Anda di halaman 1dari 122

HASIL PENELITIAN

ESENSI DAN URGENSITAS PERATURAN DAERAH DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

OLEH:

TIM PENELITI UNIVERSITAS HASANUDDIN


Ketua Wakil Ketua Sekretaris Anggota : Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi : Prof. Dr. Syamsul Bachrie, SH, MSi : Judhariksawan, SH, MH : Prof. Dr. M. Guntur Hamzah, SH, MH Prof. Dr. Ahmad Ruslan, SH, MH Dr. Anshory Ilyas, SH, MH Zulkifli Aspan, SH, MH Romi Librayanto, SH, MH Amir Ilyas, SH, MH Tim Pendukung : Mardiana, S.Sos Hasaning Abdul Hakim

KERJASAMA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA DAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2009

DAFTAR ISI
Halaman Judul Kata Pengantar Abstraksi BAB I PENDAHULUAN A. B. C. D. Latar Belakang .. Rumusan Masalah . Tujuan Penelitian .. Manfaat Penelitian .. 1 6 6 7

BAB II KERANGKA TEORITIS E. F. G. H. Pemerintahan Daerah .. Otonomi Daerah Peraturan Daerah sebagai Produk Hukum Daerah .............................. Landasan Teoritis ..................................................................................... 8 18 23 34

BAB III METODE PENELITIAN I. Tipe Penelitian .. J. Bahan Hukum K. Metode Analisis . BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN L. Esensi Peraturan Daerah Dalam Otonomi Daerah M. Otonomi dan Materi Muatan Peraturan Daerah .. N. Implikasi Peraturan Daerah Dalam Sistem Perundang-undangan Nasional BAB V PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran .. DAFTAR PUSTAKA 105 107 51 59 77 49 50 50

Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya telah memberikan kesempatan kepada Universitas Hasanuddin dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia untuk melakukan kerjasama penelitian dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia masa bakti 2004 2009. Penelitian ini mengangkat tema tentang pelaksanaan otonomi daerah yang dikaji dari aspek keberadaan, esensi dan urgensitas peraturan daerah, dengan judul : Esensi dan Urgensitas Peraturan Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Penelitian ini tidak hanya bermaksud untuk mengkaji tentang bagaimana posisi peraturan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dewasa ini, akan tetapi lebih merupakan upaya untuk menemukan dan mengungkapkan bagaimana hakikat peraturan daerah, proses pembuatan dan materi muatannya yang khas, serta kendala dan permasalahan yang ditemukan dalam pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah yang otonom. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi pengambil keputusan, baik di tingkat pusat maupun daerah, terutama bermanfaat bagi para anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD R.I.) dalam mengemban dan melaksanakan fungsi dan kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Penelitian ini bermanfaat bagi DPD R.I. sebagai manifestasi keterwakilan daerah dalam urusan pemerintahan pusat sebagai bahan dasar pengambilan keputusan dan kebijakan. Sehingga kami sangat menaruh apresiasi yang tinggi terhadap upaya dari DPD R.I. untuk melibatkan kalangan perguruan tinggi dalam mengkaji masalah-masalah yang menjadi kewenangannya. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih atas kepercayaan dan kerjasama yang telah diberikan atas terselenggaranya kerjasama penelitian ini. Adalah hal yang manusiawi jika masih terdapat kekurangan dan ketidaksempurnaan, untuk itu dimohonkan maaf yang sebesar-besarnya. Semoga bermanfaat bagi bangsa dan negara. Makassar, 29 Agustus 2009 A.n. Tim Peneliti, Ketua, Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi

ABSTRAKSI

Penelitian dengan judul Esensi dan Urgensitas Peraturan Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, dilaksanakan hasil kerjasama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dan Universitas Hasanuddin. Penelitian ini dilaksanakan berdasar adanya fenomena-fenomena dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sejak tercetusnya Undang-Undang tentang Otonomi Daerah yang selanjutnya diganti dengan UndangUndang tentang Pemerintahan Daerah. Fenomena yang ditemukan dalam kerangka awal peneltian ini bermula pada adanya prinsip otonomi daerah yang menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan opemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Hal tersebut telah jelas bahwa pemberian otonomi kepada daerah pada intinya adalah untuk memberikan keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah demi terciptanya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pegembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta keserasian hubungan antara pusat dan daerah sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat di daerah. Salah satu instrumen bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan rumah tangganya sendiri, sehingga otonominya benar-benar nyata dan bertanggung jawab, adalah Peraturan Daerah. Kenyataannya, sangat banyak Peraturan Daerah yang esensi dan urgensinya belum/tidak mencerminkan dirinya sebagai instrumen pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini berawal dari rendahnya pemahaman terhadap hakikat Peraturan Daerah dalam kaitannya dengan otonomi daerah. Selain itu juga, pada umumnya materi muatan Peraturan Daerah belum mencerminkan materi muatan yang khas pada satu daerah otonom. Hal ini nampak pada kualitas materi muatan Peraturan Daerah. Selain kedua hal tersebut, masih banyak pula permasalahan Peraturan Daerah yang bersumber dari belum baiknya harmonisasi dan sinkronisasi dari Peraturan Daerah. Fenomena ini dapat dilihat pada fakta rendahnya sinkronisasi dan harmonisasi, antara Peraturan Daerah dengan Peraturan Daerah, dan antara Peraturan Daerah dengan peraturan lainnya. Penelitian ini dilakukan berdasar pada 3 (tiga) rumusan masalah yaitu: Sejaumana esensi dan urgensi Peraturan Daerah telah mencerminkan instrumen pelaksanaan otonomi daerah? Sejauhmana materi muatan Peraturan Daerah telah mencerminkan muatan yang khas pada suatu daerah otonom? Dan Bagaimanakah implikasi keberadaan Peraturan Daerah secara vertikal dan horizontal terhadap peraturan perundang-undangan lainnya? Penelitian dilakukan Untuk mengetahui esensi dan urgensi Peraturan Daerah yang mencerminkan instrumen pelaksanaan otonomi daerah, untuk mengetahui materi muatan Peraturan Daerah yang mencerminkan muatan yang khas pada suatu daerah otonom, serta untuk mengetahui implikasi keberadaan Peraturan Daerah secara vertikal dan horizontal terhadap peraturan perundang-undangan lainnya.

Beberapa teori yang melandasi penelitian ini antara lain menurut Sri Soemantri (1987: 65) bahwa pembagian kekuasaan dalam negara yang berbentuk Kesatuan, seperti Indonesia, asasnya adalah seluruh kekuasaan dalam negara berada di tangan pemerintah pusat. Walaupun demikian hal itu tidak berarti bahwa seluruh kekuasaan berada di tangan pemerintah pusat, karena ada kemungkinan mengadakan dekonsentrasi kekuasaan ke daerah lain dan hal ini tidak diatur dalam konstitusi. Hal ini berbeda dengan negara kesatuan yang bersistem desentralisasi. Dalam konstitusi negara tersebut terdapat suatu ketentuan mengenai pemencaran kekuasaan tersebut (desentralisasi). Teori lain diutarakan Bagir Manan, bahwa mengingat bahwa Peraturan Daerah (termasuk peraturan desa) dibuat oleh satuan pemerintahan yang mandiri (otonom), dengan lingkungan wewenang yang mandiri pula, maka dalam pengujiannya terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak boleh semata-mata berdasarkan "pertingkatan", melainkan juga pada "lingkungan wewenangnya". Suatu Peraturan Daerah yang bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi (kecuali UUD) belum tentu salah, kalau ternyata peraturan perundang-undangan tingkat yang lebih tinggi yang melanggar hak dan kewajiban daerah yang dijamin UUD atau UU Pemerintahan Daerah (Jazim Hamidi, 2008:35). Kemudian Rosjidi Ranggawidjaja (1998: 43) menegaskan, bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang baik sekurang-kurangnya harus memiliki tiga landasan, yaitu landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis, bahkan ada yang menambahkannya landasan politis. Materi muatan Peraturan Daerah yang menyimpang dari landasan yuridis, mengakibatkan Peraturan Daerah tersebut dapat dibatalkan oleh pemerintah karena bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Sedangkan materi muatan Peraturan Daerah yang tidak sesuai dengan aspek filosofis dan aspek sosiologis dapat menimbulkan reaksi dari masyarakat, sehingga menuntut Peraturan Daerah bersangkutan untuk dicabut. Akibat lebih jauh, masyarakat tidak akan mematuhi keberlakuan Peraturan Daerah tersebut. Selain teori tersebut, beberapa teroi dan kajian lain juga dijadikan acuan dalam melakukan penelitian yang menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang dianalisis dengan metode analisis krisis (critical analysis) melalui pendekatan analisis komprehensif (comprehensive analysis). Pendekatan tipe ini adalah peneliti mengungkapkan tidak hanya segi ketidaksempurnaan, tetapi juga segi keunggulan (secara filosofis, sosiologis, dan yuridis) dan sekaligus menawarkan solusi terhadap objek permasalahan yang dikaji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sebagaimana amanat undang-undang, penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Di samping itu penyelenggaraan Otonomi Daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.

Untuk menunjang pelaksanaan kewenangan yang diberikan sebagai daerah otonom, Daerah Provinsi, Kota dan Kabupaten, diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan sistem regulasi yang juga bersifat otonom, yang dikenal dengan istilah Peraturan Daerah (Peraturan Daerah). Hasil amandemen UUD 1945 telah menetapkan bahwa Peraturan Daerah sebagai salah satu bentuk hukum peraturan perundangundangan, yang sebelumnya hanya diatur berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Mengingat landasan pijakannya bersumber dari UndangUndang Dasar, maka Peraturan Daerah harus mampu mengemban cita hukum (rechtsidee) pembangunan hukum yang digariskan dalam UUD 1945 yang mengacu pada tiga watak hukum, yaitu: hukum yang demokratis, hukum yang berperikemanusiaan, dan hukum yang berkeadilan sosial. Ketiga watak hukum ini telah sejalan dengan konsepsi dan idealitas hukum modern yang kini tengah diperjuangkan di berbagai belahan bumi ini. Ketiga watak hukum tersebut sepenuhnya mengacu pada kodrati manusia yang memiliki harkat, martabat, kebebasan dan kesamaan. Peraturan Daerah sebagai produk hukum daerah merupakan sesuatu yang inherent dengan sistem Otonomi Daerah. Hal ini sebagai konsekuensi dari sistem Otonomi Daerah itu sendiri yang bersendikan kemandirian (zefstandigheid) dan bukan merupakan suatu bentuk kebebasan suatu satuan pemerintahan yang merdeka (onafhankelijkheid), Kemandirian itu sendiri mengandung arti bahwa Daerah berhak mengatur dan mengurus urusan rumah tangga pemeirntahannya sendiri. Kewenangan mengatur disini mengandung arti bahwa daerah berhak membuat keputusan hukum berupa peraturan perundang-undangan, yang nomenklaturnya disebut Peraturan Daerah. Dengan semikian, kehadiran atau keberadaan Peraturan Daerah menjadi sesuatu yang mutlak dalam mengatur urusan rumah tangga daerah, dalam wadah negara kesatuan yang tetap menempatkan hubungan Pusat dan Daerah yang bersifat subordinat dan independen. Peraturan Daerah merupakan norma hukum yang materinya bersifat mengatur dan berlaku umum, mengandung muatan abstrak, sehingga masih memerlukan tindak lanjut dalam tataran operasionalnya. Dalam konteks ini, Kepala Daerah dapat menetapkan Keputusan Kepala Daerah, sesuai dengan pendelegasian yang bersumber dari pasal-pasal materi Peraturan Daerah dan atas kuasa peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Pada hakikatnya, Peraturan Daerah merupakan keputusan dalam arti luas, sebagai tujuan untuk mengatur hidup bersama, melindungi hak dan kewajiban manusia dalam masyarakat, melindungi lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat dan mejaga keselamatan dan tata tertib masyarakat di daerah yang bersangkutan atas dasar keadilan, untuk mencapai keseimbangan dan kesejahteraan umum. Secara substansial Peraturan Daerah mengatur urusan pemerintahan yang sangat luas, sejalan dengan kehendak udang-undang yang memberikan otonomi yang seluasluasnya kepada daerah kabupaten dan daerah kota. Substansi Peraturan Daerah Kabupaten dan Kota jauh lebih luas, tetapi tidak demikian halnya pada Peraturan Daerah Provinsi, meskipun sama-sama merupakan daerah otonom. Namun, kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom lebih terbatas dibandingkan dengan kewenangan kabupaten dan kota yang juga sebagai daerah otonom. Kewenangan masing-masing daerah pada bentuk hukum seperti Peraturan Daerah, perlu dipahami dengan baik dan hati-hati, sebab berpotensi menimbulkan konflik kewenangan, khususnya antara provinsi dengan kabupaten dan kota.

Bagi Provinsi, lingkup kewenangan jelas, yaitu hanya terbatas pada ketiga hal di atas, sementara daerah kabupaten dan kota pun di dalam menerjemahkan kewenangan yang luas tersebut ke dalam Peraturan Daerah. Banyak di antara urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah kabupaten dan kota tidak hanya berdimensi lokal, tetapi juga nasional, seperti pendidikan, kesehatan dan lingkungan hidup. Bahkan, ada yang berdimensi internasional, tidak hanya nasional, apalagi lokal seperti perhubungan. Ada unsure-unsur dari urusan tersebut yang harus diatur, bahkan diselenggarakan secara nasional, tidak secara lokal. Terdapat beberapa perbedaan sifat substansi Peraturan Daerah berdasarkan otonomi dan berdasarkan tugas pembantuan. Berdasarkan otonomi, sudah jelas sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Berdasarkan tugas pembantuan, substansi Peraturan Daerah mencakup pengaturan tentang tata cara penyelenggaraan rumah tangga daerah yang tidak bersumber pada undang-undang, tetapi semata-mata berdasarkan kebijakan (beleid) dari satuan pemerintahan yang di bantu. Materi yang diatur di dalamnya bersifat tertentu (limitative) sesuai dengan tugas-tugas yang diberikan satuan pemerintahan yang di bantu. Makin terbatas urusan pemerintahan Pusat, makin sedikit cakupan tugas pembantuan. Berdasarkan wewenang Pusat yang diatur dalam undangundang, maka tugas pembantuan mungkin akan mengenai bagian tertentu dari penyelenggaraan pertahanan dan keamanan, bagian tertentu dari urusan moneter dan fiskal serta urusan keagamaan. Dibidang politik luar negeri, tidak akan ada tugas pembantuan. Bahkan, sebaliknya pusat akan mengawasi wewenang daerah untuk mengadakan hubungan luar negeri. Dalam kenyataan, walaupun telah ada bingkai yang jelas tentang materi muatan Peraturan Daerah, akan tetapi masing-masing daerah dapat menyusun Peraturan Daerah yang materi muatannya selain dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, juga menampung kondisi khusus daerah tertentu atau ciri khas masingmasing daerah. Hal ini menunjukan bahwa wajarlah jika local content menjadi materi muatan sebuah Peraturan Daerah. Materi muatan lokal itu bisa saja diangkat dari adat istiadat masyarakat setempat dan nilai-nilai yang menonjol di daerah tersebut. Di Sulawesi Selatan banyak ditemukan Peraturan Daerah yang merupakan peraturan yang bersifat untuk mengakomodasi potensi alam, sumber daya dan kultural. Salah satu contoh adalah Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut yang didasari pertimbangan bahwa untuk mewujudkan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang dimiliki Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan kontur geografisnya. Kewenangan Kota/kabupaten untuk mengatur dan mengurus sendiri potensi kelautannya merupakam modal dasar bagi peningkatan kemampuan daerah dalam berotonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, kewenangan Kota/kabupaten dalam pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumber daya kelautan sebagaimana telah ditentukan dalam peraturan perundangundangan, baik dalam rangka otonomi daerah maupun dalam kaitannya dengan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, maka kebijakan pemerintah daerah harus dilakukan secara simultan, terencana dan terpadu. Untuk mencapai dayaguna dan optimalisasi pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumber daya pesisisr dituntut adanya kebijakan daerah yang sejalan dengan kebijakan nasional, untuk hal khusus dan tertentu Pemerintah Kota/Kabupaten dapat mengambil kebijakan-kebijakan

yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan daerah. Dalam konteks ini, maka kebijakan daerah dalam pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumber daya pesisir dapat dilakukan berdasarkan kewenangan yang telah diberikan undang-undang dan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain itu, Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan juga memiliki Peraturan Daerah tentang Pelestarian Terumbu Karang. Dalam bidang sosial politik, Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan juga telah melaksanakan suatu Peraturan Daerah tentang Pelayanan Kesehatan dan Pendidikan Gratis. Contoh lain yang dapat dikemukakan adalah adanya Peraturan Daerah yang bersifat sektoral seperti Kpeariwisataan di Tana Toraja yang memiliki potensi wisata budaya yang tinggi. Dalam bidang keagamaan, ditemukan banyak sekali daerah yang membuat Peraturan Daerah - Peraturan Daerah berbasis agama, seperti Peraturan Daerah Syariah di Bulukumba, Desa Syariah di Kabupaten Maros dan Peraturan Daerah tentang memakai busana muslim/muslimah dan membaca Al-Quran. Pembuatan Peraturan Daerah berbasis syariah telah menjadi polemik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan menjadi perdebatan. Ada Peraturan Daerah yang dibentuk oleh suatu daerah ternyata diikuti dan dicontoh oleh daerah lain namun dalam kenyataannya Peraturan Daerah tersebut tidak cocok dengan kondisi daerahnya. Sebagai contoh, lahirnya Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba No. 6 tahun 2003 tentang Pandai Baca Al-Quran Bagi Siswa dan Calon Pengantin Dalam Kabupaten Bulukumba. Peraturan Daerah ini mensyaratkan wajib bisa mengaji bagi calon pengantin. Akibatnya beberapa perkawinan sempat tertunda karena calon pengantin tak dapat memenuhi syarat itu, sedang pihak keluarga sudah melakukan sosialisasi perkawinan anaknya. Dalam kebudayaan Bugis Makassar, pembatalan suatu perkawinan merupakan siri' (malu). Jadi Peraturan Daerah ini berpotensi memicu konflik sosial. Penerapan Peraturan Daerah seperti ini juga dilakukan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) namun tidak menimbulkan konflik sosial karena masyarakat di NAD memang telah menerima syariah Islam sejak dahulu dan kondisi masyarakat NAD yang homogen tentu saja lebih mendukung pelaksanaan Peraturan Daerah syariah Islam. Selain itu penerapan syariah Islam di Aceh terkait erat dengan political expediency Pemerintah Pusat guna mempertahankan NAD (Nangroe Aceh Darussalam) dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jadi, suatu Peraturan Daerah yang diberlakukan di suatu daerah belum tentu sesuai untuk dibentuk di daerah lain karena kondisi tiap daerah terutama kultur dan kearifan lokalnya tidak sama. Selain itu, keinginan membentuk peraturan daerah dalam waktu yang cepat kadang membuat para pembentuk peraturan daerah hanya melakukan copy paste baik dari peraturan daerah dari daerah lain maupun dari aturan yang lebih tinggi. Sebagai contoh Peraturan Daerah Propinsi Sulawesi Utara No. 2 tahun 2002 tentang Retribusi Pengawasan Mutu dan Pengembangan Produksi Cengkeh dan Pala ternyata dari segi bentuk dan isi hanya copy paste dari Undang-undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sehingga materi dari Peraturan Daerah ini tidak sejalan dengan kondisi masyarakat setempat. Namun hal negatif yang ditemukan dalam berbagai penelitian yang mengkaji peranan Peraturan Daerah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah adalah bahwa seringkali penyusunan Peraturan Daerah tidak berdasarkan pada aspek kebutuhan publik, tetapi lebih merupakan pengejewantahan pada aspek kepentingan Pemerintah Daerah.

