Anda di halaman 1dari 9

HUKUM KELUARGA ADALAH BAGIAN DARI HUKUM

PERORANGAN
Posted on 21:17 No Comments Label: Hukum dan Undang-Undang Hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampunan, keadaan tak hadir). Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suaminya). Satu bagian yang amat penting di dalam Hukum Kekeluargaan adalah Hukum Perkawinan. Hukum Perkawinan di bagi dalam dua bagian : 1. Hukum perkawinan Hukum perkawinan adalah keseluruhan peraturan peraturan yang berhubungan dengan suatu perkawinan. 2. Hukum kekayaan Hukum Kekayaan dalam Perkawinan adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan harta kekayaan suami dan istri di dalam perkawinan.

Didalam kita mempelajari Hukum Perkawinan ini ada beberapa asas yang harus diperhatikan. I. Perkawinan didasarkan pada asas monogamy (pasal 27 BW). Penegasan ini tercantum pada dalam pasal 27 BW yang berbunyi : Dalam waktu yang sama seorang lelaki hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang perempuan hanya seorang suami. II. Undang undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungannya perdata (pasal 26 BW). Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan di muka petugas Kantor Pencatatan Sipil. III. Perkawinan adalah suatu persetujuan antara seorang lelaki dan seorang perempuan di dalam bidang hukum keluarga. Menurut pasal 28 asas perkawinan menghendaki adanya kebebasan kata sepakat antara kedua calon suami istri. Dengan demikian jelaslah kalau perkawinan itu adalah suatu persetujuan. Tapi persetujuan ini berbeda dengan persetujuan sebagai yang termuat di dalam buku III. IV. Perkawinan supaya dianggap sah, harus memenuhi syarat-syarat yang dikehendaki oleh undang-undang. Mengenai syarat-syarat perkawinan ada beberapa yang harus diindahkan. Syarat-syarat ini dibeda-bedakan antara : a. Syarat materiil (syarat inti) Syarat ini masih dapat diperinci lagi antara syarat materiil absolut dan syarat materil relatif. Syarat materiil absolut adalah syarat yang mengenai pribadi seorang yang harus diindahkan untuk perkawinan pada umumnya. Syarat ini adalah sebagai berikut : 1. Monogamy

2. Persetujuan antara kedua calom suami istri 3. Orang yang hendak kawin harus memenuhi batas umur minimal (pasal 29) 4. Seoang perempuan yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan yang dahulu dibubarkan (pasal 34) 5. Untuk kawin diperlukan ijin dari sementara orang (pasal 35-49) Syarat materiil relatif adalah mengenai ketentuan-ketentuan yang merupakan larangan bagi seorang untuk kawin dengan orang tertentu. Ketentuan-ketentuan ini ada 2 macam : 1. Larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan. 2. Larangan untuk kawin dengan orang, dengan siapa orang itu pernah melakukan perbuatan zinah. 3. Larangan untuk memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun. b. Syarat Formal Ini dapat dibagi dalam syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum dilangsungkan perkawinan, dan syarat-syarat yang harus dipenuhi berbarengan dengan dilangsungkannya perkawinan itu sendiri. Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan perkawinan adalah : 1. Pemberitahuan tentang maksud untuk kawin 2. Pengumuman tentang maksud untuk kawin Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi berbarengan dengan dilangsungkannya perkawinan diatur dalam pasal 71-82 yang antara lain menentukan : 1. Calon suami istri harus memperlihatkan akta kelahirannya masing-masing. 2. Akta yang memuat izin untuk perkawinan dari mereka yang harus memberi izin, atau akta dimana ternyata telah ada perantara dari pengadilan. 3. Jika perkawinan itu untuk kedua kalinya, harus diperlihatkan akta perceraian, akta kematian atau di dalam hal ketidak hadiran suami (istri) yang dahulu, turunan izin hakim untuk kawin. 4. Bukti bahwa pengumuman kawin telah berlangsung, tanpa pencegahan. 5. Dispensasi untuk kawin, di dalam hal dispensasi itu diperlukan 6. Jika ada perselisihan pendapat antara Pegawai Catatan Sipil dan calon suami istri tentang soal lengkap atau tidaknya surat-surat yang diperlukan untuk kawin, maka hal ini dapat diajukan kepada pengadilan yang akan memberi keputusan tanpa banding.

