Anda di halaman 1dari 6

TEORI PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENURUT ALIRAN PSIKOLOGI BEHAVIORISTIK (TINGKAH LAKU) Oleh : I Putu Budiana, Gusti Putu Mahaatmawiradharma

Abstraksi

PENDAHULUAN

PEMBAHASAN

1. TEORI ASOSIASI (STIMULUS RESPON) DARI EDWARD LEE THORNDIKE (1874 1949) Thorndike mengembangkan teori asosiasionisme yang sangat sistematis, dan salah satu teori belajar yang paling sistematis. Ia membawa ide-ide asosiasi para filsuf ke dalam level yang empiris dengan melakukn eksperimen terhadap ide-ide filosofis tersebut. Thorndike juga mengakui pentingnya konsep reinforcement dan reward serta menuliskan teorinya tentang ini dalam law of effect tahun 1898. Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasiasosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ). stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan respon diri adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang

Pandangan Thorndike: Definisi Psikologi :the study of stimulus-response connections or bonds Thorndike sangat mementingkan connections. Connections dapat terbentuk secara sambung menyambung dalam urutan yang panjang. Sebuah connections yang tadinya response bisa menjadi stimulus. Di sinilah tampak peran asosiasi yang membentuk connections.

Teori utama Thorndike :

a. Fenomena belajar Trial and error learning belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon Ciri-ciri belajar dengan trial and error : 1. Ada motif pendorong aktivitas 2. ada berbagai respon terhadap situasi 3. ada aliminasi respon-respon yang gagal atau salah 4. ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu.

b. Hukum-hukum belajar :

1. Hukum Kesiapan (Law of Readiness ): adanya kematangan fisiologis untuk proses belajar tertentu, misalnya kesiapan belajar membaca. 2. Hukum Latihan (Law of Exercise) : jumlah exercise (yang dapat berupa penggunaan atau praktek) dapat memperkuat ikatan S-R. Contoh : mengulang, menghafal, dan lain sebagainya. Belakangan teori ini dilengkapi dengan adanya unsur effect belajar sehingga hanya pengulangan semata tidak lagi berpengaruh. 3. Hukum Akibat (Law of Effect) : menguat atau melemahnya sebuah connection dapat dipengaruhi oleh konsekuensi dari connection tersebut. Konsekuensi positif akan menguatkan connection, sementara konsekuensi negatif akan elemahkannya. Belakangan teori ini disempurnakan dengan menambahkan bahwa konsekuensi negative tidak selalu melemahkan connections.

Selanjutnya Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai berikut: Hukum Reaksi Bervariasi (multiple response).Hukum ini mengatakan bahwa pada ndividu diawali oleh prooses trial dan error yang menunjukkan adanya bermacammacam respon sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Hukum Sikap ( Set/ Attitude).Hukum ini menjelaskan bahwa perilakku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi

juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi , sosial , maupun psikomotornya. Hukum Aktifitas Berat Sebelah ( Prepotency of Element). Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan respon pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi ( respon selektif). Hukum Respon by Analogy. Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi yang belum pernah dialami karena individu

sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsurunsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah. Hukum perpindahan Asosiasi ( Associative Shifting) Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara betahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama.

2. TEORI PENGUATAN (REINFORCEMENT) DARI BURRHUS FREDRIC SKINNER (1904 1990). Skinner menganggap reward dan reinforcement merupakan faktor penting dalam belajar. Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal, mengontrol tingkah laku. Pada teori ini guru memberi penghargaan hadiah atau nilai tinggi sehingga anak akan lebih rajin. Teori ini juga disebut dengan operant conditioning. Operant conditioning adalah suatu proses penguatan perilaku operant yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali atau menghilang sesuai keinginan. Operant conditing menjamin respon terhadap stimuli. Bila tidak menunjukkan stimuli maka guru tidak dapat membimbing siswa untuk mengarahkan tingkah lakunya. Guru memiliki peran dalam mengontrol dan mengarahkan siswa dalam proses belajar sehingga tercapai tujuan yang diinginkan. Skinner membagi dua jenis respon dalam proses belajar, yakni : (1). Responsents : respon yang terjadi karena stimulus khusus misalnya Pavlov (2). Operants : respon yang terjadi karena situasi random Perbedaan penting antara Pavlovs classkal conditioning dan Skinners operant conditioning ialah dalam classikal conditioning, akibat-akibat suatu tingkah laku itu. Reinforcement tidak diperlakukan karena stimulusnya menimbulkan respon yang diinginkan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif. Penguatan positif sebagai stimulus, dapat

meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu sedangkan penguatan negatif dapat mengakibatkan perilaku berkurang atau menghilang. Bentuk-bentuk penguatan positif adalah berupa hadiah (permen, kado, makanan, dll), perilaku (senyum, menganggukkan kepala untuk menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan jempol), atau penghargaan (nilai A,Juara 1 dan sebagainya). Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain: menunda/tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa dan lain lain). Prinsip belajar Skinners adalah : Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan jika benar diberi penguat. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul. Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk menghindari hukuman. Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforcer. dalam pembelajaran digunakan shapping

Kelebihan dan Kekurangan Teori Skinner

1. Kelebihan Pada teori ini, pendidik diarahkan untuk menghargai setiap anak didiknya. hal ini ditunjukkan dengan dihilangkannya sistem hukuman. Hal itu didukung dengan adanya pembentukan lingkungan yang baik sehingga dimungkinkan akan meminimalkan terjadinya kesalahan.