Kepentingan yang utama dan yang umum ditemukan adalah kepentingan Pemerintah Daerah terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Oleh karena orientasi pembentukan Peraturan Daerah lebih dititikberatkan pada PAD maka seringkali jenis dan objek pengaturan dalam Peraturan Daerah bukan merupakan hasil elaborasi atau penelitian terhadap kepentingan masyarakat. Sehingga wajar ditemukan dalam kenyataan jika masyarakat seringkali tidak dilibatkan dalam pembentukan suatu Peraturan Daerah atau tidak bersifat partisipatif. Padahal keterlibatan stakeholder dalam penyusunan suatu peraturan perundang-undangan merupakan tuntutan dan syarat legal drafting dalam bingkai demokrasi dan negara hukum yang telah menjadi fondasi bangsa ini. Pandangan sosiologi hukum dan psikologi hukum, menganjurkan agar tahapan penyebarluasan (sosialisasi) Peraturan Daerah harus dilakukan. Hal ini diperlukan agar terjadi komunikasi hukum antara Peraturan Daerah dengan masyarakat yang harus patuh. Pola ini diperlukan agar terjadi internalisasi nilai atau norma yang diatur dalam Peraturan Daerah sehingga ada tahap pemahaman dan kesadaran untuk mematuhinya. Berdasarkan sistem norma hukum berjenjang (stufentheory) yang dianut Indonesia, suatu produk perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan kewenangan pemerintah daerah terkait dengan otonomi daerah, maka semua kewenangan daerah, baik kewenangan yang menjadi urusan wajib dan urusan pilihan dari masing-masing pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota, dapat menjadi materi muatan peraturan daerah sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum. Peraturan Daerah yang substansinya merupakan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-Undangan yang lebih tinggi, dalam ketentuan perundang-undangan tidak begitu jelas. Namun, penjabaran lebih lanjut peraturan atau kebijakan yang lebih tinggi oleh satuan pemerintahan yang lebih rendah dapat dilakukan dalam rangka tugas pembantuan dan dekonsentrasi. Kabupaten dan kota tidak mempunyai hubungan dekonsentrasi dengan satuan pemerintahan yang lebih tinggi, oleh karena itu, Peraturan Daerah sebagai penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi hanya mingkindalam tugas pembantuan. Provinsi mempunyai hubungan dekonsentrasi dengan satuan pemerintah lebih tinggi (Pusat). Akan tetapi, hubungan ini bukan dengan Pemerintah Daerah Provinsi, melainkan dengan gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Olehnya itu, tidak mungkin dibentuk Peraturan Daerah untuk melaksanakan tugas dekonsentrasi. Sebagai contoh, dalam prakteknya, beberapa daerah mencoba menggunakan instrumen Peraturan Daerah guna mengatasi persoalan ketenagakerjaan di daerahnya masing-masing, akan tetapi tidak sedikit Peraturan Daerah Ketenagakerjaan yang dibentuk di beberapa daerah kemudian dibatalkan oleh pemerintah pusat. Pembatalan Peraturan Daerah Ketenagakerjaan dilakukan oleh pemerintah pusat karena Peraturan Daerah-Peraturan Daerah tersebut dinilai tidak kondusif bagi upaya menggalang arus investasi di daerah. Ketentuan bahwa Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Daerah lain cukup membingungkan, sebab Peraturan Daerah lain dapat berarti Peraturan Daerah dalam lingkungan pemerintahan daerah yang sama, atau Peraturan Daerah Pemerintahan Daerah lain yang sederajat, atau pula Peraturan Daerah dari pemerintahan

Daerah Kabupaten atau Kota terhadap Peraturan Daerah Provinsi dalam Wilayah yang sama. Pada dasarnya memang tidak boleh ada pertentangan antar Peraturan Daerah dalam pemerintahan daerah yang sama. Apabila terjadi, akan diselesaikan melalui prinsip lex posteriori derogat legi priori dan lex superior derogate legi inferiori. Apabila ketentuan baru yang lebih rendah bertentangan dengan ketentuan lama yang lebih tinggi, maka ketentuan baru harus dikesampingkan dengan memperhatikan lingkungan wewenang masing-masing. Terhadap ketentuan bahwa Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, Peraturan Daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan batal demi hukum, atau dapat dibatalkan. Sepanjang Peraturan Daerah bertentangan dengan UUD, Tap MPR, dan Undang-undang, akan batal demi hukum atau mesti dibatalkan. Tidak demikian halnya dengan peraturan perundang-undangan lain. Apabila peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang ternyata mengatur hal-hal otonomi dan tugas pembantuan sebagai urusan rumah tangga daerah, maka peraturan itulah yang harus dibatalkan, bukan Peraturan Daerah dengan mengatur tanpa wewenang (ultra vires). Kalau ini tidak dapat dipegang dapat terjadi pergeseran terhadap urusan rumah tangga daerah ke arah sentralisasi sebagai sesuatu yang justru berlawanan dengan semangat otonomi seluasluasnya yang digariskan undang-undang. Upaya hukum bagi penyelesaian konflik antara daerah otonom dan Pemerintah yang berakar pada pembatalan produk hukum daerah otonom sebaiknya tidak dilatari oleh analogi penyelesaian konflik antara konstitusi Negara Bagian dan konstitusi federal lewat Mahkamah Agung. Dalam Negara Kesatuan kita perlu berpegang pada prinsip bahwa daerah otonom adalah ciptaan Pemerintah. Dengan demikian daerah otonom hanya dimungkinkan menempuh upaya hukum melalui upaya administratif. Salah satu persoalan pokok yang muncul berkenaan dengan pembatalan Peraturan Daerah oleh Departemen Dalam Negeri. Salah satu contoh adalah pembatalan dua Peraturan Daerah Pemerintah Kota Makassar yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang dan merugikan Publik. Dua Peraturan Daerah tersebut adalah Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 1996 tentang Retribusi Pasar dan Pusat Perbelanjaan di Makassar dan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pajak Parkir. Pembatalan kedua Peraturan Daerah Kota Makassar itu tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 19 Tahun 2006 dan Nomor 20 Tahun 2006 tertanggal 28 Februari 2006. Selain dua Peraturan Daerah dari Pemerintah Kota Makassar, menurut Direktur Bina Administrasi Keuangan Depdagri Daeng Mochammad Nazier, sudah ada 393 Peraturan Daerah sejenis yang sudah dibatalkan oleh Mendagri. Peraturan Daerah tersebut berasal dari seluruh daerah di Indonesia Dalam teori perundang-undangan, Peraturan Daerah merupakan bagian dari peraturan karena bersifat mengatur (regeling) bukan bagian dari ketetapan atau keputusan (beschikking). Artinya, norma hukum yang dikandung dalam Peraturan Daerah adalah norma hukum umum. Norma hukum umum adalah suatu norma hukum yang ditujukan untuk umum, addressat-nya untuk umum, orang banyak, atau semua warga negara. Berbeda dengan ketetapan atau keputusan (beschikking) dimana addresat-nya tertuju pada seseorang, beberapa orang, atau perindividu. Oleh karena itu, pembatalan sebuah

peraturan harus dengan instrumen peraturan. Demikian pula pembatalan sebuah ketetapan atau keputusan seharusnya dilakukan dengan ketetapan atau keputusan serupa. Akan tetapi, pembatalan Peraturan Daerah oleh pemerintah (pusat) tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang. Ada syarat dan mekanisme sebuah Peraturan Daerah dapat dibatalkan oleh pemerintah. Syarat utama pembatalan Peraturan Daerah adalah bahwa keputusan pembatalan Peraturan Daerah harus ditetapkan dengan Peraturan Presiden (Pasal 145 Ayat 3 UU 32/2004). Peraturan Presiden (Perpres) adalah salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden yang materinya berupa materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian, Pembatalan Peraturan Daerah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) merupakan sebuah kekeliruan hukum. Kekeliruan itu terjadi karena instrumen hukum untuk membatalkan Peraturan Daerah harus dalam bentuk Perpres bukan Kepmendagri, lagi pula sangat janggal karena Peraturan Daerah yang masuk dalam rumpun regeling dibatalkan oleh keputusan yang masuk dalam rumpun beschikking. Setidaknya, Kepmendagri yang membatalkan Peraturan Daerah tersebut belum final sebagai keputusan pembatalan Peraturan Daerah oleh pemerintah, karena keputusan tersebut harus dikukuhkan atau dikemas ulang dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka kesimpulan yang diperoleh adalah sebagai berikut: 1. Esensi dan urgensi Peraturan Daerah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah adalah sangat strategis. Peraturan Daerah sebagai produk hukum daerah merupakan sesuatu yang inherent dengan sistem Otonomi Daerah. Hal ini sebagai konsekuensi dari sistem Otonomi Daerah itu sendiri yang bersendikan kemandirian yang mengandung arti bahwa Daerah berhak mengatur dan mengurus urusan rumah tangga pemerintahannya sendiri. Kewenangan mengatur disini mengandung arti bahwa daerah berhak membuat keputusan hukum berupa peraturan perundang-undangan, yang nomenklaturnya disebut Peraturan Daerah. Dengan semikian, kehadiran atau keberadaan Peraturan Daerah menjadi sesuatu yang mutlak dalam mengatur urusan rumah tangga daerah, namun dalam wadah negara kesatuan yang tetap menempatkan hubungan Pusat dan Daerah yang bersifat subordinat dan independen. 2. Ruang lingkup kewenangan Pemerintah Daerah dalam membuat Peraturan Daerah telah diberikan batasan berdasarkan undang-undang. Namun ditemukan berbagai kekhasan dalam materi muatan Peraturan Daerah yang secara khusus mencerminkan berbagai potensi yang dimiliki oleh suatu daerah otonom. Materi muatan Peraturan Daerah sangat dipengaruhi oleh kultur budaya dan dinamika sosial politik serta pertumbuhan ekonomi. Namun seringkali upaya pelayanan terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat ternoda oleh kecenderungan untuk menggunakan Peraturan Daerah sebagai mekanisme untuk menambah pendapatan asli daerah yang berujung pada tindakan represif yang justru mengorbankan kepentingan rakyat. Peran aktif masyarakat dalam setiap proses

pembuatan Peraturan Daerah diharapkan mampu meminimalisir kesenjangan dan masalah yang dapat terjadi. 3. Peraturan Daerah memiliki posisi dalam sistem hirarki peraturan perundangundangan, sehingga keberadaannya tidak luput dalam tatanan sistem prinsip yang berlaku. Keharusan untuk tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi serta keharusan untuk melakukan sinkronisasi dan harmonisasi dengan peraturan perundangan lainnya adalah hal yang perlu senantiasa dihormati dalam bingkai negara hukum. Temuan tentang adanya mekanisme yang belum sesuai dalam konteks penyelesaian perselisihan antar Peraturan Daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat memerlukan perhatian yang serius agar tercipta kepastian hukum dan tercapainya good legislation governance dalam sistem hukum ketatatanegaraan Indonesia. Adapun saran-saran yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kelemahan utama dalam pelaksanaan Otonomi Daerah adalah adanya pemahaman Pemerintah Daerah bahwa kewenangan seluas-luasnya serupa dengan konsep kewenangan negara bagian pada negara federal sehingga seringkali Pemerintah Daerah bertindak ultra vires dengan membuat berbagai Peraturan Daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional. Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia maka disarankan adanya upaya setiap Pemerintah Daerah mengubah paradigma tersebut agar tercipta kesatuan dan persatuan bangsa dan memberikan kepastian hukum bagi setiap warga masyarakat. 2. Karena masih adanya persepsi yang keliru tentang mekanisme pembatalan Peraturan Daerah, maka disarankan untuk membentuk peraturan yang bersifat operasional dan aplikatif yang merinci secara komprehensif, termasuk kewenangan kelembagaan, tentang mekanisme atau prosedural yang sah dalam proses evaluasi dan pembatalan Peraturan Daerah. Sehingga ke depan dapat dihindarkan adanya kesalahan prosedural dan pemerintah memiliki pedoman yang jalan tentang mekanisme tersebut.

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan khususnya

penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka instrumen pemerintahan memegang peran yang sangat penting dan vital guna melancarkan pelaksanaan fungsi dan tugas pemerintahan daerah. Instrumen

pemerintahan daerah merupakan alat atau sarana yang ada pada pemerintah daerah untuk melakukan tindakan atau perbuatan pemerintahan yang memuat berbagai jenis atau macam instrumen pemerintahan daerah. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan instrumen pemerintahan daerah adalah alat atau sarana yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya. Instrumen pemerintahan daerah merupakan bagian dari instrumen penyelenggaraan pemerintahan negara dalam arti luas. Hal ini kemudian memberikan peluang kepada pemerintah daerah untuk dapat menerapkan kebijakan-kebijakan yang dianggap perlu demi kesejahteraan rakyat di daerah masing-masing. Keadaan ini kemudian mendorong pemerintah daerah untuk mengambil dan memberlakukan kebijakan-kebijakan yang bersifat mengatur keadaan di daerah dengan
1

mengeluarkan berbagai macam perundang-undangan antara lain peraturan daerah (yang kemudian disingkat menjadi Peraturan Daerah) yang merupakan salah satu instrumen hukum penyelenggaraan pemerintah daerah di samping instrumen hukum yang lain yang berupa sarana dan prasarana yang digunakan dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam pemerintahan yang digolongkan ke dalam public domain. Bagian Penjelasan Umum Undang-undang No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa : Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluasluasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan opemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya, adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang
2

tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antardaerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan Negara. Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Di samping itu, diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pementauan, dan evaluasi. Bersamaan itu pemerintah wajib memberikan fasiliotas yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Hal tersebut telah jelas bahwa pemberian otonomi kepada daerah pada intinya adalah untuk memberikan pemerintahan keleluasaan yang daerah hidup, dalam dan

menyelenggarakan

urusan

tumbuh,

berkembang di daerah demi terciptanya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pegembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta keserasian hubungan antara pusat dan daerah sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat di daerah. Ciri-ciri pembangunan daerah yang memanfaatkan kewenangan otonomi dapat di identifikasi ke dalam beberapa hal, antara lain :

1. Bahwa pembangunan itu berasal dari ide, aspirasi dan inspirasi masyarakat yang dicetuskan melalui lembaga-lembaga legislatif

setempat, sebagai aspek politis 2. Bahwa pembangunan direncanakan secara relatif tepat dengan kebutuhan dan potensi daerah, yang umumnya untuk jangka waktu sedang dan pendek. 3. Proses pembangunan akan benyak berorientasi dengan mekanisme kedaerahan, baik secara fisik maupun secara sosial budaya. Salah satu instrumen bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan rumah tangganya sendiri, sehingga otonominya benar-benar nyata dan bertanggung jawab, adalah Peraturan Daerah. Hal ini terakomodir dalam UU No. 32 Tahun 2004, khususnya Pasal 136 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan. Selanjutnya, pada Ayat (3) disebutkan bahwa Peraturan Daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Selanjutnya, pada Pasal 12 UU No. 10 Tahun 2004 dinyatakan bahwa materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas

pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 ditegaskan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan (termasuk pembentukan peraturan daerah) adalah proses pembentukan atau pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari proses perencanaan, perancangan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, penyebarluasan, dan evaluasi. Kenyataannya, sangat banyak Peraturan Daerah yang esensi dan urgensinya belum/tidak mencerminkan dirinya sebagai instrumen

pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini berawal dari rendahnya pemahaman terhadap hakikat Peraturan Daerah dalam kaitannya dengan otonomi daerah. Selain itu juga, pada umumnya materi muatan Peraturan Daerah belum mencerminkan materi muatan yang khas pada satu daerah otonom. Hal ini nampak pada kualitas materi muatan Peraturan Daerah. Selain kedua hal tersebut, masih banyak pula permasalahan Peraturan Daerah yang bersumber dari belum baiknya harmonisasi dan sinkronisasi dari Peraturan Daerah. Fenomena ini dapat dilihat pada fakta rendahnya sinkronisasi dan harmonisasi, antara Peraturan Daerah dengan Peraturan Daerah, dan antara Peraturan Daerah dengan peraturan lainnya. Berdasarkan fenomena

tersebut, maka hal ini menarik untuk diteliti hakikat dan pentingnya Peraturan Daerah sebagai instrumen hukum penyelenggaraan otonomi daerah.

B.

Rumusan Masalah 1. Sejaumana esensi dan urgensi Peraturan Daerah telah

mencerminkan instrumen pelaksanaan otonomi daerah? 2. Sejauhmana materi muatan Peraturan Daerah telah mencerminkan muatan yang khas pada suatu daerah otonom? 3. Bagaimanakah implikasi keberadaan Peraturan Daerah secara vertikal dan horizontal terhadap peraturan perundang-undangan lainnya?

C.

Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui esensi dan urgensi Peraturan Daerah yang mencerminkan instrumen pelaksanaan otonomi daerah 2. Untuk mengetahui materi muatan Peraturan Daerah yang

mencerminkan muatan yang khas pada suatu daerah otonom. 3. Untuk mengetahui implikasi keberadaan Peraturan Daerah secara vertikal dan horizontal terhadap peraturan perundang-undangan lainnya

D.

Manfaat Penelitian 1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

pembangunan Hukum dan Pengawasan Terhadap Produk Hukum Daerah terutama dalm fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia. 2. Dengan penelitian ini diharapkan menjadi acuan bagi pembuat kebijakan dalam pembangunan Hukum dan Pengawasan terhadap Produk Hukum Daerah.

BAB II KERANGKA TEORITIS

A. Pemerintahan Daerah 1. Pengertian dan Landasan Hukum Pemerintahan Daerah Dalam Ketentuan Umum Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dikatakan bahwa Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut B.C. Smith (1985:19) dalam konteks demokrasi, local government atau pemerintahan daerah dapat dikaji dalam dua dua kategori utama yaitu: There are that claim local government is good for national democracy; and there are those where the major concern is with the benfits to the locality of local democracy. Each can be further subdivided into three sets of interrelated values. At the national level these values relate to political education, training in leadership and political stability. At the local level the relevant values are equality, liberty and responsiveness. Menurut Sri Soemantri (1987: 65) pembagian kekuasaan dalam negara yang berbentuk Kesatuan, seperti Indonesia, asasnya adalah seluruh kekuasaan dalam negara berada di tangan pemerintah pusat. Walaupun

demikian hal itu tidak berarti bahwa seluruh kekuasaan berada di tangan pemerintah pusat, karena ada kemungkinan mengadakan dekonsentrasi kekuasaan ke daerah lain dan hal ini tidak diatur dalam konstitusi. Hal ini berbeda dengan negara kesatuan yang bersistem desentralisasi. Dalam konstitusi negara tersebut terdapat suatu ketentuan mengenai pemencaran kekuasaan tersebut (desentralisasi). Secara yuridis formal, landasan hukum dari penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia adalah Pasal 18 UUD 1945 yang mengamanatkan beberapa hal yaitu: 1. Bahwa negara Republik Indonesia terdiri atas daerah provinsi, daerah provinsi terdiri atas daerah kabupaten dan kota yang mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang; 2. Pemerintah daerah tersebut baik propinsi maupun kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan; 3. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.