HUKUM PERKAWINAN NASIONAL


April 20, 2009 by admin Filed under: Hukum

Hukum pekawinan nasional Indonesia telah diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 dan khusus untuk masyarakat Islam Indonesia hukum perkawinan itu dijabarkan dan dijelaskan oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam

uraian singkat ini dikemukakan beberapa hal yang penting tentang hukum perkawinan dan halhal yang berkaitan dengan perkawinan tersebut. A. PENJABARAN DAN PERLUASAN MAKNA UU NO. 1 TAHUN 1974 DAN PP NO. 9 TAHUN 1975 Pada pokoknya, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KHI bidang Hukum Perkawinan adalah penegasan ulang tentang tentang hal-hal yang telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 diikuti dengan penjabaran lanjut terhadap ketentuan-ketentuan UU itu dan PP No. 9 Tahun 1975. Ketentuan pokok yang bersifat umum dalam UU No. 1 Tahun 1974 dirumuskan dan dijabarkan yang akan dijadikan ketentuan yang bersifat khusus sebagai aturan Hukum Islam yang akan diberlakukan bagi mereka yang beragama Islam. Dengan kata lain buku I KHI bidang perkawinan merupakan aturan dan hukum khusus yang akan diberlakukan dan diterapkan secara khusus bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam. B. LANDASAN FILOSOFIS PERKAWINAN Pasal 2 KHI mempertegas landasan filosofis perkawinan sesuai dengan ajaran Islam tanpa mengurangi landasan filosofis perkawinan berdasarkan Pancasila yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974. Pasal l UU No 1 Tahun 1974, yaitu menjadikan Pancasila sebagai landasan filosofis perkawinan dengan mengaitkannya dengan sila pertama yakni berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Inti perluasan dan penegasan landasan filosofis dalam pasal 2 KHI itu adalah : 1. Perkawinan semata-mata menaati perintah Allah. 2. Melaksanakan perkawinan adalah ibadah. 3. Ikatan perkawinan bersifat miitsaaqan ghalizaa ( al-Nisaa : 21 ). Penegasan filosofis ini dirangkum secara terpadu antara aqidah, ibadah dan muamalah berkaitan pula dengan huququllah dan huququl ibad. Dalam KHI terdapat pula penegasan dan pemasyarakatan nilai Islam berupa pernyataan ikatan perkawinan bersifat mistaaqan ghalidzaa. Filosofis ini untuk mengantisipasi pendapat dan praktek yang berkembang selama ini yang mengatakan seolah-olah perkawinan Islam itu rapuh dan boleh dipecah setiap waktu. Dengan penegasan bahwa perkawinan itu adalah ikatan yang kokoh diharapkan memberikan kesadaran dan pengertian kepada masyarakat bahwa perkawinan itu mentaati perintah Allah sebagai ibadah serta harus dipertahankan kelangsungan dan kelestariannya. C. LANDASAN IDIIL PERKAWINAN Landasan perkawinan yang diatur dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 adalah untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal, Pasal 3 KHI mempertegas dan memperluas nilai-nilainya dengan ruh Islami seperti yang digariskan dalam QS. Al-Rum : 21 yakni untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. Dengan diletakkan oleh Pasal 3 landasan perkawinan sesuai dengan maksud QS. Al- Rum : 21, maka dengan sendirinya akan terkait secara langsung dengan nilai-niai operasional seperti diatur dalam : - QS. Al- Baqarah : 187 hunna libasullakum wa antum libasullahunna - QS. Al- Nisaa : 19 waasyiruhunna bil maruf

