Anda di halaman 1dari 16

Ushul fiqh ada sejak fiqh ada.

Di mana ada fiqh, maka di sana wajib ada ushul fiqh,


ketentuan dan kaidahnya. Karena fiqh adalah hakikat yang dicari ilmu ushul fiqh. Sekalipun
keberadaannya bersamaan, fiqh lebih dulu dibukukan dari ushul fiqh. Dalam arti problematika,
kaidah dan bab-bab di dalamnya lebih dulu dibukukan, dipisah dan dibeda-bedakan. Hal ini tidak
berarti bahwa ushul fiqh tidak ada sebelum adanya fiqh atau sebelum dibukukan, atau bahwa
ulama fiqh tidak menggunakan kaidah dan metode yang tetap dalam mencetuskan hukum.
Karena faktanya, kaidah dan metode ushul fiqh sudah menyatu dalam jiwa para mujtahid.
Mereka telah bergumul dengannya sekalipun tidak terang-terangan. Maka saat sahabat sekaligus
ulama fiqh, Abdullah Ibnu Masud mengatakan bahwa, masa tunggu (iddah) wanita hamil yang
ditinggal mati suaminya adalah sampai dia melahirkan, maka beliau mendasarkan pendapatnya
pada firman Allah, dan (bagi) wanita-wanita hamil, (maka) waktu tunggunya adalah sampai
dia melahirkan (At-Thalaq: 4). Beliau mengambil dalil surat At-Thalaq karena ayat ini turun
setelah turunnya surat Al-Baqarah: 234, Orang-orang yang mati dan meninggalkan isteri, maka
mereka (isteri) harus menahan diri mereka selama empat bulan sepuluh hari. Dengan apa yang
dilakukan itu, berarti Abdullah bin Masud telah mengamalkan kaidah ushul fiqh, Nash yang
datang terakhir menggugurkan nash yang datang sebelumnya, sekalipun beliau tidak
menjelaskannya.
Pada umumnya, sesuatu itu ada, baru kemudian dibukukan. Pembukuan menerangkan
keberadaanya, bukan munculnya, seperti halnya dalam ilmu Nahwu (ilmu alat) dan Ilmu
Manthiq (ilmu logika). Orang arab selalu me-rafa-kan fail dan me-nashab-kan maful dalam
setiap percakapannya, maka berlakulah kaidah itu sebagai bagian dari kaidah ilmu nahwu,
sekalipun ilmu nahwu belum dibukukan. Orang berakal akan berdiskusi berdasarkan hal-hal
yang pasti kebenarannya (aksioma/al-badihi), sebelum ilmu mantiq dan kaidah-kaidahnya
dibukukan.
Dengan demikian, ushul fiqh adalah ilmu yang menyertai fiqh sejak munculnya, bahkan
ada sebelum fiqh. Sebab ushul fiqh adalah aturan pencetusan hukum dan ukuran pendapat, tetapi
saat itu belum dianggap perlu untuk membukukannya. Pada masa Nabi Muhammad SAW, tidak
perlu membahas kaidah ushul fiqh apalagi membukukannya, karena Nabi sendiri adalah tempat
rujukan fatwa dan hukum. Pada waktu itu tidak ada satu faktor apapun yang mengharuskan
ijtihad atau fiqh. Tidak ada ijtihad berarti tidak perlu metode dan kaidah pencetusan hukum.
Setelah Nabi SAW wafat, muncul banyak permasalahan baru yang hanya bisa
diselesaikan dengan ijtihad dan dicetuskan hukumnya dari Kitab (Al Quran) dan Sunnah. Akan
tetapi ulama fiqh dari kalangan sahabat belum merasa perlu untuk berbicara kaidah atau metode
dalam pengambilan dalil dan pencetusan hukum, karena mereka memahami bahasa arab dan
seluk-beluknya serta segi penunjukan kata dan kalimat pada makna yang dikandungnya. Mereka
mengetahui rahasia dan hikmah pensyariatan, sebab turunnya Al Quran dan datangnya sunnah.
Cara sahabat dalam mencetuskan hukum: ketika muncul sebuah permasalahan baru, mereka
mencari hikmahnya dalam Kitab, jika belum menemukan mereka mencarinya ke sunnah, jika
belum menemukan juga, mereka berijtihad dengan cahaya pengetahuan mereka tentang
maqashid as-syariah (tujuan pensyariatan) dan apa yang diisyaratkan oleh nash. Mereka tidak
menemui kesulitan dalam berijtihad dan tidak perlu membukukan kaidah-kaidahnya. Mereka
benar-benar dibantu oleh jiwa ke-faqihan yang mereka dapatkan setelah menemani dan
menyertai Nabi SAW sekian lama. Para sahabat memiliki keistimewaan berupa ingatan yang
tajam, jiwa yang bersih dan daya tangkap yang cepat.
Sampai masa sahabat lewat, kaidah ushul fiqh belum dibukukan, demikian pula pada
masa tabiin, mereka mengikuti cara sahabat dalam mencetuskan hukum. Tabiin tidak merasa
perlu membukukan kaidah pencetusan hukum, karena mereka hidup dekat dengan masa Nabi
dan telah belajar banyak dari sahabat.

Setelah lewat masa tabiin, kekuasaan Islam semakin meluas, permasalahan dan hal-hal baru
muncul, orang arab dan non arab bercampur sehingga bahasa arab tidak murni lagi, muncul
banyak ijtihad, mujtahid dan cara mereka dalam mencetuskan hukum, diskusi dan perdebatan
meluas, keraguan dan kebimbangan menjamur. Karena itulah ulama fiqh kemudian menganggap
perlu untuk meletakkan kaidah dan metode berijtihad, agar para mujtahid dapat menjadikannya
rujukan dan ukuran kebenaran saat terjadi perselisihan.

Kaidah-kaidah yang mereka letakkan adalah berlandaskan pada tata bahasa arab, tujuan dan
rahasia pensyariatan, maslahat (kebaikan), dan cara sahabat dalam pengambilan dalil. Dari
semua kaidah dan pembahasan itulah ilmu Ushul Fiqh muncul.