Ada beberapa pengertian tentang pemerintahan daerah atau lokal yang dapat dirujuk, diantaranya G.M. Harris (Dalam Martin Junung : 2000) dalam bukunya Comparative Local Government mengatakan bahwa: "The term local government may have one of two meanings, it may signify: (1) the government of all part of a country by means of local agents appointed and responsible only to the central government. This is part of centralized system and my he called local state government. (2) Government by local baddies, feely elected wich while subjected to the supremacy of national government are endowed in some respect with power, discreation and responsibility, wich they can exercise without control cover their decision by the higher authority, this is called in many countries as communal autonomy.'

De

Guman dan Tapales (dalam Josef Riwu, 1998: 43)

tidak

mengajukan suatu batasan apapun tentang pemerintahan daerah, hanya mereka menyebutkan lima unsur pemerintahan lokal sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. A local government is a political sub division of soverign nation or state. It is constituted by law. It has governing body which is locally selected. Undertakes role making activities. It perform service within its jurisdiction.

Sementara itu Josef Riwu Kaho (1998: 67) mendefinisikan local government sebagai berikut : Bagian dari pemerintah suatu negara atau bangsa yang berdaulat yang dibentuk secara politis berdasarkan undang-undang yang
10

memiliki lembaga atau badan yang menjalankan pemerintahan yang dipilih masyarakat daerah tersebut, dan dilengkapi dengan kewenangan untuk membuat peraturan, memungut pajak serta memberikan pelayanan kepada warga yang ada di dalam wilayah kekuasaannya.

Dalam sejarahnya, di Indonesia pernah dikenal istilah daerah swatantra, yang sekarang ini dikenal dengan pemerintahan daerah. Pemerintahan umum pusat di daerah pada masa kemerdekaan disebut pamong praja, masa Belanda dipanggil dengan Binnenlandsbestuur, Bestuurdiants, pemerintahan pangreh, praja. Pemerintahan khusus pusat di daerah disebut jwatan atau dinas pusat di daerah atau dinas vertikal. Jadi pemerintahan lokal tidak sama dengan pemerintahan daerah. Pemerintahan lokal meliputi pamong praja, jawatan vertikal dan pemerintahan daerah. Undang-undang No.32 Tahun 2004 mengartikan pemerintah daerah sebagai kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. Daerah otonom menurut undang-undang ini adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu

berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan negara Republik Indonesia.

11

2. Asas-asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Dalam pelaksanaan otonomi, dikenal tiga bentuk asas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yakni : a. Asas Desentralisasi Secara etimologi istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin yaitu decentrum yang berarti terlepas dari pusat. Menurut Inu Kencana Syafie (dalam Hamzah: 2008: 135) desentralisasi adalah perlawanan kata dari sentralisasi, karena penggunaan kata de dimaksudkan sebagai penolakan kata sesudahnya. Menurut Inu, Desentralisasi adalah: Penyerahan segala urusan, baik pengaturan dalam arti pembuatan peraturan perundang-undangan maupun penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri, dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, untuk selanjutnya menjadi urusan rumah tangga pemerintah daerah tersebut.

Desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai dalam bidang pemerintahan sentralisasi, merupakan kewenangan kebalikan pemrintah dari baik sentralisasi. dipusat Dalam sistem

maupun

didaerah,

dipusatkan dalam tangan pemerintah pusat. Pejabat-pejabat di daerah hanya melaksanakan kehendak pemerintah pusat. Dalam sebagian kewenangan sistem desentralisasi,

pemerintah pusat dilimpahkan kepada pihak lain

untuk dilaksanakan. Menurut Hamzah (2008: 137) pentingnya desentralisasi pada esensinya agar persoalan yang kompleks dengan dilatarbelakangi oleh
12

berbagai faktor heterogenitas dan kekhususan daerah yang melingkunginya seperti budaya, agama, adat istiadat, dan luas wilayah yang jika ditangani semuanya oleh pemerintah pusat merupakan hal yang tidak mungkin akibat keterbatasan dan kekurangan yang dimiliki pemerintah pada hampir semua aspek. Namun sebaliknya adalah hal yang tidak realistis jika semua didesentralisasikan kepada daerah dengan alasan cerminan dari prinsip demokrasi, oleh karenanya pengawasan dan pengendalian pusat kepada daerah sebagai cerminan dari sentralisasi tetap dipandang mutlak sepanjang tidak melemahkan atau bahkan memandulkan prinsip demokrasi itu sendiri. Menurut Hans Kelsen, pengertian desentralisasi berkaitan dengan pengertian negara karena negara itu merupakan tatanan hukum (legal order), maka pengertian desentralisasi itu menyangkut berlakunya sistem tatanan hukum dalam suatu negara. Ada kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah untuk seluruh wilayah negara yang disebut kaidah sentral (central norms) dan ada pula kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah dalam bagian-bagian wilayah yang berbeda yang disebut desentral atau kaidah lokal (decentral or local norms). Jadi apabila berbicara tentang tatanan hukum yang desentralistik, maka hal ini akan dikaitkan dengan lingkungan (wilayah) tempat berlakunya tatanan hukum yang sah tersebut. Dennis A. Rondinelli dan Cheema (dalam Hamzah: 142)

merumuskan definisi desentralisasi dengan lebih merujuk pada perspektif


13

yang lebih luas namun tergolong perpektif administrasi, bahwa desentralisasi adalah: The transfer of planning, decision making, or administrative authority from central government to its field organizations, local administrative units, semi autonomous and parastatal organizations, local government, or local non-government organization.

Definisi ini tidak hanya mencakup penyerahan dan pendelegasian wewenang di dalam struktur pemerintahan, tetapi juga telah mengakomodasi

pendelegasian wewenang kepada organisasi non pemerintah (LSM). b. Asas Dekonsentrasi. Henry Maddick (1966:23) membedakan antara desentralisasi dan dekonsentrasi dengan menyatakan bahwa desentralisasi merupakan

pengalihan kekuasaan secara hukum untuk melaksanakan fungsi yang spesifik maupun risudal yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Sementara dekonsentrasi merupakan: The delegation of authority equate for the discharge of specified functions to staff of a central department who are situated outside the headquarters. Sementara menurut Parson (dalam Hamzah: 2008: 142), dekonsentrasi adalah: The sharing of power between members of same ruling of group having authority respectively in different areas of tha state.

14

Penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia selain didasarkan pada asas desentralisasi juga didasarkan pada asas dekonsentrasi, hal ini dapat dilihat dari rumusan Pasal 18 ayat (5) UUD RI 1945 yang menyatakan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Dekonsentrasi dapat diartikan sebagai distribusi

wewenang administrasi di dalam struktur pemerintahan. Urusan pemerintah pusat yang perlu diselenggarakan oleh perangkat pemerintah pusat sendiri, sebetulnya tercermin dalam pidato Soepomo di hadapan BPUPKI tanggal 31 Mei dengan mengatakan (M. Yamin; 1959 : 118): "Maka dalam negara Indonesia yang berdasar pengertian negara integralistik itu, segala golongan rakyat, segala daerah yang mempunyai keistimewaan sendiri, akan mempunyai tempat dan kedudukan sendiri sebagai bagian organik dari negara seluruhnya. Soal pemerintahan apakah yang akan diurus oleh Pemerintah Pusat dan soal apakah yang akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah, baik daerah besar maupun daerah kecil, itu semuanya tergantung dari pada "doellmatigheid" berhubungan dengan waktunya, tempat dan juga soalnya." Dalam pengertian yang lain, Amrah Muslimin menafsirkan

dekonsentrasi sebagai pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat bawahan dalam lingkungan administrasi sentral, yang menjalankan pemerintahan atas nama pemerintah pusat, seperti
15

gubernur, walikota dan camat. Mereka melakukan tugasnya berdasarkan pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat pada alat-alat pemerintah pusat yang berada di daerah. Mengenai dekonsentrasi, Bagir Manan berpendapat bahwa

dekonsentrasi sama sekali tidak mengandung arti bahwa dekonsentrasi adalah sesuatu yang tidak perlu atau kurang penting. Dekonsentrasi adalah mekanisme untuk menyelenggarakan urusan pusat di daerah. B. Hestu Cipto Handoyo dan Y.Thresianti (2005: 92) memberikan pengertian berbeda mengenai dekonsentrasi, menurutnya dekonsentrasi pada prinsipnya adalah merupakan manifestasi dari penyelenggaraan pemerintahan negara yang mempergunakan administratif yang asas tidak sentralisasi, mempunyai menimbulkan urusan rumah wilayah-wilayah tangga sendiri,

merupakan manifestasi dari penyelenggaraan tata laksana pemerintah pusat yang ada di daerah.

c. Asas Tugas Pembantuan Daerah otonom selain melaksanakan asas desentralisasi juga dapat diserahi kewenangan untuk melaksanakan tugas pembantuan (medebewind). Tugas pembantuan dalam pemerintahan daerah adalah tugas untuk ikut melaksanakan peraturan perundang-undangan bukan saja yang ditetapkan

16

oleh pemerintah pusat akan tetapi juga yang ditetapkan oleh pemerintah daerah tingkat atasnya. Menurut Irawan Soejito (1981: 117), tugas pembantuan itu dapat berupa tindakan mengatur (tugas legislatif) atau dapat pula berupa tugas eksekutif (beschikken). Daerah yang mendapat tugas pembantuan diwajibkan untuk mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan. Amrah Muslim menafsirkan tugas pembantuan (medebewind) adalah dari kewenangan pemerintah

pemerintah daerah menjalankan

sendiri

aturan-aturan

pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Sementara itu, Bagir Manan mengatakan bahwa pada dasarnya tugas pembantuan adalah tugas melaksanakan peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi (de uitvoering van hogere regelingen). Daerah terikat melaksanakan peraturan perundang-undangan termasuk yang diperintahkan atau diminta (vorderen) dalam rangka tugas pembantuan. Tugas pembantuan dalam hal-hal tertentu dapat dijadikan semacam terminal menuju penyerahan penuh suatu urusan kepada daerah atau tugas pembantuan merupakan tahap awal sebagai persiapan menuju kepada penyerahan penuh. seharusnya bertolak dari : a. Tugas pembantuan adalah bagian dari desentralisasi dengan demikian seluruh pertanggungjawaban mengenai penyelengBidang tugas pembantuan

17

garaan tugas pembantuan adalah tanggung jawab daerah yang bersangkutan. b. Tidak ada perbedaan pokok antara otonomi dan tugas

pembantuan. Dalam tugas pembantuan terkandung unsur otonomi (walaupun terbatas pada cara melaksanakan), karena itu daerah mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri caracara melaksanakan tugas pembantuan. c. Tugas pembantuan sama halnya dengan otonomi, mengandung unsur penyerahan (overdragen) bukan penugasan (opdragen). Perbedaannya, kalau otonomi adalah penyerahan penuh

sedangkan tugas pembantuan adalah penyerahan tidak penuh.

B. Otonomi Daerah 1. Pengertian Otonomi Daerah Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, autos yang berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan. demikian, otonomi pada dasarnya memuat makna Dengan dan

kebebasan

kemandirian. Otonomi daerah berarti kebebasan dan kemandirian daerah dalam menentukan langkah-langkah sendiri (Widarta, 2001:2).

18

Pengertian otonomi dapat juga ditemukan dalam literatur Belanda, di mana otonomi berarti pemerintahan sendiri (zelfregering) yang oleh Van Vollenhoven dibagi atas zelfwetgeving (membuat undang-undang sendiri), zelfuitvoering (melaksanakan sendiri), zelfrechtspraak (mengadili sendiri)

dan zelfpolitie (menindaki sendiri). (Sarundajang, 1999:35). Sarundajang (1999:35) menyatakan bahwa otonomi daerah pada hakekatnya adalah: a. Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusang-urusan pemerintah (pusat) yang diserahkan kepada daerah. Istilah sendiri dalam hak mengatur dan mengurus rumah tangga merupakan inti keotonomian suatu daerah; b. Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya itu diluar batas-batas wilayah daerahnya; c. Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang diserahkan kepadanya;

19

d.

Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri tidak merupakan hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain.

2. Tujuan Otonomi Daerah Pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas dari keberadaan Pasal 18 UUD RI 1945. Pasal tersebut yang menjadi dasar penyelenggaraan otonomi dipahami sebagai normatifikasi gagasan-gagasan yang mendorong pemakaian otonomi sebagai bentuk dan cara menyelenggarakan

pemerintahan daerah. Otonomi yang dijalankan tetap harus memperhatikan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa (Bagir

Manan,1993:9). Sejalan dengan hal tersebut, Soepomo mengatakan bahwa otonomi daerah sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan regional menurut riwayat, adat dan sifat-sifat sendiri-sendiri dalam kadar negara kesatuan. Tiap daerah mempunyai historis dan sifat khusus yang berlainan dari riwayat dan sifat daerah lain. Oleh karena itu, pemerintah harus menjauhkan segala urusan yang bermaksud akan menguniformisir seluruh daerah menurut satu model (H. Rozali Abdullah, 2000:11).

20

Tujuan otonomi daerah adalah sebagai berikut (Sarundajang, 1993:36): a. Dari segi politik adalah untuk mengikutsertakan, menyalurkan inspirasi dan aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan daerah sendiri, maupun untuk mendukung politik dan kebijaksanaan nasional dalam rangka pembangunan dalam proses demokrasi di lapisan bawah. b. Dari segi manajemen pemerintahan, adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat dengan

memperluas jenis-jenis pelayanan dalam berbagai bidang kebutuhan masyarakat. c. Dari segi kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi serta menumbuhkan usaha kemandirian masyarakat, dengan melakukan sehingga

pemberdayaan

(empowerment)

masyarakat,

masyarakat makin mandiri, dan tidak terlalu banyak tergantung pada pemberian pemerintah serta memiliki daya saing yang kuat dalam proses penumbuhannya. d. Dari segi ekonomi pembangunan, adalah untuk guna melancarkan tercapainya

pelaksanaan

program

pembangunan

kesejahteraan rakyat yang makin meningkat.


21

Martin Jimung (2005:43) mengemukakan bahwa tujuan utama otonomi daerah pada era otonomi daerah sudah tertuang dalam kebijakan desentralisasi sejak tahun 1999 yakni: a. Pembebasan pusat, maksudnya membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban tidak perlu menangani urusan domestik sehingga ia berkesempatan mempelajari, memahami, merespons berbagai

kecenderungan global dan mengambil manfaat daripadanya. Pada saat yang sama sangat diharapkan pemerintah pusat lebih mampu

berkonsentrasi pada kebijakan makro nasional dari yang bersifat strategis. b. Pemberdayaan lokal atau daerah Alokasi kewenangan pemerintah pusat ke daerah maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Artinya ability (kemampuan) prakarsa dan kreativitas daerah akan terpacu sehingga kapasitasnya dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kuat. c. Pengembalian trust (kepercayaan) pusat ke daerah

22

Desentralisasi merupakan simbol lahirnya kepercayaan dari pemerintah pusat ke daerah. Hal ini dengan sendirinya mengembalikan kepercayaan kepada pemerintah dan masyarakat daerah.

C. Peraturan Daerah sebagai Produk Hukum Daerah 1. Materi Muatan Peraturan Daerah Materi muatan peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan

(medebewind), menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 12 UU. No. 10 Tahun 2004). Peraturan daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah propinsi, kabupaten/kota dan tugas pembantuan. Peraturan daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 136 ayat 2, 3 dan 4 UU. No. 10 Tahun 2004). Di samping itu, peraturan daerah juga dapat

memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan hukum seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar, dan dapat memuan ancaman pidana perupa pidana kurungan.
23

Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang No. 10 Tahun 2004 maka dapat dikemukakan bahwa materi muatan peraturan daerah meliputi : a. Peraturan daerah yang mengatur tentang penyelenggaraan otonomi daerah dengan memperhatikan\kondisi khusus atau ciri khas daerah masing-masing. b. Peraturan daerah tentang pelak-sanaan atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. c. Peraturan daerah tentang pelaksanaan tugas pembantuan.

2 . Kedudukan Peraturan Daerah Berkaitan dengan kedudukan peraturan daerah, Pasal 7 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004 menegaskan sebagai berikut: a. Peraturan Daerah propinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah propinsi bersama dengan gubernur. b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/kota bersama dengan bupati/ walikota.

24

c.

Peraturan desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. Kemudian dalam Pasal 12 ditegaskan, bahwa materi

muatan peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Di dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 136 ditegaskan Peraturan Daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah propinsi/ kabupaten, kota dan tugas pembantuan. Peraturan Daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan

memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Materi muatan peraturan desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan

25

yang lebih tinggi. Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam undang-undang dan peraturan daerah. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 memberikan ruang lingkup

urusan pemerintahan yang sangat luas (kewenangan) kepada daerah untuk menuangkannya dalam peraturan daerah. Ketentuan tersebut mengharuskan para pejabat di lingkungan pemerintah daerah yang ditugaskan untuk merancang sebuah peraturan daerah untuk mengetahui dan mempelajari berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang terkait dengan substansi rancangan peraturan daerah. Penelitian dan kajian yang mendalam terhadap substansi peraturan yang lebih tinggi sangat membantu DPRD dan gubernur/bupati/walikota dalam menetapkan peraturan daerah dengan kualitas yang baik dan sekaligus menghindari kemungkinan "pembatalan Peraturan Daerah" oleh Pemerintah dan menyebabkan DPRD dan kepala daerah menetapkan Peraturan Daerah tentang pencabutan Peraturan Daerah. Dari segi pembuatannya, kedudukan Peraturan Daerah baik

Peraturan Daerah propinsi maupun Peraturan Daerah kabupaten atau kota, dapat dilihat setara dengan undang-undang dalam arti semata-mata merupakan produk hukum lembaga legislatif. Namun demikian, dari segi isinya, kedudukan peraturan yang mengatur materi dalam ruang lingkup

26

daerah berlaku yang lebih sempit dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah dibandingkan peraturan dengan ruang lingkup wilayah berlaku yang lebih luas. Dengan demikian, undang-undang menjadi lebih tinggi

kedudukannya daripada Peraturan Daerah propinsi, dan Peraturan Daerah kabupaten atau Peraturan Daerah kota dan sesuai prinsip hierarki peraturan perundang-undangan, peraturan yang lebih rendah itu tidak boleh

bertentangan dengan peraturan yang derajatnya lebih tinggi, maka Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya. Menurut Bagir Manan, mengingat bahwa Peraturan Daerah (termasuk peraturan desa) dibuat oleh satuan pemerintahan yang mandiri (otonom), dengan lingkungan wewenang yang mandiri pula, maka dalam pengujiannya terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak boleh semata-mata berdasarkan "pertingkatan", melainkan juga pada "lingkungan wewenangnya". Suatu Peraturan Daerah yang bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi (kecuali UUD) belum tentu salah, kalau ternyata peraturan perundang-undangan tingkat yang

lebih tinggi yang melanggar hak dan kewajiban daerah yang dijamin UUD atau UU Pemerintahan Daerah (Jazim Hamidi, 2008:35).