Dengan memahami landasan idiil dan operasional ini dengan baik dan sadar, tercakup di dalam keharusan yang bersifat mutuality mulai dari mutual cooperation, mutual help, mutual understanding, mutual relation dan mutual interdependency. D. LANDASAN YURIDIS Ketentuan Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 meletakkan fundamentum yuridis perkawinan nasional, yakni : - Dilakukan menurut hokum agama, dan - Dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Fundamentum yuridis tersebut diperjelas dalam pasal 4, 5, 6 dan 7 sejalan dengan penegasan itu diaktualkan ketertiban perkawinan masyarakat Islam. Dengan demikian KHI memuat aturan: - Sahnya perkawinan mesti dilakukan menurut hokum Islam. - Laki-laki Islam dilarang kawin dengan perempuan non Islam. - Setiap perkawinan harus dicatat. - Perkawinan baru sah apabila dilangsungkan di hadapan PPN. - Perkawinan di luar PPN adalah perkawinan liar. - Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh PPN. Penegasan ini sekaligus melepaskan dogmatis yang dikembangkan dan difahami selama ini yakni perkawinan sebagai invidual affair atau urusan pribadi. KHI menegaskan kepastian hokum dan ketertiban perkawinan dan keluarga masyarakat Islam. Bagi yang tidak mematuhinya akan menanggung resiko yuridis, yang tidak mendaftarkan perkawinannya dikualifikasi perkawinan liar dalam bentuk compassionate marriage atau kawin kumpul kebo. E. PEMINANGAN UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur tata cara peminangan. Maka demi tertibnya cara-cara peminangan berdasarkan moral dan yuridis, KHI mengaturnya sebagai berikut : - Peminangan pada prinsipnya secara utuh diambil dari ajaran Al- Quran yang diadopsi oleh fikih standar setelah dimodifikasi secara rational, praktis dan actual. F. RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN Ada dua hal yang ingin dicapai dalam menguraikan rukun dan syarat perkawinan menurut Islam. Pertama, untuk mengatur secara Islami ketentuan syarat perkawinan yang diatur pada Bab II Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974. Aturan dalam pasal tersebut bersifat umum, tidak mengatur secara khusus rukun dan syarat perkawinan menurut Hukum Islam. Maksud Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 itu diatur secara jelas dan limitative oleh KHI dan Bab IV Pasal 14 29. Kedua, yang ingin dicapai ialah menghilangkan masalah ikhtilaf dalam rukun dan syarat perkawinan. Misalnya mengenai apakah saksi termasuk rukun atau tidak?. Pasal 14 KHI menetapkan secara tegas adanya dua orang saksi dalam pernikahan sebagai rukun. Di samping itu mengaktualkan beberapa nilai ; 1. Patokan nilai usia mempelai ( Pasal 15 KHI ), tidak lagi berdasarkan syariat yang mengambang pada ukuran akil balig, tetapi ditentukan secara definitif secara positif yakni 16 dan 17 tahun. 2. Tidak diperbolehkan kawin paksa (Pasal 16 dan 17 ), calon mempelai perempuan diberi peluang untuk melakukan penolakan. 3. Tidak diperkenankan mempermudah kewenangan wali hakim, tetapi harus lebih dahulu ada putusan Pengadilan Agama.

4. Mengenai pelaksanaan ijab Kabul KHI menjatuhkan pilihan : - Tetap bersifat majelis berhadapan langsung. - Apabila berhalangan dapat dikuasakan berdasarkan surat kuasa tanpa mengurangi hak wanita untuk menolak. Pasal 29 KHI tidak membenarkan pelaksanaan ijab dan Kabul jarak jauh melalui sarana komunikasi. Dalam hal calon mempelai berhalangan memilih alternatif dengan seorang kuasa. G. PENGATURAN TENTANG MAHAR UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur masalah mahar, KHI mengatur masalah mahar tersebut dengan tujuan : - Untuk menertibkan masalah mahar itu - Menetapkan kepastian hokum bahwa mahar bukan rukun nikah. - Menetapkan etika mahar atas asas kesederhanaan dan kemudahan, bukan didasarkan atas prinsip ekonomi, status atau gengsi. - Menyeragamkan konsepsi yuridis dan etika mahar agar terbina ketentuan dan persepsi yang sama di kalangan masyarakat dan penegak hokum. H. LARANGAN KAWIN Larangan kawin yang diatur dalam Pasal 88 UU No. 1 Tahun 1974 dikemukakan secara halus oleh KHI dan diselaraskannya dengan ketentuan hukum Islam. Penyelarasan ini mengambil sumber dari Al Quran dan telah diadopsi oleh kitab-kitab fikih berupa : - Larangan umum perkawinan : 1. Larangan kawin karena pertalian nasab. 2. Larangan kawin karena pertalian semenda. 3. Larangan kawin karena pertalian sesusuan. - Larangan khusus perkawinan bagi seorang perempuan : 1. Karena masih terikat dalam perkawinan yang sah. 2. Masih berada dalam masa iddah. 3. Apabila calon suami tidak beragama Islam. - Larangan khusus perkawinan bagi seoang lelaki : 1. Mengawini perempuan yang tidak beragama Islam 2. Memadu dua orng perempuan saudara sekandung, seayah atau seibu serta keturunannya atau bibi atau kemenakannya dalam waktu bersamaan. 3. Melangsungkan perkawinan lebih dari empat dalam waktu yang bersamaan. Lebih lanjut mennngenai larangan ini dapat dipelajari dalam Bab IV. I. KETENTUAN PERJANJIAN KAWIN Perjanjian kawin diatur dalam Bab V UU No. 1 Tahun 1974. Sehubungan dengan telah dilembagakan kedudukan harta bersama dalam perkawinan, KHI menjabarkan lebih lanjut aturan perjanjian perkawinan itu. KHI mengenal bentuk perjanjian : 1. Taklik talak. 2. Perjanjian lain asal tidak bertentangan dengan hukum Islam. Bentuk perjanjian kawin yang lain itu meliputi : 1. Menyangkut kedudukan harta dalam perkawinan : - Boleh percampuran harta pribadi dengan harta dalam perkawinan. - Pemisahan harta pencarian masing-masing. Hal ini ditujukan untuk istri atas hasil pencariannya. - Kewenangan pembebanan harta pribadi dan harta bersama. - Perjanjian kawin mengenai harta tidak boleh menghilanngkan kewajiiban suami untuk

