Di mana ada fiqh, maka di sana wajib ada ushul fiqh,
ketentuan dan kaidahnya. Karena fiqh adalah hakikat yang dicari ilmu ushul fiqh. Sekalipun keberadaannya bersamaan, fiqh lebih dulu dibukukan dari ushul fiqh. Dalam arti problematika, kaidah dan bab-bab di dalamnya lebih dulu dibukukan, dipisah dan dibeda-bedakan. Hal ini tidak berarti bahwa ushul fiqh tidak ada sebelum adanya fiqh atau sebelum dibukukan, atau bahwa ulama fiqh tidak menggunakan kaidah dan metode yang tetap dalam mencetuskan hukum. Karena faktanya, kaidah dan metode ushul fiqh sudah menyatu dalam jiwa para mujtahid. Mereka telah bergumul dengannya sekalipun tidak terang-terangan. Maka saat sahabat sekaligus ulama fiqh, Abdullah Ibnu Masud mengatakan bahwa, masa tunggu (iddah) wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai dia melahirkan, maka beliau mendasarkan pendapatnya pada firman Allah, dan (bagi) wanita-wanita hamil, (maka) waktu tunggunya adalah sampai dia melahirkan (At-Thalaq: 4). Beliau mengambil dalil surat At-Thalaq karena ayat ini turun setelah turunnya surat Al-Baqarah: 234, Orang-orang yang mati dan meninggalkan isteri, maka mereka (isteri) harus menahan diri mereka selama empat bulan sepuluh hari. Dengan apa yang dilakukan itu, berarti Abdullah bin Masud telah mengamalkan kaidah ushul fiqh, Nash yang datang terakhir menggugurkan nash yang datang sebelumnya, sekalipun beliau tidak menjelaskannya. Pada umumnya, sesuatu itu ada, baru kemudian dibukukan. Pembukuan menerangkan keberadaanya, bukan munculnya, seperti halnya dalam ilmu Nahwu (ilmu alat) dan Ilmu Manthiq (ilmu logika). Orang arab selalu me-rafa-kan fail dan me-nashab-kan maful dalam setiap percakapannya, maka berlakulah kaidah itu sebagai bagian dari kaidah ilmu nahwu, sekalipun ilmu nahwu belum dibukukan. Orang berakal akan berdiskusi berdasarkan hal-hal yang pasti kebenarannya (aksioma/al-badihi), sebelum ilmu mantiq dan kaidah-kaidahnya dibukukan. Dengan demikian, ushul fiqh adalah ilmu yang menyertai fiqh sejak munculnya, bahkan ada sebelum fiqh. Sebab ushul fiqh adalah aturan pencetusan hukum dan ukuran pendapat, tetapi saat itu belum dianggap perlu untuk membukukannya. Pada masa Nabi Muhammad SAW, tidak perlu membahas kaidah ushul fiqh apalagi membukukannya, karena Nabi sendiri adalah tempat rujukan fatwa dan hukum. Pada waktu itu tidak ada satu faktor apapun yang mengharuskan ijtihad atau fiqh. Tidak ada ijtihad berarti tidak perlu metode dan kaidah pencetusan hukum. Setelah Nabi SAW wafat, muncul banyak permasalahan baru yang hanya bisa diselesaikan dengan ijtihad dan dicetuskan hukumnya dari Kitab (Al Quran) dan Sunnah. Akan tetapi ulama fiqh dari kalangan sahabat belum merasa perlu untuk berbicara kaidah atau metode dalam pengambilan dalil dan pencetusan hukum, karena mereka memahami bahasa arab dan seluk-beluknya serta segi penunjukan kata dan kalimat pada makna yang dikandungnya. Mereka mengetahui rahasia dan hikmah pensyariatan, sebab turunnya Al Quran dan datangnya sunnah. Cara sahabat dalam mencetuskan hukum: ketika muncul sebuah permasalahan baru, mereka mencari hikmahnya dalam Kitab, jika belum menemukan mereka mencarinya ke sunnah, jika belum menemukan juga, mereka berijtihad dengan cahaya pengetahuan mereka tentang maqashid as-syariah (tujuan pensyariatan) dan apa yang diisyaratkan oleh nash. Mereka tidak menemui kesulitan dalam berijtihad dan tidak perlu membukukan kaidah-kaidahnya. Mereka benar-benar dibantu oleh jiwa ke-faqihan yang mereka dapatkan setelah menemani dan menyertai Nabi SAW sekian lama. Para sahabat memiliki keistimewaan berupa ingatan yang tajam, jiwa yang bersih dan daya tangkap yang cepat. Sampai masa sahabat lewat, kaidah ushul fiqh belum dibukukan, demikian pula pada masa tabiin, mereka mengikuti cara sahabat dalam mencetuskan hukum. Tabiin tidak merasa perlu membukukan kaidah pencetusan hukum, karena mereka hidup dekat dengan masa Nabi dan telah belajar banyak dari sahabat.
Setelah lewat masa tabiin, kekuasaan Islam semakin meluas, permasalahan dan hal-hal baru muncul, orang arab dan non arab bercampur sehingga bahasa arab tidak murni lagi, muncul banyak ijtihad, mujtahid dan cara mereka dalam mencetuskan hukum, diskusi dan perdebatan meluas, keraguan dan kebimbangan menjamur. Karena itulah ulama fiqh kemudian menganggap perlu untuk meletakkan kaidah dan metode berijtihad, agar para mujtahid dapat menjadikannya rujukan dan ukuran kebenaran saat terjadi perselisihan.
Kaidah-kaidah yang mereka letakkan adalah berlandaskan pada tata bahasa arab, tujuan dan rahasia pensyariatan, maslahat (kebaikan), dan cara sahabat dalam pengambilan dalil. Dari semua kaidah dan pembahasan itulah ilmu Ushul Fiqh muncul.