27

Fungsi peraturan perundang-undangan menurut Bagir Manan dan Kuntana Magnar (1997142-144), merupakan fungsi internal dan fungsi eksternal, dari peraturan perundang-undangan termasuk Peraturan Daerah, yaitu: 1. Fungsi Stabilitas. Peraturan Daerah berfungsi di bidang ketertiban dan keamanan adalah kaidah-kaidah yang terutama bertujuan menjamin stabilitas masyarakat di daerah. Kaidah Stabilitas dapat pula mencakup kegiatan ekonomi, seperti pengaturan kerja,upah,pengaturan tata cara perniagaan, dan lain-lain. Demikian pula, di lapangan pengawasan terhadap budaya luar, dapat pula berfungsi menstabilkan sistem sosial budaya yang telah ada. 2. Fungsi Perubahan Peraturan Daerah diciptakan atau dibentuk untuk mendorong perubahan masyarakat dan juga aparatur pemerintahan, yang baik yang berkenaan

dengan tata kerja, mekanisme kerja maupun kinerjanya itu sendiri. Dengan demikian, Peraturan Daerah berfungsi sebagai sarana pembaharuan (law as social engineering,ajaran Roscoe Pound) 3. Fungsi Kemudahan Peraturan Daerah dapat pula dipergunakan sebagai sarana mengatur berbagai kemudahan (fasilitas). Peraturan Daerah yang berisi ketentuan

28

tentang perencanaan tata cara perizinan,

struktur permodalan dalam

penanaman modal, dan berbagai ketentuan insentif lainnya merupakan contoh dari kaidah-kaidah kemudahan.

4. Fungsi Kepastian Hukum. Kepastian Hukum (rechtszekerheid, legal certainty) merupakan asas penting yang terutama berkenaan dengan tindakan hukum (rechtshandeling) dan penegakan hukum (rechtshanhaving, echtsuitvoering). Kepastian hukum Peraturan Daerah tidak semata-mata diletakkan pada bentuknya yang tertulis. Oleh karena itu, membentuk Peraturan Daerah yang diharapkan benar-benar menjamin kepastian hukum, harus memenuhi syarat-syarat: jelas dalam perumusannya, konsisten dalam perumusannya, dan

menggunakan bahasa yang tepat serta mudah dimengerti. Peraturan perundang-undangan yang berkarakter responsif apabila pembuatannya sejalan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat, oleh karenanya materi muatannya merekam perkembangan masyarakat. Dalam kaitan itu, maka kesempurnaan Peraturan Daerah yang akan dibuat di daerah, disamping memenuhi aspek yuridis, juga memperhatikan aspek filosofis, sosiologis, dan aspek politis. Terakomodasinya semua aspek tersebut sebagai dasar pemikiran yang melandasi pembuatan peraturan perundang-undangan, termasuk Peraturan Daerah, maka Peraturan Daerah

29

akan terhindar dari adanya pencabutan dan pembatalan dari pemerintah pusat, dan Peraturan Daerah akan berlaku secara efektif dan sesuai tujuan yang diharapkan. Rosjidi Ranggawidjaja (1998: yang 43) baik menegaskan, bahwa suatu harus

peraturan perundang-undangan

sekurang-kurangnya

memiliki tiga landasan, yaitu landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis, bahkan ada yang menambahkannya landasan politis. Materi muatan Peraturan Daerah yang menyimpang dari landasan yuridis, mengakibatkan Peraturan Daerah tersebut dapat dibatalkan oleh pemerintah karena bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Sedangkan materi muatan Peraturan Daerah yang tidak sesuai dengan aspek filosofis dan aspek sosiologis dapat menimbulkan reaksi dari masyarakat, sehingga menuntut Peraturan Daerah bersangkutan untuk dicabut. Akibat lebih jauh, masyarakat tidak akan mematuhi keberlakuan

Peraturan Daerah tersebut. Dengan demikian, landasan perundang-undangan yang menjadi pusat perhatian dalam pembentukan Peraturan Daerah yaitu :

1.

Landasan Filosofis (Filosofische Grongslag) Filsafat atau pandangan hidup sesuatu bangsa tiada lain berisi nilai-

nilai moral atau etika yang pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan yang
30

tidak baik. Nilai yang baik adalah pandangan dan cita-cita yang dijunjung tinggi tinggi dari suatu daerah tertentu. Di dalamnya ada nilai kebenaran, keadilan, kesusilaan, dan berbagai nilai lainnya yang dianggap baik. Peraturan Daerah yang baik harus berdasarkan pada semua itu. Semua nilai yang ada di Indonesia terakumulasi dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Peraturan Daerah dikatakan mempunyai landasan filosofis (filosofishe grondslang) apabila rumusannya atau normanya mendapat pembenaran (rechtsvaardiging) dikaji secara filosofis. Jadi, ia mempunyai alasan yang dapat dibenarkan apabila sejalan dengan nilai-nilai yang baik. Misalnya, menganiaya hewan sebelum disembelih untuk keperluan suatu pesta adat (paham yang berakar dari living law). Jika larangan ini dikuatkan melalui Peraturan Daerah, maka ia memperoleh landasan filosofis. 2. Landasan Sosiologis (Sociologische Grondslag) Suatu Peraturan Daerah dikatakan mempunyai landasan sosiologis apabila ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Hal ini penting agar Peraturan Daerah yang dibuat ditaati oleh masyarakat, tidak menjadi huruf mati belaka. Hal ini berarti bahwa Peraturan Daerah yang dibuat harus dipahami oleh masyarakat, sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat yang bersangkutan. Pada prinsipnya,

31

hukum yang dibentuk harus sesuai dengan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat, dan jika tidak sesuai dengan tata nilai, keyakinan dan kesadaran masyarakat tidak aka nada artinya, tidak mungkin dapat diterapkan karena tidak dipatuhi dan ditaati. Misalnya Peraturan Daerah Perizinan tentang Prostitusi.

3.

Landasan Yuridis (Juridsche Grondslag) Landasan yuridis adalah landasan hukum yang menjadi dasar

kewenangan (bevoegdheid,

competentie) pembuatan Peraturan Daerah.

Apakah kewenangan seseorang pejabat atau badan mempunyai dasar hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau tidak. Dasar hukum kewenangan membentuk Peraturan Daerah sangat diperlukan. Menurut Bagir Manan, dasar yuridis sangat penting dalam pembuatan peraturan karena akan menunjukkan, adanya kewenangan dari pembuat peraturan, adanya kesesuaian bentuk dengan materi yang diatur, untuk menghindari peraturan itu batal demi hukum dan agar tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Dengan demikian, landasan yuridis merupakan dasar hukum ataupun legalitas landasan yang terdapat dalam ketentuan hukum yang lebih tinggi derajatnya.

4.

Landasan Politis

32

Landasan politis adalah garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pengarahan

ketatalaksanaan pemerintahan Negara. Oleh karena garis politik yang dimaksud adalah GBHN, dan hal itu sudah termasuk dalam landasan yuridis, mengingat GBHN sesuai Tap MPR Nomor III/2000 merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Keseluruhan landasan tersebut, menjadi dasar pertimbangan lahirnya rancangan UU, termasuk Peraturan Daerah. Jadi, mencakup bagian-bagian menimbang,mengingat, dan

memperhatikan, bahkan menurut Solly Lubis (1977:56) termasuk di sini dasar-dasar pertimbangan dari segi keserasian dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid).

D. Landasan Teoritis 1. Teori Perundang-undangan Secara etimologi, perundang-undangan, merupakan terjemahan wetgeving, gesetzgebung, yang mengandung dua arti. Pertama, berarti proses pembentukan peraturan-peraturan negara sejenis yang tertinggi sampai yang terendah, yang dihasilkan secara atribusi atau delegasi

33

kekuasaan

perundang-undangan.

Kedua,

berarti

keseluruhan

produk

peraturan-peraturan negara tersebut. Peraturan perundang-undangan sebagai produk hukum dibuat dengan maksud untuk dipatuhi oleh masyarakat atau dengan kata lain untuk efektid atau hukum tersebut berperan sesuai fungsinya. Soerjono Soekanto dalam Achmad Ruslan (2006:51) mengatakan bahwa untuk dapat

mewujudkan fungsi dari perundang-undanagn maka ada 3 (tiga) kriteria yang harus dipenuhi: 1. Bila hukum hanya berlaku secara yuridis maka kemungkinan besar kaidahnya hanya merupakan kaidah yang mati (dode regel). 2. Jika hukum hanya berlaku secara sosiologis maka mungkin hukum berlaku sebagai hanya sebagai aturan pemaksa 3. Jika hukum hanya berlaku secara filosofis maka mungkin hukum itu hanya akan menjadi hukum yang dicita-citakan Terkait Krems dalam dengan pembentukan Ruslan perundang-undangan, Burkhartds bahwa

Achmad

(2006:51)

mengemukakan

pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi dua hal pokok yaitu kegiatan pembentukan isi dan kegiatan pemenuhan bentuk peraturan. Kedua kegiatan tersebut dilakukan secara serentak dan setiap bagian harus
34

memenuhi persyaratan sendiri-sendiri sehingga agar suatu peraturan perundang-undangan dapat efektif maka pembuatannya harus menggunakan dasar pemikiran yuridis, sosiologis dan filosofis. Berdasarkan Undang-undang No. 10 tahun 2004 asas-asas yang

berlaku dalam peraturan perundang-undangan dibagi menjadi 3 bagian yaitu (Achmad Ruslan, 2006:13): a. Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik b. Asas yang berkaitan dengan materi muatan peraturan perundangundangan c. Asas lain yang sesuai dengan bidang hukum peraturan perundangundangan yang bersangkutan. Asas yang berkaitan dengan pembentukan peraturan perundangundangan yang baik meliputi (Achmad Ruslan, 2006:14): a. Asas kejelasan tujuan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai; b. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah;

35

c. Asas kesesuaian antara jenis dan muatan adalah bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan dengan harus benar-benar

memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan; d. Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan keberlakuan atau dapat dilaksanakannya peraturan tersebut dalam masyarakat baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis; e. Asas daya guna dan hasil guna adalah bahwa setiap peraturan

perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan akan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. f. Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundangundangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan perundangundangan, sistematika, pilihan kata atau terminology, bahasa hukumnya jelas dan mudah dimenegrti sehingga tidak menimbulkan berbagai interpretasi dalam pelaksanaannya. g. Asas keterbukaan adalah bahwa proses pembentukan peraturan

perundang-undanganmulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.

36

Asas yang dikandung dalam materi muatan peraturan perundangundangan (Achmad Ruslan, 2006:15): a. Asas pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat; b. Asas kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan

penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM) serta harkat dan martabat setiap warga Negara dan penduduk Indonesia secara proporsional; c. Asas kebangsaan adalah setiap materi muatan perundang-udangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. Asas kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah mencapai mufakat dalam pengambilan keputusan kecuali tidak tercapai maka dilakukan voting yang harus tetap dijaga dalam semangat kekeluargaan; e. Asas kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus senantiasa memperhatikan

kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi peraturan


37

perundang-undangan merupakan bagian dari seluruh sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945; f. Asas bhineka tunggal ika adalah setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku,golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah sensitif dalm kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; g. Asas keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara

proporsional bagi setiap warga negara tanpa terkecuali; h. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan

adalah bahwa setiap materi muatan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan latar belakang agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.; i. Asas ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum; j. Asas keseimbangan, keserasian dan keselaran adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus

mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara


38

kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan Negara.

Selain asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diuraikan di atas berlaku pula asas-asas antara lain : asas tata urutan/susunan hirarki peraturan. Asas ini berasal dari teorinya Hans Kelsen dan Hans Nawiasky kemudian diadopsi (secara tersirat) ke dalam Pasal 7 ayat (4) dan (5) Undang-undang No. 10 tahun 2004 yang menentukan bahwa : (4) Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. (5) Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai hirarki sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan penjelasannya.

Dalam aturan ini secara tegas dinyatakan bahwa peraturan perundang-undangan tingkat bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Asas tersebut diadopsi dari teori jenjang norma hukum (stufen theory). Selain itu, asas hukum umum yang secara khusus dapat diterapkan dalam pembentukan perundangundangan adalah asas lex specialist derogate lex generali (peraturan perundang-undangan yang khusus mengesampingkan peraturan perundang-

39

undangan yang bersifat umum), asas lex posteriori derogate lex priori (peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan perturan perundang-undangan yang lama), (peraturan perundang-undangan lex superior derogate lex inferiori yang lebih tinggi mnegasampingkan

peraturan perundang-undangan yang lebih rendah).

2. Teori Desentralisasi a. Konsep Desentralisasi Secara umum ada dua jenis desentralisasi yaitu dekonsentrasi dan desentralisasi demokratik (Democratic decentralization). Dekonsentrasi

adalah suatu proses di mana departemen pusat menyerahkan fungsi dan tugas khusus pada pejabat lapangan di daerah-daerah. Wewenang dan otoritas anggaran dan administrasi tetap berada di pemerintah pusat. Otonomi pada periode Orde Baru lebih banyak berbentuk dekonsentrasi, sedangkan pada pasca Orde Baru sekarang ini, otonomi daerah

dimaksudkan berbentuk desentralisasi demokratik. Prinsip desentralisasi demokratik adalah bahwa pemerintah lokal bertanggung jawab pada warganya melalui pemilu yang teratur ataupun melalui mekanisme yang lain seperti pers bebas dan masyarakat madani (civil society) yang matang. Dalam kerangka ini otonomi daerah saat ini hanya mungkin berkembang

40

dalam konteks tata pemerintahan nasional yang baik (national democratic governence). Desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai dalam pemerintahan merupakan kebalikan dari sentralisasi. Dalam sistem sentralisasi,

kewenangan pemerintah baik di pusat maupun di daerah, dipusatkan dalam tangan pemerintah pusat. Pejabat-pejabat di daerah hanya melaksanakan kehendak pemerintah pusat. Dalam sistem desentralisasi, sebagian

kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan kepada pihak lain untuk dilaksanakan. Pelimpahan kewenangan pemerintah kepada pihak lain untuk dilaksanakan disebut desentralisasi (Soejito, dalam Sarundajang, 1999:45). Dalam Encyclopedia of the Sosial Sciences disebutkan bahwa "the proces of decentralization denotes the transference of authority, legislative, judicial or administrative, from higher level of government to a lower. " Artinya desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, baik yang menyangkut bidang legislatif, judikatif maupun administratif. Dalam ensiklopedi tersebut, juga dikemukakan bahwa desentralisasi adalah kebalikan dari sentralisasi, tetapi tidak baleh dikacaukan dengan pengertian deconcentration, sebab istilah ini secara umum lebih diartikan sebagai pendelegasian dari atasan kepada bawahannya, untuk melakukan suatu tindakan atas nama alasannya,

41

tanpa melepaskan wewenang dan tanggung jawab atasannya.(Sarundajang, 1999:46). Van Der Pot membagi desentralisasi menjadi dua yaitu

desentraliasasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi teritorial adalah pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya masing-masing (otonom). Bentuk dari desentralisasi adalah otonomi dan tugas pembantuan (medebewind). Desentralisasi fungsional adalah pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau beberapa kepentingan tertentu. Di dalam jenis desentralisasi ini dikehendaki agar kepentingan-kepentingan tertentu diselenggarakan oleh golongangolongan yang bersangkutan sendiri. Kewajiban pemerintah dalam hal ini hanyalah memberikan pengesahan atas segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh golongan kepentingan tertentu (Hestu Cipto Handoyo & Thresianti, 2000:88). Koesoemahatmadja dalam Hestu Cipto Handoyo & Thresianti (2000:88) menyatakan bahwa desentralisasi lazim dibagi dalam dua macam, yaitu : 1) Dekonsentrasi (deconcentratie) atau amhtelijke decentralisatie, adalah pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkat atas kepada bawahannya guna melancarkan pelaksanaan tugas

42

pemerintahan. diikutsertakan. 2) Desentralisasi

Dalam

desentralisasi

semacam

ini

rakyat

tidak

ketatanegaraan

(staatskundige

decentralisatie)

atau

desentralisasi politik adalah pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan (regelende en bestuurende hevoegheid) kepada daerahdaerah otonom di dalam lingkungannya. Dalam desentralisasi politik ini, rakyat dengan mempergunakan saluran-saluran tertentu (perwa-kikin) ikut serta di dalam pemerintahan. Desentralisasi ketatanegaraan dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu Desentralisasi teritorial (territoriale decentralisatie), adalah pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah masing-masing (otonom) dan desentralisasi fungsional (functionate decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau beberapa kepentingan tertentu. Dalam desentralisasi tertentu semacam ini dikehendaki oleh agar

kepentingan-kepentingan

diselenggarakan

golongan-

golongan yang bersangkutan sendiri. Kewajiban pemerintah dalam hubungan ini hanyalah memberikan pengesahan atas segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh golongan-golongan kepentingan tersebut. Riggs dalam Pipin Syarifin dan Dedan Jubaedah (2005:89) bahwa desentralisasi mempunyai dua makna, yaitu sebagai pelimpahan wewenang

43

(delegation) dan pengalihan kekuasaan (devolution). Delegation mencakup penyerahan tanggung jawab kepada bawahan untuk mengambil keputusan berdasar kasus yang dihadapi, tetapi pengawasan tetap berada ditangan pusat (kadang-kaang disebut juga dekonsen-trasi). Sedangkan devolution mempunyai makna yang hcrbeda, di mana seluruh tanggung jawab untuk kegiatan tertentu diserahkan penuh kepada penerima wewenang. Irawan Soejito (1981:21) membedakannya menjadi tiga yakni desentralisasi teritorial, desentralisasi fungsional dan desentralisasi

administratif (dekonsentrasi). Philipus M. Hadjon (1993:111) mengemukakan pengertian desentralisasi sebagai berikut : Desentralisasi mengandung makna bahwa wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah pusat, melainkan dilakukan juga oleh satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah, baik dalam bentuk satuan teritorial maupun fungsional. Satua-satuan pemerintahan yang lebih rendah diserahi dan dibiarkan mengatur dan diabiarkan mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan.

b. Mekanisme Desentralisasi Sarundajang (1999:54) mengemukakan bahwa ada beberapa

mekanisme pelaksanaan desentralisasi yaitu :

44

1. Multi purpose Lokal Authorities yaitu sistem pemerintahan daerah yang menyeluruh dalam hal ini pelayanan pemerintah di daerah dilaksanakan oleh aparat-aparat yang mempunyai tugas bermacam-macam. Aparat daerah melakukan fungsi-fungsi yang diserahkan oleh perintah pusat. Kesempatan berprakarsa atau berinisiatif untuk melakukan pengawasan atas semua bagian terbuka bagi aparat daerah maupun bagi aparat pusat. Aparat daerah melakukan pelayanan tugas-tugas aparat pusat seperti: agraria, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan umum. Sistem ini terdapat di Yugoslavia, India, Pakistan dan Mesir yaitu negara dimana terjadi pemindahan atau transformasi tugas-tugas dari aparat pusat kepada aparat daerah. 2. Partnership System, yaitu beberapa jenis pelayanan dilaksanakan langsung oleh aparat pusat dan beberapa jenis yang lain pula dilakukan oleh aparat daerah. Aparat daerah melakukan beberapa fungsi dengan beberapa kebebasan tertentu pula. Beberapa kegiatan lain dilakukan juga oleh aparat daerah tetapi atas nama aparat pusat atau di bawah bimbingan teknik aparat pusat. Sistem ini menggunakan aparat pusat dan aparat daerah secara terpisah dalam melakukan segala kegiatan, namun juga dapat melakukan bersama-sama sesuai kebutuhan dan keadaan;

45

aparat pada tingkat bawah biasanya dikoordinasikan dengan aparat daerah. Sistem ini terdapat di negara Afrika yang berbahasa Inggris. 3. Dual System, yaitu aparat pusat melaksanakan pelayanan teknis secara langsung demikian juga aparat daerah. Apa yang dilakukan aparat daerah tidak boleh lebih dari apa yang telah digariskan menjadi urusannya. Biasanya dengan sistem ini sering terjadi pertentangan aparat pusat dengan aparat daerah. Aparal daerah dengan peraturan dalam sistem ini lebih merupakan alat politik daripada alat pembangunan. Sistem i n i terdapat di Amerika Latin. Dalam sistem ini tidak terdapat aparat untuk melakukan koordinasi. 4. Integrated Administrative System, yaitu aparat pusat melakukan

pelayanan teknis secara langsung di bawah pengawasan seorang pejabat koordinator. Aparat daerah hanya punya kewenangan kecil dalam melakukan kegiatan pemerintahan. Sistem ini kebanyakan terdapat di Tiinur Tengah dan Asia Tenggara. 3. Teori Kearifan Lokal a. Pengertian Kearifan Lokal Dalam uraiannya, Saini (2005) mengulas bahwa kearifan lokal dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local
46

wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious). Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya-tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal. Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dapat pula dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah, wisdom sering diartikan sebagai kearifan/kebijaksanaan. Local secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain disebut settting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah
47

setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah-laku mereka (Sarlito Wirawan, 1992:6). b. Wujud Kearifan Lokal Teezzi, Marchettini, dan Rosini (2009) mengatakan bahwa akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka seharihari.