memenuhi kebutuhan rumah tangga. 2. Perjanjian kawin dalam perkawinan poligami mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga. J. KEBOLEHAN KAWIN HAMIL Kawin hamil diletakkan dalam kategori hokum boleh, tidak mesti. Pendefinitifan kebolehan kawin hamil yang diatur KHI merupakan kompromistis dengan hokum Adat dan masalah ikhtilaf dalam ajaran fikih dikaitkan dengan factor sosiologis dan psikologis. Dari penggabungan factor ikhtilaf dan urf, perumus KHI berpendapat hal itu berdasarkan istishlah yakni mashlahat membolehkan kawin hamil lebih besar dari melarangnya. Acuan penerapan kawin hamil : - Dengan lelaki yang menghamili, dengan ketentuan siapa lelaki yang mau mengawini diangggap benar sebagai lelaki yang menghamili, kecuali si perempuan menyanggah (mengingkari). - Perkawinan dapat dilakukan tanpa menunggu kelahiran bayi. KHI merumuskan secara singkat dan bersifat umum masalah kawin hamil tersebut untuk memberikan keleluasaan bagi pengadilan untuk mencari dan menemukan asas-asas baru melalui terobosan yang lebih actual dan rational. K. ATURAN POLIGAMI Aturan pembatasan dan penerapan syarat-syarat dan kemestian ikut campur tangan penguasa yang dikemukakan dalam UU No. 1 Tahun 1974 diambil alih seluruhnya oleh KHI. Pengambilalihan itu merupakan langkah maju secara dinamis dalam mengaktualisasikan hukum Islam di bidang perkawinan. Kebolehan poligami: - Harus didasarkan pada alasan-alasan : - Istri tidak dapat menjalankan kewajiban. - Istri cacat atau sakit yang tidak dapat disembuhkan. - Istri mandul. - Harus memenuhi pula syarat : 1. Mesti ada persetujuan istri. 2. Mampu berlaku adil. 3. Kepastian atas kemampuan menjamin kehidupan. - Harus ada izin Pengadilan Agama. Dengan ketentuan-ketentuan itu harus disadari bahwa poligami tidak lagi individual affair (semata-mata urusan pribadi), tetapi juga telah menjadi urusan kekuasaan Negara, yaitu mesti ada izin Pengadilan Agama. Tanpa ada izin dari Pengadilan Agama, dianggap poligami liar, tidak sah dan tidak mengikat. Tanpa izin Pengadilan Agama perkawinan diangggap never existed, meskipun dilakukan di hadapan PPN. L. PENCEGAHAN PERKAWINAN Materi KHI tentang pencegahan pekawinan pada dasarnya mengambil alih ketentuan yang diatur dalam Bab III UU No. 1 Tahun 1974, namun ada satu tambahan penegasan berupa pencegahan atas alasan perbedaan agama. Alasan pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari perkawinan yang dilarang Islam, pasal 61 menjelaskan bahwa salah satu alasan pencegahan adalah karena perbedaan agama. Pencegahan itu dilakukan dengan kemestian atas campur tangan Pengadilan Agama. Selama belum ada izin dari pengadilan maka perkawinan tidak boleh dilangsungkan.

