Judul : Tapol
BAGI masyarakat yang kini berusia di atas 30 tahun, pasti bisa membayangkan betapa ‘cap terlibat G30S/PKI’ bagaikan hantu
bergentayangan yang sangat menakutkan di zaman Orde Baru. Labelling ‘PKI’ pernah menjadikan berjuta rakyat Indonesia hidup
dalam kenistaan dan kesengsaraan sebagai warga negara. Kepada mereka diberlakukan istilah politis bersih lingkungan yang
sangat menghambat aktivitas dan ruang gerak.
Keluarga yang memiliki anggota terlibat apalagi tokoh G30S/PKI, akan mendapat cemoohan masyarakat dan terpinggirkan dari
kegiatan itu. Demikian pula anak-anak yang ketika peristiwa itu terjadi masih balita atau bahkan masih di kandungan — harus
ikut menanggung ‘kesalahan’ orangtuanya.
Oleh karena itu, tokoh Lastri dalam novel ini memilih mengatakan kepada dua anaknya: Mirah (tahun 1965 ketika peristiwa
terjadi baru berusia 4 tahun) dan Hernowo (ketika bapaknya diculik melalui Operasi Kalong, masih dalam kandungan) — bahwa
bapaknya sudah meninggal. Bahkan mengganti nama dari Kardjono menjadi Supardi.
Kesengsaraan demi kesengsaraan dilukiskan melalui Lastri sebagai istri seorang komandan Angkatan Udara yang menjadi
tahanan politik (tapol). Kemudian meluas pada penderitaan dan tekanan batin dua anaknya. Mirah (anak perempuannya) tumbuh
menjadi gadis yang penuh gejolak, aktivis LSM yang mengkritisi kebijakan pemerintah.
Dalam jalinan kisah inilah pengarang mengolah data yang didasari fakta sejarah yang dirangkai seperti potret tragedi manusia
dalam peristiwa bersejarah di Indonesia G30S/PKI 1965. Berkat penggalian data sejarah melalui pelbagai literatur, buku ini
(mungkin) juga dimaksudkan sebagai pelurusan sejarah yang selama ini diduga telah diputarbalikkan — seperti yang dikemas
dalam buku pelajaran sejarah untuk konsumsi sekolah formal. Untuk referensi penulis memang membaca buku sejenis
Menyingkap Kabut Halim 1965,landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten 1959-1965, Pledoi Oemar Dani, juga buku-buku
karangan Dr H Soebandrio, AH Nasution, dll. Bahkan, menggunakan keterangan Wakil Sekjen Gerwani, Sulami.
Karena itulah, setting cerita dengan lokasi Jakarta, Yogya, Klaten, Madiun bisa dijalin dengan gamblang. Sehingga sebagai novel,
karya Ngarto Februana ini enak dibaca. Dengan tebal 175 halaman, membuat orang tidak awang-awangen untuk membaca. Dari
bahasa yang cukup ngepop mengalirlah menjadi kalimat rancak. Penulis terasa sangat menghayati substansi novel. Hal itu bisa
dilihat dari nuansa emosi yang ‘dilekatkan’ pada tokoh-tokoh.
Bagi pembaca yang belum cukup dewasa (mungkin level SLP/SMU), apa yang ditulis dalam novel ini bisa jadi akan ditelan
mentah. Pada halaman 85-90, misalnya, yakni bab VI dengan judul Menganut Komunisme — memuat (seolah) kutipan dari
suasana diskusi metodologi marxisme, ideologi kiri, leninisme, komunisme, dan sejenisnya. Nah, bagi pembaca dewasa pun bab
ini cukup provokatif. Sehingga apa jadinya bila dibaca oleh kalangan teenager — level SLP/SMU, misalnya. Agar tidak tertelan
mentah-mentah, agaknya pembaca muda ini perlu pendampingan. Ini mengingat bukankah seumur kalangan teenager selama ini
‘menelan’ buku-buku sejarah produk Orba yang merupakan kontroversi dari novel ini? Hal itu perlu dipahami bersama agar novel
ini tetap menjadi referensi atas perubahan sejarah, namun bukan menebarkan benih pergolakan baru.
Novel ini memang happy ending bagaikan kisah kumpuling balung pisah. Meski dalam ‘pertemuan keluarga’ yang dilukiskan
sangat haru dan bahagia itu, penulis nampak memaksakan logika. Mungkin seperti dalam sinetron atau telenovela itulah. Sebab,
sang tapol (Kardjono alias Djon) yang kemudian jadi pemulung, jatuh sakit dan dirawat oleh Mirah (kebetulan anaknya), lalu
dibawa pulang dan ketemu Lastri (istrinya)...
Namun, novel yang pernah dipresentasikan dalam program Penulisan Novel Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) 2001 ini
memang diperhitungkan menjadi salah satu dari sekian banyak novel serupa yang agaknya tengah menjadi trend tersendiri di
zaman reformasi ini.