48

BAB III METODE PENELITIAN HUKUM


A. Tipe Penelitian Penelitian ini mengkaji tentang esensi dan urgensitas Peraturan Daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah melalui metode penelitian normatif yang berpangkal pada pendekatan pendekatan perundangundangan (statute approach) yaitu dengan mengkaji dan menganalisis keterhubungan antara Peraturan Daerah dan beberapa undang-undang yang berkaitan dan relevan dengan topik masalah yang akan diteliti. Dalam konteks penelitian hukum, pengkajian ini dapat digolongkan sebagai penelitian normatif-doktrinal dengan pendekatan konseptual (conseptual approach). Melalui pendekatan konseptual, peneliti akan merujuk pada prinsip-prinsip hukum yang dapat diketemukan dalam pandangan-pandangan sarjana atau doktrin-doktrin hukum. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis krisis (critical analysis) melalui pendekatan analisis komprehensif (comprehensive analysis). Pendekatan tipe ini adalah peneliti mengungkapkan tidak hanya segi ketidaksempurnaan, tetapi juga segi keunggulan (secara filosofis, sosiologis, dan yuridis) dan sekaligus menawarkan solusi terhadap objek permasalahan yang dikaji.

49

B.

Bahan Hukum Penulisan hukum ini menggunakan 2 (dua) macam sumber hukum,

bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. a. Bahan Hukum Primer digunakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan antara lain UUD 1945, Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan peraturan perundangundangan. b. Bahan Hukum Sekunder yang akan digunakan adalah buku-buku hukum yang dibuat oleh scholar atau jurist dengan kualifikasi tinggi, jurnal hukum dan makalah serta hasil penelitian. c. Bahan Hukum Tertier, berupa kamus hukum, ensiklopedia dan berita pada berbagai media massa. C. Metode Analisis Keseluruhan data yang diperoleh selama penelitian berangsung, baik data primer, sekunder dan tertier, ditelaah dengan berdasarkan pada kerangka teoretik kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Hasil penalaran dalam analisis kualitatif tersebut pada akhirnya mendeskripsikan tentang berbagai kesimpulan untuk mengatasi

permasalahan yang menjadi objek penelitian.


50

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Esensi Peraturan Daerah Dalam Otonomi Daerah Suatu negara yang memiliki wilayah geografis yang luas dengan jumlah penduduk besar dan kompleksitas kepentingan yang sangat pluralis, seperti Indonesia, tidak dapat menghindarkan diri dari suatu sistem pemencaran dan pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini memberikan konsekuensi terdapatnya hak dan kewajiban bagi daerah di dalam wilayah negara untuk mengurus rumah tangganya sendiri yang kemudian dikenal sebagai Daerah Otonom. Sebagaimana amanat undang-undang, penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Di samping itu penyelenggaraan Otonomi Daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.

51

Untuk menunjang pelaksanaan kewenangan yang diberikan sebagai daerah otonom, Daerah Provinsi, Kota dan Kabupaten, diberikan

kewenangan untuk menyelenggarakan sistem regulasi yang juga bersifat otonom, yang dikenal dengan istilah Peraturan Daerah (Peraturan Daerah). Hasil amandemen UUD 1945 telah menetapkan bahwa Peraturan Daerah sebagai salah satu bentuk hukum peraturan perundang-undangan, yang sebelumnya hanya diatur berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Mengingat landasan pijakannya bersumber dari Undang-Undang Dasar, maka Peraturan Daerah harus mampu mengemban cita hukum (rechtsidee) pembangunan hukum yang digariskan dalam UUD 1945 yang mengacu pada tiga watak hukum, yaitu: hukum yang demokratis, hukum yang berperikemanusiaan, dan hukum yang berkeadilan sosial. Ketiga watak hukum ini telah sejalan dengan konsepsi dan idealitas hukum modern yang kini tengah diperjuangkan di berbagai belahan bumi ini. Ketiga watak hukum tersebut sepenuhnya mengacu pada kodrati manusia yang memiliki harkat, martabat, kebebasan dan kesamaan. Peraturan Daerah sebagai produk hukum daerah merupakan sesuatu yang inherent dengan sistem Otonomi Daerah. Hal ini sebagai konsekuensi dari sistem Otonomi Daerah itu sendiri yang bersendikan kemandirian (zefstandigheid) dan bukan merupakan suatu bentuk kebebasan suatu satuan pemerintahan yang merdeka (onafhankelijkheid), Kemandirian itu
52

sendiri mengandung arti bahwa Daerah berhak mengatur dan mengurus urusan rumah tangga pemeirntahannya sendiri. Kewenangan mengatur disini mengandung arti bahwa daerah berhak membuat keputusan hukum berupa peraturan perundang-undangan, yang nomenklaturnya disebut Peraturan Daerah. Dengan semikian, kehadiran atau keberadaan Peraturan Daerah menjadi sesuatu yang mutlak dalam mengatur urusan rumah tangga daerah, dalam wadah negara kesatuan yang tetap menempatkan hubungan Pusat dan Daerah yang bersifat subordinat dan independen. Dalam konsep otonomi daerah maupun daerah otonom terkandung wewenang (fungsi) mengatur dan mengurus. Istilah mengatur dan mengurus berasal dari istilah teknis hukum (yuridis) Hindia Belanda yang disebut regelend dan bestuur. Dari segi hukum, mengatur berarti perbuatan menciptakan norma hukum yang berlaku umum dan biasanya bersifat abstrak (tidak mengenai hal dan keadaan yang konkret), sedangkan mengurus berarti perbuatan menciptakan norma hukum yang berlaku individual dan bersifat konkret. Secara materiil, mengurus dapat berupa memberikan pelayanan kepada orang atau badan tertentu dan/atau melakukan pembangunan proyek-proyek tertentu (secara konkret dan kasuistik).

53

Peraturan Daerah merupakan norma hukum yang materinya bersifat mengatur dan berlaku umum, mengandung muatan abstrak, sehingga masih memerlukan tindak lanjut dalam tataran operasionalnya. Dalam konteks ini, Kepala Daerah dapat menetapkan Keputusan Kepala Daerah, sesuai dengan pendelegasian yang bersumber dari pasal-pasal materi Peraturan Daerah dan atas kuasa peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Bagir Manan (1997: 123) menjelaskan ciri abstrak umum atau umum abstrak, artinya tidak menhgatur atau tidak ditujukan pada objek, peristiwa atau gejala konkret tertentu. Sebagai bagi norma hukum untuk Peraturan Daerah adalah

instrumen/sarana

pemerintah

mejalankan

roda/aktivitas

pemerintahan, dan untuk menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan. Di samping itu berfungsi sebagai pengarah, perekayasa dan perancangan, serta pendorong perubahan dan perilaku warga masyarakat. Pada hakikatnya, Peraturan Daerah merupakan keputusan dalam arti luas, sebagai tujuan untuk mengatur hidup bersama, melindungi hak dan kewajiban manusia dalam masyarakat, melindungi lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat dan mejaga keselamatan dan tata tertib masyarakat di daerah yang bersangkutan atas dasar keadilan, untuk mencapai

keseimbangan dan kesejahteraan umum. Djoko Prakoso (1985: 1) menulis bahwa pada dasarnya Peraturan Daerah adalah sarana demokrasi dan

54

sarana komunikasi timbal balik antara Kepala Daerah dan masyarakat di daerahnya. Peraturan Daerah adalah kunci pokok dalam pelaksanaan

pemerintahan daerah berdasarkan atas hukum, yang dalam UUD 1945 hasil amandemen telah ditetapkan sebagai format kenegaraan yang secara tegas disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, semua aspek kehidupan kemasyarakatan, khususnya dalam rangka

penyelenggaraan pemerintahan daerah (hubungan antara pemerintahan daerah dan masyarakatnya) serta dalam hubungan antarsesama warga masyarakat di daerah diatur atau harus berlandaskan Peraturan Daerah. Oleh karena itu, Peraturan Daerah tidak lagi memerlukan pengesahan dari otoritas lembaga negara pada Pemerintah Pusat sebagai wujud kemandirian dan keotonomian. Dalam kaitan dengan itulah, luas lingkup materi Peraturan Daerah terbatas hanya sepanjang yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga

pemerintahannya sendiri. Dari segi fungsinya, Peraturan Daerah Provinsi adalah untuk menyelenggarakan otonomi daerah di tingkat provinsi dan tugas pembantuan (medebewind) dalam rangka mengurus kepentingan rakyat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sebagaimana

55

ditentukan dalam Pasal 10, Pasal 12, dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Di samping itu, fungsi Peraturan Daerah Provinsi juga untuk menyelenggarakan ketentuan tentang fungsi anggaran dari DPRD Provinsi dalam rangka penetapan APBD, perubahan dan perhitungan APBD dan pengelolaan keuangan daerah provinsi sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Fungsi Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah untuk

menyelenggarakan otonomi daerah sepenuhnya di tingkat kabupaten/kota dan tugas pembantuan (medebewind) dalam rangka mengurus kepentingan rakyat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Fungsi Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota juga untuk menyelenggarakan ketentuan tentang fungsi anggaran dari DPRD Kabupaten/Kota dalam rangka menetapkan APBD, perubahan dan perhitungan APBD, dan pengelolaan keuangan daerah. Kabupaten/kota sesuai dengan Pasal 19 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

56

Berdasar pada ketentuan di atas, tampak wewenang daerah begitu luas untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Terlebih untuk daerah kabupaten dan daerah kota. Demikian luasnya bidang/urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah kabupaten/kota untuk diatur dan diurus sebagai urusan rumah tangganya, maka kepada daerah diberlakukan prinsip otonomi yang seluas-luasnya terutama bagi daerah kabuaten dan kota. Dalam konteks ini ada dua makna esensial yang erkandung dalam otonomi yang seluas-luasnya. Pertama, luasnya otonomi yang diberikan kepada daerah tidak semata-mata diletakan pada banyaknya jumlah urusan yang diserahkan kepada daerah, tetapi lebih terletak pada kemandirian daerah itu sendiri. Dikatakan demikian, karena isi otonomi bukanlah pembagian jumlah (quantum) urusan pemerintah antara pusat dan daerah. Urusan pemerintahan tidak dikenali jumlahnya. Pembagian urusan, dalam arti urusan yang diserahkan, harus dilihat dari sifat dan kualitasnya. Urusan rumah tangga daerah selalu lebih ditekankan pada urusan pelayanan (service). Dengan demikian, segala urusan yang akan menjadi ciri dan kendali keutuhan negara kesatuan akan tetap pada pusat. Pengertian otonomi luas bukanlah terutama soal jumlah urusan. Otonomi luas harus lebih diarahkan pada pengertian kemandirian

(zelfstandigheid), yaitu kemandirian untuk secara bebas menentukan cara57

cara mengurus urusan rumah tangga daerah itu sendiri. Dengan perkataan lain, hal yang harus diluaskan adalah kemandirian daerah. Sebab, betapapun banyaknya urusan yang diserahkan kepada daerah namun apabila daerah tersebut tidak mandiri, maka tidak akan dapat mewujudkan otonomi yang sebenarnya. Kedua, otonomi yang luas tidak sekadar melahirkan hak yang luas, tetapi kewajiban yang luas, tidak sekadar wewenang, tetapi juga tanggung jawab, dan tidak pula hanya sekadar sumber anugerah, tetapi juga beban. Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa urusan pemerintahan otonomi pada dasarnya bersifat pelayanan. Karena itu, sesungguhnya otonomi tersebut adalah beban dan tanggung jawab, bukan sekadar dasar untuk kewenangan. Akan tetapi, apabila disertai dengan berbagai

kelengkapan yang cukup baik dan memadai, maka beban dan tanggung jawab itu akan menjadi nikmat bagi pemerintah daerah dan masyarakat. Mengingat fungsi dasar otonomi di atas, maka masalah utama yang dihadapi sekarang bukan lagi terletak pada kehendak untuk berotonomi, melainkan yang lebih konkret terletak pada kesiapan daerah melaksanakan segala urusan otonomi yang sangat luas tersebut.

58

B. Otonomi dan Materi Muatan Peraturan Daerah

Pluralisme Negara Kesatuan Republik Indonesia menghadirkan keberagaman kepentingan dan problematika masing-masing Pemerintah Daerah. Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan untuk mengatur urusan rumah tangga sendiri melahirkan gambaran bahwa materi muatan ataupun jenis Peraturan Daerah yang dibuat oleh masing-masing Pemerintah Daerah berbeda antara satu daerah dengan lainnya. Walaupun demikian, terhadap materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian, materi muatan Peraturan Daerah Provinsi adalah hal-hal lebih lanjut yang perlu diatur dengan Peraturan Daerah sesuai perintah UU 32 Tahun 2004 dan UU 33 Tahun 2004, serta Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom, dalam rangka

penyelenggaraan otonomi daerah di tingkat provinsi dan tugas pembantuan (medebewind), serta mengurus kepentingan rakyat setempat menurut prakarsa sendiri. Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 136 ayat (2) dan (3) UU 32 Tahun
59

2004 di tingkat Provinsi, dengan memperhatikan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi (urusan dalam skala provinsi) yang meliputi: 1. perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 3. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 4. penyediaan sarana dan prasarana umum; 5. penanganan bidang kesehatan; 6. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; 7. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; 8. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; 9. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; 10. pengendalian lingkungan hidup; 11. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; 12. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13. pelayanan administrasi umum pemerintahan; 14. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; 15. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan 16. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan.

60

Sedangkan materi muatan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah sebagaimana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 136 ayat (2) dan (3) UU 32 Tahun 2004 di tingkat Kabupaten/Kota, dengan memperhatikan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota (urusan dalam skala kabupaten/kota) yang meliputi: 1. perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 3. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 4. penyediaan sarana dan prasarana umum; 5. penanganan bidang kesehatan; 6. penyelenggaraan pendidikan; 7. penanggulangan masalah sosial; 8. pelayanan bidang ketenagakerjaan; 9. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; 10. pengendalian lingkungan hidup; 11. pelayanan pertanahan; 12. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13. pelayanan administrasi umum pemerintahan; 14. pelayanan administrasi penanaman modal; 15. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan 16. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan.

Secara teoretis, materi muatan menurut A. Hamid S. Attamimi (1990:30) adalah muatan yang sesuai dengan bentuk peraturan perundang61

undangan tertentu. Otonomi daerah mengatur beberapa prinsip mengenai materi muatan Peraturan Daerah, di antaranya adalah Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi, tugas pembantuan dan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Daerah yang mengatur urusan rumah tangga daerah yang bersumber dari otonomi lebih luas atau penuh dibandingkan dengan yang bersumber dari tugas pembantuan. Di bidang otonomi, Peraturan Daerah dapat mengatur segala urusan pemerintahan yang menjadi wewenang daerah, baik yang bersifat substansial maupun mengenai cara-cara menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut. Tidak demikian di bidang tugas pembantuan, Peraturan Daerah tidak mengatur substansi urusan pemerintahan, tetapi terbatas pada pengaturan cara-cara menyelenggarakan urusan, tetapi daerah memiliki kebebasan sepenuhnya untuk mengatur caracara melaksanakan tugas pembantuan yang diwujudkan pengaturannya ke dalam bentuk Peraturan Daerah. Secara substansial Peraturan Daerah mengatur urusan pemerintahan yang sangat luas, sejalan dengan kehendak udang-undang yang

memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah kabupaten dan daerah kota. Substansi Peraturan Daerah Kabupaten dan Kota jauh lebih luas, tetapi tidak demikian halnya pada Peraturan Daerah Provinsi, meskipun sama-sama merupakan daerah otonom. Namun, kewenangan Provinsi
62

sebagai daerah otonom lebih terbatas dibandingkan dengan kewenangan kabupaten dan kota yang juga sebagai daerah otonom. Kewenangan masingmasing daerah pada bentuk hukum seperti Peraturan Daerah, perlu dipahami dengan baik dan hati-hati, sebab berpotensi menimbulkan konflik

kewenangan, khususnya antara provinsi dengan kabupaten dan kota. Bagi Provinsi, lingkup kewenangan jelas, yaitu hanya terbatas pada ketiga hal di atas, sementara daerah kabupaten dan kota pun di dalam menerjemahkan kewenangan yang luas tersebut ke dalam Peraturan Daerah. Banyak di antara urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah kabupaten dan kota tidak hanya berdimensi lokal, tetapi juga nasional, seperti pendidikan, kesehatan dan lingkungan hidup. Bahkan, ada yang berdimensi internasional, tidak hanya nasional, apalagi lokal seperti perhubungan. Ada unsure-unsur dari urusan tersebut yang harus diatur, bahkan

diselenggarakan secara nasional, tidak secara lokal. Terdapat beberapa perbedaan sifat substansi Peraturan Daerah berdasarkan otonomi dan berdasarkan tugas pembantuan. Berdasarkan otonomi, sudah jelas sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Berdasarkan tugas pembantuan, substansi Peraturan Daerah mencakup pengaturan tentang tata cara penyelenggaraan rumah tangga daerah yang tidak bersumber pada undang-undang, tetapi semata-mata berdasarkan kebijakan (beleid) dari satuan pemerintahan yang di bantu. Materi yang diatur
63

di dalamnya bersifat tertentu (limitative) sesuai dengan tugas-tugas yang diberikan satuan pemerintahan yang di bantu. Makin terbatas urusan pemerintahan Pusat, makin sedikit cakupan tugas pembantuan. Berdasarkan wewenang Pusat yang diatur dalam undang-undang, maka tugas

pembantuan mungkin akan mengenai bagian tertentu dari penyelenggaraan pertahanan dan keamanan, bagian tertentu dari urusan moneter dan fiskal serta urusan keagamaan. Dibidang politik luar negeri, tidak akan ada tugas pembantuan. Bahkan, sebaliknya pusat akan mengawasi wewenang daerah untuk mengadakan hubungan luar negeri. Peraturan Daerah yang substansinya merupakan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-Undangan yang lebih tinggi, dalam ketentuan perundang-undangan tidak begitu jelas. Namun, penjabaran lebih lanjut peraturan atau kebijakan yang lebih tinggi oleh satuan pemerintahan yang lebih rendah dapat dilakukan dalam rangka tugas pembantuan dan dekonsentrasi. Kabupaten dan kota tidak mempunyai hubungan

dekonsentrasi dengan satuan pemerintahan yang lebih tinggi, oleh karena itu, Peraturan Daerah sebagai penjabaran lebih lanjut peraturan perundangundangan yang lebih tinggi hanya mingkindalam tugas pembantuan. Provinsi mempunyai hubungan dekonsentrasi dengan satuan pemerintah lebih tinggi (Pusat). Akan tetapi, hubungan ini bukan dengan Pemerintah Daerah Provinsi, melainkan dengan gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat.
64