Ilmu ushul fiqh muncul dalam bentuk pembukuan- adalah sebagai konsekuensi dari banyaknya
kaidah yang muncul dalam perdebatan ulama ketika menjelaskan hukum, mereka menyebutkan
hukum, dalil dan segi penunjukan dalil. Perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh didukung
oleh kaidah ushul fiqh, masing-masing mereka mendasarkan pendapatnya pada kaidah ushul
untuk memperkuat analisis, meningkatkan pamor madzhab (aliran), dan menjelaskan rujukan
dalam ijtihad mereka.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa ulama yang pertama kali menulis tentang ushul fiqh
adalah Abu Yusuf, ulama pengikut madzhab Hanafiyah, akan tetapi kitab-kitabnya tidak pernah
kita temukan.

Sedangkan pendapat yang umum di kalangan ulama, bahwa ulama yang pertama kali
membukukan ilmu ushul fiqh adalah Imam Muhammad bin Idris As-Syafii (w. 204 H).
Imam Syafii menulis kitab Ar Risalah yang terkenal. Di dalamnya Syafii berbicara tentang Al
Quran, bagaimana Al Quran menjelaskan hukum, sunah menjelaskan Al Quran, Ijma dan Qiyas,
Nasikh dan Mansukh, Amar dan Nahi, berhujjah (berargumentasi) dengan hadits ahad, dan
bahasan ushul fiqh yang lain.

Syafii menulis Ar-Risalah dengan teliti, mendalam, setiap pendapatnya didasarkan dalil, dan
mendiskusikan pendapat yang berbeda secara ilmiah, sempurna dan mengagumkan.
Setelah Syafii, Ahmad bin Hanbal menulis kitab tentang taat kepada Rasulullah SAW, kedua
tentang nasikh dan mansukh dan ketiga tentang ilat. Setelah itu, para ulama berbondong-
bondong menulis, menyusun, memperluas dan menambah bahasan.

Read more: Sejarah Munculnya Ilmu Ushul Fiqh - IslamWiki
http://islamwiki.blogspot.com/2009/02/sejarah-munculnya-ilmu-ushul
fiqh.html#ixzz1XnPSsKgV
Under Creative Commons License: Attribution







USHUL FIQIH DARI WAKTU KE WAKTU


I. PENDAHULUAN
Sudah menjadi harga mati dalam wacana perdebatan di kalangan para ulama muslim,
bahwa setiap aktifitas hidup manusia dari mulai perkataannya sampai kepada perbuatannya, baik
dari aspek ibadahnya atapun muamalatnya bahwa dalam perspektif syariat Islam pasti memiliki
sebuah hukum. Dari hukum-hukum tersebut, sebagiannya telah dijelaskan oleh nash-nash yang
termaktub dalam al-Quran dan Sunnah-Sunah Rosulullah saw, dan sebagiannya lagi tidak
dijelaskan oleh nash-nash tersebut. Akan tetapi syariat tidak berhenti sampai disini saja, ia
memberikan celah, indikasi, dan ciri atas hukum yang tidak memilki nash tersebut, sehingga
dengan ciri-ciri yang ada, para mujtahid mampu berijtihad untuk menjawab hukum-hukum yang
belum jelas tersebut.
Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa betapa pentingnya ilmu metodologi (ushul
fikih) dalam menentukan hukum-hukum syara yang berkaitan dengan aktifitas manusia (fikih),
sehingga seorang mujtahid dapat menyimpulkan hukum-hukum tersebut seperti yang
dikehendaki Allah Swt, baik dalam masalah aqidah, ibadah, muamalah, uqubah dan lain
sebagainya.
Dalam risalah ini, sengaja penulis mengusung sebuah judul USHUL FIKIH DARI
WAKTU KE WAKTU yang membahas sejarah pertumbuhan dan perkembangan ushul fikih,
sekaligus sejauh mana power ushul fikih dalam menjawab dinamika permasalahan umat yang
kian kompleks dan kontemporer. Besar harapan penulis, agar apa yang tercantum dalam risalah
ini dapat menjadi bahan masukan bagi kita semua, bahwa mutaallim yang baik adalah
mutaallim yang tidak pernah melupakan sejarah ilmu yang digelutinya. Ia menjadikan sejarah
sebagai media pemberi hikmah, bekal untuk melangkah ke arah yang lebih berkah. Amiin.
Tentunya, untuk menyatukan berbagai kepentingan kita menjadi satu visi diatas, kita perlu
meluruskan niat karena Allah dalam mengawali proses pembelajaran ini.

II. SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQIH
Pada hakikatnya, hukum fikih telah ada semenjak adanya Islam. Ia tumbuh seiring
dengan tumbuhnya Islam. Karena Islam adalah agama yang berisikan ajaran aqidah, akhlaq, dan
hukum-hukum amali. Namun dalam istilah penamaan ilmu-ilmu tersebut menjadi ilmu fikih dan
ilmu ushul fikih memang belum ada saat itu.
Dari beberapa sumber rujukan yang dikaji penulis sebagai bahan acuan pembuatan
makalah ini, penulis berdasarkan perspektifnya, mengkalsifikasikan proses perkembangan Ushul
Fiqh menjadi tiga periode;


