Anda di halaman 1dari 2

Miny Dilema Minyak

Pengkampanye Tambang WALHI

Pius Ginting

ICW dan gerakan antikorupsi di Indonesia


Sely Martini
Program Monitoring and Evaluation, ICW
Berkaca pada pemilu lokal (Pilkada), kekuatan uang dalam menentukan hasil pemilu nyatanya juga perlu dibaca ulang. Hal ini karena tidak semua incumbentyang menjadi calon kepala daerah terpilih lagi. Padahal jika diasumsikan mereka adalah penguasa sumber daya lokal, maka seharusnya mereka bisa menggunakan sumber daya tersebut untuk mempengaruhi pemilih. Namun faktanya tidak demikian. Ini artinya, ada pergeseran pemikiran di tingkat pemilih yang bisa menjadi potensi bagi dorongan perubahan politik ke depan. Peluang dan Ancaman Gerakan Antikorupsi Kedepan Perjuangan ICW selama kurang lebih 10 tahun (1998-2009) semenjak keberadaannya di masa reformasi secara langsung maupun tidak langsung telah mempengaruhi situasi sosial-ekonomi dan politik di lingkungan makro kenegaraan. Isu korupsi telah menjadi isu politik yang bisa menentukan -langsung maupun tidak langsung- jatuh-bangunnya kekuasaan, baik dalam kaitannya dengan jabatan maupun kekuasaan politik. Demikian halnya, tuntutan publik terhadap pertanggungjawaban penyelenggara negara (pemerintahan) kian kuat disuarakan melalui beberapa agenda, baik dalam ranah anggaran publik, pelayanan publik maupun kebijakan publik lainnya.

