Kekerasan seksual mencakup setiap kegiatan dengan anak, dibawah umur yang dilegalkan hukum , untuk mencapai
terhadap mulut, payudara , alat kelamin, daerah perineum , pantat , dan anus. Yang harus diperhatikan bagi dokter berikutnya adalah pengumpulan bukti biologis dengan dugaan bahwa kekerasan seksual terjadi dalam 72 jam terakhir. Kultur dan tes serologis untuk penyakit menular seksual juga dapat dipertimbangkan oleh dokter tergantung dengan kasus yang didapat. Tes kehamilan juga dapat dipertimbangkan pada kekerasan seksual pada gadis dalam usia reproduksi. Kekerasan masalah seksual adalah suatu
kepuasan seksusal orang dewasa atau anak yang lebih tua. Kekerasan seksula oleh anggota keluarga dan orang yang dekat dengan anak adalah jenis yang paling umum ditemukan. Kekerasan seksual dalam
keluarga lebih sulit untuk didokumentasikan dan dikelola, karena si anak harus dilindungi dari kekerasan lebih lanjut, paksaan untuk tidak mengungkapkan kekerasan. Peran Forensik medic dalam hal ini sangat penting dalam membantu penyelidikan kasus dan membangun suatu tuntutan yang efektif di pengadilan. Perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual dari trauma emosional tambahan selama pemeriksaan fisik sangatlah penting, Penilaian status perkembangan, emosional perilaku, harus mental dan
kesehatan
yang
mendunia.
Kekerasan ini adalah hal yang kejam dan pelanggaran serius atas hak kesehatan dan perlindungan anak. Hingga awal taun 1970, pelecehan seksual dianggap langka dan hanya berpusat di kalangan masyarakat miskin. Sekarang para ahli setuju bahwa kasus kekerasan seksual ada di seluruh kelompok social ekonomi. Meningkatnya
juga
diperoleh.
kesadaran masyarakat dalam hal ini telah mnyebabkakan banyaknyak pelaporan kasus kekerasan seksual, pada periode 1970-1990 laporan kekerasan seksual pada anak
genital, genital-anal, tangan-genital,tanganrectal, tangan-payudara, paparan terhadap anatomi seksual, paksaan melihat konten pornografi,paksaan melihat anatomi seksual atah menggunakan anak dalam produk pornografi. Hubungan seksual termasuk penetrasi vagina, oral dan anal baik
meningkat lebih dari kategori kekerasan lainnya (1). Sekalipun seperti itu,
diperkirakan masih banyak kasus kekerasan seksual pada anak yang hingga saat ini masih bemlum terungkap. WHO
meninggalkan cedera jaringan ataupun tidak. Kekerasan pada anak melingkupi semua bentuk penganiayaan fisik dan/atau emosional, penganiayaan seksual,
memperkirakan bahwa secara global sekitar 40 juta anak usia 0-14 tahun menderita kekerasan dan penelentaran yang
pengabaian, kelalaian , pengkomersilan, atau eksploitasi lainnya , yang mengakibatkan bahaya potensial atau actual bagi kesehatan anak, kelangsungan hidup , martabat , dalam konteks hubungan tanggung jawab,
memerlukan perlindungan kesehatan dan perawatan (2). Sedangkan data dari Amerika menunjukkan bahwa 1 dari 4 anak permpuan dan 1 dari 6 anak laki-laki mengalami kekerasan seksual sebelum usia 18 tahun. Sedangkan rata-rata usia kekerasan seksual adalah 9 tahun (3-5). Besarnya di daerah lain seperti Asia dan Afrika tidak diketahui, namun diperkirakan lebih besar (6-10).