a. Periode Muhammad SAW
Di masa Rasulullah saw hidup, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu
dalam memahami hukum-hukum syari, semua permasalahan yang ada saat itu dapat langsung
merujuk kepada Rasulullah saw, melalui penjelasan beliau terhadap interpretasi al-Quran, atau
melalui sunnahnya.
Sebagai contoh, Ali bin Abi Tholib pernah mengadu kepada Rosul tentang masalah
madzi yang dialaminya. Dalam sebuah hadis dijelaskan;
Dari Ali bin Abi Tholib ra berkata, Aku adalah laki-laki yang sering mengeluarkan madzi, tapi
saya malu untuk mengungkapkan masalah ini kepada Rosul, karena putrinya adalah istriku.
Maka aku menyuruh Miqdad ibn Al-Aswad untuk menanyakannya kepada Rosul, maka
Rosulpun menjawab permasalahan tersebut, basuhlah kemaluannya dan hendaklah berwudu.
(HR Bukhori Muslim/ Kitab Taisirul Allam volume I)
Contoh lain dari peristiwa Sahabat berinterkasi dengan turunnya al-Quran, dari Jabir ra,
bahwasanya ia mengadu kepada Rosul tentang perkataan seorang Yahudi, apabila seorang
suami bergaul dengan istrinya dari arah belakang (tapi tetap ke dalam farj istri) maka anak yang
dilahirkannya akan cacat. Maka turunlah ayat:
p)4 +L O) UuC4O Og)`
4L^EO4^ _O>4N 4^gl4N W-O>
E4OOOO) }g)` g)-uVg)`
W-ONNu1-4 747.-EE_7- }g)` p1
*.- ]) +L7 4-g~g= ^g@
Artinya: isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah
tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal
yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (QS al-Baqoroh-223)
Dalam periode ini, Para sahabat ra dapat menyaksikan sekaligus berinteraksi langsung
dengan turunnya al-Quran (asbabun Nuzul Quran) dan mengetahui dengan baik sunnah
Rasulullah saw (asbab wurudul hadis). Oleh karena itu periode ini sering disebut sebagai periode
wahyu.
Walaupun demikian, indikator keberadaan ushul fikih dapat kita lihat di kalangan para
sahabat bahkan ketika Rosul masih hidup. Hal ini berdasarkan hadis yang meriwayatkan bahwa
Rosul pernah bertanya kepada Muadz bin Jabal ketika Beliau hendak mengutusnya ke Yaman.
Apa yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Muadz? Kitabullah, ujar
Muadz. Lalu, bagaimana jika kamu tidak mendapatinya dalam Kitabullah?, tanya Rosullah
pula, Saya akan hukumi permasalahan tersebut dengan sunnahmu ya Rosul ujar Muadz. Tapi
bagaimana jika kamu tidak temui juga dalam sunnahku?, tanya Rosul kembali. Muadz pun
menjawab, saya akan pergunakan fikiranku untuk berijtihad, dan saya tak kan berlaku sia-sia.
Maka berseri-serilah wajah Rosul seraya berkata, Segala puji bagi Allah yang telah memberi
taufiq kepada utusan Rosul sebagaimana yang diridoi oleh Rosulullah.
Adapun rujukan hukum-hukum fikih pada periode ini hanyalah bersumber dari al-Quran
dan Rosulullah saja. Dengan demikian para sahabat tidak membutuhkan lagi kaidah-kaidah
(perangkat teori) untuk berijtihad, meskipun kaidah-kaidah tidak tertulis sudah ada dalam dada-
dada mereka.


b. Periode Sahabat
Setelah Nabi Muhammad saw wafat, periode selanjutnya adalah periode sahabat. Pada
periode ini, mereka dihadapkan dengan masalah-masalah baru, permasalahan yang belum pernah
mereka temukan ketika Rosul masih hidup. Untuk menjawab permaslahan baru tersebut, mereka
(sahabat yang ahli ijtihad) berijtihad untuk memutuskan, memfatwakan, dan menentukan hukum-
hukum yang baru muncul.
Dari sinilah, bahwa perumusan fikih sudah mulai nampak. Dan pada saat proses
perumusan fikih ini dipraktekan, maka pada saat itulah pemikiran ushul fikih sudah mulai
diimplementasikan oleh para sahabat. Diantaranya adalah; Umar bin Khottob dan Ali bin Abi
Tholib. Kendati mereka sudah menggunakan aturan dan pedoman dalam menentukan sebuah
hukum dengan baik, tapi sayangnya mereka belum merumuskan metodologi (kaidah-kaidah)
penentuan hukum tersebut secara jelas.
Sebagai contoh dari kasus penentuan hukum baru yang dilakukan sahabat Ali ra, sewaktu
beliau menetapkan hukum cambuk sebanyak 80 kali terhadap peminum khomr (arak), beliau
berkata, Bila ia minum, ia akan mabuk, dan bila ia mabuk, ia akan menuduh orang berbuat zina.
Maka kepadanya dikenakan sanksi tuduhan berzina. Dari pernyataan Ali tersebut, ternyata
beliau sudah menggunakan kaidah ushul, yaitu menutup pintu kejahatan yang akan timbul atau
Sad al-Dzariah.
Dari contoh di atas, setidaknya para sahabat sudah mampu memberi gambaran kepada
kita bahwa mereka dalam melakukan ijtihadnya telah menerapkan kaidah atau metode tertentu,
hanya saja kaidah tersebut belum dirumuskan dengan jelas.
Dengan demikian jelas sudah, bahwa sumber-sumber hukum fikih saat itu adalah; al-
Quran, sunnah Rosul, serta Ijtihad para sahabat. Dan pada masa itu pula hukum-hukum fiqih
belum dirumuskan secara sistematis, sehingga penamaan label ilmu fikih untuk hukum-hukum
yang telah diputuskan belum ada, dan pengistilahan title Fuqoha bagi para sahabat (ahli ijtihad)
pun belum terasa adanya.

c. Periode Tabiin dan Pengikut Tabiin
Setelah meluasnya futuhat daulah islamiyah (abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah), umat Islam
Arab banyak berinteraksi dan berkolaborasi dengan bangsa-bangsa lain (selain bangsa ara
yang berbeda bahasa dan berbeda pula latar belakang peradabannya, perbauran tersebut
menyebabkan lemahnya kemampuan berbahasa Arab Fusoha di kalangan sebagian umat,
terutama di Irak. Di sisi lain, kebutuhan akan ijtihad sangatlah mendesak karena semakin
banyaknya masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi dan sangat diperlukan kejelasan
hukum fiqhnya.
Pada periode inilah, munculnya dua madrasah besar yang mencerminkan metode mereka
dalam berijtihad:
Madrasah ahli rayi di Irak dengan pusatnya di Bashrah dan Kufah
Madarasah ahli hadits di Hijaz yang berpusat di Mekkah dan Madinah.
Perbedaan mendasar dari kedua madrasah tersebut terletak pada banyaknya penggunaan
hadits atau penganalogian dalam berijtihad. Madrasah ahlir-rayi lebih banyak menggunakan
qiyas (analogi) dalam berijtihad, hal ini disebabkan oleh:

@ Sedikitnya jumlah hadits yang sampai ke ulama Irak dan ketatnya seleksi hadits yang
mereka lakukan, hal ini dikarenakan banyaknya hadits-hadits palsu yang beredar di kalangan
mereka, sehingga tidak mudah bagi mereka untuk menerima riwayat seseorang kecuali melalui
proses seleksi yang sangat ketat. Di sisi lain masalah baru yang mereka hadapi semakin
kompleks serta kebutuhan akan ijtihad kian mendesak, maka mau tidak mau, mereka hanya
mampu mengandalkan qiyas (penganalogian) sebagai sarana dalam menetapkan hokum-hukum
yang ada. Masalah-masalah baru ini muncul akibat peradaban dan sosial masyarakat Irak yang
begitu beragam.

