Anda di halaman 1dari 12

MENGETAHUI LEBIH BANYAK TENTANG:

GLITAZONES
Andrew J Lowy,BMedSc,MBBS, FRACP; Pat J Philips, MBBS, MA, FRACP. (dari Medical Progress December 2005)

Glitazones adalah suatu kelas obat yang dipakai pada pengobatan diabetes type 2. Obat tersebut bekerja menurunkan glukosa dengan cara meningkatkan sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin. Obat tersebut dapat dipakai sendiri-sendiri dan dapat dikombinasikan dengan obat antidiabetik oral lain atau dengan insulin.

Meskipun kombinasi dari modifikasi diet dengan pembatasan kalori dan exercise merupakan tindakan awal dari pengobatan diabetes type 2, lebih dari 90% pasien dalam kondisi demikian akan membutuhkan drug treatment, dan sebagian besar membutuhkan kombinasi dengan lebih dari 2 macam jenis obat. Sekarang, meskipun insidens diabetes type 2 meningkat pesat sejak 1950-an, hanya terdapat sedikit kemajuan dalam perkembangan modalitas terapi baru untuk pengobatannya. Dengan penambahan thiazolidindiones (atau glitazones) suatu obat dari kelas yang benar-benar baru pada obat oral hipoglikemik yang sudah ada, memperkenalkan suatu era baru dalam management diabetes.

The metabolic Syndrome:


Insulin Resistance
Diperkirakan bahwa gambaran utama dari gangguan metabolisme yang mengakibatkan diabetes type 2 dan phenomena klinis yang menyertainya adalah akumulasi triglyceride(TG) dan asam lemak(FA) lainnya dalam otot, hepar, dan pancreatic islets yang menyebabkan terjadinya insulin resistance dan gangguan sekresi insulin. Keadaan ini dikenal sebagai metabolic syndrome (juga dikenal sebagai insulin resistance syndrome atau Syndrome X). Akumulasi TG dan FA didalam jaringan diakibatkan oleh tingginya FA didalam sirkulasi. Keadaan ini terjadi pada kurangnya aktifitas fisik dan peningkatan pelepasan FA dari massa yang besar dari intra-abdominal adipose tissue, menyebabkan (sintesa TG hepar yang meninggi dan VLDL output (Visceral fat [misal, intra abdominal fat] secara metabolik berbeda dengan non visceral fat [peripheral or subcutaneous fat].)

Type 2 Diabetes.
Diabetes type 2 ditandai dengan disfungsi progressif sekresi dari B-cell dalam lingkungan insulin resistance, dimana biasanya terjadi ber-tahun tahun sebelum onset hiperglikemia. Untuk mengatasi defect metabolismetersebut, maka terjadi keadaan hiperinsulinemia, dimana B-cell pankreas mensekresikan sejumlah besar insulin guna menjaga keadaan normoglikemia. Setelah suatu periode yang tidak dapat ditentukan (variable) (biasanya bertahun tahun), B-cell pelahan-lahan menjadi gagal untuk melepas insulin yang cukup guna menjaga kadar fisiologis gula darah. (Gambar 1). Bilamana terjadi kegagalan dalam menekan gula darah puasa dibawah 7.0 mmol/L [ 126 mg/dL] (dan /atau gula darah 2 jam postprandial dibawak 11,1 mmol/L [ 200 mg/dL]), dikatakan sudah terjadi diabetes type 2. Untuk beberapa periode (sering tidak diketahui) sebelum keadaan itu terjadi, GDP

dan/atau GDPP sudah tinggi, tetapi masih kurang dari angka-angka diatas, dan dalam derajad yang lebih ringan terdapat abnormalitas metabolisme glukosa, yang dikenal sebagai impaired fasting glycaemia atau impaired glucose tolerance. Insulin menjaga homeostasis glukosa dengan bekerja pada otot skelet (untuk uptake glukosa) dan di hati (Untuk menekan produksi glukosa[gluconeogenesis]). Jadi, keadaan insulin resistance ditandai oleh gangguan uptake gluosa di otot skelet dan peningkatan output glukosa hepar, yang akan mencapai titik tertinggi pada malam hari (nokturnal), dan merupakan kontributor utama dari hiperglikemia pada pagi harinya.

