Anda di halaman 1dari 3

Petasan di Bulan Ramadhan Ahmad Ali Nurdin Dua hari menjelang Hari Raya, saya bersama keluarga mudik

pulang ke kampong di Kuningan, Jawa Barat. Supaya tidak terkena jem, saya berangkat dari Bandung setelah sholat tarawih di malam hari. Selama perjalanan, mulai dari Bandung, Sumedang, Majalengka sampai ke kampong di Kuningan, saya menemukan banyak kanak-kanak, remaja juga orang dewasa bermain petasan atau mercon (fire work). Saya hairan, mengapa bulan Ramadhan di kota mahupun di desa-desa di Indonesia sangatlah identik (menganggap sebagai sama) dengan permainan petasan? Jarang sekali saya temukan permainan petasan di luar bulan puasa. Saya tidak tahu apakah di negara-negara Timur Tengah atau negara Muslim lainnya, orang bermain petasan pada bulan Ramadhan? Timbul banyak soalan dalam fikiran saya, apakah ianya khas budaya masyarakat Indonesia? Apa matlamat bermain petasan? Mengapa orang Islam merosak kekhusuan beribadah dengan bermain petasan? Berdasarkan penerangan dari berbagai sumber, konon katanya permainan petasan bermula dari China. Ianya diledakan yang bermaksud untuk mengusir makhluk jahat bernama Nian. Ertinya, petasan bukanlah budaya khas Indonesia. Menurut sejarah, petasan datang ke Indonesia dibawa oleh para pedagang China sekitar abad 17 pada masa penjajahan Belanda. Sejak diperkenalkan di Indonesia, petasan banyak digunakan oleh orang asli penduduk Jakarta (Betawi). Tetapinya sekarang, hampir semua penduduk Indonesia mengenal petasan. Orang Betawi sepertinya mengadopsi (pengambilan) budaya masyarakat Tiong Hoa yang datang ke Jakarta pada waktu itu. Alwi Shahab, peneliti budaya Betawi, menyebutkan matlamat, fungsi sosial dan fungsi komunikasi petasan bagi masyarakat Betawi. Menurut Encik Alwi, petasan dalam masyarakat Betawi dijadikan simbol untuk menyambut tamu atau sesuatu yang istimewa. Seperti menyambut kedatangan pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan, juga menyambut bulan Ramadhan yang istimewa.

Petasan juga dijadikan simbol bahawa di suatu rumah pada masyarakat Betawi sedang ada pesta atau majlis. Saya bersepakat jika petasan itu dijadikan simbol untuk memberikan informasi bahawa sesuatu yang istimewa telah datang. Tetapinya saya tidak bersetuju kalau petasan secara terus menerus dibunyikan selama bulan Ramadhan. Hal ini bisa menodai dan mencederai kesucian dan kekhusuan bulan yang penuh berkah itu. Apalagi pada masyarakat Indonesia yang berbilang suku dan agama. Image negatif bahawa bulan puasa berserupa (identik) dengan bunyi petasan yang mengganggu, tentunya merugikan umat Islam. Bukankah seharusnya umat Islam menjadikan bulan puasa sebagai bulan untuk menyebarkan rahmat bagi sesama manusia termasuk pemeluk agama di luar Islam? Kerananya, menurut pendapat saya sebaiknya tokoh agama dan pemerintah Indonesia melarang keras petasan terutamanya di bulan Ramadhan. Selain kerana berbahaya bagi keselamatan manusia, ianya juga mengecap negatif (stigmatize) bagi umat Islam dan bulan suci Ramadhan. Banyak dilaporkan akhbar, musibah dan kecelakaan yang disebabkan oleh petasan di beberapa kota dan daerah di Indonesia selama Ramadhan tahun ini. Para tokoh agama harus memberikan nasihat bahawa membakar petasan termasuk bagian dari membazirkan harta yang dilarang agama, apalagi di bulan Ramadhan. Saya juga hairan mengapa masih banyak kanak-kanak, remaja bahkan orang tua yang membakar petasan padahal harganya cukup mahal. Mengapa mereka tiada berfikir untuk menyumbangkan uangnya kepada orang miskin daripada dibelikan petasan. Kalau sahaja satu petasan berharga 10.000 sampai 25.000 rupiah, dan ratusan ribu petasan dibakar selama bulan Ramadhan, berapa milyar rupiah uang dibakar dengan siasia? Alangkah eloknya kalau wang sebesar itu digunakan untuk membantu fakir miskin dan anak yatim yang kekurangan. Sekarang Ramadhan telah berakhir, sudah seharusnya masyarakat yang suka membakar petasan sedar, insaf dan berfikir bahawa perbuatan membakar petasan tiada berguna dan membazirkan harta benda.

Mudah-mudahan pada bulan Ramadhan yang akan datang, kebiasaan membazirkan harta membakar petasan bisa dihilangkan atau berkurang. Adalah tugas pejabat yang berwenang dan pemimpin agama untuk mengingatkan masyarakat agar benar-benar mengisi Ramadhan dengan perbuatan baik, dan bukannya mencederainya dengan membakar petasan yang banyak mengganggu orang lain.

Anda mungkin juga menyukai