Mengamati sejarah perkembangan sumber energi manusia, maka terdapat urutan dari kayu, beralih ke batu bara, selanjutnya minyak dan gas menjadi sumber energi. Peralihan tersebut karena rangakaian energi yang terakhir lebih tidak merusak lingkungan. Penggunaan kayu sebagai sumber energi utama dan massal akan lebih buruk dari penggunaan batu-bara, dan batu bara lebih buruk dari minyak dan seterusnya. Kini mayoritas dunia mengandalkan minyak sebagai sumber energi utama. Perebutan minyak telah menjadi sumber peperangan (yang terbaru diantaranya adalah invasi Amerika terhadap Irak dan Afganistan). Juga kerusakan lingkungan terjadi akibat eksloitasi minyak. Banyak kasus kerusakan lingkungan berkaitan dengan eksploitasi minyak ini, seperti pencemaran laut di daerah Balikpapan, Indramayu Jawa Barat. Dampak buruk ini juga terjadi di negara lain tumpahnya minyak dari tanker Exxon Valdez sebanyak 40 juta liter pada tahun 1989 ke laut Alaska. Dan bila eksploitasi minyak berada dibawah pemerintahan militeristik dan otoriter, sebagaimana Pertamina pada masa pemerintahan Orde Baru, dia menjadi lahan korupsi bagi segelintir elit penguasa negeri. Karena dampak energi fosil telah melampaui daya dukung alam, maka dewasa ini beberapa negara telah mau beranjak meninggalkan energi fosil (diantaranya minyak) sebagai sumber energi. Salah satu diantaranya, tawaran dari Pemerintahan Ekuador yang memilih tidak mengeksploitasi minyak mereka yang terdapat di kawasan hutan Yanusi, dengan pertimbangan resiko kerusakan lingkunga, pengusiran masyarakat adat /lokal Minyak dan Kerusakan Lingkungan Minyak sebagai salah satu energi fosil juga berkontribusi mengeluarkan gas rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim. Dampak tersebut mulai terasa saat ini, seperti peningkatan suhu hingga mencairnya es di daerah kutup, musim kemarau dan hujan yang makin ekstrim, energi badai dan puting beliung yang makin meningkat, dan lain-lain. Konsensus para ilmuwan menyatakan emisi gas rumah kaca harus dikurangi 60-80 persen dari tingkat emisi tahun 1990 dalam beberapa dekade singkat ke depan. Sementara itu, Kyoto Protokol hanya membuat target pengurangan emisi sebanyak 5,2 persen dibawah tahun 1990 untuk masa tahun 2008-2012. Sebuah pengurangan sebenarnya tidak berarti, namun masih juga negera penghasil gas rumah kaca terbesar seperti AS menolak mengikuti Protokol Kyoto ini pada masa pemerintahan Bush. Mengatasi dampak perubahan iklim dengan cara mengurangi konsumsi minyak melalui mekanisme penaikan harga (pencabutan subsidi) bukan jalan keluar yang adil. Akses rakyat, khususnya mayoritas kelompok miskin terhadap energi, secara moral dan prinsip keadilan dan demokrasi atas akses energi, tidak boleh dipersulit. Privatisasi Minyak: Menguntungkan Korporasi, Merugikan Rakyat Miskin Untuk itu, keluar dari energi fosil (salah satunya minyak) harus melalui jalan yang adil, tidak mengorbankan mayoritas rakyat miskin. Perusahaan-perusahaan besar dan negara maju seperti Amerika Serikat mendorong agar negeri berkembang melakukan privatisasi (swastanisasi) pengelolaan minyak dan gas. Privatisasi perusahan minyak dan gas juga bukan jalan keluar ketergantungan terhadap minyak. Hal tersebut hanya menyebabkan harga minyak semakin mahal dan menjadi konsumsi kalangan segelitir elit. Sebagaimana rekomendasi sebuah studi yang disponsori oleh James Baker III Institute for Public Policy of Rice University dan Council on Foregin Relation (sebuah lembaga kajian hubungan luar negeri di Amerika Serikat yang berpengaruh terahdap kebijakan pemerintah AS) pada tahun 2001 menyatakan bahwa minyak mengalami pasokan yang sedikit karena kurangnya investasi dalam produksi baru dan negara-negara [penghasil minyak sering mengalami] goncangan [politik]. Kelebihan kapasitas telah lenyap dan hampir tidak ada lagi karena negara produsen minyak sebagaian memperuntukkan minyaknya untuk proyek-proyek sosial daripada investasi pengembangan produksi kapasitas baru1. Dengan demikian pandangan lembaga studi yang dekat dengan kepentingan perusahaan minyak internasional ini bahwa keuntungan minyak tidak boleh digunakan untuk peningkatan mutu pendidikan, kesehatan, sebagaimana saat ini dilakukan negara seperti Venezuela. Untuk itu, lembaga tersebut mengeluarkan rekomendasinya pada tahun 2007 agar semua perusahaan minyak nasional [yang dimiliki negara] diprivatisasi, investor asing diperlakukan setara dengan perusahaan minyak lokal, dan OPEC sebaiknya dibubarkan, yang akan memungkinkan terwujudnya perdagangan bebas dan pasar yang kompetitif untuk menyediakan energi yang dibutuhkan dunia dengan harga yang ditentukan oleh pasar.2 Celakanya, kemauan kepentingan korporasi besar dari negeri maju untuk memprivatisasi/meliberalisasi minyak telah beresonansi di Indonesia. Hal tersebut tampak dengan dikeluarkannya UU Minyak dan Gas pada tahun 2001. UU Migas No. 22/2001 mendorong penghapusan subsidi BBM dan melepaskan harga BBM sesuai dengan harga pasar internasional. Proses pembuatan undang-undang tersebut dikendalikan oleh kekuatan yang berkaitan erat dengan kepentingan korporasi, yakni USAID (United States Agency for International Development), sebagaimana pengakuan mereka USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform. Khusus mengenai penyusunan UU Migas, USAID secara terbuka menyatakan, The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000. 3 Solusi: Energi Terbarukan Berbasikan Komunitas Pengembangan energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, geothermal skala kecil, mikro hidro adalah beberapa diantaranya yang mendorong pengelolaan energi menjadi lebih terdesentralisasi ke komunitas, dan tidak merusak lingkungan dan tidak terjadi penyingkiran terhadap masyarakat yang berada di sekitar sumber energi, sebagaimana terjadi dengan pertambangan minyak. Beberapa inisiatif untuk pengembangan energi terbarukan telah ada ada di Indonesia, seperti mikro hidro di Lampung dan Kalimantan Timur diantaranya, Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Gunung Kidul. Kebijakan tersebut harus didukung dan dipermudah oleh pemerintah Indonesia. Dan negara maju sepantasnya memberikan hibah teknologi untuk pengembangan energi terbarukan ke negara dunia berkembang (bukan dalam bentuk pengalihan pembayaran hutang negara dunia). Hibah tersebut sebagai wujud pembayaran hutang ekologi negara maju yang telah berkontribusi lebih besar dalam pengerusakan kerusakan lingkungan hidup dunia, juga kerusakan lingkungan negara berkembang. Tugas kita mendesak pemerintah mengembangkan energi terbarukan, dan menghentikan ketergantungan terhadap energi fosil dengan cara adil, tidak memberatkan negara miskin dan rakyat miskin. Privatisasi adalah kepentingan korporasi. (Footnotes) 1 John Bellamy Foster ,The Ecological Revolution, Making Peace with the Planet, Monthly Review, New York, 2009 2 ibid 3 http://www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-013.html