Komponen-komponen lain dari Metabolik Sindrome:


Disamping gangguan homeostasis glukosa, kerusakan efek vasodilatasi dari insulin dapat memberi sumbangan terhadap terjadinya hipertensi. Juga, hepatic insulin resistance ber-kontribusi terhadap dyslipidaemia, yang ditandai dengan: - Menurunnya kadar HDL-C; - Meningkatnya kadar triglyceride; - Berkurangnya ukuran(size) dari partikel LDL-C (makin kecil partikel LDL diperkirakan bersifat lebih adherent terhadap endotel pembuluh darah). Abnormalitas metabolik lain yang ada hubungannya dengan insulin resistance antara lain: Peningkatan circulating concentration of C-reactive protein(CRP) dan mediator-mediator inflamasi lain. Endothelial dysfunction; dan Menurunnya pelepasan adipocyte hormone (e.g. adiponectin), yang diduga berguna untuk memodulasi transport FA. Keadaan-keadaan diatas diduga yang mengubungkan antara insulin resistance dengan accelerated atherogenesis dan cardiovascular disease.

Era Preglitazone:(Era sebelum Glitazone).


Pengobatan farmakologis dari diabetes type 2 secara tradisionil melibatkan pemakaian metformin, sulfonylureas atau insulin, atau kombinasi dari dua atau semua obat-obatan tersebut. Kadang- kadang repaglinide, yang men-stimulasi sekresi insulin, dan acarbose, yang menghambat absorpsi glukosa dari usus, juga dipakai. Metformin: Metformin sudah tersedia di Australia kurang lebih setengah abad. Biasanya dipakai sebagai first-line agent pada pasien-pasien diabetes type 2 setelah penelitian UKPDS (U.K. Prospective Diabetes Study) menunjukkan manfaat nya dalam menurunkan insidens penyakit kardiovaskular pada pasien diabetes type 2 yang overweight . Kerja metformin terutama menurunkan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Diduga kerjanya me-mediasi efek insulin sensitizing; bilamana dipakai bersama insulin, metformin dapat mengurangi kebutuhan insulin harian sampai 20%-30%. Pada banyak pasien, side effects gastrointestinal-nya menyebabkan hambatan pada pemakaian obat tersebut,meskipun hanya 10%-15% pasien saja yang tidak dapat mentolerir obat tersebut sama sekali. Metformin harus dihindari pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal yang signifikan (creatinine clearance < 50 mL/min) dan pasien dengan gagal jantung atau gagal respirasi yang signifikan, penyakit hepar aktif, atau penyakit penyakit sistemik, dikarenakan terdapatnya risiko lactic acidosis( yang sangat jarang tetapi fatal).

Sulfonylureas: Sulfonylureas(termasuk glicazide, glipizide, glibenclamide dan glimepiride) telah tersedia sejak beberapa tahun. Agen-agen insulin secretatogogues ini men-stimulasi sekresi insulin dari pancreas, sehingga menurunkan peningkatan glukosa darah yang terjadi setelah makan. Karena kerjanya demikian, obat-obat tersebut dapat menyebabkan hypoglikemia, yang sering terjadi , khususnya pada pasien lanjut usia. (keadaan seperti ini tidak ditemui pada pemakaian metformin bila diberikan sendiri saja, tetapi metformin dapat memperkuat kerja hipoglikemik dari sulfonilurea bila dipakai bersama-sama (kombinasi). Selain itu, diluar efek alergi yang dapat ditimbulkannya, sulfonylureas dapat ditolerir dengan baik (jangan dikacaukan dengan alergi terhadap sulfur/sulfonamida). Sulfonylurea juga cenderung meng-eksaserbasi hyperinsuliemia yang ditandai dengan adanya insulin resistance dan diabetes type 2, dan cenderung meningkatkan body fat. Insulin: Insulin diberikan pada pasien-pasien diabetes type 2 bilamana kontrol gula darah-nya tidak tercapai hanya dengan pemakaian metformin atau sulfonylurea, atau keduanya. Insulin dapat juga sebagai pengganti atau pelengkap terapi oral. Masalah utama pada pemakaian insulin adalah :kurang disukai pasien, hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Seperti halnya sulfonylurea, insulin akan lebih memperberat keadaan hiperinsulinemia yang ada hubungannya dengan metabolic syndrome