M. PEMBATALAN PERKAWINAN Pembatalan perkawinan diatur dalam Bab XI KHI. Materi rumusannya sama dengan rumusan dalam Bab IV UU No. 1 Tahun 1974, namun rumusan KHI secara jelas membedakan alasan pembatalan : 1. Pembatalan karena pelanggaran larangan, batal demi hokum ( Pasal 70 ). 2. Pembatalan karena pelanggaran syarat, dapat dibatalkan ( Pasal 71 ). Pembatalan perkawinan itu harus ada campur tangan kekuasaan Negara yaitu Pengadilan Agama untuk kepastian hukum dan ketertiban umum. N. MAKNA AL-RIJALU QAWWAMUNA ALA AN-NISA KHI dalam Bab XII mengatur hak dan kewajiban suami istri. Prinsip aturan itu hampir sama dengan aturan yang digaruskan dalam Bab VI UU No. 1 Tahun 1974. Materi pasal-pasal Bab XII secara tersirat dan tersurat telah melenturkan makna al-rijalu qawwamuna ala an-nisaa. Tujuannya dapat difahami : 1. Untuk mewujudkan cita-cita sakinah, mawadddah dan rahmah menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama ( Pasal 77 ayat (1). 2. Penghapusan diskriminasi katagoris atas pemeliharaan dan pendidikan anak dengan asas tanggung jawab bersama ( Pasal 77 (3) ). 3. Menghapuskan diskriminasi normative dalam pelaksanaan hak dan kewajiban berdasarkan persamaan hak, yakni : - Suami dan istri mempunyai hak yang sama untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama atas tindakan kelalaian (neglisence), penolakan (refuse) atau ketidakmampuan (failure), dan Kewajiban (Pasal 77 ayat (5)). - Sama-sama berhak secara musyawarah menentukan tempat kediaman. 4. Menyeimbangkan harkat derajat suami istri secara fungsional berdasarkan asas kodrati alamiah dan biologis dalam acuan : - Suami sebagai kepala keluarga (chief of the family ). - Isteri sebagai ibu rumah tangga ( Pasal 79 ayat (1) ). 5. Mempunyai hak dan derajat yang sama dalam kehidupan masyarakat dengan sama-sama berhak aktif dalam kehidupan bermasyarakat dan sama-sama berhak mengembangkan profesi dan karir. Dari uraian singkat itu difahami bahwa KHI telah mengembangkan suatu wawasan keseimbangan yang proporsional tanpa mengabaikan sifat kodrati alamiah berdasarkan biologis dan psikologis. 0. PELEMBAGAAN HARTA BERSAMA Harta bersama dalam UU No. 1 Tahun 1974 diatur secara singkat dalam Bab VII. Undangundang ini menyerahkan pelaksanaan penerapannnya berdasarkan ketentuan nilai-nilai adat. Sementara dalam hukum Islam hal itu tidak diatur. Dari pengamatan lembaga harta bersama lebih besar manfaatnya dari mudlaratnya. Atas dasar metodologi istishlah (maslahah mursalah) dan urf dengan kaedah aladah muhakkamah, KHI menetapkan pendekatan kompromis kepada hukum Adat. Pokok-pokok aturan harta bersama yang dikemukakan dalam Bab XIII KHI secara singkat dapat dilihat berikut ini : 1. Harta bersama terpisah dari harta pribadi masing-masing: - Harta pribadi tetap menjadi hak milik pribadi dan dikuasasi sepenuhnya oleh pemiliknya ( suami atau istri). - Harta bersama menjadi hak bersama suami istri dan terpisah dari harta pribadi.

