Anda di halaman 1dari 9

Di Toilet pun Mengikuti Sunnah

Tugas Hadits II Ustadz M. Shadiq, MA

Amalia Rubianti Dian Agusta

STIU Daarul Hikmah 2011

BAB I PENDAHULUAN

)
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." (Qs. al Baqarah: 208) Islam diturunkan untuk memuliakan manusia. Semua perilaku dan tindakan manusia dalam Islam diarahkan menuju kepada kemuliaan. Diantara bimbingan Islam untuk memuliakan manusia adalah adab dan aturan buang hajat (buang air kecil dan buang air besar). Aturan atau adab buang hajat adalah bagian dari syariat Islam yang menjadi syumuliyah nya. Maksudnya segala persoalan ada petunjuknya dalam Islam. Karenanya seorang muslim harus memperhatikan dan mempraktekkan adab ketika membuang hajat agar menjadi muslim yang kaffah dalam melaksanakan ajaran agamanya. Realita dalam masyarakat sekarang ini masih dijumpai tempat buang hajat yang posisinya membuat orang menghadap atau membelakangi kiblat ketika melepas hajatnya. Hal ini menunjukkan perhatian yang kurang terhadap adab buang hajat. Tugas kita semua untuk menyebarkan adab buang hajat yang disunahkan oleh Rosulullah Shalallahu Alaihi wa Salam. Ketika masyarakat paham adab yang disunahkan, mereka akan berusaha untuk mempraktekkan dalam keseharian. Tidak harus membongkar tempat buang hajat, tapi bisa dengan menggeser arah hadap badan kita. Seorang muslim yang sedang buang hajat hendaknya tidak menghadap atau membelakangi kiblat. Hal ini berdasarkan hadits Abu Ayyub Al-Anshari radliyallah anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wassallam bersabda:

: { } . : .
ketika kiblat timur kamar kecil dan kami memohon ampun kalian mendatangi dan jangan atau barat dibangun Allah Taala wc kalian membelakangi maka kami sebelumnya menghadap Kabah maka jangan nya (kiblat) Syam maka kami menyimpang Makna perkata kalian menghadap , akan tetapi maka kami dapati darinya (Kabah)

Jika kalian mendatangi tempat buang air maka janganlah kalian menghadap ke arah kiblat dan jangan pula membelakanginya. Akan tetapi menghadaplah ke timurnya atau ke baratnya. Abu Ayyub berkata, Ketika kami datang ke Syam, kami dapati WC rumah-rumah di sana dibangun menghadap kiblat. Maka kami beralih darinya (kiblat) dan kami memohon ampun kepada Allah Taala. [Abu Daud, Bab Bersuci 4; 9]1 Abu Ayyub meriwayatkan hadits di atas dengan lafadz umum. Karenanya, larangan menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang air menurut hadits ini adalah bersifat umum, baik di toilet yang tertutup maupun di tempat terbuka. Inilah kesimpulan yang diambil oleh sebagian ulama, sehingga larangan dalam hadits ini bersifat mutlak BEBERAPA HADITS PEMBANDING Sebagian ulama lainnya berpendapat larangan menghadap kiblat atau membelakanginya berlaku saat buang hajat di tempat terbuka. Ini berdasarkan hadits riwayat Abdullah bin Umar radliyallah 'anhuma

Dan telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Maslamah bin Qa'nab] telah menceritakan kepada kami [Sulaiman] -yaitu Ibnu Bilal- dari [Yahya bin Sa'id] dari [Muhammad bin Yahya] dari pamannya [Wasi' bin Habban] dia berkata, "Aku melakukan shalat di masjid, sementara [Abdullah bin Umar] menyandarkan punggungnya ke kiblat. Ketika aku telah menyelesaikan shalatku, maka aku bergerak kepadanya dari sisiku. Abdullah lalu berkata, 'Orang bilang, 'Apabila kamu duduk untuk buang air besar, maka janganlah kamu menghadap ke arah kiblat atau menghadap ke arah Baitul Maqdis.' Abdullah melanjutkan ucapannya, 'Sungguh, aku pernah naik ke atas loteng rumah, lalu aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam duduk di atas dua batu dengan menghadap ke Baitul Maqdis saat buang air besar'."(shahih Muslim 390) Kesimpulan yang kedua ini berdasarkan kaidah, "apabila Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang sesuatu tetapi beliau sendiri melakukannya maka larangan tersebut tidak