Glytazone:
Glitazones adalah suatu obat aktif oral yang secara langsung mengatasi insulin resistance. Dengan cara membuat sensitive jaringan perifer ( jaringan lemak, otot skelet, dan hepar) terhadap insulin, obat tersebut mempunyai efek seperti hormon (i.e. bilamana dilepas secara endogen sebagai respons terhadap makanan atau oleh secretagogues), atau sebagai obat (i.e. bila diberikan sebagai injeksi) sehingga akan menurunkan kadar gula darah. Glitazones tersedia dalam bentuk rosiglitazone dan pioglitazone. Troglitazone telah ditarik dari pemakaian klinis sejak tahun 2000 setelah diketahui mempunyai efek toksik terhadap hepar; adverse effect ini tidak dijumpai pada dua jenis obat yang lain. Dijumpai respons yang sangat heterogen terhadap glitazones. Data subjektif menunjukkan sebagai berikut: 10% pasien memberi respons yang luar biasa baik (spectacularly well) dan membutuh-kan penurunan dosis yang dramatis dari obat-obat diabetesnya; 30% memberi respons sangat baik (very well); 40% mempunyai respons modest to good ;dan 20% memberi respons bruk atau tidak memberi respones sama sekali(poor or not at all). Prediktor respons terhadap terapi antara lain meliputi: derajad obesitas abdominal atau central, dengan korelasi positif dengan lingkar pinggang dan respons. Jadi, obat tesebut kurang bermanfaat pada pasien-pasien yang relatif kurus(lean). Telah diketahui dengan baik bahwa glitazone dapat menunda kebutuhan pemakaian insulin pada banyak pasien, meskipun mengetahui pasien yang demikian tidak mudah. Penelitian telah menunjukkan bahwa pasien yang kontrol gula darahnya buruk, glitazone dapat memperbaiki glycosylated haemoglobin (HbA1c) dan gula darah puasa sebanding dengan pemakaian metformin dan sulfonylureas. Obat ini juga efektif dalam kombinasi dengan obat-obat tersebut dan dengan insulin.

Cara Kerja Glitazone:


Cara kerja yang tepat bagaimana glitazone dapat secara langsung memperbaiki insulin sensitivity belum diketahu dengan jelas; tetapi, tampaknya sebagian besar kerja adalah di-mediasi melalui perubahan pada body fat dan distribusinya. Glitazone mengikat erat steroid receptor( isoform of the peroxisome proliferator-activated receptor, yang dikenal sebagai PPAR ) pada cell lemak periferal,tidak pada visceral fat. Disitu glitazone mem-promote uptake FA dan ekspansi jaringan. Keadaan ini akan menurunkan kadar FA sirkulasi dan lipid availability di hepar dan otot, tetapi juga meningkatkan total body fat.Beberapa buktibukti menunjukkan bahwa fat di re-distribusikan ke tempat yang lebih baik i.e. dari visceral ke depot jaringan subcutaneous. Glitazone, juga diperkirakan memperbaiki sensitivitas insulin dengan mengubah adipocyte hormon production(khususnya adiponectin).

Manfaat efeknon-hipoglikemik (pleitrofik):


Di jumpai sejumlah efek glitazone yang lain, tidak ada hubungannya dengan efek pada kadar glukosa darah, antara lain: Peningkatan kadar HDL-C; Peningkatan ukuran partikel LDL-C (yang mana lebih buoyant, sehingga kurang atherogenik); Menurunkan kadar TG; Efek hipotensif ringan; Menurunkan insidens mikroalbuminuria; Menurunkan PAI-1 (plasminogen activator inhibitor-1) dan kadar fibrinogen; Vasorelaxation; dan Efek anti-inflamasi. Sebagian besar dari efek-efek ini mempunyai potensi yang bermanfaat, dan banyak darinya disebabkan oleh perubahan dari lipid metabolism atau fat cell hormones. Harus ditekankan bahwa , pasien-pasien dengan dyslipidemia atau hipertensi harus diobati dengan obat penurun lipid yang cocok atau obat anti-hipertensi yang cocok guna mengurangi risiko kardivaskuler yang berlebihan. Hal ini mesti dilakukan tanpa memandang efek baik glitazone pada lipid atau tekanan darah pasien.