keterlibatan anak pada aktivitas seksual yang ia tidak mengerti sepenuhnya, yang ia tidak mampu memberikan informed consent, yang ia tidak siap secara mental dan tidak
DEFINISI ANAK
KEKERASAN
SEKSUAL
mampu memberikan persetujuan , atau yang melanggar hukum dan norma social yang
Kekerasan seksual mencakup setiap kegiatan dengan anak, dibawah umur yang dilegalkan hukum , untuk mencapai
berlaku. Kekerasan seksual pada anak dibuktikan dengan aktivitas antara anak dengan orang dewasa atau dengan anak yang secara umur lebih tua atau lebih besar, denga tujuan untuk mendapatkan kepuasan seksual dari anak tersebut. Ini termasuk tapi tidak terbatas pada : Bujukan atau pemaksaan
kepuasan seksual orang dewasa atau anak yang lebih tua. Kekerasan seksual yang dimaksud termasuk oral-genital, genital-
kepada anak untuk melakukan hubungan seksual, eklploitatuf pelanggaran penggunaaan dalam hukum anak prostitusi lainnya, secara atau atau
didalamnya babysitter, guru sekolah, senior pramuka, imam/pendeta , dll. Kekerasan seksual dalam keluarga lebih sulit untuk didokumentasikan dan dikelola, karena si anak harus dilindungi dari kekerasan lebih lanjut, paksaan untuk tidak mengungkapkan kekerasan . MEWAWANCARA KORBAN Bahkan dalam kasus kekerasan
penggunaan anak dalam pornografi. Kekerasan seksual pada anak harus dibedakan dengan permainan seksual, yang didefinisikan sebagai suatu tindakan melihat atau menyentuh alat kelamin , pantat, atau dada oleh anak yang umurnya tidak terpisah lebih dari 4 tahun dan tidak adanya unsure kekuasaan ataupun paksaan di dalamnya Kekerasan seksual oleh keluarga atau orang yang dekat dengan anak adalah jenis kekerasan yang paling umum dijumpai. Definisi tradisional tentang inses adalah hubungan seksual antar kerabat sedarah. Sekarang, ada sedikit evolusi definisi
seksual resmi, kebanyakan anak tidak ditemui kekerasan tanda-tanda seksual. fisik Oleh diagnostic karena itu,
pengakuan si anak merupakan informasi paling penting dalam menentukan ada tidaknya kekerasan seksual pada anak. Percakapan harus dimulai dengan topic yang menarik dan dan tidak mengancam untuk ana. Pemeriksa harus sabar dan ramah dan mencoba untuk berkenalan dengan anak. Anak akan takut terhadap pemeriksa yang terburu-buru dan terlalu menuntut. Memakai jas lab atau rumah sakit dapat menakutkan bagi anak-anak. Wawancara hanya dilakukan dengan anak sendiri, kecuali ada nformasi yang pasti tentang pelaku kekerasan seksual kepada anak,.Anak-anak harus ditanya
dengan ikut memperhitungkan pengkhinatan kepercayaan dan penyalahgunaan kekuasaan pada hubungan satu sisi ini. Salah satu definisinya adalah Penggunaan tindakan seksual yang tidak pantas atau tindakan dengan nada seksual, oleh satu atau lebih orang yang memperoleh kewenangan melalui ikatan emosional dengan anak(12) . Definisi ini memperluas definisi tradisional incest dengan memasukkan kekerasan
seksual oleh siapa saja yang memiliki kekuasaan atau kewenangan terhadap anak, yang berarti keluarga termasuk juga
apakah mereka tahu kenapa mereka dibawa ke dokter dan apakah mereka tahu apa yang
terjadi dengan mereka. Pertanyaan terbuka seperti Apakah ada yang pernah
dan sangatlah penting untuk mengukur kedalaman dan memfotonya untuk dapat mencocokkannya dengan gigi pelaku
menyentuh anda dengan cara yang membuat anda merasa tidak nyaman? haruslah ditanyakan. Jawaban dari pertanyaan