Olehnya itu, tidak mungkin dibentuk Peraturan Daerah untuk melaksanakan tugas dekonsentrasi. Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan lain, dan peraturan perundang-undangan yang lain. Ketentuan ini dapat dipandang sebagai kerangka pembatas atau koridor dalam pembentukan Peraturan Daerah. Kerangka pembatas ini penting artinya untuk meunjukkan, bahwa meskipun daerah mempunyai hak atau wewenang mengatur urusan rumah tangganya sendiri yang dituangkan kedalam bentuk keputusan hukum berupa Peraturan Daerah. Namun, kewenangan itu tidak dalam artian sebagai satuan pemerintahan yang merdaka dan berdaulat, tetapi tetap dalam bingkai negara kesatuan dan sistem peraturan perundang-undangan secara nasional. Dalam kenyataan, walaupun telah ada bingkai yang jelas tentang materi muatan Peraturan Daerah, akan tetapi masing-masing daerah dapat menyusun Peraturan Daerah yang materi muatannya selain dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, juga menampung kondisi khusus daerah tertentu atau ciri khas masing-masing daerah. Hal ini menunjukan bahwa wajarlah jika local content menjadi materi muatan sebuah Peraturan Daerah. Materi muatan lokal itu bisa saja diangkat dari adat istiadat masyarakat setempat dan nilai-nilai yang menonjol di daerah tersebut. Banyak yang beranggapan bahwa Peraturan Daerah-Peraturan
65

Daerah yang terkait dengan antimiras, perjudian, dan prostitusi yang dianggap tidak seharusnya diatur di dalam Peraturan Daerah, karena sudah diatur dalam KUHP. Namun harus diingat bahwa KUHP merupakan warisan peninggalan Belanda sehingga ada kemungkinan untuk beberapa hal tidak sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia. Apalagi telah kita sadari bahwa minuman keras (khamr) merupakan induk dari kejahatan. Dalam doktrin-doktrin ilmu hukum keberlakuan hukum secara filosofis, sosiologis dan yuridis merupakan syarat mutlak untuk dapat membentuk peraturan yang baik namun dalam kenyataan yang terjadi saat ini, ternyata banyak peraturan daerah yang hanya mencerminkan satu keberlakuan saja antara lain hanya mencerminkan keberlakuan secara yuridis namun mengesampingkan keberlakuan secara sosiologis dan filosofis. Salah satu contoh peraturan daerah yang tidak memperhatikan keberlakuan secara sosiologis dan filosofis adalah Peraturan Daerah Propinsi Riau No. 24 tahun 2007 tentang Pengendalian Pemanfaatan dan Pembakaran Hutan. Peraturan daerah ini membuka peluang usaha di Propinsi Riau karena adanya keluasan pemanfaatan hutan dan hal tersebut tentu saja dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Propinsi Riau namun di pihak lain, ternyata peraturan daerah tersebut mengabaikan kepentingan masyarakat. Peluang usaha yang dibuka dengan memberikan ruang bagi pembakaran hutan sangat merugikan aspek lingkungan tempat tinggal masyarakat setempat.
66

Penggundulan hutan dapat menimbulkan longsor dan banjir yang tentu saja bukan hanya merugikan masyarakat tapi juga akan menguras pendapatan daerah untuk pembangunan kembali jika bencana terjadi. Peraturan Daerahtersebut dapat dianggap sebagai Peraturan Daerahyang hanya melihat 1 (satu) langkah ke depan dan melupakan efek jangka panjang yang dapat ditimbulkannya serta tidak memperhatikan kearifan lokal masyarakat setempat (Antara, 4 September 2007). Peraturan daerah ini telah mencerminkan keberlakuan secara yuridis karena pembentukannya

didasarkan pada norma yang lebih tinggi tingkatannya dan terbentuk menurut cara yang ditetapkan namun ternyata secara sosiologis dan filosofis

peraturan daerah tersebut tidak memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai peraturan daerah yang baik. Dalam Jurnal Jentera (edisi 14 tahun IV Oktober-Desember 2006) disebutkan bahwa berdasarkan data statistik Peraturan Daerah Koleksi Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) ternyata untuk peraturan daerah yang terkait dengan investasi terdapat 15 (lima belas) jenis Peraturan Daerah untuk pajak daerah dan 33 (tiga puluh tiga) jenis Peraturan Daerah untuk retribusi. Banyaknya peraturan daerah yang terkait dengan investasi tersebut kemudian menimbulkan persoalan. Ketentuan dan persyaratan investasi yang melewati begitu banyak meja dan birokrasi menimbulkan keengganan bagi para investor untuk menanamkan
67

investasinya di daerah. Padahal pembentukan peraturan daerah yang lebih ramah terhadap peluang investasi dapat membuka peluang yang lebih besar bagi daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah melalui penanaman modal para investor. Dalam jurnal tersebut disebutkan pula bahwa ada persoalan pelaksanaan peraturan daerah yang paling mendominasi adalah tidak jelasnya standar pelayanan pemerintah daerah dalam peraturan daerah dan adanya pelanggaran filosofi antara lain dalam Peraturan Daerah tentang retribusi di mana Peraturan Daerah tersebut diterapkan namun tidak memberikan manfaat langsung bagi para pembayar retribusi. Di Sulawesi Selatan banyak ditemukan Peraturan Daerah yang merupakan peraturan yang bersifat untuk mengakomodasi potensi alam, sumber daya dan kultural. Salah satu contoh adalah Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut yang didasari pertimbangan bahwa untuk mewujudkan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang dimiliki Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan kontur geografisnya. Kewenangan Kota/kabupaten untuk mengatur dan mengurus sendiri potensi kelautannya merupakam modal dasar bagi peningkatan kemampuan daerah dalam berotonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, kewenangan Kota/kabupaten dalam pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumber daya kelautan sebagaimana telah ditentukan dalam peraturan perundang68

undangan, baik dalam rangka otonomi daerah maupun dalam kaitannya dengan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, maka kebijakan pemerintah daerah harus dilakukan secara simultan, terencana dan terpadu. Untuk mencapai dayaguna dan optimalisasi pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumber daya pesisisr dituntut adanya kebijakan daerah yang sejalan dengan kebijakan nasional, untuk hal khusus dan tertentu Pemerintah Kota/Kabupaten dapat mengambil kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan daerah. Dalam konteks ini, maka kebijakan daerah dalam pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumber daya pesisir dapat dilakukan berdasarkan kewenangan yang telah diberikan undang-undang dan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain itu, Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan juga memiliki Peraturan Daerah tentang Pelestarian Terumbu Karang. Dalam bidang sosial politik, Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan juga telah melaksanakan suatu Peraturan Daerah tentang Pelayanan Kesehatan dan Pendidikan Gratis. Contoh lain yang dapat dikemukakan adalah adanya Peraturan Daerah yang bersifat sektoral seperti Kpeariwisataan di Tana Toraja yang memiliki potensi wisata budaya yang tinggi. Dalam bidang keagamaan, ditemukan banyak sekali daerah yang membuat Peraturan Daerah - Peraturan Daerah berbasis agama, seperti Peraturan Daerah Syariah di Bulukumba, Desa Syariah di Kabupaten Maros dan Peraturan
69

Daerah tentang memakai busana muslim/muslimah dan membaca Al-Quran. Pembuatan Peraturan Daerah berbasis syariah telah menjadi polemik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan menjadi perdebatan. Ada Peraturan Daerah yang dibentuk oleh suatu daerah ternyata diikuti dan dicontoh oleh daerah lain namun dalam kenyataannya Peraturan Daerah tersebut tidak cocok dengan kondisi daerahnya. Sebagai contoh, lahirnya Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba No. 6 tahun 2003 tentang Pandai Baca Al-Quran Bagi Siswa dan Calon Pengantin Dalam Kabupaten Bulukumba. Peraturan Daerah ini mensyaratkan wajib bisa mengaji bagi calon pengantin. Akibatnya beberapa perkawinan sempat tertunda karena calon pengantin tak dapat memenuhi syarat itu, sedang pihak keluarga sudah melakukan sosialisasi perkawinan anaknya. Dalam kebudayaan Bugis Makassar, pembatalan suatu perkawinan merupakan siri' (malu). Jadi Peraturan Daerah ini berpotensi memicu konflik sosial. Penerapan Peraturan Daerah seperti ini juga dilakukan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) namun tidak menimbulkan konflik sosial karena masyarakat di NAD memang telah menerima syariah Islam sejak dahulu dan kondisi masyarakat NAD yang homogen tentu saja lebih mendukung pelaksanaan Peraturan Daerah syariah Islam. Selain itu penerapan syariah Islam di Aceh terkait erat dengan political expediency Pemerintah Pusat guna mempertahankan NAD (Nangroe Aceh Darussalam) dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
70

(NKRI). Jadi, suatu Peraturan Daerah yang diberlakukan di suatu daerah belum tentu sesuai untuk dibentuk di daerah lain karena kondisi tiap daerah terutama kultur dan kearifan lokalnya tidak sama. Selain itu, keinginan membentuk peraturan daerah dalam waktu yang cepat kadang membuat para pembentuk peraturan daerah hanya melakukan copy paste baik dari peraturan daerah dari daerah lain maupun dari aturan yang lebih tinggi. Sebagai contoh Peraturan Daerah Propinsi Sulawesi Utara No. 2 tahun 2002 tentang Retribusi Pengawasan Mutu dan Pengembangan Produksi Cengkeh dan Pala ternyata dari segi bentuk dan isi hanya copy paste dari Undangundang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sehingga materi dari Peraturan Daerah ini tidak sejalan dengan kondisi masyarakat setempat. Namun hal negatif yang ditemukan dalam berbagai penelitian yang mengkaji peranan Peraturan Daerah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah adalah bahwa seringkali penyusunan Peraturan Daerah tidak berdasarkan pada aspek kebutuhan publik, tetapi lebih merupakan pengejewantahan pada aspek kepentingan Pemerintah Daerah. Kepentingan yang utama dan yang umum ditemukan adalah kepentingan Pemerintah Daerah terhadap

peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Oleh karena orientasi pembentukan Peraturan Daerah lebih dititikberatkan pada PAD maka seringkali jenis dan objek pengaturan dalam Peraturan Daerah bukan
71

merupakan hasil elaborasi atau penelitian terhadap kepentingan masyarakat. Sehingga wajar ditemukan dalam kenyataan jika masyarakat seringkali tidak dilibatkan dalam pembentukan suatu Peraturan Daerah atau tidak bersifat partisipatif. Padahal keterlibatan stakeholder dalam penyusunan suatu peraturan perundang-undangan merupakan tuntutan dan syarat legal drafting dalam bingkai demokrasi dan negara hukum yang telah menjadi fondasi bangsa ini. Pandangan sosiologi hukum dan psikologi hukum, menganjurkan agar tahapan penyebarluasan (sosialisasi) Peraturan Daerah harus

dilakukan. Hal ini diperlukan agar terjadi komunikasi hukum antara Peraturan Daerah dengan masyarakat yang harus patuh. Pola ini diperlukan agar terjadi internalisasi nilai atau norma yang diatur dalam Peraturan Daerah sehingga ada tahap pemahaman dan kesadaran untuk mematuhinya. Bahkan dalam penelitian ditemukan pula bahwa seringkali sosialisasi suatu proses penyusunan Peraturan Daerah tidak dilaksanakan secara baik dan berdasarkan penelitian Hamzah (2008: 320) di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, ditemukan adanya pemahaman dari aparatur pemerintah daerah bahwa sosialisasi rancangan suatu Peraturan Daerah tidak menjadi sesuatu yang wajib karena tidak memiliki landasan peraturan. Dalam proses pembentukan keterlibatan peraturan dan perundang-undangan masyarakat di tidak alam dapat demokrasi, dihindari.

keikutsertaan

Keikutsertaan masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang72

undangan bahkan menjadi salah satu prasyarat. Memperhatikan proses dan produk legislasi selama ini maka ke depan peran serta masyarakat menjadi suatu keharusan. Secara teoretik, idealnya suatu proses penyusunan Peraturan Daerah melakukan pelibatan publik secara luas yang bertujuan antara lain: 1. Agar pemerintah daerah segera mengetahui dan memperbaiki kekeliruan yang terjadi dalam pembuatan kebijakan dan

pelaksanaan pelayanan publik; 2. Memungkinkan pemerintah daerah dalam membuat kebijakan atau program pembangunan sejalan dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat (bottom up) dan bukan berdasarkan selera penguasa (topdown); 3. Terbukanya jaringan (akses) sumber daya yang ada dalam masyarakat serta meningkatkan partisipasi masyarakat; 4. Dapat membantu pemerintah daerah mendeteksi dan mengelola konflik yang kemungkinan muncul dalam masyarakat dengan keberlakuan Peraturan Daerah tersebut.

Ada beberapa faktor yang mendorong keterlibatan dan peran serta masyarakat, diantaranya adalah nilai filosofis demokrasi yang mengajarkan bahwa dalam pengambilan keputusan yang akan mengatur rakyat maka

73

rakyat perlu didengar aspirasinya. Dukungan dan keberatan perlu didengar dan dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Oleh sebab itu dalam proses legislasi di Daerah aspirasi, tuntutan dan keberadaan seluruh komponen masyarakat sebagai stakeholders perlu menjadi perhatian. Selain itu terdapat keterbatasan pengambil keputusan, sebab itu masyarakat perlu diikutsertakan dalam proses legislasi, dengan memberikan kesempatan kepada mereka menyampaikan aspirasi, keinginan dan pendapatnya. Peraturan perundang-undangan yang tidak memperhatikan aspirasi dan kepentingan masyarakat cenderung akan menimbulkan penolakan dalam pelaksanaannya. Oleh sebab itu agar produk legislasi tersebut mendapat dukungan masyarakat maka peran serta masyarakat dalam proses legislasi perlu ditingkatkan. Sebagai wujud pertanggung jawabannya kepada pemilih maka dalam pembentukan peraturan perundang-undangan peran serta masyarakat perlu ditingkatkan. Peraturan perundang-undangan sebagai suatu ketentuan hukum tidak hanya menjadi wadah yang mengatur dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, namun juga sebagai sarana untuk membangun dan memperkokoh unsur good governance diantaranya : 1. Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya.
74

2. Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia. 3. Transparancy. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. 4. Responsiveness. Lembaga-lembaga dan proses harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders. 5. Consensus orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan yang terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedurprosedur. 6. Equity. Setiap warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga

kesejahteraan mereka. 7. Effectiveness and Efficiency. Proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin. 8. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat bertanggung jawab kepada publik dan lembagalembaga stakeholders.

75

Peningkatan kapasitas dan kompetensi para legislator dan pemerintah dalam proses perancangan Peraturan Daerah adalah hal mutlak untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diharapkan. Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa terdapat materi muatan yang khas dalam berbagai Peraturan Daerah sejalan dengan terbukanya peluang dan kesempatan untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Hal ini tidak hanya sebagai wujud pelaksanaan otonomi daerah tetapi sesungguhnya juga dapat menjadi bentuk tercapainya proses pembentukan hukum yang lebih responsif terhadap kebutuhan dan keinginan masyarakat. Perancang Peraturan Daerah wajib mampu mendiskripsikan masalah sosial tersebut. Salah satu cara untuk menggali permasalah tersebut adalah dengan langkah penelitian. Untuk masalah sosial yang ada dalam masyarakat, maka observasi pada obyek persoalan harus dilakukan. Terhadap situasi seperti ini, oleh Robert B. Seidman ditawarkan sebuah metode ROCCIPI (rule, opportunity, capacity, communication, interest, process, ideology). Metode ROCCIPI lebih mengajak para perancang untuk melakukan penelitian faktual/empiris, untuk memperoleh data langsung tentang masalah sosial yang akan diatur dalam peraturan daerah. Perancang dapat dengan jelas menyebutkan apa masalah sosialnya dan bagaimana hal itu akan diselesaikan. Demikian juga terhadap permasalahan sosial akibat penerapan Peraturan Daerah, secara khusus ditawarkan metode RIA
76

(Regulatory Impact Analysis). Metode ini meliputi analisa cost and benefit system. Artinya pelaksanaan Peraturan Daerah dievaluasi sedemikian rupa, khususnya terhadap dampak yang ditimbulkan terhadap modal sosial yang ada. Hasil analisa akan menjelaskan siginifikansi keberhasilan atau kegagalan penerapan Peraturan Daerah dalam masyarakat. Selanjutnya akan diikuti dengan usulan perbaikan yang lebih rasional dan aplikatif.

C. Implikasi Peraturan Daerah Dalam Sistem Perundang-undangan Nasional Berdasarkan sistem norma hukum berjenjang (stufentheory) yang dianut Indonesia, suatu produk perundang-undangan tidak boleh

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan kewenangan pemerintah daerah terkait dengan otonomi daerah, maka semua kewenangan daerah, baik kewenangan yang menjadi urusan wajib dan urusan pilihan dari masing-masing pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota, dapat menjadi materi muatan peraturan daerah sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum. Apabila terjadi pertentangan antara suatu Peraturan Daerah di suatu kabupaten atau kota yang bertentangan dengan Peraturan Daerah di kabupaten atau kota lain, maka pada hakikatnya hal tersebut tidak
77

berimplikasi

hukum

karena

masing-masing

memiliki

kewenangan

di

lingkungan atau wilayah otonominya sendiri-sendiri. Hal tersebut berbeda bilamana kemudian Peraturan Daerah yang diterbitkan memiliki implikasi yang bersinggungan dengan kepentingan daerah lain, sehingga timbul perselisihan. Dalam konteks ini, peranan pemerintah pusat berfungsi menyelesaikan melalui mekanisme administratif. Upaya hukum bagi

penyelesaian konflik antara daerah otonom dan Pemerintah yang berakar pada pembatalan produk hukum daerah otonom sebaiknya tidak dilatari oleh analogi penyelesaian konflik antara konstitusi Negara Bagian dan konstitusi federal lewat Mahkamah Agung. Dalam Negara Kesatuan kita perlu berpegang pada prinsip bahwa daerah otonom adalah ciptaan Pemerintah. Dengan demikian daerah otonom hanya dimungkinkan menempuh upaya hukum melalui upaya administratif. Peraturan Daerah yang substansinya merupakan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-Undangan yang lebih tinggi, dalam ketentuan perundang-undangan tidak begitu jelas. Namun, penjabaran lebih lanjut peraturan atau kebijakan yang lebih tinggi oleh satuan pemerintahan yang lebih rendah dapat dilakukan dalam rangka tugas pembantuan dan dekonsentrasi. Kabupaten dan kota tidak mempunyai hubungan

dekonsentrasi dengan satuan pemerintahan yang lebih tinggi, oleh karena itu, Peraturan Daerah sebagai penjabaran lebih lanjut peraturan perundang78

undangan yang lebih tinggi hanya mingkindalam tugas pembantuan. Provinsi mempunyai hubungan dekonsentrasi dengan satuan pemerintah lebih tinggi (Pusat). Akan tetapi, hubungan ini bukan dengan Pemerintah Daerah Provinsi, melainkan dengan gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Olehnya itu, tidak mungkin dibentuk Peraturan Daerah untuk melaksanakan tugas dekonsentrasi. Untuk menganalisis uraian di atas, akan dikemukakan salah satu contoh pengaturan yang dimaksud, dalam hal ini adalah masalah ketenagakerjaan. Pengaturan kewenangan pemerintah daerah provinsi di

bidang ketenagakerjaan diatur lebih lanjut dalam PP 25 Tahun 2000, yang menegaskan bahwa kewenangan Provinsi di bidang ketenagakerjaan mencakup (a) penetapan pedoman jaminan kesejahteraan purnakerja; dan (b) penetapan dan pengawasan atas pelaksanaan upah minimum. Apabila dilihat dari sudut Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, tampaknya tidak satu pasal pun yang secara tegas mendelegasikan kewenangan pengaturan atau pelaksananaan undangundang tersebut ke dalam bentuk Peraturan Daerah (Peraturan Daerah). Akan tetapi hal itu tidak mengurangi peranan daerah dalam pelaksanaan UU 13 Tahun 2003. Sebab, ada beberapa ketentuan yang meskipun tidak menenentukan bentuk pengaturan Peraturan Daerah, tetapi memberi

79

kesempatan kepada daerah untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan tertentu, antara lain menyangkut: 1. Kewajiban memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota; 2. Lembaga pemerintah pelatihan kerja yang diselenggarakan kepada oleh instansi yang

mendaftarkan

kegiatannya

instansi

bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota; 3. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota dapat menghentikan sementara pelaksanaan

penyelenggaraan pelatihan kerja, apabila dalam pelaksanaannya ternyata (a) tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja yaitu untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan; dan (b) tidak memenuhi persyaratan pelatihan kerja, yang mencakup tersedianya tenaga pelatihan, kurikulum, sarana dan prasarana, dan tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan kerja. 4. Penetapan upah minimum, baik upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota, maupun upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.

