Kong Hu Chu setidaknya menjadi bukti lain dari kepedulian Gus Dur terhadap kelompok minoritas. Pembelaan Gus Dur juga diberikan kepada kelompok minoritas lainnya yang hak-hak politik dan keagamaannya dikebiri oleh negara dan sebagian umat Islam, seperti pembelaannya terhadap Dar al-Arqam, Syiah, dan Ahmadiyah. Demikianlah sekelumit gagasan-gagasan besar Gus Dur yang selama ini diperjuangkan secara konsisten hingga akhir hayatnya. Hasilnya, di saat Gus Dur masih hidup pun sudah mulai bisa dirasakan. Gagasan-gagasannya telah merasuk di sebagian besar generasi muda NU dan dalam batas tertentu juga telah merasuk di lingkup angkatan muda Muhammadiyah. Seiring wafatnya Gus Dur, harapannya adalah tentu gagasan-gagasan Gus Dur akan semakin membumi. Amin dan semoga.
SUMBER: REPUBLIKA

Anda mungkin juga menyukai