tersebut harus dicatat sesuai dengan katakata anak itu sendiri. Bila mungkin, sifat dari kontak seksual termasuk rasa sakit, penetrasi dan ejakulasi harus dipastikan. Dokumentasi dari pertanyaan dan PENILAIAN MATURITAS ANAK Penilaian secara komprehensif
menyangkut perkembangan dan kematangan emosional anak terhadap latar belakang riwayat medis , keluarga dan social haruslah dilakukan. Ini dapan dilakukan untuk
menilai tingkat kerusakan pada anak atau PEMERIKSAAN FISIK Setiap pemeriksaan harus mencakup pemeriksaan lengkap terhadap trauma pada tubuh termasuk trauma yang jauh dari daerah kelamin. Banyak hal-hal yang akan terlewatkan bila pemeriksa hanya yang akan dialami anak. Pemeriksaan dimulai dengan penampilan umum,
kebersihan dan status gizi. Pemeriksaan klinis lengkap harus lah dilakukan (13-15). Pemeriksaan radiologi juga harus
dimasukkan ke dalam rencana pemeriksaan , hal ini dapat membantu menentukan ada tidaknya patah tulang yang telah sembuh serta membantu menentukan umur. Rekam medis berikutnya dengan penekanan pada rawat inap dan kecelekaan berulang harus dapat diperoleh (19). Penilaian psikologis mungkin dapat mengungkap Post Traumatic Disorder , yaitu suatu sindrom klinis yang yang terdiri dari 3 ciri yaitu : pengaktifan kembali ingatan tentang peristiwa traumatis,
memfokuskan diri kepada alat kelamin saja. Spektrum cedera mulai dari memar, lecet hingga laserasi dengan berbagai tingat penyembuhan luka dan umur luka. Dalam beberapa kondisi, usaha untuk menahan si anak dapat meninggalkan bekas jari dan memar lainnya pada anggota badan, atau tanda cekikan. Traumadi sekitar daerah payudara, paha bagian dalam, dan/atau daerah perigenital lainnya cukup sering terjadi (13,16) tanda gigitan sering
sutu peristiwa traumatis tau penarikan diri dari lingkungan, dan hiperaktifitas seksual
pemeriksaan
forensic,
dokter
dengan
keterampilan yang saling melengkapi harus melakukan pemeriksaan secara bersamaan, biasanya adalah dokter forensic dan dokter anal. Namun mungkin dapat melibatkan professional medis lainnya seperti dokter atau dokter obgyn. Para dokter diatas dapat membantu secara substansial pada
fisilogis.Perkembangan
perilaku
yang bias disebut perrilaku seksual reaktif adalah dampak negative jangka pendek dari penyalahgunaan seksual. Anak yang
mengalami kekerasan seksual cenderung lebih aggresif dalam perilaku seksual. Perlaku psikologis yang lebih spesifik seperti percobaaan bunuh diri, ketakutan kepada suatu individu atau tempat , mimmpi buru, gangguan diri tidur, dari regresi, lingkungan, agresi, post
perrawatan korban berikutnya ( dukungan psikologis, pengobatan infeksi dan STD, pengujian kehamilan dan kontrasepsi(13).
penarikan
PEMERIKSAAN
ANO0GENITAL
PADA KORBAN ANAK PEREMPUAN Bayi atau anak yang sangat muda dapat diperiksa baik di atas meja ataupun diatas pangkuan orangtuanya. Selama
kurang percaya diri, penurunan performans di sekolah, melukai kepribadian diri ganda, sendiri, fobia,
pembakaran,
gangguan makan. Dampak dari kekerasan seksual mungkin terlihat sedikit pada saat paparan, khususnyadi kalangan anak yang lebih mudan dan ketika pelaku adalah orang yang dekat dengan korban. Damapak baru muncul bila wawasan dan perspektif akan apa yang terjadi timbul bersamaan dengan perasaan marah dan sedih. Gangguan
pemeriksaan kelamin dan anus, perawat atau ibu membantu membuka paha si anak sehingga pemeriksa dapat memeriksa
kelamin dan daerah anal.Untuk pemeriksaan vagina, anak umur 4-5 tahun atau yang lebih tua paling baik diperiksa dalam posisi berbaring terlentang, dengan menekuk lutut dan tumit kearah bokong. Apa yang mungkin ditemukan pada saat pemeriksaan dapat dilihat di tabel. Pemeriksaan vaginal