80

5. Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota. 6. Membentuk Dewan Pengupahan Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan

pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem pengupahan nasional. 7. Membentuk lembaga kerja sama tripartit untuk memberikan

pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan. Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri atas (a) Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota; dan (b) Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional,

Provinsi, dan Kabupaten/Kota. 8. Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.

81

9. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan tersebut pada pemerintah provin-si dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri. Di samping sejumlah urusan di bidang ketenagakerjaan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) sebagaimana diatur dalam UU 13 Tahun 2003, dalam prakteknya, beberapa daerah mengambil prakarsa untuk mengatur beberapa hal di bidang

ketenagakerjaan, dengan dasar atau alasan guna menampung kondisi khusus di daerah. Materi muatan Peraturan Daerah yang mengatur soal kondisi khusus daerah memang dimungkinkan dalam Pasal 12 UU 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan hal tersebut, beberapa daerah mencoba mengatur bidang ketenagakerjaan antara lainsebagai berikut: 1. Mekanisme dan dan tata aturan termasuk persoalan perlindungan tenaga kerja. 2. Kewajiban bagi perusahaan yang beroperasi di daerah untuk memprioritaskan tenaga kerja setempat. 3. Pengaturan tenaga kerja asing, misalnya tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi atau menangani personalia atau jabatan-jabatan tertentu sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
82

Kewajiban membayar kompensasi itu tidak berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. Kewajiban membayar kompensasi kepada negara atas setiap tenaga kerja asing yang dipekerjakan. 5. Menjamin hak-hak dasar pekerja atau buruh dengan tetap

mempertahankan laju pertumbuhan dan perkembangan dunia usaha. 6. Menjamin keselamatan dan kesehatan para tenaga kerja. 7. Kewajiban mempekerjakan penyandang cacat sekurang-kurangnya satu orang untuk setiap 100 orang pekerja.

Sebagai perbandingan, Pemerintah Daerah Bali dalam menangani masalah pengangguran, menanggulanginya melalui langkah-langkah

strategis, di antaranya: 1. Pembuatan Peraturan Daerah Ketenagakerjaan cukup di propinsi diprakarsai oleh Dinas Tenaga Kerja Propinsi. Pertimbangan ini didasari pada: Propinsi Bali dilihat dari penduduk dan luas wilayah sangat kecil, kependudukan relatif ''homogen'', Bali merupakan satu-kesatuan labour market information system. Perlu juga ada pertimbangan lain, untuk
83

menghindari terjadinya perbedaan-perbedaan substansial materi-materi dari Peraturan Daerah Kabupaten yang bisa menjadi bumerang bagi kita. Betapapun, kenyataan yang ada sekarang Bali sangat membutuhkan tenaga-tenaga dari luar terlepas dari suka tidak suka. Mengatasi hal ini bukan dari kacamata kependudukan tetapi dari kacamata skill. 2. Perencanaan tenaga kerja daerah (PTKD). PTKD tersebut baik tingkat propinsi maupun kabupaten/kota merupakan acuan pokok bagi dinasdinas/kantor-kantor lainnya dalam menyusun program-program

pembangunan sehingga supplay dan demand tenaga kerja baik kuantitatif maupun kualitatif dapat terarah pada pendayagunaan tenaga kerja secara maksimal. Dapat pula dihindari sejauh mungkin situasi yang kalau dilihat sepintas tampak aneh yaitu supplay tenaga banyak, kesempatan kerja sempit/kecil jauh di bawah supply nampu penempatan masih di bawah kesempatan kerja yang ada. 3. Sistem informasi pasar kerja. Betapa pentingnya informasi pasar kerja ini disebarkan seluas-luasnya kepada masyarakat informasi pasar kerja (IPK) tersebut dikelola oleh Disnaker Propinsi, Kabupaten/Kota yang dihimppun, dianalisis, disebarkan oleh lembaga tersebut secara reguler kepada: lembaga pengelola latihan, lembaga pendidikan, asosiasi

pengusaha/pekerja, camat-camat, selanjutnya camat menyampaikan ke desa-desa bersangkutan, dan lembaga-lembaga yang dianggap perlu.
84

Seluruh

kegiatan

di

atas

dilakukan

oleh

Disnaker

secara

berkesinambungan dengan isian data yang up to date. 4. Kesempatan kerja di luar negeri seperti Jepang, Korea, Hongkong, Taiwan, Malaysia dan Singapura, yang rasanya masih membutuhkan banyak tenaga kerja dari berbagai keterampilan menengah ke bawah. Kembali pemerintah dengan serius harus mengambil prakarsa ini bersama-sama dengan lembaga swasta yang berkaitan dengan masalah ini, sehingga informasi akurat tentang permintaan tenaga kerja dari negara-negara tersebut kita miliki dan dilanjutkan dengan langkahlangkah pengadaan tenaga kerja, terutama secara kualitatif.

Dalam

prakteknya,

beberapa

daerah

mencoba

menggunakan

instrumen Peraturan Daerah guna mengatasi persoalan ketenagakerjaan di daerahnya masing-masing, akan tetapi tidak sedikit Peraturan Daerah Ketenagakerjaan yang dibentuk di beberapa daerah kemudian dibatalkan oleh pemerintah pusat. Pembatalan Peraturan Daerah Ketenagakerjaan dilakukan oleh pemerintah pusat karena Peraturan Daerah-Peraturan Daerah tersebut dinilai tidak kondusif bagi upaya menggalang arus investasi di daerah. Sekurang-kurangnya 46 Peraturan Daerah telah dibatalkan oleh pemerintah pusat karena Peraturan Daerah tersebut diindikasikan dapat menyebabkan hambatan terhadap investasi, termasuk diantaranya yang
85

terkait dengan ketenagakerjaan. Untuk wilayah Sulawesi Selatan, antara lain Peraturan Daerah yang telah dibatalkan oleh Pemerintah Pusat adalah: 1. Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 13 Tahun 2002 tentang Retribusi Ketetnagakerjaan. 2. Peraturan Daerah Kabupaten Mamuju nomor 9 tahun 2002 tentang Retribusi Izin Ketenegakerjaan. 3. Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 5 Tahun 2002 tentang Pengaturan dan Pemungutan Retribusi Ketenagakerjaan.

Walaupun terdapat pertentangan kewenangan, banyak yang berharap agar Pemerintah Pusat hendaknya tidak harus melihat terobosan pemerintah daerah dalam membentuk Peraturan Daerah Ketenagakerjaan sebagai suatu musibah bagi dunia usaha, khususnya iklim investasi di daerah, sebab selain daerah memang memiliki kewenangan di bidang ketenagakerjaan

sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU 13 Tahun 2003 juga dapat digunakan sebagai instrumen untuk meminimalisasi konflik hubungan ketenagakerjaan, yang sulit diantisipasi oleh pemerintah pusat karena biasanya dampaknya dirasakan langsung oleh daerah yang bersangkutan. Di samping aturan bahwa Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, Peraturan Daerah juga tidak boleh

86

bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan lain, dan Peraturan Perundang-Undangan yang lain. Ketentuan ini dapat dipandang sebagai kerangka pembatas atau koridor dalam pembetukan Peraturan Daerah. Kerangka pembatas ini penting artinya untuk meunjukkan, bahwa meskipun daerah mempunyai hak atau wewenang mengatur urusan rumah tangganya sendiri yang dituangkan kedalam bentuk keputusan hokum berupa Peraturan Daerah. Namun, kewenangan itu tidak dalam artian sebagai satuan pemerintahan yang merdaka dan berdaulat, tetapi tetap dalam bingkai Negara kesatuan dan sistem peraturan perundang-undangan secara nasional. Selain itu, kerangka pembatas ini dimaksudkan pula untuk menghindari dampak negatif yang timbul sebagai akibat keluarnya Peraturan Daerah, baik bagi masyarakat setempat, daerah lain, maupun kepentingan nasional secara makro dan luas. Dengan perkataan lain, kerangka pembatas itu bertujuan untuk menghindari timbulnya Peraturan Daerah yang secara substansial bermasalah. Salah satu masalah yang ditemukan oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan adalah berkaitan dengan Peraturan Daerah yang bernuansa syariah, yang menilai bahwa umumnya Peraturan Daerah di berbagai daerah, termasuk Sulawesi Selatan, bersifat diskriiminatif dan melanggar hak asasi manusia. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Komnas Perempuan tercatat

87

beberapa Peraturan Daerah Sulawesi Selatan yang direkomendasikan untuk dibatalkan, diantaranya: 1. Peraturan Desa Muslim Padang, Kecamatan Gantarang Bulukumba Nomor 05 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Hukum Cambuk. 2. Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 5 Tahun 2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah. 3. Peraturan Daerah Kabupaten Enrekang Nomor 6 Tahun 2005 tentang Busana Muslim. 4. Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 16 Tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.

Temuan ini menunjukkan bahwa seringkali Peraturan Daerah dibentuk hanya berdasarkan kepentingan dan pandangan tertentu dari Pemerintah Daerah terhadap hal-hal yang berkaitan kehidupan sosial politik lokal tanpa memperdulikan apakah substansi aturan dalam Peraturan Daerah tersebut tidak berkesesuaian dengan peraturan yang lebih tinggi. Kewenangan seluas-luasnya diterjemahkan oleh Pemerintah Daerah juga dapat membuat Peraturan Daerah yang spesifik sesuai kearifan lokal (local wisdom) yang didasari pertimbangan bahwa hal tersebut bukanlah sesuatu yang

bertentangan karena tidak ada larangan dalam undang-undang yang lebih tinggi. Bahkan Peraturan Daerah yang dimaksud sebagai peraturan
88

operasional dari ketentuan-ketentuan umum yang lebih tinggi, seperti misalnya tentang penyebaran agama. Selanjutnya diatur pula bahwa Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Kepentingan Umum. Pengertian dari ruang lingkup kepentingan umum, hingga saat ini belum pernah ada kesepakatan hukum ataupun ilmiah. Namum, paling tidak perkataan Umum harus dipahami tidak sekadar diartikan orang banyak, tetapi dan terutama dalam arti bahwa ada kesempatan bagi masyarakat memperoleh manfaat seluas-luasnya tanpa

syarat-syarat yang terlalu memberatkan. Sebuah Hotel berbintang lima, misalnya diperuntukkan bagi orang banyak. Akan tetapi, hal itu tidak termasuk dalam pengertian kepentingan umum, karena hanya orang yang mampu membayar saja yang dapat menikmati hotel tersebut. Berbeda hal dengan jembatan, pasar, tempat-tempat peribadatan,

atau tempat-tempat umum lainnya yang dapat dimanfaatkan setiap orang tanpa harus memikul beban tertentu. Artinya, setiap orang tanpa melihat kondisi individual memerlukan dan memperoleh manfaat dari fasilitas atau tempat umum tersebut. Jadi beberapa ukuran yang dapat dipergunakan untuk menentukan kepentingan umum tersebut: 1. Dibutuhkan oleh orang banyak 2. Setiap orang dapat menikmati dan memperoleh manfaat tanpa ada pembatasan karena kondisi individual seseorang
89

3. Harus dalam rangka kesejahteraan umum, baik dalam arti materil maupun spiritual

Ketentuan bahwa Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Daerah lain cukup membingungkan, sebab Peraturan Daerah lain dapat berarti Peraturan Daerah dalam lingkungan pemerintahan daerah yang sama, atau Peraturan Daerah Pemerintahan Daerah lain yang sederajat, atau pula Peraturan Daerah dari pemerintahan Daerah Kabupaten atau Kota terhadap Peraturan Daerah Provinsi dalam Wilayah yang sama. Pada dasarnya memang tidak boleh ada pertentangan antar Peraturan Daerah dalam pemerintahan daerah yang sama. Apabila terjadi, akan diselesaikan melalui prinsip lex posteriori derogat legi priori dan lex superior derogate legi inferiori. Apabila ketentuan baru yang lebih rendah bertentangan dengan ketentuan lama yang lebih tinggi, maka ketentuan baru harus

dikesampingkan dengan memperhatikan lingkungan wewenang masingmasing. Apabila Peraturan Daerah suatu Pemerintah Daerah bertentangan dengan Peraturan Daerah Pemerintah Daerah sederajat lainnya, maka tidak ada konsekuensi hukum dari pertentangan itu. Keduanya berlaku dan dijalankan pada masing-masing lingkungan pemerintah yang berbeda satu sama lain. Persoalan dapat timbul apabila Peraturan Daerah yang
90

bertentangan

tersebut

akan

merugikan

secara

mendasar

berbagai

kepentingan daerah lainnya. Misalnya, Pemerintah Daerah X sudah memiliki Peraturan Daerah yang mengatur tentang investasi di daerahnya. Pemerintah daerah Y kemudian membuat juga peraturan daerah tentang investasi. Namun, substansi Peraturan Daerah daerah Y berisi syarat-syarat dan berbagai kemudahan bagi masuknya investasi ke daerah Y, sehingga banyak investor yang memasukkan/menanamkan investasinya di daerah Y. Dalam hal seperti ini tentu daerah X merasa dirugikan. Dalam hal ini timbul perselisihan kepentingan yang dapat diselesaikan melalui mekanisme administratif (penyelesaian oleh pusat) atau melalui proses peradilan. Terhadap ketentuan bahwa Peraturan Daerah tidak boleh

bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, Peraturan Daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi akan batal demi hukum, atau dapat dibatalkan. Sepanjang Peraturan Daerah bertentangan dengan UUD, Tap MPR, dan Undang-undang, akan batal demi hukum atau mesti dibatalkan. Tidak demikian halnya dengan peraturan perundang-undangan lain. Apabila peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang ternyata mengatur hal-hal otonomi dan tugas pembantuan sebagai urusan rumah tangga daerah, maka peraturan itulah yang harus dibatalkan, bukan Peraturan Daerah dengan mengatur tanpa wewenang (ultra vires). Kalau ini tidak dapat
91

dipegang dapat terjadi pergeseran terhadap urusan rumah tangga daerah ke arah sentralisasi sebagai sesuatu yang justru berlawanan dengan semangat otonomi seluas-luasnya yang digariskan undang-undang. Bagaimanakah kalau Peraturan Daerah suatu kabupaten atau kota bertentangan dengan peraturan daerah provinsi yang mencakup kabupaten atau kota tersebut? Penyelesaian akan ditentukan oleh lingkungan wewenang provinsi, kabupaten atau kota yang bersangkutan. Apabila ternyata Peraturan Daerah Provinsi mengatur di luar urusan rumah tangganya sehingga bertentangan dengan Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota, maka Peraturan Daerah Provinsi yang harus dibatalkan. Sebaliknya, apabila ternyata Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota mengatur urusan rumah tangga Provinsi, maka Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota yang harus dibatalkan. Dengan demikian, tampak betul bahwa membentuk Peraturan Daerah secara kuantitatif relatif mudah, namun membuat Peraturan Daerah yang secara kualitatif mampu menerjemahkan materi muatan yang akan diatur didalamnya dan terutama tidak berlawanan dengan kerangka pembatas yang ditentukan UU Pemerintahan Daerah, jauh lebih sulit dan komplek sifatnya. Itulah sebabnya dibutuhkan kualitas sumber daya manusia daerah yang memadai di dalam merancang dan membangun Peraturan Daerah yang

92

diharapkan mampu menciptakan suasana yang kondusif bagi kehadiran investor untuk menanamkan investasinya di daerah. Berdasarkan data dari Departemen Keuangan, sejak tahun 2001 hingga 10 Desember 2008, Departemen Keuangan telah mengevaluasi 1.121 rancangan peraturan daerah (raPeraturan Daerah). Dari jumlah tersebut, 67 persen di antaranya dibatalkan atau direvisi dan 33 persen diizinkan diterapkan menjadi Peraturan Daerah. Adapun dari 11.401 Peraturan Daerahyang berlaku, sebanyak 2.398 di antaranya dibatalkan Departemen Dalam Negeri. Peraturan daerah tersebut mengatur tentang pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD). Rincian Peraturan Daerahyang dibatalkan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini: Tabel Pembatalan Peraturan daerah Bidang Sektor perhubungan Sektor pertanian Sektior industri Sektor Peraturan Daerahgangan Sektor kehutanan Sektor social Jumlah Sumber data : http://www.tekmira.esdm.go.id No. 1 2 3 4 5 6 persentase 15 % 13 % 13 % 13 % 23 % 23 % 100 %

Peraturan Daerah yang akan dan telah ditetapkan dapat berlaku efektif dan tidak dicabut atau dibatalkan oleh pemerintah, maka pembuatan Peraturan Daerah harus memenuhi norma-norma atau kaidah-kaidah
93

menurut hukum yang menjadi dasar hukumnya, serta norma-norma yang ada dan hidup di tengah-tengah masyarakat. Di samping itu, pembuatan Peraturan Daerah sebagai bentuk hukum harus memenuhi aspek yuridis, aspek filosofis, aspek sosiologis, termasuk aspek politis agar Peraturan Daerah memiliki karakter hukum yang responsif sehingga berlaku secara efektif dan sesuai tujuan yang diharapkan. Pembuatan Peraturan Daerah memiliki perbedaan sifat sebstansi materi muatan, jika Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi dengan Peraturan Daerah yang dibentuk di bidang tugas pembantuan serta substansi Peraturan Daerah sebagai penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Secara prosedural, pembentukan Peraturan Daerah didahului dengan penyampaian Rancangan Peraturan Daerah atas prakarsa KDH atau prakarsa DPRD. Rancangan Peraturan Daerah tersebut disebarluaskan kepada masyarakat (stakeholders lain) untuk memperoleh masukan sebelum persidangan, sehingga Peraturan Daerah yang dihasilkan dapat lebih absah (legitimate). Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah tersebut

dimaksudkan juga sebagai bentuk keterbukaan (openess) dan transparansi penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam persidangan di DPRD pun dibuka keterlibatan masyarakat, khususnya dalam persidangan Rancangan

Peraturan Daerah mengenai APBD, pajak, restribusi dan tata ruang.


