Anda di halaman 1dari 8

PENELITIAN POLA PEMENUHAN BAHAN BAKU BENANG SUTERA UNTUK INDUSTRI TEKSTIL Tim Peneliti Balitbang Prov.

Jateng Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah Jl. Imam Bonjol No. 190 Semarang Telp. 0243540025 RINGKASAN Pendahuluan Persuteraan alam Indonesia terdiri atas pengadaan kokon, industri benang sutera, industri tenun kain sutera dan produkproduk lainnya yang berbasiskan sutera alam. Industri sutera mempunyai potensi keunggulan untuk dikembangkan karena alasan geografis alam Indonesia sangat mendukung, produk persuteraan memiliki nilai ekonomi tinggi, dapat dikelola masyarakat pedesaan dan dapat menciptakan berkembangnya ekonomi rakyat. Kelesuan industri sutera di Jawa Tengah disebabkan karena lemahnya posisi tawar di tingkat petani yang disebabkan karena harga kokon terlalu rendah. Sekitar Rp. 20.000 kg sehingga budidaya ulat sutera tidak pernah menguntungkan petani. Agar bahan baku tepat mutu, jumlah, waktu dan harga, maka bahan baku benang sutera harus benar-benar diperhatikan kualitasnya. Untuk memperoleh bahan baku benang sutera yang berkualitas maka budidaya murbei, pemeliharaan ulat sutera, pemintalan dan penenunan harus memenuhi syarat. Permasalahan yang dihadapi adalah (1) belum ada informasi ketersediaan dan kebutuhan bahan baku benang sutera bagi industri tekstil sutera di Jawa Tengah, (2) belum elasnya sistem distribusi pola pemenuhan kebutuhan benang sutera bagi industri tekstil sutera di Jawa Tengah, (3) belum adanya model sistem distribusi yang efisien dan efektif dalam pemenuhan kebutuhan benang sutera bagi industri tekstil sutera di Jawa Tengah

Metode Penelitian Penelitian bersifat eksploratif dengan teknik snowball dengan starting point dari petani sampai dengan finish pada pengusaha konveksi, dipusatkan di Kabupaten Banyumas, Wonosobo, Jepara, Pati, Temanggung dan Kota Pekalongan. Hasil dan Pembahasan Budidaya murbai Dilihat dari sisi SDM, perlu adanya pendidikan teknis dan cara mengatasi berbagai masalah yang timbul dalam proses budidaya murbai dan pemeliharaan ulat sutera untuk menjamin kualitas dan kuantitas output yang sesuai dengan standar kualitas yang di persyaratkan oleh pasar lokal maupun ekspor. Selain itu luas lahan, kepemilikkan dan model budidaya murbai yang dilaksanakan akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas pasokan daun murbai untuk keperluan pemeliharaan ulat sutera. Dari hasil penelitian diketahui mayoritas pemilikan lahan untuk budidaya murbai adalah milik sendiri, dengan luas lahan berkisar 0,5 sampai 1 hektar dengan metode penanaman monokultur. Daerah temanggung, wonosobo dan banyumas merupakan daerah penghasil daun murbai dengna produktivitas yang cukup tinggi, sedangkan daerah pati dan jepara hasilnya relatif sedikit. Pemeliharaan ulat sutera Produksi kokon ulat sutera dipengaruhi oleh jumlah box ulat sutera yang dipelihara dan jumlah pakan yang diberikan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa mayoritas petani memberikan pakan seumlah 500 kg n1 ton, hal tersebut kurang sesuai dengan variasi jumlah box ulat sutera yang dipelihara.

Wilayah banyumas, wonosobo dan temanggung merupakan wilayah pemeliharaan ulat sutera yang memiliki tingkat produktivitas yang lebih baik di bandingkan dengan jepara maupun pati yang merupakan sentar pemeliharaan ulat sutera dengan skala yang jauh lebih besar. Aspek Budidaya, Mayoritas pemilikan lahan untuk budidaya murbei adalah milik sendiri, dengan luas lahan berkisar 0,5 sampai dengan 1 ha, dengan metode penanaman monokultur. Kondisi tersebut merupakan potensi yang sangat mendukung dalam budidaya murbei, karena pengambilan keputusan terhadap lahan yang akan dipergunakan untuk budidaya murbei tergantung dari pemilik lahan langsung dan tidak terkait dengan pihak eksternal yang lainnya. Pengelolaan lahan yang relative besar (Kab. Banyumas dan Wonosobo) sudah semestinya dilakukan secara monokultur untuk mendukung pencapaian kualitas dan kuantitas pasokan daun murbei untuk proses pemeliharaan ulat sutera. Kondisi lahan di Kab. Pati dan Jepara yang menggunakan model tumpangsari dengan lahan kecil sangat perlu diperhatikan, karena kondisi tersebut akan dapat menjadi penyebab hambatan dalam pasokan daun murbei dengan kuantitas dan kualitas pasokan yang memadai. Wilayah Kab. Temanggung, Wonosobo dan Banyumas merupakan wilayah penghasil daun murbei dengan produktivitas yang cukup tinggi (di atas 2 ton per hektar). Hal tersebut menunjukkan bahwa budidaya murbei di ketiga wilayah tersebut sesuai dengan kondisi alamnya, sehingga dapat menghasilkan kuantitas daun murbei yang sesuai dengan kebutuhan, dan sebaliknya di Kab. Jepara dan Pati yang relative kondisi alamnya kurang mendukung produktivitas pembudidayaan murbei yang dibutuhkan oleh pemeliharaan ulat sutera. Namun demikian, nilai produktivitas tersebut masih jauh dibawah (<25%) ambang batas produktivitas yang ideal 20 ton per hektar (HS Admosoedarjo dkk.2000) Hal tersebut disebabkan petani dalam melakukan budidaya murbei masih belum menggunakan varietas yang sesuai dengan ageoekologi setempat, jarak tanam yang