Ilmu ushul fiqh muncul dalam bentuk pembukuan- adalah sebagai konsekuensi dari banyaknya kaidah yang muncul dalam perdebatan ulama ketika menjelaskan hukum, mereka menyebutkan hukum, dalil dan segi penunjukan dalil. Perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh didukung oleh kaidah ushul fiqh, masing-masing mereka mendasarkan pendapatnya pada kaidah ushul untuk memperkuat analisis, meningkatkan pamor madzhab (aliran), dan menjelaskan rujukan dalam ijtihad mereka.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa ulama yang pertama kali menulis tentang ushul fiqh adalah Abu Yusuf, ulama pengikut madzhab Hanafiyah, akan tetapi kitab-kitabnya tidak pernah kita temukan.
Sedangkan pendapat yang umum di kalangan ulama, bahwa ulama yang pertama kali membukukan ilmu ushul fiqh adalah Imam Muhammad bin Idris As-Syafii (w. 204 H). Imam Syafii menulis kitab Ar Risalah yang terkenal. Di dalamnya Syafii berbicara tentang Al Quran, bagaimana Al Quran menjelaskan hukum, sunah menjelaskan Al Quran, Ijma dan Qiyas, Nasikh dan Mansukh, Amar dan Nahi, berhujjah (berargumentasi) dengan hadits ahad, dan bahasan ushul fiqh yang lain.
Syafii menulis Ar-Risalah dengan teliti, mendalam, setiap pendapatnya didasarkan dalil, dan mendiskusikan pendapat yang berbeda secara ilmiah, sempurna dan mengagumkan. Setelah Syafii, Ahmad bin Hanbal menulis kitab tentang taat kepada Rasulullah SAW, kedua tentang nasikh dan mansukh dan ketiga tentang ilat. Setelah itu, para ulama berbondong- bondong menulis, menyusun, memperluas dan menambah bahasan.
Read more: Sejarah Munculnya Ilmu Ushul Fiqh - IslamWiki http://islamwiki.blogspot.com/2009/02/sejarah-munculnya-ilmu-ushul fiqh.html#ixzz1XnPSsKgV Under Creative Commons License: Attribution
USHUL FIQIH DARI WAKTU KE WAKTU
I. PENDAHULUAN Sudah menjadi harga mati dalam wacana perdebatan di kalangan para ulama muslim, bahwa setiap aktifitas hidup manusia dari mulai perkataannya sampai kepada perbuatannya, baik dari aspek ibadahnya atapun muamalatnya bahwa dalam perspektif syariat Islam pasti memiliki sebuah hukum. Dari hukum-hukum tersebut, sebagiannya telah dijelaskan oleh nash-nash yang termaktub dalam al-Quran dan Sunnah-Sunah Rosulullah saw, dan sebagiannya lagi tidak dijelaskan oleh nash-nash tersebut. Akan tetapi syariat tidak berhenti sampai disini saja, ia memberikan celah, indikasi, dan ciri atas hukum yang tidak memilki nash tersebut, sehingga dengan ciri-ciri yang ada, para mujtahid mampu berijtihad untuk menjawab hukum-hukum yang belum jelas tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa betapa pentingnya ilmu metodologi (ushul fikih) dalam menentukan hukum-hukum syara yang berkaitan dengan aktifitas manusia (fikih), sehingga seorang mujtahid dapat menyimpulkan hukum-hukum tersebut seperti yang dikehendaki Allah Swt, baik dalam masalah aqidah, ibadah, muamalah, uqubah dan lain sebagainya. Dalam risalah ini, sengaja penulis mengusung sebuah judul USHUL FIKIH DARI WAKTU KE WAKTU yang membahas sejarah pertumbuhan dan perkembangan ushul fikih, sekaligus sejauh mana power ushul fikih dalam menjawab dinamika permasalahan umat yang kian kompleks dan kontemporer. Besar harapan penulis, agar apa yang tercantum dalam risalah ini dapat menjadi bahan masukan bagi kita semua, bahwa mutaallim yang baik adalah mutaallim yang tidak pernah melupakan sejarah ilmu yang digelutinya. Ia menjadikan sejarah sebagai media pemberi hikmah, bekal untuk melangkah ke arah yang lebih berkah. Amiin. Tentunya, untuk menyatukan berbagai kepentingan kita menjadi satu visi diatas, kita perlu meluruskan niat karena Allah dalam mengawali proses pembelajaran ini.
II. SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQIH Pada hakikatnya, hukum fikih telah ada semenjak adanya Islam. Ia tumbuh seiring dengan tumbuhnya Islam. Karena Islam adalah agama yang berisikan ajaran aqidah, akhlaq, dan hukum-hukum amali. Namun dalam istilah penamaan ilmu-ilmu tersebut menjadi ilmu fikih dan ilmu ushul fikih memang belum ada saat itu. Dari beberapa sumber rujukan yang dikaji penulis sebagai bahan acuan pembuatan makalah ini, penulis berdasarkan perspektifnya, mengkalsifikasikan proses perkembangan Ushul Fiqh menjadi tiga periode;
a. Periode Muhammad SAW Di masa Rasulullah saw hidup, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syari, semua permasalahan yang ada saat itu dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw, melalui penjelasan beliau terhadap interpretasi al-Quran, atau melalui sunnahnya. Sebagai contoh, Ali bin Abi Tholib pernah mengadu kepada Rosul tentang masalah madzi yang dialaminya. Dalam sebuah hadis dijelaskan; Dari Ali bin Abi Tholib ra berkata, Aku adalah laki-laki yang sering mengeluarkan madzi, tapi saya malu untuk mengungkapkan masalah ini kepada Rosul, karena putrinya adalah istriku. Maka aku menyuruh Miqdad ibn Al-Aswad untuk menanyakannya kepada Rosul, maka Rosulpun menjawab permasalahan tersebut, basuhlah kemaluannya dan hendaklah berwudu. (HR Bukhori Muslim/ Kitab Taisirul Allam volume I) Contoh lain dari peristiwa Sahabat berinterkasi dengan turunnya al-Quran, dari Jabir ra, bahwasanya ia mengadu kepada Rosul tentang perkataan seorang Yahudi, apabila seorang suami bergaul dengan istrinya dari arah belakang (tapi tetap ke dalam farj istri) maka anak yang dilahirkannya akan cacat. Maka turunlah ayat: p)4 +L O) UuC4O Og)` 4L^EO4^ _O>4N 4^gl4N W-O> E4OOOO) }g)` g)-uVg)` W-ONNu1-4 747.-EE_7- }g)` p1 *.- ]) +L7 4-g~g= ^g@ Artinya: isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (QS al-Baqoroh-223) Dalam periode ini, Para sahabat ra dapat menyaksikan sekaligus berinteraksi langsung dengan turunnya al-Quran (asbabun Nuzul Quran) dan mengetahui dengan baik sunnah Rasulullah saw (asbab wurudul hadis). Oleh karena itu periode ini sering disebut sebagai periode wahyu. Walaupun demikian, indikator keberadaan ushul fikih dapat kita lihat di kalangan para sahabat bahkan ketika Rosul masih hidup. Hal ini berdasarkan hadis yang meriwayatkan bahwa Rosul pernah bertanya kepada Muadz bin Jabal ketika Beliau hendak mengutusnya ke Yaman. Apa yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Muadz? Kitabullah, ujar Muadz. Lalu, bagaimana jika kamu tidak mendapatinya dalam Kitabullah?, tanya Rosullah pula, Saya akan hukumi permasalahan tersebut dengan sunnahmu ya Rosul ujar Muadz. Tapi bagaimana jika kamu tidak temui juga dalam sunnahku?, tanya Rosul kembali. Muadz pun menjawab, saya akan pergunakan fikiranku untuk berijtihad, dan saya tak kan berlaku sia-sia. Maka berseri-serilah wajah Rosul seraya berkata, Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rosul sebagaimana yang diridoi oleh Rosulullah. Adapun rujukan hukum-hukum fikih pada periode ini hanyalah bersumber dari al-Quran dan Rosulullah saja. Dengan demikian para sahabat tidak membutuhkan lagi kaidah-kaidah (perangkat teori) untuk berijtihad, meskipun kaidah-kaidah tidak tertulis sudah ada dalam dada- dada mereka.
b. Periode Sahabat Setelah Nabi Muhammad saw wafat, periode selanjutnya adalah periode sahabat. Pada periode ini, mereka dihadapkan dengan masalah-masalah baru, permasalahan yang belum pernah mereka temukan ketika Rosul masih hidup. Untuk menjawab permaslahan baru tersebut, mereka (sahabat yang ahli ijtihad) berijtihad untuk memutuskan, memfatwakan, dan menentukan hukum- hukum yang baru muncul. Dari sinilah, bahwa perumusan fikih sudah mulai nampak. Dan pada saat proses perumusan fikih ini dipraktekan, maka pada saat itulah pemikiran ushul fikih sudah mulai diimplementasikan oleh para sahabat. Diantaranya adalah; Umar bin Khottob dan Ali bin Abi Tholib. Kendati mereka sudah menggunakan aturan dan pedoman dalam menentukan sebuah hukum dengan baik, tapi sayangnya mereka belum merumuskan metodologi (kaidah-kaidah) penentuan hukum tersebut secara jelas. Sebagai contoh dari kasus penentuan hukum baru yang dilakukan sahabat Ali ra, sewaktu beliau menetapkan hukum cambuk sebanyak 80 kali terhadap peminum khomr (arak), beliau berkata, Bila ia minum, ia akan mabuk, dan bila ia mabuk, ia akan menuduh orang berbuat zina. Maka kepadanya dikenakan sanksi tuduhan berzina. Dari pernyataan Ali tersebut, ternyata beliau sudah menggunakan kaidah ushul, yaitu menutup pintu kejahatan yang akan timbul atau Sad al-Dzariah. Dari contoh di atas, setidaknya para sahabat sudah mampu memberi gambaran kepada kita bahwa mereka dalam melakukan ijtihadnya telah menerapkan kaidah atau metode tertentu, hanya saja kaidah tersebut belum dirumuskan dengan jelas. Dengan demikian jelas sudah, bahwa sumber-sumber hukum fikih saat itu adalah; al- Quran, sunnah Rosul, serta Ijtihad para sahabat. Dan pada masa itu pula hukum-hukum fiqih belum dirumuskan secara sistematis, sehingga penamaan label ilmu fikih untuk hukum-hukum yang telah diputuskan belum ada, dan pengistilahan title Fuqoha bagi para sahabat (ahli ijtihad) pun belum terasa adanya.
c. Periode Tabiin dan Pengikut Tabiin Setelah meluasnya futuhat daulah islamiyah (abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah), umat Islam Arab banyak berinteraksi dan berkolaborasi dengan bangsa-bangsa lain (selain bangsa ara yang berbeda bahasa dan berbeda pula latar belakang peradabannya, perbauran tersebut menyebabkan lemahnya kemampuan berbahasa Arab Fusoha di kalangan sebagian umat, terutama di Irak. Di sisi lain, kebutuhan akan ijtihad sangatlah mendesak karena semakin banyaknya masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi dan sangat diperlukan kejelasan hukum fiqhnya. Pada periode inilah, munculnya dua madrasah besar yang mencerminkan metode mereka dalam berijtihad: Madrasah ahli rayi di Irak dengan pusatnya di Bashrah dan Kufah Madarasah ahli hadits di Hijaz yang berpusat di Mekkah dan Madinah. Perbedaan mendasar dari kedua madrasah tersebut terletak pada banyaknya penggunaan hadits atau penganalogian dalam berijtihad. Madrasah ahlir-rayi lebih banyak menggunakan qiyas (analogi) dalam berijtihad, hal ini disebabkan oleh:
@ Sedikitnya jumlah hadits yang sampai ke ulama Irak dan ketatnya seleksi hadits yang mereka lakukan, hal ini dikarenakan banyaknya hadits-hadits palsu yang beredar di kalangan mereka, sehingga tidak mudah bagi mereka untuk menerima riwayat seseorang kecuali melalui proses seleksi yang sangat ketat. Di sisi lain masalah baru yang mereka hadapi semakin kompleks serta kebutuhan akan ijtihad kian mendesak, maka mau tidak mau, mereka hanya mampu mengandalkan qiyas (penganalogian) sebagai sarana dalam menetapkan hokum-hukum yang ada. Masalah-masalah baru ini muncul akibat peradaban dan sosial masyarakat Irak yang begitu beragam.