Dukungan publik yang makin kuat atas agenda gerakan antikorupsi di Indonesia telah memberikan legitimasi sosial atas keberadaan ICW kedepan. Muaknya masyarakat Dalam konteks penegakan hukum, desakan dan kampanye yang terhadap praktek korupsi yang terus menerus dipertontonkan oleh pejabat negara, terus menerus dari ICW dan organisasi antikorupsi lainnya telah baik kalangan eksekutif maupun legislatif menjadikan agenda antikorupsi tertantang melahirkan sebuah gambaran lain dari pada periode sebelumnya, untuk dapat menjawab masalah tersebut. dimana pejabat negara, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif bisa diajukan ke pengadilan karena melakukan korupsi.Bukan hanya Di berbagai daerah, gerakan antikorupsi telah tumbuh, meskipun dengan berbagai di tingkat daerah, akan tetapi kecenderungan ini juga menyentuh keberagamannya. Strategi dan pendekatan antikorupsi dari satu daerah dengan daerah lainnya pun nampak.. Meskipun harus diakui bahwa sebagian besarnya lebih wilayah kekuasaan pusat seperti di parlemen. banyak fokus pada isu penegakan hukum. Berbagai dorongan antikorupsi yang telah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), khususnya pimpinan KPK tumbuh memang masih didominasi oleh tuntutan penegakan hukum yang lebih jilid II yang lahir karena tuntutan akan penegakan hukum yang kredibel terhadap para pelaku korupsi. independen, tidak pandang bulu dan berani telah menjadi harapan baru bagi masyarakat luas. Bukan hanya karena mandulnya kinerja Masyarakat juga kian kuat posisi tawarnya dengan terbitnya berbagai UU yang penegakan hukum Kejaksaan dan Kepolisian, akan tetapi pada isu memihak agenda pemberantasan korupsi. Mulai dari ratifikasi UNCAC PBB, lahirnya integritas penegakan hukum, KPK lebih bisa UU Perlindungan Saksi dan Korban serta UU Kebebasan Informasi Publik paling dipertanggungjawabkan. Tak heran jika laporan masyarakat kepada sedikit telah memberikan harapan yang lebih besar bagi keterlibatan masyarakat KPK atas dugaan tindak pidana korupsi di berbagai daerah juga luas secara langsung dalam mengontrol jalannya pemerintahan. meningkat dari waktu ke waktu. Secara khusus yang harus diwaspadai adalah rendahnya political will anggota DPR Pemilu 2009 sebagai ajang regenerasi kekuasaan politik juga telah untuk segera menyelesaikan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dipengaruhi secara signifikan oleh isu yang berkaitan dengan deadlinenya pada bulan Desember 2009 sesuai dengan putusan Mahkamah korupsi. Tertangkapnya beberapa anggota DPR RI menjelang pemilu Konstitusi (MK). Pengadilan Tipikor adalah jantungnya penegakan hukum KPK. Jika 2009 telah meningkatkan tekanan publik terhadap kandidat maupun Pengadilan Tipikor tidak kelar pengesahannya hingga Desember 2009, maka partai politik. Kampanye Tidak Pilih Politikus Busuk yang kemungkinan besar KPK tidak akan banyak berguna. Kecuali jika kemudian didengungkan oleh ICW dan NGO pada Pemilu 2009 telah disambut Pemerintahan baru mengeluarkan Perpu, nasib KPK bisa berbeda. oleh kelompok lainnya, seperti kelompok mahasiswa, seniman, buruh dan bahkan politisi sendiri yang membutuhkan legitimasi Tantangan kedepan adalah bagaimana mengkonsolidasikan gerakan antikorupsi yang politik untuk berkuasa ditengah-tengah iklim kompetisi politik yang s u d a h muncul di berbagai daerah sehingga tidak lebih ketat karena mekanisme suara terbanyak. terpecah-pecah dan memiliki strategi jangka panjang, bukan sekedar penegakan hukum. Karena jika pendekatan antikorupsi hanya sebatas penegakan hukum, akan lahir rasa ftrustasi di tengah situasi dimana lembaga penegak hukum konvensional tidak banyak berubah. Demikian halnya, bagaimana gerakan antikorupsi di Indonesia dapat mendorong perubahan struktur politik yang lebih memihak kepentingan publik setelah proses hukum terhadap politisi/pejabat di lingkungan tertentu dilakukan. Sekarang ini terkesan penegakan hukum yang dilakukan terhadap Kepala Daerah misalnya tidak mengubah situasi. Artinya, pejabat pengganti dari pejabat sebelumnya yang sudah diproses oleh KPK misalnya memiliki perilaku yang sama, yakni korup. Ujian lain yang harus dijawab adalah bagaimana gerakan antikorupsi di Indonesia dapat membumikan UU yang telah lahir, seperti UU PSK, UU KIP dan ratifikasi UNCAC. Kekhawatiran yang muncul bahwa UU tersebut sebatas ada, tapi tidak pernah bisa dijalankan. Oleh karenanya, dibutuhkan strategi dan pemikiran untuk menjadikan UU diatas sebagai payung hukum yang fungsional bagi masyarakat dalam menjalankan fungsi kontrolnya terhadap kekuasaan.