menunjukkan haram, melainkan hanya sebatas makruh." Dan hadits yang diriwayatkan Abu Ayyub adalah 'Amm (bentuknya umum) sedangkan hadits Ibnu Umar bentuknya Khass (Khusus), maka yang dipakai adalah riwayat Ibnu Umar berdasarkan kaidah ushul al Fiqh, "dalil khusus harus lebih didahulukan dari dalil umum." Ini adalah pendapat yang lebih rajib (kuat) dan merupakan pendapat Imam Malik, Asy Syafii, Ahmad, Ishaq, Asy Syabi dan ini merupakan pendapat jumhur ahli ilmu. (Syarah Shahih Muslim 3/154, Syarah Sunan An Nasai lis Suyuthi 1/26
1

Al Albani, Muhammad Nashiruddin. Shahih Sunan Abu Daud.atau Shahih Sunan Abu Daud terj. Tajuddin Arief, dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hlm. 4


telah menceritakan kepada kami [Sa'id bin Abdurrahman Al Makhzumi] berkata, telah menceritakan kepada kami [Sufyan bin Uyainah] dari [Az Zuhri] dari ['Atho` bin Yazid Al Laitsi] dari [Abu Ayyub Al Anshari] ia berkata, Rasulullah Shallahu 'alaihi wa Sallam bersabda: " Jika engkau buang hajat maka janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya, baik buang air besar ataupun air kecil. Akan tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat." Abu Ayyub berkata; "Ketika kami tiba di Syam, kami mendapati WC mereka dibangun menghadap arah kiblat, maka kami berpaling darinya dan beristighfar kepada Allah. " Abu Isa berkata; "Dalam bab ini juga ada riwayat dari Abdullah bin Al Harits bin Jaz`i Az Zubaidi dan Ma'qil bin Abu Al Haitsam -disebut juga dengan Ma'qil bin Abu Umamah-, Abu Hurairah dan Suhail bin Hanif." Abu Isa berkata; "Dalam bab ini hadits riwayat Abu Ayyub adalah yang paling baik dan paling shahih. Abu Ayyub namanya adalah Khalid bin Zaid, sedangkan Az Zuhri namanya adalah Muhammad bin Muslim bin Ubaidullah bin Syihab Az Zuhri, julukannya adalah Abu Bakr."

Abu Al Walid Al Makki berkata; Abu Abdullah Muhammad bin bin Idris Asy Syafi'i berkata; "Hanyasanya makna dari sabda Nabi Shallahu 'alaihi wa Sallam "Janganlah kalian menghadap kiblat atau membelakanginya ketika buang air besar atau kecil" adalah di tempat yang terbuka. Adapun jika di dalam bangunan yang tertutup maka di sana ada keringanan untuk menghadap ke arah kiblat" Seperti ini pula yang dikatakan oleh Ishaq bin Ibrahim. Sedangkan Ahmad bin Hanbal Rahimahullah mengatakan; "Keringanan ketika buang air besar atau kecil dari Nabi Shallahu 'alaihi wa Sallam itu hanya untuk membelakanginya, adapun menghadap ke arahnya tetap tidak diperbolehkan." Seakan-akan Imam Ahmad tidak membedakan di padang pasir atau dalam bangunan yang tertutup untuk menghadap ke arah kiblat."


Telah menceritakan kepada kami [Adam] berkata, telah menceritakan kepada kami [Ibnu Abu Dzi'b] berkata, telah menceritakan kepada kami [Az Zuhri] dari ['Atha' bin Yazid Al Laitsi] dari [Abu Ayyub Al Anshari] berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika salah seorang dari kalian masuk ke dalam WC untuk buang hajat, maka janganlah menghadap ke arah kiblat membelakanginya. Hendaklah ia menghadap ke arah timurnya atau baratnya."(shahih Bukhori 141) Afdhal bagi seorang muslim ketika buang hajat tidak menghadap dan membelakangi kiblat , baik di tempat tertutup maupun di tempat terbuka sebagai sikap berhati-hati dari haditshadits yang menunjukkan larangan akan hal ini. Demikianlah karena hadits ibnu Umar, boleh jadi, muncul sebelum adanya larangan menghadap atau membelakangi kiblat saat buang air. Dan bisa juga bolehnya menghadap atau membelakangi kiblat saat buang air hanya khusus bagi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam saja, karena beliau melakukannya di tempat tersembunyi dan tidak berusaha memperlihatkan dan memberitahkan kepada orang lain. (Inilah pendapat Syaikh Bin Bazz dalam Syarh-nya terhadap Bulugh al Maram).2