belum sesuai, pemeliharaan belum sesuai dengan baku, teknis (pemupukan dengan dosis dan waktu yang tepat, pemangkasan dilakukan sekaligus melakukan pungut hasil) dan belum ada rehabilitasi tanaman yang umurnya sudah tua. Kalaupun secara lokasi, ketinggian, dan kondisi tanah ketiga daerah tersebut cukup memadai untuk pembudidaya murbei, maka kemampuan para petani murbei dalam proses pembudidaya perlu menjadi perhatian khusus. Nilai Output, Harga Pokok dan Keuntungan Budidaya, menunjukkan adanya perbedaaan output budidaya murbei untuk masing-masing wilayah budidaya murbei yang disebabkan berbagai faktor antara lain meliputi pemeliharaan budidaya murbei yang belum sesuai dengan baku teknis, umur tanaman, penggunaan varietas murbei tidak sesuai dengan kondisi agroekologis wilayah dan sumber daya manusia. Produktivitas yang dicapai oleh masing-masing wilayah sangat kecil sehingga total produksi pada masing-masing wilayah juga sangat kecil. Produksi yang diperoleh dari usaha budidaya murbei sangat berkaitan dengan harga jual pokok produksi, Harga Pokok Produksi di Kab. Temanggung dan Wonosobo sangat tinggi, hal ini disebabkan karena penggunaan pupuk yang berlebihan dan biaya tenaga kerja yang berlebihan. Selain produktivitas pohon murbei yang menurun akibat penggunaan pupuk yang berlebihan, besarnya biaya tenaga kerja menyebabkan harga pokok produksi murbei di dua lokasi tersebut tidak dapat memberikan keuntungan bagi petani. Harga Pokok Produksi yang sangat bervariasi ini disebabkan produktivitas budidaya murbei sangat kecil jauh dibawah rata-rata produksi yang umum dicapai. Aspek pemeliharaan diketahui dalam pemeliharaan ulat sutera yang dilakukan petani dilokasi penelitian mayoritas memberikan pakan sejumlah 500 kg sampai dengan 1 ton. Hal tersebut kurang sesuai dengan variasi jumlah box ulat sutera yang dipelihara, dimana jumlah pemeliharaan ulat sutera di atas 6 box (Pati) diberikan jumlah pakan yang hamper sama dengan yang dipelihara di Jepara (<2 box).

Variasi jumlah box ulat sutera yang dipelihara dengan variasi jumlah pakan yang diberikan menunjukkan perbedaan perlakuan pemberian pakan terhadap ulat sutera pada tiap daerah. Hal tersebut akan mempengaruhi kualitas rendemen dari kokon yang nantinya dihasilkan dari pemeliharaan ulat sutera tersebut, baik yang kekurangan pakan (dibawah 1 ton pakan) maupun yang kelebihan pakan (diatas 1,5 ton pakan). Produksi dan Produktivitas Ulat Sutera di Lokasi Penelitian Kabupaten Jumlah Box 27 18 59 6 1.152 Prod Kokon KG/Th 1.137,50 620,00 1.906,50 110,10 40.000,00 Produktivitas Kokon (Kg/Th) 42,12 34,44 32,31 18,50 34,72

Banyumas Wonosobo Temanggung Jepara Pati Sumber : Data primer diolah

Analisa Usaha Tani Pemeliharaan Ulat Sutera Menunjukkan bahwa wilayah Jepara merupakan sentra pemeliharaan ulat sutera dengan biaya produksi (per box atau per kg) paling mahal karena jumlah box yang dipelihara relative sedikit sehingga skala produksi yang dijalankan menjadi tidak efisien. Sementara itu wilayah Banyumas masih merupakan wilayah yang tinggi biaya produksinya karena biaya pemeliharaan yang relative mahal dibandingkan dengan jumlah box yang dikelola. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara relative, jumlah pengelola box ulat sutera sangat mempengaruhi rerata biaya produksi yang dikeluarkan untuk jumlah box yang relative berbeda.