psikologi dan psikiatri biasanya muncukl dalam kehidupan dewasa. (2,20-24) Jika pemeriksa tidak memiliki
dan anus harus diulang kembali dalam posisi lutut-dada, lutut fleksi 90 derajat, kepala ditarik. Posisi ini memngkinkan anak untuk
memberikan tampilan
ditentukan, ukuran pembukaan introitus, dan bentuk serta ketebalan selaput dara dicatat. Pada gadis pra pubertas penetrasi pada vagina dapat menyebabkan robekan pada 180 posterior . Mungkin juga ditemukan laserasi dengan memar atau lecet di bagian perut dan fouchette. Jika ada discharge, konsistensi , karakter dan warna harus diperhatikan. Adanya bau juga harus dicatat. Jika ada bukti infeksi dan noda kering untuk studi bakteriologis, kultur dan preparat basah haruslah disiapkan. Hapusan basah segar
yang lebih baik bagi pemeriksa. Tam[pilan yang lebih baik juga dapat diperoleh dengan menempatkan anak dalam posisi lateral kiri, bila dibandingklan dengan anak yang dalam posisi terlentang (25). Penggunaan traksia pada labia dapat meningkatkan visualisasi dari selaput dara. Labia mayora dibuka dengan ibu jari dan jari telunjuk dengan sedikit gaya yang diberikan kea rah bawah dan luar. Lokasi kelainan pada selaput dara harus dijelaskan searah dengan arah jarum jam, dimana jam
TABEL 1. TEMUAN PADA GENITALIA ANAK WANITA KORBAN KEKERASAN SEKSUAL 1. Eritema, inflamasi dan peningkatan vaskularitas 2. Adhesi labialis 3. Robekan hymen atau vagina 4. Sekret vagina 5. Fisura, laserasi baru atau menyembuh 6. Pembesaran bukaan hymen
12 adalah uretra dan jam adalah arah anus. Pada gadis dalam pubertas jaringan hymen tampak lebih tebal karena pengaruh
haruslah
diperiksa
untuk
pemeriksaan
Trichomonas Vaginalis, Clue Cell dan Candida Albicans. Selaput dara sangatlah sensitive dan pengambilan hapusan haruslah dilakukan secara hati-hati.m hapusan
estrogen, sehingga penentuan ada tidaknya trauma dapat lebih sulit. Pemeriksa harus mengambil catatan khusus mengenau vulva, peradangan, lesi terbuka, discharge. erupsi, Patensi air mata, sakit dan
diambil dengan cara menyekannya ke daerah yang kurang sensitive (25-30). Temuan pada anak perempuan terinci dapat dilihat pada Tabel I.
dari
lubang hymen
Pemeriksaan klinis pada anus sering mengecewakan, pertama, bahwa yang dapat ditemukan sangatlah sedikit, dan kedua, penafsiran dari hasil temuan selalu menjadi perdebatan serius. Cedera genital sering dapat dianggap seebagai tanda-tanda
meniggalkan bekas apapun. Pada akhir penetrasi kemungkinan yang terjadi adalah kelemahan sfingter , benkak dan robekan dari anus. Dalam beberapa hari
pembengkakan akan mereda dan robekan dari sfingter akan menyembuh, Skin tag juga dapat terbentuk pada area robekan.
kekerasan seksual, sedangkan temuan pada anal dan perianal dapat diartikan juga sebagai gangguan usus umum seperti
Penetrasi
berulang
dapat
menyebabkan
sfingter yang longga dan membesar. (2731). Temuan yang mukin ditemukan pada area anogenital dapat dilihat pada TABEL II.
sembelit atau diare. Sfingter Ani dan saluran anus sangatlah elastic dan memungkinkan dilatasi pada penetrasi. Penetrasi dengan jari bahkan tidak menimbulkan robekan mukosa anus dan sfingter ani.
PEMERIKSAAN Benda yang lebih besar dapat ANAK LAKI-LAKI menyebabkan cedera yang bervariasi dari sedikit pembengkakan di anus hingga ke robekan yang kasar dan merobek sfingter.