@ Pengaruh atas reaksi guru mereka, Abdullah bin Masud ra yang banyak menggunakan
qiyas dalam berijtihad ketika menghadapi berbagai persoalan.
Sedangkan ciri madrasah ahli hadits, mereka lebih berhati-hati dalam berfatwa
menggunakan qiyas, karena setting dan latar sosial yang mereka hadapi berbeda pula, situasi
tersebut didukung oleh faktor-faktor sebagai berikut:

* banyaknya hadits yang berada di tangan mereka dan sedikitnya kasus-kasus baru yang
memerlukan ijtihad,
* pengaruh pendidikan yang mereka peroleh dari guru mereka, seperti Abdullah bin Umar
ra, dan Abdullah bin Amr bin Ash, yang sangat berhati-hati menggunakan logika dalam
berfatwa.
Jadi sudah barang tentu, jika perbedaan dari kedua madrasah diatas melahirkan
perdebatan-perdebatan yang cukup sengit. Atas dasar inilah, para ulama terinspirasi dan
dipandang perlu untuk membuat kaidah-kaidah (dowabith) tertulis yang dibukukan sebagai
undang-undang bersama dalam menyatukan dua madrasah ini. Di antara ulama yang mempunyai
perhatian terhadap masalah ini adalah Al-Imam Abdur Rahman bin Mahdi rahimahullah (135-
198 H). Beliau meminta kepada Al Imam Asy-Syafii rahimahullah (150-204 H) untuk menulis
sebuah buku tentang prinsip-prinsip metode berfikir yang dapat digunakan sebagai pedoman
untuk berijtihad. Maka lahirlah kitab Ar-Risalah karya Imam Syafii sebagai kitab pertama
dalam ushul fiqh.
Hal ini tidak berarti, bahwa sebelum imam Syafii, prinsip prinsip ushul fiqh tidak ada
sama sekali, tetapi ia sudah ada sejak masa ulama-ulama Hanafiyah, akan tetapi kaidah-kaidah
itu belum disusun secara sistematis menjadi sebuah disiplin ilmu atau khazanah ilmu tersendiri
dan masih berserakan pada kitab-kitab fiqh para ulama. Maka dari itu, Ar Risalah, kitab ushul
fikih yang ditulis oleh imam Syafii ini pantas menjadi rujukan utama dan model teoritis bagi para
ulama sesudahnya untuk mengembangkan dan menyempurnakan disiplin ilmu ushul fikih.
Jika kita menengok sejarah ulama terdahulu, Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafii ra
memang sangat pantas untuk memperoleh kemuliaan ini, karena beliau memiliki pengetahuan
tentang madrasah ahlil-hadits dan madrasah ahlir-rayi. Beliau lahir di Ghaza, saat usianya genap
dua tahun, ibunya membawa beliau bermusafir ke kota Mekkah untuk belajar dan menghafal al-
Quran serta ilmu fiqh dari ulama Mekkah. Sejak kecil beliau sudah mendapat pendidikan bahasa
dari perkampungan Huzail, salah satu kabilah yang terkenal dengan kefasihan berbahasa Arab.
Pada usia 15 tahun beliau sudah diizinkan oleh Muslim bin Khalid Az-Zanjiy - salah seorang
ulama Mekkah - untuk memberi fatwa.
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru kepada Imam penduduk Madinah, Imam
Malik bin Anas ra (95-179 H) dalam selang waktu 9 tahun - meskipun tidak berturut-turut -
beserta ulama-ulama lainnya, sehingga beliau memiliki pengetahuan yang cukup dalam ilmu
hadits (kitab Muwattho) dan fiqh Madinah. Selang beberapa tahun kemudian, beliau pergi ke
Irak untuk belajar metode fiqh Irak kepada Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani ra (wafat th 187
H), murid Imam Abu Hanifah An-Numan bin Tsabit ra (80-150 H).
Dari latar belakangnya, kita melihat bahwa Imam Syafii memiliki sejumlah pengalaman
dan kaya pengetahuan tentang kedua madrasah yang berbeda pendapat, sehingga beliau lah
orang yang paling tepat untuk menjadi insan pertama yang menulis buku dalam ilmu ushul fikih.
Selain Ar-Risalah, Imam Syafii juga memiliki karya lain dalam ilmu ushul, seperti: kitab
Jimaul-ilmi, Ibthalul-istihsan, dan Ikhtilaful-hadits.
Sampai alenia berikut, kita dapat menyimpulkan bahwa ada tiga faktor yang
menyebabkan munculnya penulisan ilmu ushul fiqh:
a) Munculnya banyak persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan
memerlukan kejelasan hukum, sehingga kebutuhan akan ijtihad kian mendesak.
Adanya perdebatan sengit antara madrasah Ahli Rayi di Irak dan madrasah Ahli Hadis di
Hijaz.
c) Mulai melemahnya kemampuan berbahasa Arab Fusoha di sebagian besar umat Islam
akibat kolaborasi dengan bangsa lain, selain bangsa Arab.
Sepeninggal Imam Syafii pembicaraan tentang ushul fiqh semakin menarik dan
berkembang. Pada dasarnya ulama pengikut Imam mujtahid yang datang kemudian, mereka
mengikuti dasar-dasar yang sudah disusun Imam Syafii, namun dalam pengembangannya
terlihat adanya perbedaan arah yang akhirnya menyebabkan perbedaan dalam usul fiqh.
Sebagian ulama yang kebanyakan Syafiiiayh (pengikut madzhab Syafii) mencoba
mengembangkan ushul fiqh dengan beberapa cara, antara lain: mensyarahkan, memperrinci, dan
menyabangkan pokok pemikiran Imam Syafii, sehingga ushul fiqh Syafiiyyah menemukan
bentuknya yang sempurna.
Sedangkan sebagian ulama yang lainnya hanya mengambil separuh dari pokok-pokok
pedoman Imam Syafii, dan tidak mengikuti bagian lain yang bersifat rincian. Namun sebagian
yang lain tersebut mereka tambahkan dengan hal-hal yang sudah prinsipil dari pemikiran para
Imam atau guru yang mereka ikuti, seperti ulama Hanafiyah yang menambah pemikiran Syafii.
Dari uraian diatas, dapat kita simpulkan bahwa para ulama pada periode Tabiu Tabiiin dalam
menyusun disiplin ilmu yang sangat berharga ini terbagi menjadi tiga madzhab, yaitu:

a. Madzhab Mutakallimin
Penamaan Ulama Mutakallimim atau ulama kalam tersebut dalam hal ini, karena para
ulama kalam ini mengikutsertakan paham-paham teologi mereka dalam proses penyusunan ilmu
ushul fiqh. Keistimewaan ulama ini dalam menyusun ilmu ushul fiqh adalah pembuktian
terhadap kaidah-kaidah dan pembahasannya yang dilakukan secara logis dan rasional dengan
didukung oleh bukti-bukti yang autentik.
Mereka tidak hanya mengarahkan perhatiannya pada penerapan hukum yang telah
ditetapkan oleh para imam mujtahid dan hubungan kaidah khilafiyah saja, melainkan semua hal
yang rasional dengan didukung oleh bukti-bukti yang menjadi sumber hukum syara.
Kebanyakan ulama yang ahli dalam aliran ini adalah dari golongan Syafiiyah dan Malikiyah.
Sedangkan kitab-kitab ushul fiqh yang terkenal dalam aliran ini diantaranya:

1. Al-Mustashfa karangan Abu Hamid al-Ghazali al-Syafii (wafat 505 H)
2. Al-Ahkam karangan Abu Hasan al-Amidi al-Syafii (wafat 631 H)
3. Al-Minhaj karangan al-Baidhawi al-Syafii (wafat 685 H). Sedangkan kitab yang berisi
penjelasan dan komentar yang terbaik adalah kitab Syarah al-Asnawi.

b. Madzhab Hanafiyah
Ulama fuqaha yang paling banyak menggunakan metode ini adalah ulama kelompok
Hanafiyah, karena itu metode ushul fiqh yang digunakan dalam aliran ini disebut aliran
Hanafiyah.
Para ulama di dalam aliran ini menetapkan kaidah-kaidah dan pembahasan ushul fiqh
dengan menggunakan kaidah-kaidah yang telah digunakan oleh imam mereka, dengan tujuan
untuk melestarikan atau membumikan karya-karya imam mereka. Oleh karena itu dalam kitab-
kitab mereka banyak menyebutkan masalah-masalah khilafiyah. Perhatian mereka hanya tertuju
pada penjabaran ushul fiqh imam-imam mereka terhadap masalah khilafiyah mereka sendiri.
Namun kadangkala mereka juga memperhatikan kaidah-kaidah ushul fiqh dalam perkara-perkara
yang sudah disepakati. Adapun kitab-kitab yang terkenal di dalam aliran ini antara lain:

1. Kitab Ushul karangan al-Karahki
2. Kitab al-Ushul karangan Abu Bakar al-Razi
3. Kitab Tasis al-Nadzar karangan al-Dabbusi
4. Al-Manar karangan al-Hafidz al-Nasafi (wafat 790 H).

c. Madzhab Pembaharu
Ada sebagian ulama lain yang menyusun ilmu ushul fiqh dengan menggabungkan antara
dua metode di atas. Maksudnya mereka mencoba memberikan bukti kaidah-kaidah ushul fiqh
yang sekaligus membeberkan dalil-dalilnya dan menerapkan kaidah-kaidah itu terhadap
masalah-masalah khilafiyah.
Kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan gabungan dari kedua metode di atas antara lain
adalah:
1. Kitab Badiun Nidham karangan Muzhaffaruddin al-Baghdadi al-Hanafi (wafat tahun
694 H). Kitab ini merupakan gabungan dari kitab karangan bazdawi dengan kitab al-Ahkam.
2. Kitab al-Taudhih li shadris Syariah dan kitab al-Tharir karangan Kamal bin Hamam
3. Kitab Jamul Jawami karangan Ibnus Subuki, beliau merupakan ulama dari madzhab
syafii.

III. PENGARUH USHUL FIKIH DALAM MENGHADAPI MASALAH KONTMPORER
Di Indonesia, sering sekali kita menemukan permasalahan yang sifatnya kontemporer.
Dari permaslahan tersebut, tidak sedikit orang menilainya sebagai kegiatan yang haram dan
bidah, sebagiannya lagi menyatakan itu halal, mubah dan tidak mengapa. Menyikapi
permasalahan seperti ini berarti sejauh mana kita mampu mengaplikasikan ushul fikih dalam
kehidupan modern ini. Jadi hakikat permaslahannya bukan terletak pada hukum masalah yang
dikatakan orang pada masalh tersebut, tapi sudahkah ia menggunakan ushul fikih dalam
menghukumi masalah tersebut.
Di antara permasalahan kontemporer yang kita hadapi saat ini adalah:
a. Di bidang ekonomi,
Sesuai dengan perkembangan zaman, maka praktek ekonomi pun mengalami proses
modernesasi. Dalam hal jual beli misalnya, saat ini orang sudah bertransaksi dengan
menggunakan jasa internet. Padahal praktek semacam ini tidak ada di zaman Rosul. Lantas,
apakah ini haram, bidah atau sah-sah saja?. Di sinilah power ushul fikih untuk mengungkap
rahasia di balik hukum tersebut dibutuhkan. Dalam konteks seperti ini biasanya seorang akan
menjustifikasi masalah tersebut dengan Qowaid Ushul Fikih yang menyatakan, Al-ashlu fil
Ibadah Muharromah Illa wujida Nashun yadullu ala ijabiha aw istihbabiha, wal Ashlu fil
Muamalah Mubahah illa wujida Nashun yadullu ala tahrimiha.
b. Partai Politik Islam
Yang terhangat saat ini, bahwa faham demokrasi yang dianut oleh Negara kita
menyebabkan dinamika politik semakin merajalela. Berbagai kepentingan dan ideologi pun turut
andil mewarnai baju demokrasi di negeri ini, termasuk di dalamnya kepentingan untuk
menegakkan khilafah dalam pemerintahan Republik Indonesia. Berangakat dari kepentingan
seperti ini, maka mau tidak mau mereka para politikus muslim membuat sebuah partai politik
yang berideologikan Islam. Biasanya seorang mujtahid, ketika menghadapi konteks semacam ini,
ia pasti menggunakan ushul fikih sebagai senjata ijtihad mereka. Misalnya mereka berdalih, Ma
laa Yatimmul wajib Illa Bihi Fa Huwa Wajibun, argumennya, bahwa menegakkan khalifah
islamiyah demi mewujudkan syarat Islam hukumnya wajib, maka berpartai politik untuk
berangkat ke arah sana adalh wajib.