Bila Glitazone Digunakan ?:


Saat ini, rosiglitazone dan pioglitazone sudah di-approved PBS(Pharmceutical Benefits Scheme) untuk dipakai pada pasien-pasien diabetes type-2 sebagai monotherapy dan untuk kombinasi dengan sulfonylureas, metformin atau keduanya, bilamana gula darah tidak dapt terkontrol dengan: perubahan gaya hidup(lifestyle measurement). [catatan editor: PBS adalah suatuhealth-care service yang dibentuk oleh pemerintah Australia guna memberi subsidi pada beberapa obat tertentu bagi penduduk Australia]. Pioglitazone juga disubsidi untuk kombinasi dengan insulin; diharapkan dalam waktu dekat, rosiglitazone juga akan disubsidi. Meski hampir semua pasien diabetes type-2 mungkin cocok dengan terapi glitazone (kecuali pada mereka yang ada indikasi kontra),pengobatan dengan obat ini mahal. Obat ini umumnya dipakai sebagai second- atau third-line therapy, bilamana pasien mempunyai kontrainsikasi ataupun intolerans terhadap metformin atau sulfonylureas .(Tabel-1) Kriteria BPS dan kebutuhan pihak berwewenang terhadap glitazone tampak pada box Summary of BPS criteia for glitazones; tetapi boleh saja pe-resep-an diluar kriteria ini (tetapi masih ada indikasi) bilamana pasien sanggup untuk membayar dengan harga non-subsidi . Pemakaian pada pasien-pasien dengan insulin resistant lainnya, tetapi tanpa diabetes harus dihindarkan.

Bila Glitazone Jangan Digunakan ?:


Glitazone memperbaiki kerja insulin dan kontrol gula darah pada pasien diabetes hanya bila ada insulin resistance. Jadi, Glitazone jangan dipakai pada pasien diabetes type-1 atau pada pasien diabetes type-2 yang kurus, insulin deficient (tetapi masih insulin sensitive). Glitazone jangan dilanjutkan pemakaiannya pada pasien-pasien yang tidak memberi respons dalam 3-6 bulan, atau pada pasien-pasien dimana adverse effects nya mengganggu. Sekitar 20% pasien akan termasuk kategori non-responders.

Bagaimana Cara Pemakaian Glitazone ?:


Dosis awal rosiglitazone yang biasa dipakai adalah 4 mg, sedangkan pioglitazone adalah 15 atau 30 mg.( tidak ada panduan formal untuk pioglitazone). Kedua jenis obat tersebut dapat dimakan kapan saja ,baik sebelum , pada waktu atau sesudah makan. Meskipun glitazone diabsorpsi dengan cepat dan mencapai peak level dalam beberapa jam , dikarenakan mekanisme kerjanya yang melibatkan genetic transcription of proteins, maka efek penurunan glukosanya tidak terjadi dengan segera. Terdapat rentang waktu yang sukar diperkirakan terhadap onset kerja obat ini ( minimal 1 minggu, tetapi biasanya sekitar 2 4 minggu) dan sukar untuk memperkirakan efek maksimalnya tercapai (sampai 3 bula atau lebih). Jadi, peningkatan dosis obat kedua obat tersebut diperkirakan sekitar 2 3 bulan dan biasanya dilakukan bilamana didapat respons yang cukup dan diperkirakan dapat memperoleh hasil yang lebih baik. Penting untuk mencatat hal tersebut, bahwa tidak seperti obat anti-diabetik konvensional lainnya bahwa obat tersebut memerlukan 6-8 minggu untuk menghasilkan efek pada beberapa individu. Rosiglitazone dapat dimakan 2 kali sehari ( 4 mg, duakali sehari), tetapi tampaknya tidak ada alasan untuk menyatakan pemakaian duakali lebih baik daripada 8 mg sekali sehari, bilamana dosis tersebut dipakai.