PADA
KORBAN
Pemeriksaan pada anak laki-laki dapat dilakukan dalam posisi terlentang, duduk atau berdiri. Dokter harus memeriksa
TABEL.II. TEMUAN PADA ANUS ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL 1. Eritema Perianal 2. Pembengkakan jaringan perianal 3. Kekakuan dan penurunan tonus sfingter ani 4. Fissura 5. Robekan yang luas 6. Perubahan karakter kulit 7. Hematoma dan Lecet 8. Congesti Vena 9. Pigmentation 10. Dilatasi anus
Jika pada penetrasi diberikan pelumas dan sfingter dalam keadaan relaksasi mungkin bukti fisik tidak ditemukan. Bahkan
penis, testis, dan perineum untuk bekas gigitan , lecet , memar, echimosis atau bekas luka hisapan. Anus dapat dilakukan dengan pasien dalam keadaan terlentang, berbaring
atau lateral dengan sedikit gaya pada lipatan gluteus. Pemeriksaan anal laki-laki sama dengan perempuan. (26,27)
elastic, dan pada anak yang lebih besarr penetrasi menggunakan jari atau panis tidak menyebabkan bekas atau hanya memperluas pembukaan hymen. (32)
NORMAL ANAK
KEKERASAN
Sebagaian besar anak melaporkan bahwa alat kelamin mereka telah mengalami kontak secara seksual, mulai dari menyentuh tangan hingga hubungan seksual dengan penetrasi penuh, namun sama sekali tidak meninggalkan tanda-tanda. Ada beberapa alasan yang dapat menjelaskan hal tersebut, seperti umumnya anak sangat pendiam untuk melaporkan hanl tersebut, sehinggga kesempatan untuk melihat, dan mencatat temuan akut sangat susah dilakukan. Selain itu, tanda-tanda besar jarang ditemukan karena pedofil biasanya berhati-hati dalam mempertahankan akses ke si anak. Banyak kekerasan seksual pada anak tidak
dilakukan dalam waktu 72 jam setelah kekerasan seksual terjadi. Pakaian dan bahan-bahan yang melekat di kulit seperti serat dan tumbuhan haruslah di periksa. Teknik Forensik dapat memberikan bukti yang nyata, seperti ketika ditemukannya rambut kemaluan di antara pantat dari anak prapubertas. Ketika hapusan yang diambil dari tempat seperti mulut, anus, dan vagina, harus dibiarkan kering di udara sebelum di segel. Swab harus terdiri dari katun polos. Sampel semen atau saliva pada kulit diambil dengan menghapusnya dengan swab yang sudah dilembabkan dan kemudian mendapat perlakuan yang sama seperti pada hapusan lainnya. Yang paling penting untuk
melibatkan penetrasi dan sama sekali tidak meninggalkan temuan fisik. Selain itu banyak kasus yang terjadi merupakan kasus tanpa ejakulasi dan tidak merusak selaput dara. Dengan pelumasan, bahkan penis orang dewasa dapat melewati spincter ani tanpa terjadi cedera. Selaput dara sangatlah
mengidentifikasi bagi ahli forensic adalah dengan ditemukannya kehadiran elemen ejakulasi , sehingga penemuan sperma menjadi sangatlah berguna. Harus diingat bahwa tidak ditemukannya bukti-bukti
ejakulasi tidaklah menyingkirkan kecurigaan kekerasan seksual. Beberpa kasus yang sudah pernah terjadi, pelaku kekerasan seksual menderita suatu disfungsi seksual yang berhubungan dengan hilangnya
Immunosorbent merupakan
Assay.
Protein dan
ini tidak
semen-spesifik
ditemukan dalam cairan vagina, sehingga teknik ini adalah cara yang lebih spesifik dalam mendeteksi semen. (34) Untuk kekerasan mengidentifikasi seksual, karakter pelaku rambut
kemampuan untuk ejakulasi. Bukti yang ditemukan harus disimpan di temapat yang aman dan tercatat. Jika pelanggaran terjadi dalam 72 jam terakhir, kehadiran sperma harus diselidikai. Waktu sperma untuk bertahan hidup dalam rongga genital anak pra pubertas semakin singkat karena kurangnya lendir serviks. Spermatozoa jarang terdeteksi di vagina lebih dari 12 jam. Lampu Wood dapat digunakan untuk mengidentifikasi sperma pada pakaian, Walaupun demikian sperma bukanlah satu-satunya zat yang berpendar di bawah lampu Wood, jadi Fluoresensi
kemaluan dan kepala dapat membantu untuk memperkecil jumlah kemungkinan pelaku. Gen, air liur dan Serum darah harus diperiksa dalam 72 jam terjadinya kekerasan seksual. Saat ini penggunaan DNA mkasus kekerasan seksual dala dapat
mengidentifikasi pelaku dengan tingkat ketepatan yang tinggi (35). Lalu, toksikologi darah dan air seni juga harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan anak di bawah pengaruh obat-obatan ( 36-38) Tes kehamilan juga harus dilakukan pada anakanak yang sudah memasuki usi
bukanlah hal yang spesifik. Lampu wood bukanlah pemeriksaan yang sensitive dan harus dilakukan secara hati-hati (33).
reproduksi.(13) PENYAKIT MENULAR SEKSUAL Diagnosis penyakit menular seksual tidaka hanya penting untuk perawatan korban, tetapi juga dalam mengungkap fakta tentang adanya kontak seksual. Bukti sperti ini merupkan prima facie dan merupakan konfirmasi adanya kontak seksual.