IV. PENUTUP
Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah mengutus Rosul-Nya untuk menyampaikan
risalah besar kepada umtnya. Jelas sudah, bahwa Ushul Fikih saat ini telah menjadi khazanah
ilmu yang berdiri sendiri. Tentunya seorang mutaallim yang mujtahid dipandang perlu untuk
mengkaji satu disiplin ilmu ini dengan baik. Bukan untuk mendapatkan gelar sebagai mujtahid
masa kini atau insan cendikia, namun untuk menyelamatkan agamanya dari faham-faham sesat
yang saat ini sedang melanda bangsa kita.
Ironis, jika ada orang berfatwa masalah agama, namun ia sama sekali tidak memiliki
keahlian dalam bidangnya. Akibatnya ia berfatwa dengan kebodohannya walhasil bukan
kemaslahatan ujungnya namun kerusakan kian merajalela.
Jika kita sadar, bahwa saat ini kitalah orang yang memegang amanat untuk menjaga
agama ini, apa yang sudah kita perbuat unuk umat?. Dan ini nyata, sungguh keberadaan kita saat
ini adalah nafar dari masarakat kita, masarakat yang percaya kepada kita bahwa kita adalah calon
mujtahid yang akan mencadi media curahan umat tentang problematika yang sedang dihadapi.
Sejarah ulama terdahulu telah mengetuk hati kita. Sudahkah kita bersungguh-sungguh mengkaji
ilmu agama ini sebagaimana ulama terdahulu mengkajinya? Dan sudahkah kita berhati-hati
dalam memfatwakan sesuatu seperti halnya ulama terdahulu melakukannya?
Inilah pentingnya menelaah sejarah, agar kita sebagai mutaallim dapat mengambil
hikmah untuk mengulang sejarah tanpa salah kaprah. Semoga Allah swt senantiasa mencurahkan
hiyah-Nya kepada kita bersama. Amiin.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta, 1992)
Kholaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978, cet.12)
Nashiruudin Albani, Adabu Zifaf Fi Sunnati Rosulilahi, (Riyadh: Maktabatul Maarif, 2002)
Kholid Muhammad Kholid, Karakteristik Perhidup Enam Puluh Sahabat Rosulullah, (Bandung:
cv. Diponegoro, 1999, cet.XV)
Dream Soft CD, Maktabah Syamilah Tahqiqul wushul ila Ilmil Ushul (Egypt, 2004)
Lajnah Fiqh Muqoron, Kitab Al-Jinayat, (Cairo: Maktabatul Azhar, 2006)
Departemen Agama RI, Ushul Fiqh; Kitab lil Madrosah Al-Tsanawiyah Al-Hukumah, (Jakarta,
1998)
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh I, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997)


