94

Peraturan Daerah yang dihasilkan dalam persidangan perlu diundangkan dalam Lembaran Daerah dan paling lama 7 (tujuh) hari disampaikan kepada Pemerintah. Menurut UUD NKRI Tahun 1945 dan pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Pemerintah adalah Presiden. Penyampaian Peraturan Daerah kepada Pemerintah tersebut dimaksudkan untuk keperluan

pengawasan represif. Dalam pasal 145 ayat (2) dan (3) ditentukan bahwa Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum (merit review) dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (legal review) dapat dibatalkan oleh pemerintah. Dengan demikian pembatalan Peraturan Daerah, baik Peraturan Daerah Provinsi maupun Peraturan Daerah Kabupaten/Kota oleh Presiden dilakukan dengan Peraturan Presiden. Ketentuan tersebut mengandung kelemahan yuridis dan dapat menimbulkan birokratisme dalam pembatalan produk hukum daerah. Kelemahan yuridis yang melekat pada ketentuan tersebut adalah bahwa pembatalan suatu produk hukum daerah seharusnya dengan norma hukum individual dan konkret dan bukan dengan Peraturan Presiden. Disamping, itu dengan disisipkannya kata dapat dalam ketentuan tentang pembatalan, maka pembatalan tersebut tidak bersifat imperatif tetapi fakultatif. Upaya hukum bagi penyelesaian konflik antara daerah otonom dan Pemerintah yang berakar pada pembatalan produk hukum daerah otonom
95

sebaiknya tidak dilatari oleh analogi penyelesaian konflik antara konstitusi Negara Bagian dan konstitusi federal lewat Mahkamah Agung. Dalam Negara Kesatuan kita perlu berpegang pada prinsip bahwa daerah otonom adalah ciptaan Pemerintah. Dengan demikian daerah otonom hanya dimungkinkan menempuh upaya hukum melalui upaya administratif. Salah satu persoalan pokok yang muncul berkenaan dengan pembatalan Peraturan Daerah oleh Departemen Dalam Negeri. Salah satu contoh adalah pembatalan dua Peraturan Daerah Pemerintah Kota Makassar yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang dan merugikan Publik. Dua Peraturan Daerah tersebut adalah Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 1996 tentang Retribusi Pasar dan Pusat Perbelanjaan di Makassar dan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pajak Parkir. Pembatalan kedua Peraturan Daerah Kota Makassar itu tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri

(Kepmendagri) Nomor 19 Tahun 2006 dan Nomor 20 Tahun 2006 tertanggal 28 Februari 2006. Selain dua Peraturan Daerah dari Pemerintah Kota Makassar, menurut Direktur Bina Administrasi Keuangan Depdagri Daeng Mochammad Nazier, sudah ada 393 Peraturan Daerah sejenis yang sudah dibatalkan oleh Mendagri. Peraturan Daerah tersebut berasal dari seluruh daerah di Indonesia Dalam teori perundang-undangan, Peraturan Daerah merupakan bagian dari peraturan karena bersifat mengatur (regeling) bukan bagian dari
96

ketetapan atau keputusan (beschikking). Artinya, norma hukum yang dikandung dalam Peraturan Daerah adalah norma hukum umum. Norma hukum umum adalah suatu norma hukum yang ditujukan untuk umum, addressat-nya untuk umum, orang banyak, atau semua warga negara. Berbeda dengan ketetapan atau keputusan (beschikking) dimana addresatnya tertuju pada seseorang, beberapa orang, atau perindividu. Oleh karena itu, pembatalan sebuah peraturan harus dengan instrumen peraturan. Demikian pula pembatalan sebuah ketetapan atau keputusan seharusnya dilakukan dengan ketetapan atau keputusan serupa. Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa materi muatan Peraturan Daerah mencakup tiga hal, yaitu (a) seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, (b) menampung kondisi khusus daerah, dan (c) penjabaran lebih lanjut peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa sebuah Peraturan Daerah tidak boleh atau dilarang bertentangan dengan

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila sebuah Peraturan Daerah bertentangan dengan kepentingan
97

umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Peraturan Daerah tersebut dapat dibatalkan oleh Pemerintah. Akibat hukum dari Peraturan Daerah yang dibatalkan adalah paling lama tujuh hari setelah keputusan pembatalan, Peraturan Daerah tersebut dihentikan

pelaksanaannya oleh Kepala Daerah, selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Peraturan Daerah tersebut. Akan tetapi, pembatalan Peraturan Daerah oleh pemerintah (pusat) tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang. Ada syarat dan mekanisme sebuah Peraturan Daerah dapat dibatalkan oleh pemerintah. Syarat utama pembatalan Peraturan Daerah adalah bahwa keputusan pembatalan Peraturan Daerah harus ditetapkan dengan Peraturan Presiden (Pasal 145 Ayat 3 UU 32/2004). Peraturan Presiden (Perpres) adalah salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden yang materinya berupa materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian, Pembatalan Peraturan Daerah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) merupakan sebuah kekeliruan hukum. Kekeliruan itu terjadi karena instrumen hukum untuk membatalkan Peraturan Daerah harus dalam bentuk Perpres bukan Kepmendagri, lagi pula sangat janggal karena Peraturan Daerah yang masuk dalam rumpun regeling dibatalkan oleh keputusan yang masuk dalam rumpun beschikking.
98

Setidaknya, Kepmendagri yang membatalkan Peraturan Daerah tersebut belum final sebagai keputusan pembatalan Peraturan Daerah oleh

pemerintah, karena keputusan tersebut harus dikukuhkan atau dikemas ulang dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres). Mengapa pembatalan Peraturan Daerah tidak cukup dengan

menggunakan Kepmendagri? Bukankah Mendagri bagian dari pemerintah, sehingga lebih efektif jika pembatalan itu dilakukan oleh Mendagri? Pendapat seperti ini pada dasarnya masih dipengaruhi oleh Undang-Undang

Pemerintah Daerah yang lama (UU No. 22/1999), sebab dalam undangundang tersebut memang tidak menyebutkan secara tegas tentang instrumen hukum pembatalan Peraturan Daerah. Di sana hanya disebutkan bahwa pemerintah dapat membatalkan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan perundangundangan lainnya. Akan tetapi, syarat dan mekanisme pembatalan Peraturan Daerah dewasa ini harus mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004 juncto UU No. 10 Tahun 2004 dimana ditegaskan bahwa pembatalan Peraturan Daerah harus menggunkana instrumen hukum Perpres. Oleh karena itu, keberadaan Kepmendagri yang membatalkan Peraturan Daerah merupakan penggunaan kewenangan yang tidak pada tempatnya (ultra vires). Seharusnya keputusan
99

pembatalan Peraturan Daerah dilakukan oleh Presiden melalui Peraturan Presiden (Perpres). Apabila pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah, maka Peraturan Daerah tersebut dinyatakan tetap berlaku. Namun demikian, Mendagri dapat menbatalkan satu jenis Peraturan Daerah sesuai ketentuan undang-undang, yaitu Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), selebihnya pembatalan Peraturan Daerah harus dengan instrumen Peraturan Presiden (Perpres). Apabila pemerintah daerah tidak dapat menerima keputusan

pembatalan Peraturan Daerah yang tertuang dalam Perpres dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan maka kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Istilah keberatan di sini menimbulkan persoalan tersendiri, sebab prosedur keberatan lebih merupakan istilah untuk upaya hukum terhadap keputusan tata usaha negara (beschikking) yang dalam teori hukum administrasi merupakan bagian dari upaya administratif (administratieve beroep) di samping banding administratif. Dengan istilah keberatan, seakan-akan sengketa pembatalan Peraturan Daerah merupakan sengketa di bidang hukum administrasi padahal sengketa tersebut adalah sengketa antara peraturan perundangundangan (konflik peraturan) yakni antara Peraturan Daerah dengan Perpers.
100

Seharusnya, istilah yang digunakan adalah permohonan sebagaimana istilah tersebut digunakan dalam UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam UU No. 5 Tahun 2004 tentang MA disebutkan bahwa Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah peraturan perundangundangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Di samping itu, putusan MA dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung. Dengan istilah permohonan, maka jelas pertentangan antara Peraturan Daerah dan Perpres masuk dalam wilayah judicial review Mahkamah Agung, sedangkan jika menggunakan istilah keberatan lebih mengarah pada uji materil yang dilakukan oleh pemerintah atau lembaga eksekutif (executive review). Padahal jelas bahwa, baik Peraturan Daerah maupun Perpres saat ini tergolong bagian dari peraturan perundang-undangan yang berlaku umum dan mengikat seluruh warga negara. Apabila keberatan atau permohonan judicial review dikabulkan oleh Mahkamah Agung baik sebagian atau seluruhnya, maka Peraturan Presiden yang telah membatalkan Peraturan Daerah tersebut dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan demikian, Peraturan Daerah tersebut tetap berlaku.
101

Menurut Bagir Manan (dalam Jazim Hamidi: 2008: 35) mengingat bahwa Peraturan Daerah (termasuk peraturan desa) dibuat oleh satuan pemerintahan yang mandiri (otonom), dengan lingkungan wewenang yang mandiri pula, maka dalam pengujiannya terhadap peraturan perundangundangan yang lebih tinggi tidak boleh semata-mata berdasarkan

"pertingkatan", melainkan juga pada "lingkungan wewenangnya". Suatu Peraturan Daerah yang bertentangan dengan suatu peraturan perundangundangan tingkat lebih tinggi (kecuali UUD) belum tentu salah, kalau ternyata peraturan perundang-undangan tingkat yang lebih tinggi yang melanggar hak dan kewajiban daerah yang dijamin UUD atau UU Pemerintahan Daerah. Sehingga ke depan, kiranya perlu ditata ulang mekanisme review Peraturan Daerah yang dinilai bermasalah. Seyogianya, revisi terhadap Peraturan Daerah bermasalah apakah karena bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi tidak lagi diletakkan di pundak pemerintah, akan tetapi kewenangan itu diserahkan langsung kepada Mahkamah Konstitusi, sehingga Mahkamah tidak hanya menguji validitas UU terhadap UUD tetapi juga menguji validitas peraturan perundang-undangan lainnya terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, termasuk Peraturan Daerah.

102

Selanjutnya,

penilaian

terhadap

bermasalah

tidaknya

sebuah

Peraturan Daerah seyogianya diserahkan kepada warga masyarakat baik perorangan maupun secara kolektif. Warga masyarakat yang merasa hakhak dan kewenangan normatifnya dirugikan oleh sebuah Peraturan Daerah dapat meminta atau memohon pembatalan Peraturan Daerah tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, eksistensi Peraturan Daerah benar-benar berada dalam satu kesatuan utuh dan hubungan hirarkhis dengan peraturan perundang-undangan lainnya (UUD, UU/Perpu, Peraturan Pemerintah, Perpres, dan Peraturan Daerah). Di samping itu, usulan agar setiap Rancangan Peraturan Daerah dikonsultasikan kepada Depdagri atau departemen terkait sejak digodok atau sebelum ditetapkan sebagai Peraturan Daerah merupakan usulan yang positif guna mengantisipasi kondisi dewasa ini. Hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi munculnya Peraturan Daerah bermasalah yang jumlahnya semakin meningkat. Agar upaya ini bisa efektif, maka sebaiknya konsultasi Rancangan Peraturan Daerah dilakukan secara berjenjang, yaitu Rancangan Peraturan Daerah dari Kabupaten/Kota dikonsultasikan kepada pemerintah provinsi, sedang Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dikonsultasikan kepada Depdagri. Terakhir, perlu upaya yang sistematis dan

berkesinambungan guna meningkatkan kemampuan anggota DPRD dan jajaran Pemda dalam perancangan peraturan daerah yang baik. Prinsip103

prinsip dan metode perancangan Peraturan Daerah berbasis Good Legislation Governance harus dipahami betul oleh setiap anggota DPRD agar Peraturan Daerah yang dihasilkan tidak menimbulkan masalah dan memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi warga masyarakat.

104

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Esensi dan urgensi Peraturan Daerah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah adalah sangat strategis. Peraturan Daerah sebagai produk hukum daerah merupakan sesuatu yang inherent dengan sistem Otonomi Daerah. Hal ini sebagai konsekuensi dari sistem Otonomi Daerah itu sendiri yang bersendikan kemandirian yang mengandung arti bahwa Daerah berhak mengatur dan mengurus urusan rumah tangga

pemerintahannya sendiri. Kewenangan mengatur disini mengandung arti bahwa daerah berhak membuat keputusan hukum berupa peraturan perundang-undangan, yang nomenklaturnya disebut Peraturan Daerah. Dengan semikian, kehadiran atau keberadaan Peraturan Daerah menjadi sesuatu yang mutlak dalam mengatur urusan rumah tangga daerah, namun dalam wadah negara kesatuan yang tetap menempatkan hubungan Pusat dan Daerah yang bersifat subordinat dan independen. 2. Ruang lingkup kewenangan Pemerintah Daerah dalam membuat Peraturan Daerah telah diberikan batasan berdasarkan undang-undang. Namun ditemukan berbagai kekhasan dalam materi muatan Peraturan
105

Daerah yang secara khusus mencerminkan berbagai potensi yang dimiliki oleh suatu daerah otonom. Materi muatan Peraturan Daerah sangat dipengaruhi oleh kultur budaya dan dinamika sosial politik serta pertumbuhan ekonomi. Namun seringkali upaya pelayanan terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat ternoda oleh kecenderungan untuk menggunakan Peraturan Daerah sebagai mekanisme untuk menambah pendapatan asli daerah yang berujung pada tindakan represif yang justru mengorbankan kepentingan rakyat. Peran aktif masyarakat dalam setiap proses pembuatan Peraturan Daerah diharapkan mampu meminimalisir kesenjangan dan masalah yang dapat terjadi. 3. Peraturan Daerah memiliki posisi dalam sistem hirarki peraturan perundang-undangan, sehingga keberadaannya tidak luput dalam tatanan sistem prinsip yang berlaku. Keharusan untuk tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi serta keharusan untuk melakukan sinkronisasi dan harmonisasi dengan peraturan perundangan lainnya adalah hal yang perlu senantiasa dihormati dalam bingkai negara hukum. Temuan tentang adanya mekanisme yang belum sesuai dalam konteks penyelesaian perselisihan antar Peraturan Daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat memerlukan perhatian yang serius agar tercipta kepastian hukum dan tercapainya good legislation governance dalam sistem hukum ketatatanegaraan Indonesia.
106

B. Saran

1. Kelemahan utama dalam pelaksanaan Otonomi Daerah adalah adanya pemahaman Pemerintah Daerah bahwa kewenangan seluas-luasnya serupa dengan konsep kewenangan negara bagian pada negara federal sehingga seringkali Pemerintah Daerah bertindak ultra vires dengan membuat berbagai Peraturan Daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional. Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia maka disarankan adanya upaya setiap Pemerintah Daerah mengubah paradigma tersebut agar tercipta kesatuan dan persatuan bangsa dan memberikan kepastian hukum bagi setiap warga masyarakat. 2. Karena masih adanya persepsi yang keliru tentang mekanisme

pembatalan Peraturan Daerah, maka disarankan untuk membentuk peraturan yang bersifat operasional dan aplikatif yang merinci secara komprehensif, termasuk kewenangan kelembagaan, tentang mekanisme atau prosedural yang sah dalam proses evaluasi dan pembatalan Peraturan Daerah. Sehingga ke depan dapat dihindarkan adanya kesalahan prosedural dan pemerintah memiliki pedoman yang jalan tentang mekanisme tersebut.

107

DAFTAR PUSTAKA

Achmad

Ruslan, 2006, Pembentukan Berkualitas, tidak diterbitkan.

Perundang-undangan

yang

Amiroeddin Sjarif. Perundang-undangan, Dasar, Jenis dan Teknik Membuat. Rieneke Cipta, Jakarta Antara News, edisi 4 September 2007 akses melalui www.google.com tanggal 27 Mei 2009 Attmimi, Hamid, A 1990. Peranan Keputusan Presiden dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara. Disertasi, Pascasarjana UI, Jakarta

Bachrie, Syamsul. Sistimatika dan Teknik Penyusunan Peraturan Daerah. Bahan Pelatihan tentang teknik Penyusunan Peraturan Daerah Se Indonesia Timur. Bagir Manan.1992. Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia. Ind-Hill Co, Jakarta. -----------,1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945 (Perumusan dan Undang-Undang Pelaksananya),Unsika, Kerawang. ----------- dan Kuntana Magar 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia. Alumni, Bandung. Hamzah. 2008. Hubungan Eksekutif Dengan Legislatif Daerah Dan implikasi Hukumnya. Pascasarjana UNHAS. H. Rozali Abdullah, 2000, Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme Sebagai Alternatif, RajaGrafindo Persada, Jakarta Irawan Soejito, 1981, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Bina Aksara, Jakarta. Jazim Hamidi, 2008, Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, Prestasi Pustaka, Jakarta Josef Riwu Kaho, 1998, Prospek Otonomi Daerah di Negara RI, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
108

Jurnal Jentera (edisi 14 tahun IV Oktober-Desember 2006) Lubia, Solly. M. 1977. Landasan dan Teknik Perundang-Undangan. Alumni, Bandung. Martin Jumung, 2005, Politik Lokal dan Pemerintah Daerah dalam Perspektif Otonomi Daerah, Pustaka Nusantara, Jakarta Muhammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Prapanca, Jakarta. Pipin Syarifin dan Dedan Jubaedah, 2005, Hukum Pemerintahan Daerah, Pustaka Bani Quraisy, Bandung Philipus M. Hadjon, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to The Indonesian Administrative Law), Gajah Mada University Press , Yogyakarta Notohamidjojo. O. 197. makna Negara Hukum. Badan Penerbit Keristen Jakarta. Pantja, Gede. I. tt. Problematika Peraturan Daerah antara Tantangan dan Peluang Berinvestasi di Era Otonomi Daerah. Prakosa, Djoko. 1885. Proses Pembentukan Daerah dan Beberapa Usaha Penyempurnaannya. Ghalia Indonesia, Jakarta Ranggawidjaja, Rosjidi. H. 1998. Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia. Mandar Maju, Bandung Sarlito Wirawan, 1992, Psikologi Lingkungan, Grasindo, Jakarta Sarundajang, 1999, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Saini K.M. 2005, Pikiran Rakyat, Edisi 30 Juli 2005 Smith. B.C. 1985. Decentralization, The territorial Dimension of The State. George Allen & Unwin, London. Sri Soemantri. 1987. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Alumni, Bandung. Tiezzi, N. Marchettini, & M. Rossini, Extending the Environmental Wisdom Beyond the Local Scenario: Ecodynamic Analysis and the
109

Learning Community. http://library.witpress.com/pages/ paperinfo.asp, Akses tanggal 29 Mei 2009 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Widarta, 2001. Cara Mudah Memahami Otonomi Daerah. Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta

110

Anda mungkin juga menyukai