www.voa-islam.com


Bab Makruhnya Meghadap Kiblat Ketika Membuang Hajat3 Kiblat berarti arah, seperti ungkapan, Kemana kiblatmu? Maksudnya kemana kamu menghadap. Dinamakannya Kabah dengan kiblat karena seorang yang shalat menghadap ke arahnya. Sedang makna al-hajat adalah mencakup keumuman buang air besar dan kecil.


dari Salman dia berkata; dikatakan kepadanya; "Sungguh Nabi kalian telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu hingga urusan buang hajat?" Salman menjawab; "Benar, beliau shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang kami menghadap kiblat pada saat buang air besar atau buang air kecil, agar kami tidak beristinja dengan tangan kanan, agar salah seorang dari kami tidak beristinja dengan kurang dari tiga batu, atau beristinja dengan kotoran hewan atau tulang." Imam al-Khatthabi berkata: makna al-Khiraah adalah adab ketika buang hajat serta duduk ketika buang hajat. As-syaikh Taqiyuddin berkata dalam kitab syarhul Umdah, Hadits tersebut menunjukkan larangan menghadap kiblat ketika kencing atau pun buang hajat, hal ini mengandung dua perkara; Pertama, terkait dengan keluarnya kotoran. Yang kedua, membuka aurat. Maka sebagian manusia ada yang berpendapat bahwa larangan menghadap kiblat ketika buang hajat karena untung mengagungkan kiblat. Sebagian yang lain mengatakan larangan menghadap kiblat karena membuka aurat. Perbedaan ini menyebabkan perbedaan dalam hal boleh tidaknya mencampuri istri dalam keadaan membuka aurat dengan menghadap kiblat. Adapun bagi yang berpendapat bahwa larangan tersebut dikarenakan keluaarnya kotoran (air seni atau BAB) maka berpendapat bolehnya menyetubuhi istri menghadap kiblat, sedangkan yang berpendapat bahwa larangan itu karena membuka aurat maka mereka mengatakan tidak diperbolehkannya bersetubuh dengan membuka aurat- dalam keadaan menghadap kiblat. Kalimat agar tidak beristinja dengan tangan kanan yakni Rasulullah melarang kita beristinja dengan menggunakan tangan kanan. Larangan ini karena kemuliaan tangan kanan dan penjagaan terhadap kotoran-kotoran dan sejenisnya. Karena tangan kanan digunakan untuk makan

Diterjemahkan dari kitab Aunul Mabud Syarh Sunan Abi Dawud, karya al-Allamah Abu Thoyyib Muhammad Syamsul Haq al-Azhim Abadi (Cairo: Darul Hadits, 2001), jild. 1, hal. 19-22.