Para sahabat di zaman Rasulullah saw, apabila ingin mengistinbath (mengambil
kesimpulan) hukum syari untuk diterapkan pada permasalahan yang baru muncul mereka
melakukannya dengan merujuk ke sebuah kaidah ushuliyah yang telah melekat dan terpatri
dalam diri mereka, mereka mengetahuinya dari nash-nash dan nilai-nilai syari juga dari sikap
dan perilaku Rasulullah saw yang mereka alami dan saksikan sendiri.
Terkadang mereka mengungkapkan kaidah yang mereka gunakan itu secara eksplisit
pada masalah furu (cabang) tertentu. Seperti yang dilakukan Ibnu Umar r.a saat dia mendengar
ada orang yang melarang tamattu dalam haji karena mengikuti perkataan Umar bin Khattab r.a,
dia berkata pada orang tersebut, hampir saja turun hujan batu atas kalian, saya mengatakan,
Rasulullah saw bersabda dan kalian berkata, Kata Abu Bakar dan Umar .
Dalam hal ini Ibnu Umar ingin mengatakan bahwa tamattu hukumnya boleh -ini adalah
hukum fariy (cabang)- dia membantah orang yang mengatakan tamattu hukumnya tidak boleh
dengan suatu kaedah yang dia ungkapkan secara eksplisit bahwa Dalil dari sunnah nabawi
harus didulukan dari perkataan sahabat, walaupun yang mengatakannya adalah salah satu dari
syaikhain (dua syaikh besar) Abu Bakar dan Umar r.a
Begitu pula perkataan Umar bin Khattab kepada Abu Musa Al Asyari r.a. saat dia
menugaskannya sebagi Qhadi (hakim) Irif al asybaah wa al amtsaal wa qis al umur birayika
(Kenali hal-hal yang serupa dan sama lalu qiyaskan dengan analisa kamu).
Ini merupakan ungkapan yang eksplisit mengenai kaidah bolehnya melakukan qiyas yang
merupkan masalah ushul.
Di zaman tabiin dan sesudahnya semakin banyak kebutuhan untuk melakukan istinbath hukum
karena masalah-masalah yang timbul akibat banyaknya negeri yang takluk dalam kekuasaan
Islam saat itu.
Banyak tabiin yang mengkhususkan diri dalam fatwa, maka merekapun dalam
melakukan istinbath perlu melangkah di atas suatu kaidah yang metode yang definitif serta
landasan yang jelas.
Hanya saja ilmu ushul fiqih belum teridentifikasi dari ilmu-ilmu lainnya kecuali setelah
Imam Syafi (pada tahun 204 H) permasalahan-permasalahan ushul dalam kitabnya yang dia
namakan Ar Risalah. Beliau konsentrasikan kitab itu pada pembahasan; metode istinbath
hukum dari Al Quran dan As Sunnah, pembahasan Ijma dan Qiyas, pembahasan tentang Nasikh
dan Mansukh, Khaas dan Aam juga pembahasan mengenai mana hadits yang dapat dijadikan
hujjah dan yang tidak.
Imam Syafii kumpulkan semua ilmu yang membahas permasalahan yang sebenarnya
telah menjadi momok di kalangan ulama sebelumnya itu dalam kitab Ar Risalahnya. Tentu
beliau lakukan itu setelah mensortir mana yang tepat dan mana yang tidak. Beliau juga berikan
komentar beliau terhadap pendapat dari ulama-ulama yang membahasnya sebelumnya di dalam
kitabnya.
Lalu dia susun kaidahkan ilmu-ilmu itu, beliau buat kerangka yang ulama-ulama
sesudahnya mengikuti kerangka yang telah beliau letakkan. Kemudian setelah itu bermunculan
tulisan-tulisan mengenai disiplin ilmu ini, lalu berkembanglah ilmu ushul. Hingga akhirnya
berijtihad dan beristinbath dari suatu dalil menjadi mudah, karena hukum telah diklasifikasikan
begitu pula dalil-dalilnya. Metode beristinbathpun menjadi jelas dan ada kaidahnya. Mudah
untuk mengindetifikasi ijtihad yang menympang dan yang benar, karena ijtihad yang
menyimpang merujuk kepada dalil yang telah dianlisa oleh ulama mengenai ketidak benaran
dalil yang dipakainya itu sekaligus telah diterang mana letak kesalahannya.
Semoga Allah merahmati Imam Syafii dengan rahmat yang luas dan berkenan
menempatkannya di Surga yang luas.
A. Sejarah Timbulnya Madzhab
Dari fragmentasi sejarah, bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih pada periode ini
merupakan puncak Dari perjalanan kesejarahan tasyri. Bahwa munculnya madzhab-madzhab
fiqih itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan karena pengaruh hokum romawi
sebagaimana yang dituduhkan oleh para orientalis.
Fenomena perkembangan tadyrik pada periode ini, seperti tumbuh suburnya kajian-kajian
ilmiah, kebebasan berpendapat, banyaknya fatwa-fatwa dan kodifikasi ilmu, bahwa tasyri
memiliki keterkaitan sejarah yang panjangdan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.
Munculnya madzhab dalam sejarah terlihat adanya pemikirah fiqih dari zaman sahabat,
tabiin hingga muncul madzhab-madzhabfiqih pada periode ini. Seperti contoh hokum yang
dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan Ali bin Abi Thalib ialah masa iddah wanita
hamil yang ditinggalk mati oleh suaminya. Golongan sahabat berbeda pendapat dan mengikuti
salah satu pendapat tersebut, sehingga munculnya madzhab-madzhab yang dianut.
Di samping itu, adanya pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang hidup
sebelumnya tentang timbulnya madzhab tasyri, ada beberapa faktor yang mendorong,
diantaranya :
1. Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum islampun
menghadapi berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya.
2. Muncunya ulama-ulama besar pendiri madzhab-madzhab fiqih berusaha
menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikanpusat-pusat study tentang fiqih,
yang diberi nama Al-Madzhab atau Al-Madrasah yang diterjemahkan oleh bangsa barat
menjadi school, kemudian usaha tersebut dijadikan oleh murid-muridnya.
3. Adanya kecenderungan masyarakat islam ketika memilih salah satu pendapat dari ulama-
ulama madzhab ketika menghadapi masalah hokum. Sehingga pemerintah (kholifah)
merasa perlu menegakkan hokum islam dalam pemerintahannya.
4. Permasalahan politik, perbedaan pendapat di kalangan muslim awal trntang masalah
politik seperti pengangkatan kholifah-kholifah dari suku apa, ikut memberikan saham
bagi munculnya berbagai madzhab hukum islam.

B. Dasar Pemikiran dan perkembangan Madzhab hukum islam
Berkembangnya dua aliran ijtihad rasionalisme dan tradisinalisme telah melahirkan
madzhab-madzhab fiqih islam yang mempunyai metodologi kajian hukum serta fatwa-fatwa
fiqih tersendiri, dan mempunyai pengikut dari berbagai laposan masyarakat. Dalam sejarah
pengkajian hukum islam dikenal beberapa madzhab fiqih yang secara umum terbagi dua, yaitu
madzhab sunni dan madzhab syii. Di kalangan Sunni terdapat beberapa madzhab, yaitu hanafi,
maliki, syafii dan hambali. Sedangkan di kalangan syiah terdapat dua madzhab fiqih, yaitu
Zaidiyah dan Jafariah. Namun yang masih berkembang kini hanyalah madzhab Jafariah dan
Syiah Imamiyah.
a. Madzhab-madzhab fiqih dari golongan Sunni
1. Madzhab Hanafi
Madzhab ini didirikan oleh Abu Hanifah yang nama lengkapnya al-Numan ibn
Tsabit ibn Zuthi (80-150 H). Ia dilahirkan di kufah, ia lahir pada zaman dinasti Umayyah
tepatnya pada zamankekuasaan Abdul malik ibn Marwan.
Pada awalnya Abu hanifah adalah seorang pedagang, atas anjuran al-Syabi ia
kemudian menjadi pengembang ilmu. Abu Hanifah belajar fiqih kepada ulama aliran irak
(rayu). Imam Abu Hanifah mengajak kepada kebebasan berfikir dalam memecahkan
masalah-masalah baru yang belum terdapat dalam al-Quran dan al-Sunnah. Ia banyak
mengandalkan qiyas (analogi) dalam menentukan hukum.
Di bawah ini akan dipaparkan beberapa contoh ijtijad Abu Hanifah, diantaranya :
o Bahwa perempuan boleh jadi hakim di pengadilan yang tugas khususnya menangani
perkara perdata, bukan perkara pidana. Alasannya karena perempuan tidak boleh
menjadi saksi pidana. Dengan demikian, metode ijtihad yang digunakan adalah qiyas
dengan menjadikan kesaksian sebagai al-ashl dan menjadikan hukum perempuan
senagai far.
o Abu hanifah dan ulama kufah berpendapat bahwa sholat gerhana dilakukan dua
rakaat sebagai mana sholat id tidak dilakukan dua kali ruku dalam satu rakaat.
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang luas ilmunya dan sempat pula
menambah pengalaman dalam masalah politik, karena di masa hidupnya ia mengalami
situasi perpindahan kekuasaan dari khlifah Bani Umayyah kepada khalifah Bani
Abbasiyah, yang tentunya mengalami perubahan situasi yang sangat berbeda antarta
kedua masa tersebut.
Madzhab hanafi berkembang karena kegigihan murid-muridnya menyebarkan ke
masyarakat luas, namun kadang-kadang ada pendapat murid yang bertentangan dengfan
pendapat gurunya, maka itulah salah satu ciri khas fiqih Hanafiyah yang terkadang
memuat bantahan gurunya terhadap ulama fiqih yang hidup di masanya.
Ulama Hanafiyah menyusun kitab-kitab fiqih, diantaranya Jami al-Fushulai,
Dlarar al-Hukkam, kitab al-Fiqh dan qawaid al-Fiqh, dan lain-lain. Dasar-dasar
Madzhab Hanafi adalah :
o Al-Quranul Karim
o Sunnah Rosu dan atsar yang shahih lagi masyhur
o Fatwa sahabat
o Qiyas
o Istihsan
o Adat dan uruf masyarakat
Murid imam Abu Hanifah yang terkenal dan yang meneruskan pemikiran-
pemikirannya adalah : Imam Abu Yusuf al-An sharg, Imam Muhammad bin al-Hasan al-
Syaibani, dll.