Sinopsis
Lakon Ladang Perminus diadaptasi dari novel karya Ramadhan KH berjudul sama Ladang Perminus. Seperti novelnya, lakon ini mengisahkan tokoh utamanya, Hidayat, seorang bekas pejuang Angkatan 45 yang bekerja sebagai manajer pada perusahaan minyak negara bernama Perusahaan Minyak Nusantara (Perminus). Hidayat dikisahkan sebagai sosok yang cerdas, jujur, idealis dan setia kepada hati nuraninya sendiri. Selama menjabat dia mencoba bertahan untuk tidak melakukan korupsi dan segala bentuk variannya yang menggelegak di kantornya. Gelegak dan gas korupsi di perusahaan migas itu akhirnya tercium aparat hukum. Suatu hari beredar kabar bahwa sebuah tim tengah menyelidiki skandal korupsi di kantor itu. Tak pelak seluruh karyawan kantor diliputi ketakutan. Mereka segera berusaha menyelamatkan diri masing-masing dengan berbagai cara. Tetapi dasar dunia kooruptor, jalan yang dipakai pun jalan busuk. Antara lain mereka menyebar fitnah ke mana-mana. Fitnah ditembakkan ke arah orang-orang yang dianggap membahayakan. Hidayat dan kawan-kawan yang menjalani karir dengan lurus menjadi sasaran empuk desingan peluru fitnah. Hasilnya Hidayat dan sejumlah temannya menjadi korban. Tanpa bukti kesalahan dia dibebastugaskan dari pekerjaannya alias dirumahkan. Hidayat sangat terpukul oleh hukuman tersebut. Namun isterinya yang tidak kenal lelah dalam memberikan semangat membuatnya tertolong. Hidayat kemudian menghibur diri dengan menangani usaha ternak yang telah dirintis sebelumnya sambil memberikan pelayanan konsultasi kepada para kontraktor asing yang mengetahui reputasinya. Kegiatan itu secara perlahan menyembuhkan rasa frustrasinya. Semangatnya pun bangkit. Penyelidikan di Perminus berakhir. Hidayat tak terbukti bersalah. Dia pun dipanggil lagi untuk bekerja. Setelah aktif bekerja lagi, Hidayat diberi tugas oleh atasannya, Kahar, ke Singapura. Kahar adalah pimoinan penting perusahaan itu, namun juga menajdi sumber segala masalah di kantornya. Tugas di Singapura dijalani Hidayat dengan baik. Hasilnya cemerlang. Namun Kahar yang bermaksud mencari untung bagi kepentingannya sendiri, menjegalnya. Kahar berhasil. Tapi karena takut perbuatannya terbongkar dia mencari jalan licik agar Hidayat jatuh. Saat Hidayat mencalonkan diri sebagai gubernur Jawa Barat, Kahar kembali menyebar fitnah. Hidayat kembali jatuh dan akhirnya memutuskan untuk pensiun. Suatu hari muncul kabar bahwa Kahar meninggal. Hidayat merasa lega. Tapi hanya sebentar. Sebab tak lama kemudian muncul kabar bahwa Kahar dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Kekecewaan yang mendalam membuat Hidayat jatuh sakit. Di rumah sakit dia sempat merenung. Dia menyadari bahwa manusia harus berjiwa besar dalam menghadapi kenyataan hidup meskipun berat dan sulit. Hari terus berjalan. Suatu hari kabar datang bahwa skandal korupsi di Perminus akhirnya terbongkar. Hidayat lega**