Monitoring Biokimia:
Glitazone tidak meningkatkan serum insulin levels, dan sangat tidak mungkin mengakibatkan hipoglikemia baik sendiri saja maupun bersama dengan metformin. Tetapi, obat tersebut berpotensiasi dengan kerja penurunan glukosa sulfonilurea dan insulin. Karena glitazone khas-nya memerlukan beberapa minggu sampai beberapa bulan untuk mencapai efek puncak dan signifikan , pasien yang sedang menggunakan sulfonilurea atau insulin harus memonitor kadar glukosa darah kapiler dengan teliti bilamana memulai terapi glitazone. Karena penarikan troglitazone disebabkan adanya hepatotoksik hepar, maka dianjurkan untuk memeriksa ALT(alanine aminotransferase) setiap dua bulan pada 1 tahun pertama dan secara periodik kemudian ,bilamana memakai glitazone.

Potential Drug Interactions:


Metabolisme rosiglitazone dan pioglitazone melibatkan cytochrome P450 isoform; tetapi, selanjutnya, tidak dijumpai interaksi obat yang signifikan secara klinis. Harus ber hati-hati bila memakai glitazone dalam kombinasi dengan obat-obat lain yang dimetabolis oleh enzim-enzim tersebut. Karena obat-obat(glitazone) tersebut tidak diekskresikan melalui ginjal secara signifikan, maka obat tersebut dapat diberikan pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal yang signifikan (meskipun perlu juga hati-hati karena obat tersebut menyebabkan retensi cairan).

Adverse Effects and Contraindications:


Weight gain: Side efek utama dari glitazone adalah weight gain(peningkatan berat badan), yang terjadi pada sebagian besar(tidak semua) dari pasien-pasien.. Tetapi, central fat (intraabdominal atau visceral), yang secara metabolik memberi efek yang merugikan dibandingkan dengan peripheral fat, tidak bertambah dan bahkan berkurang pada terapi

glitazone. Derajad dimana glitazone dapat memberi efek weight gain sangat bervariasi. Juga efek ini dose-dependent. Pasien diberi tahu bahwa ada kemungkinan peningkatan berat-badan 2-3 Kg, yang mana paling sering pada sekitar pemakaian 6 bulan pertama. Setelah itu, berat badan mungkin menjadi stabil kembali. Diketahui bahwa penambahan massa fat dapat lebih meningkat bilamana glitazone dipakai bersama-sama kombinasi dengan sulfonilurea dan insulin (khususnya insulin) dan penambahan massa fat dapat diminimal bila ber-kombinasi dengan metformin.Pasien-pasien yang menuruti lifestyle advice umumnya mengalami penambahan berat badan yang sedikit dibanding pasien lain. Retensi Cairan dan Gagal Jantung. Efek terpenting dari golongan obat ini adalah retensi cairan, yang mengakibatkan edema perifer pada 3%-5% pasien. Rate terjadinya edema perifer lebih tinggi pada pasien-pasien yang juga bersamaan dengan terapi insulin. Edema umumnya ringan dan serupa dengan yang tampak pada pemakaian non-hydropyridine calcium channel blockers. Kecuali menyebabkan rasa kurang nyaman, edema tersebut tidak memerlukan pengobatan khusus, tetapi pemakaian compressing stockings mungkin membantu dan, kadang2 dapat dibenarkan memakai loop-diuretics . Peningkatan volume plasma kadang-kadang mengakibatkan penurunan ringan haemoglobin dikarenakan oleh pengenceran darah (hemodilusi), tetapi hal ini jarang signifikan secara klinis. Sayangnya, retensi cairan pada pasien yang mengalami subnormal cardiac reserve dapat mencetuskan gagal jantung. Secara kasar 1% pasien yang memakai rosiglitazone atau pioglitazone (atau, juga insulin) mengalami Gagal Jantung., dan kedaan ini bertambah menjadi 2%-3% bilamana glitazone di-kombinasikan dengan insulin. Gagal Jantung Kongestif lebih sering terjadi pada pemakaian obat ini dengan dosis yang lebih tinggi dan pada pasien-pasien yang ber-risiko Gagal Jantung. Maka, glitazone di-kontraindikasikan pada pasien-pasien Gagal Jantung NYHA(New York Heart Association) Class III atau IV (lihat Tabel 2 ) dan harus dipakai dengan hati-hati pada individu gagal jantung dengan Class yang lebih rendah atau pasien yang berisiko Gagal jantung. Bila terdapat kecurigaan terhadap cardiac status, di-indikasikan untuk merujuk pasien sebelum menggunakan glitazones. Jika pasien mengalami peningkatan berat badan yang signifikan atau mengalami edem setelah mengawali terapi glitazone, mereka harus segera ber-konsultasi pada dokter-umum atau spesialist. Pasien dengan Test Fungsi Hati yang Abnormal. Meskipun hubungan antara troglitazone dan hepatotoksisitas tampaknya berlaku khusus untuk sejenis obat, kehati-hatian perlu dilakukan terhadap keseluruhan jenis glitazone, oleh karena itu glitazone jangan dipakai pada pasien-pasien dengan SGPT (ALT) yang meningkat melebihi 2,5 kali dari batas atas normal. Kontra-indikasi lain: Dikarenakan belum adanya data keamanan glitazone, maka obat tersebut janga digunakan pada wanita yang sedang hamil, menyusui, atau pada pasien-pasien berumur dibawah 18 tahun.