@ Pengaruh atas reaksi guru mereka, Abdullah bin Masud ra yang banyak menggunakan qiyas dalam berijtihad ketika menghadapi berbagai persoalan. Sedangkan ciri madrasah ahli hadits, mereka lebih berhati-hati dalam berfatwa menggunakan qiyas, karena setting dan latar sosial yang mereka hadapi berbeda pula, situasi tersebut didukung oleh faktor-faktor sebagai berikut:
* banyaknya hadits yang berada di tangan mereka dan sedikitnya kasus-kasus baru yang memerlukan ijtihad, * pengaruh pendidikan yang mereka peroleh dari guru mereka, seperti Abdullah bin Umar ra, dan Abdullah bin Amr bin Ash, yang sangat berhati-hati menggunakan logika dalam berfatwa. Jadi sudah barang tentu, jika perbedaan dari kedua madrasah diatas melahirkan perdebatan-perdebatan yang cukup sengit. Atas dasar inilah, para ulama terinspirasi dan dipandang perlu untuk membuat kaidah-kaidah (dowabith) tertulis yang dibukukan sebagai undang-undang bersama dalam menyatukan dua madrasah ini. Di antara ulama yang mempunyai perhatian terhadap masalah ini adalah Al-Imam Abdur Rahman bin Mahdi rahimahullah (135- 198 H). Beliau meminta kepada Al Imam Asy-Syafii rahimahullah (150-204 H) untuk menulis sebuah buku tentang prinsip-prinsip metode berfikir yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk berijtihad. Maka lahirlah kitab Ar-Risalah karya Imam Syafii sebagai kitab pertama dalam ushul fiqh. Hal ini tidak berarti, bahwa sebelum imam Syafii, prinsip prinsip ushul fiqh tidak ada sama sekali, tetapi ia sudah ada sejak masa ulama-ulama Hanafiyah, akan tetapi kaidah-kaidah itu belum disusun secara sistematis menjadi sebuah disiplin ilmu atau khazanah ilmu tersendiri dan masih berserakan pada kitab-kitab fiqh para ulama. Maka dari itu, Ar Risalah, kitab ushul fikih yang ditulis oleh imam Syafii ini pantas menjadi rujukan utama dan model teoritis bagi para ulama sesudahnya untuk mengembangkan dan menyempurnakan disiplin ilmu ushul fikih. Jika kita menengok sejarah ulama terdahulu, Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafii ra memang sangat pantas untuk memperoleh kemuliaan ini, karena beliau memiliki pengetahuan tentang madrasah ahlil-hadits dan madrasah ahlir-rayi. Beliau lahir di Ghaza, saat usianya genap dua tahun, ibunya membawa beliau bermusafir ke kota Mekkah untuk belajar dan menghafal al- Quran serta ilmu fiqh dari ulama Mekkah. Sejak kecil beliau sudah mendapat pendidikan bahasa dari perkampungan Huzail, salah satu kabilah yang terkenal dengan kefasihan berbahasa Arab. Pada usia 15 tahun beliau sudah diizinkan oleh Muslim bin Khalid Az-Zanjiy - salah seorang ulama Mekkah - untuk memberi fatwa. Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru kepada Imam penduduk Madinah, Imam Malik bin Anas ra (95-179 H) dalam selang waktu 9 tahun - meskipun tidak berturut-turut - beserta ulama-ulama lainnya, sehingga beliau memiliki pengetahuan yang cukup dalam ilmu hadits (kitab Muwattho) dan fiqh Madinah. Selang beberapa tahun kemudian, beliau pergi ke Irak untuk belajar metode fiqh Irak kepada Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani ra (wafat th 187 H), murid Imam Abu Hanifah An-Numan bin Tsabit ra (80-150 H). Dari latar belakangnya, kita melihat bahwa Imam Syafii memiliki sejumlah pengalaman dan kaya pengetahuan tentang kedua madrasah yang berbeda pendapat, sehingga beliau lah orang yang paling tepat untuk menjadi insan pertama yang menulis buku dalam ilmu ushul fikih. Selain Ar-Risalah, Imam Syafii juga memiliki karya lain dalam ilmu ushul, seperti: kitab Jimaul-ilmi, Ibthalul-istihsan, dan Ikhtilaful-hadits. Sampai alenia berikut, kita dapat menyimpulkan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan munculnya penulisan ilmu ushul fiqh: a) Munculnya banyak persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan memerlukan kejelasan hukum, sehingga kebutuhan akan ijtihad kian mendesak. Adanya perdebatan sengit antara madrasah Ahli Rayi di Irak dan madrasah Ahli Hadis di Hijaz. c) Mulai melemahnya kemampuan berbahasa Arab Fusoha di sebagian besar umat Islam akibat kolaborasi dengan bangsa lain, selain bangsa Arab. Sepeninggal Imam Syafii pembicaraan tentang ushul fiqh semakin menarik dan berkembang. Pada dasarnya ulama pengikut Imam mujtahid yang datang kemudian, mereka mengikuti dasar-dasar yang sudah disusun Imam Syafii, namun dalam pengembangannya terlihat adanya perbedaan arah yang akhirnya menyebabkan perbedaan dalam usul fiqh. Sebagian ulama yang kebanyakan Syafiiiayh (pengikut madzhab Syafii) mencoba mengembangkan ushul fiqh dengan beberapa cara, antara lain: mensyarahkan, memperrinci, dan menyabangkan pokok pemikiran Imam Syafii, sehingga ushul fiqh Syafiiyyah menemukan bentuknya yang sempurna. Sedangkan sebagian ulama yang lainnya hanya mengambil separuh dari pokok-pokok pedoman Imam Syafii, dan tidak mengikuti bagian lain yang bersifat rincian. Namun sebagian yang lain tersebut mereka tambahkan dengan hal-hal yang sudah prinsipil dari pemikiran para Imam atau guru yang mereka ikuti, seperti ulama Hanafiyah yang menambah pemikiran Syafii. Dari uraian diatas, dapat kita simpulkan bahwa para ulama pada periode Tabiu Tabiiin dalam menyusun disiplin ilmu yang sangat berharga ini terbagi menjadi tiga madzhab, yaitu:
a. Madzhab Mutakallimin Penamaan Ulama Mutakallimim atau ulama kalam tersebut dalam hal ini, karena para ulama kalam ini mengikutsertakan paham-paham teologi mereka dalam proses penyusunan ilmu ushul fiqh. Keistimewaan ulama ini dalam menyusun ilmu ushul fiqh adalah pembuktian terhadap kaidah-kaidah dan pembahasannya yang dilakukan secara logis dan rasional dengan didukung oleh bukti-bukti yang autentik. Mereka tidak hanya mengarahkan perhatiannya pada penerapan hukum yang telah ditetapkan oleh para imam mujtahid dan hubungan kaidah khilafiyah saja, melainkan semua hal yang rasional dengan didukung oleh bukti-bukti yang menjadi sumber hukum syara. Kebanyakan ulama yang ahli dalam aliran ini adalah dari golongan Syafiiyah dan Malikiyah. Sedangkan kitab-kitab ushul fiqh yang terkenal dalam aliran ini diantaranya:
1. Al-Mustashfa karangan Abu Hamid al-Ghazali al-Syafii (wafat 505 H) 2. Al-Ahkam karangan Abu Hasan al-Amidi al-Syafii (wafat 631 H) 3. Al-Minhaj karangan al-Baidhawi al-Syafii (wafat 685 H). Sedangkan kitab yang berisi penjelasan dan komentar yang terbaik adalah kitab Syarah al-Asnawi.
b. Madzhab Hanafiyah Ulama fuqaha yang paling banyak menggunakan metode ini adalah ulama kelompok Hanafiyah, karena itu metode ushul fiqh yang digunakan dalam aliran ini disebut aliran Hanafiyah. Para ulama di dalam aliran ini menetapkan kaidah-kaidah dan pembahasan ushul fiqh dengan menggunakan kaidah-kaidah yang telah digunakan oleh imam mereka, dengan tujuan untuk melestarikan atau membumikan karya-karya imam mereka. Oleh karena itu dalam kitab- kitab mereka banyak menyebutkan masalah-masalah khilafiyah. Perhatian mereka hanya tertuju pada penjabaran ushul fiqh imam-imam mereka terhadap masalah khilafiyah mereka sendiri. Namun kadangkala mereka juga memperhatikan kaidah-kaidah ushul fiqh dalam perkara-perkara yang sudah disepakati. Adapun kitab-kitab yang terkenal di dalam aliran ini antara lain:
1. Kitab Ushul karangan al-Karahki 2. Kitab al-Ushul karangan Abu Bakar al-Razi 3. Kitab Tasis al-Nadzar karangan al-Dabbusi 4. Al-Manar karangan al-Hafidz al-Nasafi (wafat 790 H).
c. Madzhab Pembaharu Ada sebagian ulama lain yang menyusun ilmu ushul fiqh dengan menggabungkan antara dua metode di atas. Maksudnya mereka mencoba memberikan bukti kaidah-kaidah ushul fiqh yang sekaligus membeberkan dalil-dalilnya dan menerapkan kaidah-kaidah itu terhadap masalah-masalah khilafiyah. Kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan gabungan dari kedua metode di atas antara lain adalah: 1. Kitab Badiun Nidham karangan Muzhaffaruddin al-Baghdadi al-Hanafi (wafat tahun 694 H). Kitab ini merupakan gabungan dari kitab karangan bazdawi dengan kitab al-Ahkam. 2. Kitab al-Taudhih li shadris Syariah dan kitab al-Tharir karangan Kamal bin Hamam 3. Kitab Jamul Jawami karangan Ibnus Subuki, beliau merupakan ulama dari madzhab syafii.
III. PENGARUH USHUL FIKIH DALAM MENGHADAPI MASALAH KONTMPORER Di Indonesia, sering sekali kita menemukan permasalahan yang sifatnya kontemporer. Dari permaslahan tersebut, tidak sedikit orang menilainya sebagai kegiatan yang haram dan bidah, sebagiannya lagi menyatakan itu halal, mubah dan tidak mengapa. Menyikapi permasalahan seperti ini berarti sejauh mana kita mampu mengaplikasikan ushul fikih dalam kehidupan modern ini. Jadi hakikat permaslahannya bukan terletak pada hukum masalah yang dikatakan orang pada masalh tersebut, tapi sudahkah ia menggunakan ushul fikih dalam menghukumi masalah tersebut. Di antara permasalahan kontemporer yang kita hadapi saat ini adalah: a. Di bidang ekonomi, Sesuai dengan perkembangan zaman, maka praktek ekonomi pun mengalami proses modernesasi. Dalam hal jual beli misalnya, saat ini orang sudah bertransaksi dengan menggunakan jasa internet. Padahal praktek semacam ini tidak ada di zaman Rosul. Lantas, apakah ini haram, bidah atau sah-sah saja?. Di sinilah power ushul fikih untuk mengungkap rahasia di balik hukum tersebut dibutuhkan. Dalam konteks seperti ini biasanya seorang akan menjustifikasi masalah tersebut dengan Qowaid Ushul Fikih yang menyatakan, Al-ashlu fil Ibadah Muharromah Illa wujida Nashun yadullu ala ijabiha aw istihbabiha, wal Ashlu fil Muamalah Mubahah illa wujida Nashun yadullu ala tahrimiha. b. Partai Politik Islam Yang terhangat saat ini, bahwa faham demokrasi yang dianut oleh Negara kita menyebabkan dinamika politik semakin merajalela. Berbagai kepentingan dan ideologi pun turut andil mewarnai baju demokrasi di negeri ini, termasuk di dalamnya kepentingan untuk menegakkan khilafah dalam pemerintahan Republik Indonesia. Berangakat dari kepentingan seperti ini, maka mau tidak mau mereka para politikus muslim membuat sebuah partai politik yang berideologikan Islam. Biasanya seorang mujtahid, ketika menghadapi konteks semacam ini, ia pasti menggunakan ushul fikih sebagai senjata ijtihad mereka. Misalnya mereka berdalih, Ma laa Yatimmul wajib Illa Bihi Fa Huwa Wajibun, argumennya, bahwa menegakkan khalifah islamiyah demi mewujudkan syarat Islam hukumnya wajib, maka berpartai politik untuk berangkat ke arah sana adalh wajib.