Sekilas Perjalanan Ladang Perminus


Setelah dipentaskan sebanyak 9 kali di panggung, baik di Bandung maupun Jakarta, Ladang Perminus mendapatkan kehormatan untuk ikut terlibat dalam Mimbar Teater Indonesia di Solo. Pada awalnya kami bimbang untuk membawa rombongan mengikuti acara tersebut, bukan karena ketidaksiapan tim namun karena masalah klasik, pendanaan. Syukurlah pada akhirnya kami tetap mendapatkan dukungan dari Kedutaan Besar Belanda setelah melihat seluruh proses yang terjadi baik di Bandung maupun Jakarta. Walau demikian, dana yang ada tidak memungkinkan kami membawa tim asli yang jumlahnya total mencapai lebih dari 70 orang. Kami bersama Wawan Sofwan selaku sutradara terpaksa melakukan banyak pemangkasan rombongan yang pada akhirnya hanya mencapai separuhnya saja. Dalam bahasa guyonan kami waktu itu sering terlontar pokoknya hanya 1 bus saja. Karena kehilangan separuh anggota tim, maka pementasan yang akan dilakukan pun mengalami pemotongan adegan, tidak seperti 9 pementasan sebelumnya. Kami yakin bahwa penghilangan beberapa adegan tidak akan mengurangi esensi pesan dari pementasan nanti. Bagi kami, pesan tentang perlawanan terhadap korupsi, pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan bagi kami adalah mutlak seperti kesepakatan bersama. Kemasan pesan yang dbungkus apik tentunya akan lebih mudah diterima masyarakat luas, terutama melalui medium seni dan budaya dalam hal ini teater. Dalam tour pementasan di Solo, kami tidak akan hanya tampil di Taman Budaya Surakarta. Sambil menyesuaikan jadwal perjalanan, Ladang Perminus juga akan dipentaskan di SMA Yosef Solo secara minimalis dan selanjutnya juga akan mampir di Taman Budaya Raden Saleh Semarang. Kedua pementasan terakhir juga akan disertai diskusi dengan pelajar dan kalangan umum mengenai bahaya korupsi yang akut melanda negeri ini. Tentu saja kami tidak berpretensi bahwa pementasan ini akan berhasil 100 persen mengurangi angka korupsi, di sini kami hanya berharap bahwa kaum muda dapat mengerti dan memahami bahaya korupsi bagi masa depannya nanti. Atas terlaksananya pementasan ini kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh tim yang terlibat baik yang sekarang maupun yang asli. Selanjutnya kepada Kedutaan Besar Belanda, ICCO Belanda dan Hivos Southeast Asia kami juga menyampaikan terima kasih atas dukungan dana yang diberikan. Kepada para pendukung dan penyelenggara di wilayah seperti Taman Budaya Surakarta, kami ucapkan terima kasih atas kerjasamanya. Akhirnya pementasan ini juga kami persembahkan bagi kawan kami Azan Sarjana yang telah meninggal hanya 2 hari setelah mengakhiri tugasnya sebagai kru artistik di pementasan terakhir di Jakarta. Semoga inspirasi dan perjuangan Azan dapat kami teruskan untuk memperjuangkan Indonesia yang jauh lebih baik.
Selamat menonton. Atas nama Ladang Pemrinus Andi K. Yuwono Produser Susilo Adinegoro Asisten Produser