Deteksi asam fosfatase merupakan teknik yang dilakukan untuk mendeteksi semen , asam fosfatase biasanya ditemukan dalam jumlah yang kecil dalam jumlah yang rendah dalam vagina perempuan dewasa, sehingga pengukuran secara kuantitatif
sangatlah penting. Protein P30 adalah glikoprotein yang diproduksi oleh prostat. Enzim P-30 dihubungkan dengan
Penularan penyakit seksual di luaar periode perinatal dengan cara nonseksual sangatlah
jarang. Sehinggs Gonorrhea atau infeksi seksual melalui transmisi perinatal sudah dapat disingkirkan( 38). Herpes tipe 2, Chlamydia, Trichomonas, sangat tidak
trauma, memberikan profilaksis yang lebih baik terhadap infeksi dan kehamilan dan
memberikan tuntutan yang lebih baik dan efektif kepada perilaku kekerasan seksual. REFERENSI
1. Putnam F. Ten-year research update review: Child sexual abuse. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry 2003; 42 : 269-278.
KESIMPULAN Diagnosis pelecehan seksual anak seringkali dapat dibuat berdasarkan riwayat anak. Pemeriksaan fisik sendiri jarang mengakkan kekerasan diagnosis seksual tanpa riwayat beberapa
2. WHO Report of the Consultation on Child Abuse Prevention, 29-31 March, 1999. Geneva: World Health Organization; 1999. 3. National Research Council, Understanding Child Abuse Neglect, Washington, DC: National Academy Press; 1993. 4. Centers for Disease Control and Prevention. ACE Study - Prevalence - Adverse childhood experiences. From http://www.cdc.gov/nccdphp/ ace/prevalence.htm. Accessed on June 10, 2008. 5. Snyder HN. Sexual assault of young children as reported to law enforcement: Victim, incident, and offender characteristics. Washington: National Center for Juvenile Justice, U.S. Department of Justice; 2000. 6. World Health Organization. Regional Office for Africa. Child Sexual Abuse: A silent Health Emergency. Fifty-fourth session, Brazzaville, Republic of Congo, 30 August3 September 2004. 7. Yen CF, Yang MS, Yang MJ, Su YC, Wang MH, Lan CM. Childhood physical and sexual abuse: prevalence and correlates among adolescents living In rural Taiwan. Child Abuse Negl 2008; 32: 429- 438. 8. de Silva DG. Children needing protection: experience from South Asia. Arch Dis Child 2007; 92: 931-934. 9. Pagare D, Meena GS, Jiloha RC, Singh MM. Sexual abuse of street children brought to an observation home. Indian Pediatr 2005; 42: 1134- 1139.
dan/atau
pemeriksaan laboratorium. Tugas dokter adalah menafsirkan luka, mengumpulkan specimen, mengobati luka yang ditemukan, dan mendukung pasien tersebut.Bukanlah bagian dari tugasaa dokter untuk
mnegomentari kejujuran seseorang, apakah kejahatan telah dilakukan, karena hal itu merupakan hak dari pengadilan. Patuh terhadap protocol dan prosedur untuk menjaga integritas rekam medis,
dokumentasi yang detil dab benda bukti yang dikumpulkan selama pemeriksaan medis dan forensic nilai hanya dapat
meningkatkan
evaluasi
kekerasan
seksual secara medis. Memperhatikan halhal yang kecil akan bermanfaat bagi pasien dengan cara meningkatkan identifikasi
10. Sharma BR, Gupta M. Child abuse in Chandigarh, India, and its implications. J Clin Forensic Med 2004; 11: 248-256. 11. Johnson CF. Abuse and Neglect of Children. In Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB editors. Nelson Textbook of Pediatrics. London: WB Saunders Company Publishers; 2000. p. 110-119. 12. Blume ES. Secret Survivors: Uncovering Incest and Its Aftereffects in Women. New York: John Wiley and Sons; 1990. 13. Hymel KP, Child JC. Child sexual abuse. Pediatr Rev 1996; 17: 236-250. 14. Giardiano AP, Finkel MA. Evaluating child sexual abuse. Pediatr Ann 2005; 34: 382-394. 15. American Academy of Pediatrics. Committee on Child Abuse and Neglect. Guidelines for the Evaluation of Sexual Abuse of Children: Subject Review. Pediatrics 1999; 103: 186-191. 