Industri Pemintalan

Wilayah Pati merupakan wilayah industri pemintalan dengan kokon yang diolah dan output benang yang terbesar, sementara wilayah yang lainnya hanya dibawah 10 persen dari proses yang dilakukan di industri pemintalan Regaloh, Pati. Banyumas merupakan wilayah penghasil kokon, namun tidak memiliki industri pemintalan, sebaliknya Pekalongan bukan merupakan wilayah penghasil kokon namun memproses kokon dari wilayah sekitarnya untuk dipintal dan menghasilkan benang untuk kebutuhan industri tenun selanjutnya. Industri Penenunan Wilayah Pekalongan merupakan wilayah industri tenun dengan kebutuhan benang terbesar, sementara wilayah Jepara merupakan wilayah industri tenun dengan rasio produksi yang paling tinggi disbanding wilayah lainnya. Jepara merupakan wilayah industri tenun dengan kompetensi tinggi, karena rasio produksinya mencapai 71 %, yang menghasilkan kain 2 kali lebih banyak untuk jumlah benang yang 60 % lebih sedikit disbanding industri tenun Pekalongan. Kebutuhan Benang/Kain Sutera di Lokasi Penelitian No Kabupaten Kebutuhan Kebutuhan Kain (M) 6.000 345 6.345 Ketersediaan Benang 1.362 420 72 1.854 Benang (Kg) 1 Pekalongan 1.674 2 Jepara 3.074 3 Wonosobo 80 4 Jumlah 4.828 Sumber : Data Primer diolah

Prediksi pemeliharaan ulat sutera di hitung dari produksi telur yang terdistribusi di Jawa Tengah mengalami penurunan hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan bahan baku benang sutera di Jawa Tengah juga akan menurun. Adapun predeksi ketersediaan benang sutera sampai dengan 2012 semakin menurun hal ini diasumsikan apabila dari

pemeliharaan ulat sutera setiap 1 boxnya mampu mengkokon sebesar 40 Kg/box dengan hasil pintal diperoleh 10%. Distribusi Bahan Baku Benang Sutera. Permintaan bahan baku benang sutera merupakan bahan yang akan ditenun oleh para pengusaha untuk dibuat kain sutera. Kebutuhan bahan baku benang sutera yang ada di Jawa Tengah kualitas, kuantitas dan kontinuitas belum bisa menjamin sedangkan para pengusaha penenun menghendaki kualitas, kuantitas dan kontinuitas belum bisa menjamin, sehingga para pengusaha lebih menyukai menggunakan benang sutera impor walaupun saat ini harga benang sutera impor sangat tinggi yaitu sebesar Rp. 410.000,-/Kg. Ekspor dan Import Kain Sutera, kebutuhan benang sutera yang akan digunakan untuk membuat kain sutera selain berasal dari bahan baku local juga diperoleh dari impor selain itu terdapat juga pengusaha yang melakukan impor berupa kain sutera polos sehingga para pengusaha tinggal melakukan desain, Selain itu para pengusaha konveksi juga melakukan ekspor berupa kain. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Kebutuhan bahan baku benang sutera oleh industri penenun sampai saat ini sebanyak 4828 kg/tahun dan kebutuhan kain sebanyak 6345 meter/tahun sedangkan ketersediaan benang sutera sebanyak 4035,20 kg/tahun, sehingga untuk mencukupi kebutuhan benang dan kain sutera harus mendatangkan dari luar daerah dan negara lain. Pada usaha budidaya murbei, yang dilakukan petani masih belum memperhatikan pedoman teknis, Pada proses pemeliharaan ulat sutera belum memperhatikan aspek-aspek teknis. Sedangkan pada industri pemintalan, terdapat sumber daya manusia yang rendah serta teknologi yang kurang memadai.

Belum adanya alat pintal didaerah produsen kokon hal ini menyebabkan kokon harus dijual kedaerah lain dan pemintalan tidak bisa dilakukan didaerah untuk memperoleh nilai tambah. Ketersediaan bahan baku untuk masing-masing sub-industri dalam industri sutera menunjukkan bahwa hanya wilayah Wonosobo saja yang secara integral mengakomodasikan industri sutera secara lengkap mulai dari industri penghasil kokon sampai dengan industri penghasil kain sutera. Hal tersebut menunjukkan bahwa perolehan nilai tambah dalam proses industri sutera dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh Kabupaten Wonosobo. Saran Agar diperoleh daun murbei, kokon, benang yang memenuhi standar maka pola yang dapat dilakukan adalah Pola kemitraan PIR dengan kemitraan yang digunakan merupakan kemitraan diagonal. Hak Cipta 2007 Balitbang Prov. Jateng Jl. Imam Bonjol No. 190 Semarang 50132 Telp : (024) 3540025, Fax : (024) 3560505 Email : sekretariat@balitbangjateng.go.id

Anda mungkin juga menyukai