IV. PENUTUP Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah mengutus Rosul-Nya untuk menyampaikan risalah besar kepada umtnya. Jelas sudah, bahwa Ushul Fikih saat ini telah menjadi khazanah ilmu yang berdiri sendiri. Tentunya seorang mutaallim yang mujtahid dipandang perlu untuk mengkaji satu disiplin ilmu ini dengan baik. Bukan untuk mendapatkan gelar sebagai mujtahid masa kini atau insan cendikia, namun untuk menyelamatkan agamanya dari faham-faham sesat yang saat ini sedang melanda bangsa kita. Ironis, jika ada orang berfatwa masalah agama, namun ia sama sekali tidak memiliki keahlian dalam bidangnya. Akibatnya ia berfatwa dengan kebodohannya walhasil bukan kemaslahatan ujungnya namun kerusakan kian merajalela. Jika kita sadar, bahwa saat ini kitalah orang yang memegang amanat untuk menjaga agama ini, apa yang sudah kita perbuat unuk umat?. Dan ini nyata, sungguh keberadaan kita saat ini adalah nafar dari masarakat kita, masarakat yang percaya kepada kita bahwa kita adalah calon mujtahid yang akan mencadi media curahan umat tentang problematika yang sedang dihadapi. Sejarah ulama terdahulu telah mengetuk hati kita. Sudahkah kita bersungguh-sungguh mengkaji ilmu agama ini sebagaimana ulama terdahulu mengkajinya? Dan sudahkah kita berhati-hati dalam memfatwakan sesuatu seperti halnya ulama terdahulu melakukannya? Inilah pentingnya menelaah sejarah, agar kita sebagai mutaallim dapat mengambil hikmah untuk mengulang sejarah tanpa salah kaprah. Semoga Allah swt senantiasa mencurahkan hiyah-Nya kepada kita bersama. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta, 1992) Kholaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978, cet.12) Nashiruudin Albani, Adabu Zifaf Fi Sunnati Rosulilahi, (Riyadh: Maktabatul Maarif, 2002) Kholid Muhammad Kholid, Karakteristik Perhidup Enam Puluh Sahabat Rosulullah, (Bandung: cv. Diponegoro, 1999, cet.XV) Dream Soft CD, Maktabah Syamilah Tahqiqul wushul ila Ilmil Ushul (Egypt, 2004) Lajnah Fiqh Muqoron, Kitab Al-Jinayat, (Cairo: Maktabatul Azhar, 2006) Departemen Agama RI, Ushul Fiqh; Kitab lil Madrosah Al-Tsanawiyah Al-Hukumah, (Jakarta, 1998) Amir Syarifudin, Ushul Fiqh I, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997)
Para sahabat di zaman Rasulullah saw, apabila ingin mengistinbath (mengambil kesimpulan) hukum syari untuk diterapkan pada permasalahan yang baru muncul mereka melakukannya dengan merujuk ke sebuah kaidah ushuliyah yang telah melekat dan terpatri dalam diri mereka, mereka mengetahuinya dari nash-nash dan nilai-nilai syari juga dari sikap dan perilaku Rasulullah saw yang mereka alami dan saksikan sendiri. Terkadang mereka mengungkapkan kaidah yang mereka gunakan itu secara eksplisit pada masalah furu (cabang) tertentu. Seperti yang dilakukan Ibnu Umar r.a saat dia mendengar ada orang yang melarang tamattu dalam haji karena mengikuti perkataan Umar bin Khattab r.a, dia berkata pada orang tersebut, hampir saja turun hujan batu atas kalian, saya mengatakan, Rasulullah saw bersabda dan kalian berkata, Kata Abu Bakar dan Umar . Dalam hal ini Ibnu Umar ingin mengatakan bahwa tamattu hukumnya boleh -ini adalah hukum fariy (cabang)- dia membantah orang yang mengatakan tamattu hukumnya tidak boleh dengan suatu kaedah yang dia ungkapkan secara eksplisit bahwa Dalil dari sunnah nabawi harus didulukan dari perkataan sahabat, walaupun yang mengatakannya adalah salah satu dari syaikhain (dua syaikh besar) Abu Bakar dan Umar r.a Begitu pula perkataan Umar bin Khattab kepada Abu Musa Al Asyari r.a. saat dia menugaskannya sebagi Qhadi (hakim) Irif al asybaah wa al amtsaal wa qis al umur birayika (Kenali hal-hal yang serupa dan sama lalu qiyaskan dengan analisa kamu). Ini merupakan ungkapan yang eksplisit mengenai kaidah bolehnya melakukan qiyas yang merupkan masalah ushul. Di zaman tabiin dan sesudahnya semakin banyak kebutuhan untuk melakukan istinbath hukum karena masalah-masalah yang timbul akibat banyaknya negeri yang takluk dalam kekuasaan Islam saat itu. Banyak tabiin yang mengkhususkan diri dalam fatwa, maka merekapun dalam melakukan istinbath perlu melangkah di atas suatu kaidah yang metode yang definitif serta landasan yang jelas. Hanya saja ilmu ushul fiqih belum teridentifikasi dari ilmu-ilmu lainnya kecuali setelah Imam Syafi (pada tahun 204 H) permasalahan-permasalahan ushul dalam kitabnya yang dia namakan Ar Risalah. Beliau konsentrasikan kitab itu pada pembahasan; metode istinbath hukum dari Al Quran dan As Sunnah, pembahasan Ijma dan Qiyas, pembahasan tentang Nasikh dan Mansukh, Khaas dan Aam juga pembahasan mengenai mana hadits yang dapat dijadikan hujjah dan yang tidak. Imam Syafii kumpulkan semua ilmu yang membahas permasalahan yang sebenarnya telah menjadi momok di kalangan ulama sebelumnya itu dalam kitab Ar Risalahnya. Tentu beliau lakukan