Shared Care:
Masuknya glittazone kedalam management diabetes memberikan kesempatan yang baik untuk shared care(berbagi perhatian/pengetahuan) antara endocrinologist dengan GPs, dimana pasien biasanya berhubungan pada keduanya.Seperti pada Kasus 1 dan 2 pada ilustrasi artikel ini, managemen pasien dengan glitazone dapat menjadi complicated (kompleks), dan konsultasi spesialist direkomendasikan karena sampai tahun yang lalu obat ini hanya diresepkan/dipakai oleh para spesialist saja. 6

Kesimpulan:
Glitazone merupakan model terapi yang baru serta unik pada pasien-pasien diabetes type 2. Cara kerjanya terutama menyebabkan redistribusi dari FA ke peripheral fat. Hal ini menyebabkan penurunan kadar FA dalam sirkulasi, hepar dan otot dan memperbaiki sensitivitas terhadap insulin(insulin sensitivity). Potensial benefit dari glitazone juga terjadi diluar efek penurunan glukosa darah dan merupakan penurunan adverse effects dari insulin resistance. Gambar 1. Skema yang menunjukkan hubungan terbalik antara Insulin Resistance dan Insulin Secretion, dan impak-nya pada glukosa darah

Normal Blood Glucose

High Blood Glucose Insulin resistance

Normal insulin

--------------------------------------------------------------------------------Insulin secretion

Tine (years)

Table 1. Sulfonylureas dan Metformin: Kontraindikasi dan Intolerance * Sulfonylureas Kontraindikasi Allergi terhadap sulfonilurea Alasan Intolerance Umum Hipoglikemia Rash Nausea Diarrhoea

Metformin

Gagal Jantung Recent myocardial infarction Respiratory failure Severe infection or trauma Dehydration Renal impairment Hepatic impairment

Not exhaustive

Kasus 1. Pemakaian pioglitazone dengan metformin: Seorang pasien berumur 75 tahun, pensiunan yang tinggal sendirian, dan menderita diabetes type 2, yang didiagnosa 8 tahun yang lalu. Ia mempunyai masalah dengan mobilitas akibat osteoarthritis, dikenal mengalami osteporosis dengan fracture akibat terjatuh, dan BMI 27 Kg/m2. Awalnya ia di-obati dengan terapi diet dan exercise ; Ia mulai memakai metformin sejak 4 tahun yang lalu. HbA1c nya waktu meng-awali terapi adalah 8,4%. HbA1c sempat menurun sampai 7,2%, tetapi mulai naik kembali sejak 18 bulan yang lalu(1 tahun), meskipun telah menaikkan dosis metformin sampai 1 gram 2x sehari. HbA1c yang terakhir adalah 8,6%. Glicazide 40 mg, 2 kali sehari kemudian ditambahkan pada regimen. Empat hari kemudian, ia mengalami hampir pingsan. episode hipoglikemik , yang berakibat pasien