2. Madzhab Maliki
Madzhab ini dibangun oleh Maliki bin Annas. Ia dilahirkan di madinah pada
tahun 93 H. Imam Malik belajar qiraah kepada Nafi bin Abi Haim. Ia belajar hadits
kepada ulama madinah seperti Ibn Syihab al-Zuhri.
Karyanya yang terkenal adalah kitab al-Muwatta, sebuah kitab hadits bergaya
fiqh. Inilah kitab tertua hadits dan fiqh tertua yang masih kita jumpai. Dia seorang Imam
dalam ilmu hadits dan fiqih sekaligus. Orang sudah setuju atas keutamaan dan
kepemimpinannya dalam dua ilmu ini. Dalam fatwqa hukumnya ia bersandar pada kitab
Allah kemudian pada as-Sunnah. Tetapi beliau mendahulukan amalan penduduk madinah
dari pada hadits ahad, dalam ini disebabkan karena beliau berpendirian pada penduduk
madinah itu mewarisi dari sahabat.
Setelah as-Sunnah, Malik kembali ke qiyas. Satu hal yang tidak diragukan lagi
bahwa persoalan-persoalan dibina atas dasar mashutih mursalah.
As-Ayafii menerima hadits darinya dan mahir ilmu fiqih kepadanya. Penduduk
mesir, maghribi dan andalas banyak mendatangi kuliah-kuliahnya dan memperoleh
manfaat besar darinya, serta menyebar luaskan di negeri mereka.
Kitab al-Mudawwanah sebagai dasar fiqih madzhab Maliki dan sudah dicetak dua
kali di mesir dan tersebar luas disana, demikian pula kitab al-Muwatta. Pembuatan
undang-undang di mesir sudah memetik sebagian hukum dari madzhab Maliki untuk
menjadi standar mahkamah sejarah mesir.

Dasar madzhab Maliki dalam menentukan hukum adalah :
o Al-quran
o Sunnah
o Ijma ahli madinah
o Qiyas
o Istishab / al-Mashalih al-Mursalah

3. Madzhab Syafii
Madzhab ini didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris al-Abbas. Madzhab fiqih
as-Syafii merupakan perpaduan antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Ia terdiri
dari dua pendapat, yaitu qaul qadim (pendapat lama) di irak dan qaul jadid di mesir.
Madzhab Syafii terkenal sebagai madzhab yang paling hati-hati dalam menentukan
hukum, karena kehati-hatian tersebut pendapatnya kurang terasa tegas.
Syafii pernah belajar Ilmu Fiqh beserta kaidah-kaidah hukumnya di mesjid al-
Haram dari dua orang mufti besar, yaitu Muslim bin Khalid dan Sufyan bin Umayyah
sampai matang dalam ilmu fiqih. Al-Syafii mulai melakukan kajian hukum dan
mengeluarkan fatwa-fatwa fiqih bahkan menyusun metodelogi kajian hukum yang
cenderung memperkuat posisi tradisional serta mengkritik rasional, baik aliran madinah
maupun kuffah. Dalam kontek fiqihnya syafii mengemukakan pemikiran bahwa hukum
Islam bersumber pada al-Quran dan al-Sunnah serta Ijma dan apabila ketiganya belum
memaparkan ketentuan hukum yang jelas, beliau mempelajari perkataan-perkataan
sahabat dan baru yang terakhir melakukan qiyas dan istishab.
Di antara buah pena/karya-karya Imam Syafii, yaitu :
o Ar-Risalah : merupakan kitab ushul fiqih yang pertama kali disusun.
Al-Umm : isinya tentang berbagai macam masalah fiqih berdasarkan pokok-pokok
pikiran yang terdapat dalam kitab ushul fiqih.

DAFTAR PUSTAKA
Munim. A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam, Islamabat : Risalah Bush, 1995, hal. 76
Mahjuddin, Ilmu Fiqih, Jember : P.T. GBI Pasuruan, 1991, hal. 111
Fathurrahman, Djamail, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997, hal. 09
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
hal. 71
Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta : PT Raya Grafindo Persada, 1996,
hal. 105
AB, Wahhab, Khollaf, Khulashoh Tarikh tasyri Islam, Solo : CV. Ramadhani, 1991, hal. 89
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996,
hal. 149

Anda mungkin juga menyukai