minum, mengambil dan memberi serta menjaga dari tempat-tempat keluarnya kotoran dan najis secara langsung. Sedangkan diciptakannya tangan kiri untuk dipergunakan membersihkan kotoran atau najis dari tempat-tempat keluarnya kotoran dan najis. Imam al-Khatthabi berkata, Larangan dari beristinja dengan tangan kanan dalam kebanyakan pendapat ulama adalah makruh atau larangan dari sisi adab dan tanziih (meninggalkan sesuatu yang tidak baik). Sebagian ahli zhahir berpendapat, beristinja dengan tangan kanan tidak diperbolehkan sebagaimana tidak diperbolehkannya menggunakan tinja atau kotoran dan tulang. (yakni larangan tersebut berarti haram, penj.) Sedang larangan berikutnya adalah tidak boleh beristinja dengan kurang dari tiga buah batu, sedang dalam riwayat Imam Ahamd, Dan kami tidak cukup (beristinja) dengan kurang dari tiga batu. Ini adalah nash yang jelas dan shahih bahwa kesempurnaan beristinja dengan tiga kali (sentuhan) adalah suatu keharusan. Al-Khatthabi berkata, Di dalamnya terdapat penjelasan bahwa beristinja dengan batu merupakan salah satu alat untuk bersuci. Dan bahwasanya apabila tidak menggunakan air maka tidak ada larangan dengan menggunkan batu atau yang sejenisnya, ini adalah pendapat Sufyan at-Tsauri, Malik bin Anas, as-SyafiI dan Ahmad bin Hambal. Dan juga dalam kalimat tersebut terdapat penjelasan tiadak boleh mencukupkan diri dengan kurang dari tiga batu, meskipun dengan kurang dari itu dapat membersihkan kotoran. Kalau seandainya tujuannya hanya membersihkan saja maka persyaratan dengan tiga buah tentu tidak ada maknanya, karena boleh jadi dengan satu batu bisa membersihkan, akan tetapi disebutkannya syarat tiga buah batu dalam hadits tersebut menunjukkan makna akan wajibnya dua hal tersebut (yakni tiga buah batu dan bersih dari kotoran). Lafazh Atau dengan kotoran (tinja) atau tulang, huruf [atau] tersebut bermakna athaf (yakni dan) bermakna, yakni kita dilarang beristinja dengan keduanya. Adapun kotoran manusia ada hadits lain yang melarangnya yakni sabda Nabi Sesungguhnya kotoran manusia adalah najis. Kotoran yang dalam hadits tersebut menggunakan lafazh bermakna yaitu kotoran kering dari keledei atau hewan yang bekuku. Adapun kotoran manusia maka itu telah masuk dalam hadits Nabi saw , Innaha riksun [sesungguhnya itu (kotoran manusia) najis]. Imam anNawawi dalam syarah shahih Muslim berkata, Di dalamnya terdapat larangan untuk beristinja dengan benda-benda najis, sedang Nabi menyebutkan kotoran hewan berkuku hanya merupakan salah satu jenis najis. Adapun penyebutan tulang yang merupakan makanan jin memperingatkan dilarangnya segala jenis makanan. Hadits ke delapan Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda,

. .
"Sesungguhnya aku bagi kalian hanyalah seperti kedudukan orang tua, aku ajarkan kepada kalian; apabila salah seorang dari kalian hendak buang air, janganlah dia menghadap kiblat, jangan pula membelakanginya, dan jangan beristinja dengan tangan kanannya." Dan beliau juga menyuruh untuk beristinja dengan tiga batu, serta melarang beristinja dengan kotoran binatang dan tulang basah. Hadits ke Sembilan

. . Apabila kalian mendatangi tempat buang air, maka janganlah kalian menghadap kiblat

ketika buang air besar atau kencing, akan tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat maka ketika kami datang ke Syam kami mendapati tempat-tempat buang air menghadap kiblat maka kami merubahnya dan kami memohon ampun kepada Allah. Imam al-Khatthabi mengomentari lafazh akan tetapi menghadaplah ke barat atau ke timur bahwa ucapan ini hanya berlaku khusus untuk penduduk Madinah dan negeri-negeri yang kiblatnya sama dengan Madinah. Adapun bagi penduduk yang kiblatnya menghadap kea rah barat atau timur maka dia tidak boleh mengahadapkan kea rah timur atau barat. (karena itu sama saja dengan menghadap atau membelakangi Kiblat, penj.) Hadits ke sepuluh

Dari Maqil bin Abi Maqil al-Asadi berkata, Rasulullah saw melarang kami menghadap dua kiblat (Kabah dan Baitul Maqdis) ketika kencing atau buang air besar

- - . .

Penyebutan dua kiblat dalam hadits tersebut mengandung kemungkinan makna ihtiram atau memuliakan terhadap Baitul Maqdis, dimana Baitul Maqdis itu dahulu adalah kiblat bagi kaum muslimin. Atau juga mengandung kemungkinan agar tidak membelakangi kabah, karena bagi orang yang tinggal di Madinah jika menghadap Baitul Maqdis maka maka dia akan membelakangi Kabah. Hadits ke sebelas

11 -

.
Dari Marwan al-Ashfar berkata, saya melihat Ibnu Umar menderumkan (mendudukkan) hewan tunggangannya menghadap kiblat kemudian dia duduk dan kencing menghadap kiblat, maka aku berkata, Wahai Abu Abdirrahman bukankah hal seperti ini telah dilarang yakni mengahdap kiblat- ?, dia berkata, Benar, akan tetapi hal itu dilarang menghadap kiblat- jika kita berada di tanah lapang (tempat terbuka), namun jika antara kamu dan kiblat ada sesuatu yang menutupinya maka tidak mengapa.12

Anda mungkin juga menyukai