2. Harta bersama terwujud sejak tanggal perkawinan dilangsungkan : - Sejak itu dengan sendirinya terbentuk harta bersama. - Tanpa mempersoalan siapa yang mencari. - Tanpa mempersoalkan atas nama siapa terdaftar. 3. Tanpa persetujuan bersama, suami atau istri tidak boleh mengasingkan atau memindahkannya. 4. Utang untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama. 5. Dalam perkawinan serial atau poligami wujud harta bersama terpisah antara suami dengan masing-masing istri. 6. Apabila perkawinan pecah (mati, cerai) : - Harta bersama dibagi dua. - Masing-masing mendapat setengah bagian. - Apabila terjadi cerai mati, bagiannya menjadi tirkah. 7. Sita marital atas harta bersama di luar gugat cerai ( Pasal 95 ) : - Ketentuan ini perluasan dari Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975. - Suami atau istri dapat meminta sita marital kepada Pengadilan Agama apabla salsh satu pihak boros atau pejudi. P. PEMBUAHAN ANAK SECARA TEKNOLOGI Dalam Bab XIV diatur mengenai pemeliharaan anak. Materinya hampir sama dengan Bab IX UU No. 1 Tahun 1974. Pasal 99 mengemukakan mengenai pengabsahan kebolehan mempergunakan teknologi kedokteran dalam kelahiran anak : - Sah dan dibolehkan pembuahan anak di luar rahim. - Asal pembuahan itu dari sperma istri, dan dilahirkan oleh istri sendiri. - Tidak dibenarkan penyewaan atau mempergunakan rahim perempuan lain. Q. PEMELIHARAAN ANAK DALAM PERCERAIAN Pasal 105 KHI menggariskan secara pasti tentang pemeliharaan anak dalam perceraian : - Selama belum mumayyiz dengan patokan usia 12 tahun, yang berhak memellihara anak ialah ibunya. - Yang sudah berumur 12 tahun ke atas, diberikan kebebasan kepada anak untuk memilih antara ayah dan ibu. - Biaya pemeliharaan anak ditanggung ayah. - Batas pemeliharaan anak ditingkatkan menjadi 21 tahun ( Pasal 98 ) . - Tujuannya untuk memikulkan keharusan kepada orang tua untuk meningkatkan tanggung jawab pembinaan dan pengembangan pendidikan anak. R. PERWALIAN KHI memperluas jangkauan perwalian seperti yang telah dimuat dalam Bab XI UU No. 1 Tahun 1974. Perluasan itu disesuaikan dengan hokum Islam: 1. Selama salah seorang orang tua masih hidup dan waras : - Belum terbuka perwalian menurut hukum Islam. - Kedudukan anak masih tetap berada di bawah kekuasaan orang tua yang masih hidup. 2. KHI tidak mengatur pengawasan perwalian. S. POKOK-POKOK ATURAN PERCERAIAN Aturan perceraian yang dirumuskan dalam Bab XVI sampai dengan Bab XIX KHI merupakan perluasan dari ketentuan perceraian yang diatur dalam Bab VIII UU No. 1 Tahun 1974 dan Bab IV dan Bab VII PP No. 9 Tahun 1975. Hal-hal yang dibicarakan di sini adalah :

1. Campur tangan Pengadilan dalam perceraian : - Perceraian hanya dapat dilakukan di sidang Pengadilan Agama ; - Bentuk perceraian terdiri dari cerai talak dan cerai gugat - Perceraian di luar Pengadilan Agama tidak sah dan tidak mengikat (talak liar). 2. Penambahan alasan cerai - Gugat cerai baru memenuhi syarat formal dan materiil apabila didasarkan atas alasan yang sah; Alasan cerai yang sah telah ditetapkan secara enumerative dalam Pasal 19 PP No. 9 tahun 1975 jo. Penjelasan Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974; Alasan tambahan dalam pasal Pasal 116 KHI: a. Karena suami melangggar taklik talak; b. Peralihan agama ( murtad ) 3. Lembaga Lian - Lembaga lian tetap dipertahankan dan dapat digunakan oleh suami sebagai bukti perbuatan zina yang dilakukan oleh istri. - atau untuk mengingkari anak yang ada dalam kandungan istri. 4. Meningkatkan proses cerai talak menjadi contentiosa. Peningkatan proses itu diatur dalam Pasal 138 KHI dan diperbaiki oleh Pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989. Dengan demikian penerapan cerai talak: - Ditingkatkan menjadi contensiosa ; - Suami sebagai pihak pemohon (pengggugat) dan istri sebagai termohon (tergugat); - Proses pemeriksaan dilakukan berdasarkan asas audi et alteram partem. 5. Kepastian hukum atas rujuk Pasal 167 KHI mengatur tentang: - Penertiban rujuk kearah kepastian hukum ; - Rujuk harus secara bilateral, istri harus setuju, tidak ada paksaan ; - Rujuk baru sah dan mengikat bila dilakukan di hadapan PPN dan dihadiri oleh saksi-saksi dan PPN ; - Dibuat catatan dalam buku daftar rujuk yang ditanda tangani oleh suami istri, saksi-saksi dan PPN.

Anda mungkin juga menyukai