itu setelah mensortir mana yang tepat dan mana yang tidak. Beliau juga berikan komentar beliau terhadap pendapat dari ulama-ulama yang membahasnya sebelumnya di dalam kitabnya. Lalu dia susun kaidahkan ilmu-ilmu itu, beliau buat kerangka yang ulama-ulama sesudahnya mengikuti kerangka yang telah beliau letakkan. Kemudian setelah itu bermunculan tulisan-tulisan mengenai disiplin ilmu ini, lalu berkembanglah ilmu ushul. Hingga akhirnya berijtihad dan beristinbath dari suatu dalil menjadi mudah, karena hukum telah diklasifikasikan begitu pula dalil-dalilnya. Metode beristinbathpun menjadi jelas dan ada kaidahnya. Mudah untuk mengindetifikasi ijtihad yang menympang dan yang benar, karena ijtihad yang menyimpang merujuk kepada dalil yang telah dianlisa oleh ulama mengenai ketidak benaran dalil yang dipakainya itu sekaligus telah diterang mana letak kesalahannya. Semoga Allah merahmati Imam Syafii dengan rahmat yang luas dan berkenan menempatkannya di Surga yang luas. A. Sejarah Timbulnya Madzhab Dari fragmentasi sejarah, bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih pada periode ini merupakan puncak Dari perjalanan kesejarahan tasyri. Bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan karena pengaruh hokum romawi sebagaimana yang dituduhkan oleh para orientalis. Fenomena perkembangan tadyrik pada periode ini, seperti tumbuh suburnya kajian-kajian ilmiah, kebebasan berpendapat, banyaknya fatwa-fatwa dan kodifikasi ilmu, bahwa tasyri memiliki keterkaitan sejarah yang panjangdan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Munculnya madzhab dalam sejarah terlihat adanya pemikirah fiqih dari zaman sahabat, tabiin hingga muncul madzhab-madzhabfiqih pada periode ini. Seperti contoh hokum yang dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan Ali bin Abi Thalib ialah masa iddah wanita hamil yang ditinggalk mati oleh suaminya. Golongan sahabat berbeda pendapat dan mengikuti salah satu pendapat tersebut, sehingga munculnya madzhab-madzhab yang dianut. Di samping itu, adanya pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang hidup sebelumnya tentang timbulnya madzhab tasyri, ada beberapa faktor yang mendorong, diantaranya : 1. Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum islampun menghadapi berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya. 2. Muncunya ulama-ulama besar pendiri madzhab-madzhab fiqih berusaha menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikanpusat-pusat study tentang fiqih, yang diberi nama Al-Madzhab atau Al-Madrasah yang diterjemahkan oleh bangsa barat menjadi school, kemudian usaha tersebut dijadikan oleh murid-muridnya. 3. Adanya kecenderungan masyarakat islam ketika memilih salah satu pendapat dari ulama- ulama madzhab ketika menghadapi masalah hokum. Sehingga pemerintah (kholifah) merasa perlu menegakkan hokum islam dalam pemerintahannya. 4. Permasalahan politik, perbedaan pendapat di kalangan muslim awal trntang masalah politik seperti pengangkatan kholifah-kholifah dari suku apa, ikut memberikan saham bagi munculnya berbagai madzhab hukum islam.
B. Dasar Pemikiran dan perkembangan Madzhab hukum islam Berkembangnya dua aliran ijtihad rasionalisme dan tradisinalisme telah melahirkan madzhab-madzhab fiqih islam yang mempunyai metodologi kajian hukum serta fatwa-fatwa fiqih tersendiri, dan mempunyai pengikut dari berbagai laposan masyarakat. Dalam sejarah pengkajian hukum islam dikenal beberapa madzhab fiqih yang secara umum terbagi dua, yaitu madzhab sunni dan madzhab syii. Di kalangan Sunni terdapat beberapa madzhab, yaitu hanafi, maliki, syafii dan hambali. Sedangkan di kalangan syiah terdapat dua madzhab fiqih, yaitu Zaidiyah dan Jafariah. Namun yang masih berkembang kini hanyalah madzhab Jafariah dan Syiah Imamiyah. a. Madzhab-madzhab fiqih dari golongan Sunni 1. Madzhab Hanafi Madzhab ini didirikan oleh Abu Hanifah yang nama lengkapnya al-Numan ibn Tsabit ibn Zuthi (80-150 H). Ia dilahirkan di kufah, ia lahir pada zaman dinasti Umayyah tepatnya pada zamankekuasaan Abdul malik ibn Marwan. Pada awalnya Abu hanifah adalah seorang pedagang, atas anjuran al-Syabi ia kemudian menjadi pengembang ilmu. Abu Hanifah belajar fiqih kepada ulama aliran irak (rayu). Imam Abu Hanifah mengajak kepada kebebasan berfikir dalam memecahkan masalah-masalah baru yang belum terdapat dalam al-Quran dan al-Sunnah. Ia banyak mengandalkan qiyas (analogi) dalam menentukan hukum. Di bawah ini akan dipaparkan beberapa contoh ijtijad Abu Hanifah, diantaranya : o Bahwa perempuan boleh jadi hakim di pengadilan yang tugas khususnya menangani perkara perdata, bukan perkara pidana. Alasannya karena perempuan tidak boleh menjadi saksi pidana. Dengan demikian, metode ijtihad yang digunakan adalah qiyas dengan menjadikan kesaksian sebagai al-ashl dan menjadikan hukum perempuan senagai far. o Abu hanifah dan ulama kufah berpendapat bahwa sholat gerhana dilakukan dua rakaat sebagai mana sholat id tidak dilakukan dua kali ruku dalam satu rakaat. Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang luas ilmunya dan sempat pula menambah pengalaman dalam masalah politik, karena di masa hidupnya ia mengalami situasi perpindahan kekuasaan dari khlifah Bani Umayyah kepada khalifah Bani Abbasiyah, yang tentunya mengalami perubahan situasi yang sangat berbeda antarta kedua masa tersebut. Madzhab hanafi berkembang karena kegigihan murid-muridnya menyebarkan ke masyarakat luas, namun kadang-kadang ada pendapat murid yang bertentangan dengfan pendapat gurunya, maka itulah salah satu ciri khas fiqih Hanafiyah yang terkadang memuat bantahan gurunya terhadap ulama fiqih yang hidup di masanya. Ulama Hanafiyah menyusun kitab-kitab fiqih, diantaranya Jami al-Fushulai, Dlarar al-Hukkam, kitab al-Fiqh dan qawaid al-Fiqh, dan lain-lain. Dasar-dasar Madzhab Hanafi adalah : o Al-Quranul Karim o Sunnah Rosu dan atsar yang shahih lagi masyhur o Fatwa sahabat o Qiyas o Istihsan o Adat dan uruf masyarakat Murid imam Abu Hanifah yang terkenal dan yang meneruskan pemikiran- pemikirannya adalah : Imam Abu Yusuf al-An sharg, Imam Muhammad bin al-Hasan al- Syaibani, dll.
2. Madzhab Maliki Madzhab ini dibangun oleh Maliki bin Annas. Ia dilahirkan di madinah pada tahun 93 H. Imam Malik belajar qiraah kepada Nafi bin Abi Haim. Ia belajar hadits kepada ulama madinah seperti Ibn Syihab al-Zuhri. Karyanya yang terkenal adalah kitab al-Muwatta, sebuah kitab hadits bergaya fiqh. Inilah kitab tertua hadits dan fiqh tertua yang masih kita jumpai. Dia seorang Imam dalam ilmu hadits dan fiqih sekaligus. Orang sudah setuju atas keutamaan dan kepemimpinannya dalam dua ilmu ini. Dalam fatwqa hukumnya ia bersandar pada kitab Allah kemudian pada as-Sunnah. Tetapi beliau mendahulukan amalan penduduk madinah dari pada hadits ahad, dalam ini disebabkan karena beliau berpendirian pada penduduk madinah itu mewarisi dari sahabat. Setelah as-Sunnah, Malik kembali ke qiyas. Satu hal yang tidak diragukan lagi bahwa persoalan-persoalan dibina atas dasar mashutih mursalah. As-Ayafii menerima hadits darinya dan mahir ilmu fiqih kepadanya. Penduduk mesir, maghribi dan andalas banyak mendatangi kuliah-kuliahnya dan memperoleh manfaat besar darinya, serta menyebar luaskan di negeri mereka. Kitab al-Mudawwanah sebagai dasar fiqih madzhab Maliki dan sudah dicetak dua kali di mesir dan tersebar luas disana, demikian pula kitab al-Muwatta. Pembuatan undang-undang di mesir sudah memetik sebagian hukum dari madzhab Maliki untuk menjadi standar mahkamah sejarah mesir.
Dasar madzhab Maliki dalam menentukan hukum adalah : o Al-quran o Sunnah o Ijma ahli madinah o Qiyas o Istishab / al-Mashalih al-Mursalah
3. Madzhab Syafii Madzhab ini didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris al-Abbas. Madzhab fiqih as-Syafii merupakan perpaduan antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Ia terdiri dari dua pendapat, yaitu qaul qadim (pendapat lama) di irak dan qaul jadid di mesir. Madzhab Syafii terkenal sebagai madzhab yang paling hati-hati dalam menentukan hukum, karena kehati-hatian tersebut pendapatnya kurang terasa tegas. Syafii pernah belajar Ilmu Fiqh beserta kaidah-kaidah hukumnya di mesjid al- Haram dari dua orang mufti besar, yaitu Muslim bin Khalid dan Sufyan bin Umayyah sampai matang dalam ilmu fiqih. Al-Syafii mulai melakukan kajian hukum dan mengeluarkan fatwa-fatwa fiqih bahkan menyusun metodelogi kajian hukum yang cenderung memperkuat posisi tradisional serta mengkritik rasional, baik aliran madinah maupun kuffah. Dalam kontek fiqihnya syafii mengemukakan pemikiran bahwa hukum Islam bersumber pada al-Quran dan al-Sunnah serta Ijma dan apabila ketiganya belum memaparkan ketentuan hukum yang jelas, beliau mempelajari perkataan-perkataan sahabat dan baru yang terakhir melakukan qiyas dan istishab. Di antara buah pena/karya-karya Imam Syafii, yaitu : o Ar-Risalah : merupakan kitab ushul fiqih yang pertama kali disusun. Al-Umm : isinya tentang berbagai macam masalah fiqih berdasarkan pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam kitab ushul fiqih.
DAFTAR PUSTAKA Munim. A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam, Islamabat : Risalah Bush, 1995, hal. 76 Mahjuddin, Ilmu Fiqih, Jember : P.T. GBI Pasuruan, 1991, hal. 111 Fathurrahman, Djamail, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997, hal. 09 Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, hal. 71 Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta : PT Raya Grafindo Persada, 1996, hal. 105 AB, Wahhab, Khollaf, Khulashoh Tarikh tasyri Islam, Solo : CV. Ramadhani, 1991, hal. 89 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hal. 149