Personalia

Teater sebagai Medium


Teater selain merupakan seni pertunjukan dan seni peran adalah media komunikasi sekaligus cermin. Sebuah lakon yang dipanggungkan merupakan medium untuk berkomunikasi bagi sutradara dan para aktornya dengan penonton (masyarakat). Penonton juga akan bercermin pada para tokoh melalaui alur dan konflik yang terjadi. Teater senantiasa mencoba mengolah dunia melalui dunia rekaan. Ia diciptakan dalam kerja kesengajaan yang khas dunia seni dalam menanggapi kondisi zaman sehingga sutradara, para aktris-aktornya dan pendukung pementasan dituntut melakukan pemilihan. Sebab di hadapan mereka tersedia berbagai jenis karya, dari yang klasik hingga yang eksperimental terkini, dari yang naskah asli hingga yang adaptasi. Pekerjaan memilih tentu tak gampang. Karena berbagai masalah (internal dan eksternal) akan ikut berbicara. Namun biasanya keputusan tiba ketika pertunjukan harus berjalan walaupun keputusan itu berdampak pada proses kerja artisitik. Apalagi pilihannya adalah mengadaptasi sebuah novel. Pementasan Ladang Perminus berangkat dari keputusan tim produksi untuk mengadaptasi novel Ladang Perminus, karya Ramadhan KH, dengan sejumlah alasan. Pertama, novel ini mengambil setting korupsi di Pertamina pada dekade 1970-an. Ia berkisah tentang betapa mengguritanya perilaku korupsi di perusahaan minyak negara tersebut. Dalam perjalanan operasinya sebagai perusahaan di bidang minyal dan gas, Pertamina telah memaksa setiap orang yang berurusan dengannya harus melakukan berbagai bentuk korupsi dan tindakan ikutannya. Kedua, kasus-kasus korupsi di Indonesia, termasuk korupsi di dunia migas, dan dampaknya terhadap kehidupan rakyat sehari-hari terus terjadi. Krisis energi yang tak pernah usai akibat tata kelola migas yang korup, telah menjerumuskan rakyat ke jurang kesengsaraan. Ketiga,pencemaran lingkungan di bidang pertambangan dan energi, misalnya lumpur Lapindo dan Balongan telah begitu dasyat merusak kehidupan masyarakat. Hal ini tak lepas dari perilaku korupsi sebagai hasil perselingkuhan timpang antara (aparatus elit) negara dan pemilik modal untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial politik dan hak asasi manusia serta terutama masa depan rakyat.

Eksekutif Produer: Berry Nahdian Forqan, Danang Widoyoko, Willy Pramudya. Produser: Andi K. Yuwono. Asisten Produser: Susilo Adinegoro. Tim Jakarta: Raharja Waluya Jati, Agung Yudhawiranatha, Dewi Djaja, Jerry Pattinama, Ibe Karyanto . Pimpro: Zhu Khie Thian. Keuangan: Tri Angganis Dewi. Administrasi: Anita Gayatri, Lanjar Abimanyu. Penulis Naskah, Sutradara, Hidayat: Wawan Sofwan. Penulis Naskah: FX Rudy Gunawan. Stage Manager: Aji Setiawan. Stage Crew: Linda Sebastian, Aconk, Yono, Ade Ii, Rizkika Lukman Hakim, Aep Suherman. Panggung, Lampu: Deden Bulqini. Kostum: Fitri Kenari, Ayu Suminar. Make up: Taufik S, Rega. Musik: Deddy Banjar. Dokumentasi: Arief Dwinanto. Juju, Tong: Akmal Rahman. Pramugari: Annisa Rachmania. Istri Kahar, Pramugari, Nana: Atin Rustini. Sadikin: Bagus Setiawan. Subarkah: Chandra Kudapawana. Singh, Kolonel: Dadang Atmo. Pena: Deden Syarief. Kahar: Fajar Emmillianus. Didi: Kodrat Firmansyah. Ias: Heliana Sinaga. Ita: Ryzzky Ryzcika Riani. Herman, Onkelinx: Sahlan Mujtaba. Yu: Tohari Yosdollac

Ucapan Terimakasih
Ibu Safrida. Halim HD. Hanindawan. Taman Budaya Surakarta. Dewan kesenian semarang. Kepala Sekolah SMA St.Yoseph, Solo. Kepala Sekolah SMA Loyola - Semarang. Panitia Pelaksana di Solo dan Semarang.

Anda mungkin juga menyukai