Diskusi: Karena sangat penting pada pasien ini meminimalkan risiko hipoglikemia, peristiwa terjadinya hypoglikemia segera setelah pemakaian sulfonylurea menunjukkan ia tidak dapat mentolerir terapi yang demikian; dapat dinyatakan juga bahwa pada kasus ini sulfonilurea adalah kontraindikasi. Kelanjutan Kasus: Glicazide kemudian pelan-pelan ditarik dan pioglitazone 15 mg/hari ditambahkan pada regimen . Pada kunjungan follow-up 3 bulan kemudian oleh endocrinologist, HbA1c pasien menjadi 7,2% dan kadar gula darah puasa dan post-prandial-nya membaik. * Berat badan pasien meningkat dengan 1,5 Kg, tetapi tidak dijumpai adverese effects lainnya. Oleh karena itu regimen ini dilanjutkan. *Perbaikan kontrol gula darah diharapkan sebelum 3 bulan; periode ini diindikasikan karena HbA1c sesuai dengan interval ini.

Kasus 2. Pemakaian rosiglitazone dengan satu sulfonilurea. Seorang pasien berumur 75 tahun, pensiunan akuntan yang mempunyai BMI 29 Kg/m2. Menderita diabetes type 2 yang didiagnose sejak 6 tahun yang lalu ketika melakukan pemeriksaan rutin gula darah puasa adalah 12,7 mmol/L. Test laboratorium lain menunjukkan adanya proteinuria, serum creatinine 280 mol/L, dan creatinine clearance (calculated)* 28 ml/min. Ia meng-awali pengobatan dengan glibenklamid . Pada permulaan terapi, HbA1c adalah 8,7%. Dengan pengobatan HbA1c menurun sampai 7,6%, tetapi meningkat pelan-pelan bersama dengan waktu dengan dosis glibenklamide 15 mg/hari. HbA1c terakhir adalah 8,8%. Ia juga sekarang memakai obat antihipertensi (ACE inhibitor) Diskusi: Proteinuria dan cretinine clearance 30 ml/min menunjukkan gangguan ginjal moderate (sesuai dengan gambaran diabetic nephropathy). Gangguan ginjal berarti metformin merupakan kontraindikasi dikarenakan adanya risiko lactic acidosis. Kelanjutan Kasus: Rosiglitazone 4 mg kemudian ditambahkan pada regimen. Pada review 3-bulan kemudian oleh endocrinologist, HbA1c pasien adalah 7,8% dan kontrol gula darah pasien dirumah(sendiri) mengalami sedikit perbaikan tetapi stabil. ** Berat badan-nya tidak mengalami perubahan dan tidak dijumpai side effect. Dosis rosiglitazone ditingkatkan sampai 8 mg/hari. Tiga bulan kemudian, HbA1c nya adalah 7,2% dan home blood sugar level masih menurun dengan pelahan. ** regimen tersebut dilanjutkan. * Creatinine clearance (CcCl) menggunakan Cockroft-Gault equation: CrCl (mL/min) equals (140 minus umur) kali berat badan (Kg) kali 1,2 dibagi dengan serum creatinine ** Note; bahwa perbaikan kontrol gula diharapkan terjadi sebelum 3 bulan; periode waktu ini ditunjukkan karena HbA1c test, sesuai dijadwal dengan waktu ini.

Table 2: Heart failure : New York Heart Association classification. Class I Symptoms (e.g. dyspnea) with more than ordinary activity -----------------------------------------------------------------------------------------------------------Class II Symptoms with ordinary activity -----------------------------------------------------------------------------------------------------------Class III Symptoms with minimal activity -----------------------------------------------------------------------------------------------------------Class IV Symptoms at rest

Practice Points:
Glitazone merupakan kelas obat yang baru, untuk pengobatan diabetes type 2 yang efek penrun glukosa-nya dengan cara memperbaiki sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin. Sebagai besar kerja obat ini tampaknya di-mediasi melalui perubahan body fat dan distribusinya; obat ini juga mempengaruhi produksi hormone adipocyte (khususnya adiponectin) , dimana dapat menyebabkan efek biologis tambahan yang baik. Rosiglitazone dan pioglitazone dapat dipakai pada pasien diabetes type 2 sebagai monotherapy dan dalam kombinasi dengan sulfonilurea, metformin atau keduanya, dimana kadar gula darah tidak dapat dikontrol dengan lifestyle measure. Adverse effect utama glitazone adalah peningkatan berat badan, dan class effect yang penting adalah retensi cairan, mengakibatkan edema perifer pada 3% - 5% pasien.