16. Laraque D, DeMattia A, Low C. Forensic child abuse evaluation: a review. Mt Sinai J Med 2006; 73: 1138-1147. 17. Freeman AJ, Senn DR, Arendt DM. Seven hundred seventy eight bite marks: analysis by anatomic location, victim and biter demographics, type of crime, and legal disposition. J Forensic Sci 2005; 50: 1436-1443. 18. Belfer RA, Klein BL, Orr L. Use of the skeletal survey in the evaluation of child maltreatment. Am J Emerg Med 2001; 19: 122124. 19. Johnson CF. Child sexual abuse. Lancet 2004; 364: 462-470. 20. Werner J, Werner MC. Child sexual abuse in clinical and forensic psychiatry: a review of recent literature. Curr Opin Psychiatry 2008; 21: 499-504. 21. American Academy of Pediatrics, Stirling J Jr; Committee on Child Abuse and Neglect and Section on Adoption and Foster Care; American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, Amaya-Jackson L; National Center for Child Traumatic Stress, Amaya-Jackson L. Understanding the behavioral and emotional
consequences of child abuse. Pediatrics 2008; 122: 667-673. 22. Leserman J. Sexual abuse history: prevalence, health effects, mediators, and psychological treatment. Psychosom Med 2005; 67: 906-915. 23. Bendall S, Jackson HJ, Hulbert CA, McGorry PD. Childhood trauma and psychotic disorders: a systematic, critical review of the evidence. Schizophr Bull 2008; 34: 568-579. 24. Drach KM, Wientzen J, Ricci LR. The diagnostic utility of sexual behavior problems in diagnosing sexual abuse in a forensic child abuse evaluation clinic. Child Abuse Negl 2002; 24: 489-503. 25. Herman-Giddens ME, Frothingham TE. Prepubertal female genitalia: examination for evidence of sexual abuse. Pediatrics 1987; 80: 203- 208. 26. Lahoti SL, McClain N, Girardet R, McNeese M, Cheung K. Evaluating the child for sexual abuse. Am Fam Physician 2001; 63: 883-892. 27. Elder DE. Interpretation of anogenital findings in the living child: Implications for the paediatric forensic autopsy. J Forensic Leg Med 2007; 14: 482-488. 28. Atabaki S, Paradise JE. The medical evaluation of the sexually abused child: lessons from a decade of research. Pediatrics 1999; 104: 178-186. 29. Finkel MA, De Jong AR. Medical findings in child sexual abuse. In: Reece RM, Editors. Child Abuse: Medical Diagnosis and Management. Philadelphia: Lea and Febiger; 1994. p. 185-247. 30. Paradise JE. The medical evaluation of the sexually abused child. Pediatr Clin North Am 1990; 37: 839- 862. 31. [No authors listed]. Reflex anal dilatation and sexual abuse. Arch Dis Child 1989; 64: 303304. 32. Adams JA, Harper K, Knudson S, J Revilla. Examination findings in legally confirmed child sexual abuse: its normal to be normal. Pediatrics 1994; 94: 310-317.
33. Santucci KA, Kennedy KM, Duffy SJ. Woods lamp utilization and the differentiation between semen and commonly applied medicaments. Pediatrics 1998; 102: 718. 34. Stefanidou M, Mourtzinis D, Spiliopoulou C. Forensic identification of semen-a short communication. Jura Medica 2005: 2: 357-365. 35. Papadodima SA, Athanaselis SA, Spiliopoulou C. Toxicological investigation of drug-facilitated sexual assaults. Int J Clin Pract 2007; 61: 259-264. 36. Rey-Salmon C, Ppin G. Drug-facilitated crime and sexual abuse: a pediatric observation. Arch Pediatr 2007; 14: 1318-1320. 37. Slaughter L. Involvement of drugs in sexual assault. J Reprod Med 2000; 45: 425-430. 38. Goodyear-Smith F. What is the evidence for nonsexual transmission of gonorrhoea in children after the neonatal period? A systematic review. J Forensic Leg Med 2007; 14: 489-502. 40. Kawsar M, Long S, Srivastava OP. Child sexualabuse and sexually transmitted infections: review of joint genitourinary medicine and paediatric examination practice. Int J STD AIDS 2008; 19: 349-350.