2. Kekurangan

Tanpa adanya sistem hukuman akan dimungkinkan akan dapat membuat anak didik menjadi kurang mengerti tentang sebuah kedisiplinan. hal tersebuat akan menyulitkan lancarnya kegiatan belajarmengajar. Dengan melaksanakan mastery learning, tugas guru akan menjadi semakin berat. Beberapa Kekeliruan dalam penerapan teori Skinner adalah penggunaan hukuman sebagai salah satu cara untuk mendisiplinkan siswa. Menurut Skinner hukuman yang baik adalah anak merasakan sendiri konsekuensi dari perbuatannya. Misalnya anak perlu mengalami sendiri kesalahan dan merasakan akibat dari kesalahan. Penggunaan

hukuman verbal maupun fisik seperti: kata-kata kasar, ejekan, cubitan, jeweran justru berakibat buruk pada siswa Selain itu kesalahan dalam reinforcement positif juga terjadi didalam situasi pendidikan seperti penggunaan rangking Juara di kelas yang mengharuskan anak enguasai semua mata pelajaran. Sebaliknya setiap anak diberi penguatan sesuai dengan kemampuan yang diperlihatkan sehingga dalam satu kelas terdapat banyak penghargaan sesuai dengan prestasi yang ditunjukkan para siswa: misalnya penghargaan di bidang bahasa, matematika, fisika, menyanyi, menari atau olahraga.

3.Teori Belajar Bermakna Ausubel Menurut David P. Ausubel, secara umum kelemahan teori belajar adalah menekankan pada belajar asosiasi atau menghafal, dimana materi asosiasi dihafal secara arbitrase. Padahal, belajar seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna. Materi yang dipelajari

diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki dalam struktur kognitifnya (Muhaimin, 2002: 201). Ausubel memisahkan antara belajar bermakna dengan belajar menghafal. Ketika seorang peserta didik melakukan belajar dengan menghafal, maka ia akan berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna. Hal ini berbeda dengan belajar bermakna, dimana dalam belajar bermakna ini terdapat dua komponen penting, yaitu bahan yang dipelajari, dan struktur kognitif yang ada pada individu. Struktur kognitif ini adalah jumlah, kualitas, kejelasan dan pengorganisasian dari pengetahuan yang sekarang dikuasai oleh individu. Agar tercipta belajar bermakna, maka bahan yang dipelajari harus bermakna: istilah yang mempunyai makna, konsep-konsep yang bermakna, atau hubungan antara dua hal atau lebih yang mempunyai makna. Selain itu, bahan pelajaran hendaknya dihubungkan dengan struktur kognitifnya secara substansial dan dengan beraturan. Substansial berarti bahan yang dihubungkan sejenis atau sama substansinya dengan yang ada pada struktur kognitif.

Beraturan berarti mengikuti aturan yang sesuai dengan sifat bahan tersebut (Sukmadinata, 2007: 188) Selaras dengan uraian tersebut, menurut Reilly dan Lewis, belajar memerlukan persyaratan tertentu, yaitu (1) isi pembelajaran dipilih berdasarkan potensi yang bermakna dan diatur sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik serta tingkat pengalaman masa lalu yang pernah dialaminya; dan (2) diciptakan situasi belajar yang lebih bermakna. Dalam hal ini, faktor motivasi memegang peranan penting karena peserta didik tidak akan mengasimilasikan isi pembelajaran yang diberikan atau yang diperoleh apabila peserta didik tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana cara melakukan kegiatan belajar (Muhaimin, 2002: 201). Lebih lanjut, karakteristik dari teori belajar bermakna adalah pengaturan kemajuan belajar (advance organizers). Pengaturan kemajuan belajar ini merupakan kerangka dalam bentuk abstrak dari apa yang harus dipelajari dan hubungannya dengan apa yang ada pada struktur kognitif yang dimiliki peserta didik. Apabila dirancang dengan baik, advance organizers akan mempermudah peserta didik mempelajari isi pembelajaran karena kegiatannya sudah diarahkan. Hubungan dengan apa yang telah dipelajari dan adanya abstrak atau ringkasan mengenai apa yang dipelajari menyebabkan isi pembelajaran yang baru bukan dipelajari secara hafalan, melainkan sebagai kelanjutan yang merupakan kesatuan (Muhaimin, 2002: 202). Singkatnya, inti dari teori David P. Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna, yaitu suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang (Trianto, 2007: 25).

Anda mungkin juga menyukai