Ikhtisar Kriteria PBS (Pharmaceutical Benefits Scheme) untuk Glitazone:


BPS listing menyatakan bahwa rosiglitazone dan pioglitazone dipakai hanya dalam keadaan-keadaan yang disebut dibawah ini dan pada Gambar A dan B. Bila penambahan metformin pada pasien-pasien yang tidak dapat terkontrol dengan sulfonilurea (meskipun sudah dengan diet dan exercise) masih belum juga terkontrol baik ( e.g. misal dikarenakan oleh adanya adverse effects) atau ada kontraindikasi (lihat Tabel-1) - pada kasus ini maka glitazone dapat ditambahakan pada sulfonilurea. Bila mana penambahan sulfonilurea pada pasien yang tidak terkontrol dengan baik dengan metformin (meskipun sudah dengan diet dan exercise) (lihat Tabel 1) atau ada kontraindikasi,masih juga tidak terkontrol baik (e.g. risiko terjadi hipoglikemia pada orang lanjut usia) Pada kasus ini maka glitazone dapat ditambahkan pada metformin. Bialamana dosis sudah ditingkatkan (titrasi) baik dengan metformin atau sulfonilurea guna meng-kontrol gula darah pada pasien-pasien yang memakai kedua obat tersebut mengakibatkan terjadinya intoleransi pada salah satu obat tersebut (e.g. gastrointestinal side effects pada dosis tinggi metformin) pada kasus ini obat yang mengganggu dapat ditarik (pelahan-lahan, khususnya jika obat tersebut sulfonilurea) dan diganti glitazone.

Catatan: Pada kasus-kasus diatas, insulin dapat dipakai sebagai alternatif terhadap glitazone (i.e. penambahan glitazone bukanlah satu-satunya pilihan).

10

PEMAKAIAN GLITAZONE pada Pasien dengan MONOTHERAPY(PBS)


Pasien memakai Sulfonilurea atau Metformin dengan inadekwat kontrol [HgA1c > 7%)

Apakah penambahan Metformin atau Sulfonilurea merupakan kontraindikasi atau tidak dapat ditolerir

YES

NO

Pertimbangkan penambahan Glitazone

Tambahkan Metformin atau Sulfonilures

Gambar A. Wewenang PBS untuk pemakaian Glitazone pada pasien-pasien yang sudah menggunakan monoterapi metformin atau sulfonilurea

PEMAKAIAN GLITAZONE sebagai TERAPI KOMBINASI [PBS]:


Pasien memakai Sulfonilurea dan Metformin dengan kontrol gula tidak baik [HbA1c > 7%0]

Apakah ada intoleransi atau kontraindisikasi terhadap obat-obat tersebut ?

YES

NO

Pertimbangkan mengganti salah satu obat yang sedang dipakai dengan Glitazone

Tingkatkan dosis metformin atau sulfonilurea

Jika pasien menjadi intolerans, pertimbangkan mengganti obat yang menyebabkan intoleransi dengan Glitazone Gambar B. Wewenang PBS untuk pemakaian Glitazone pada pasien dalam kombinasi dengan Metformin dan sulfonilurea

11

Tentang Pengarang: Dr Lowy adalah Endocrinologist dan Clinical Pharmacologist pada St Vincents Clinic, dan Diabetes Centre, St Vincents Hospital, Sidney, dan Visiting Endocrinologist pada Sutherland Hospital, Caringbah, New South Wales; Dr Phillips adalah Endocrinologist dan Senior Director pada The Endocrinology Unit, The Queen Elizabeth Hospital, Woodville, South Australia.

12

Anda mungkin juga menyukai