Anda di halaman 1dari 4

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Kebutuhan dunia akan minyak bumi terus mengalami peningkatan, tidak

terkecuali Indonesia. Adanya peningkatan kebutuhan terhadap minyak bumi, jika tidak diiringi dengan peningkatan produksi, maka ancaman krisis energi tidak dapat dielakkan lagi. Pada kenyataannya, produksi minyak bumi di Indonesia mengalami penurunan (pada tahun 2006) mencapai 30.000 barel per hari). Penurunan ini terjadi antara lain di sumur minyak yang rata-rata umurnya sudah tua. Oleh karena itu agar ancaman krisis energi tidak menjadi hal yang lebih serius lagi, maka perlu digalakkan kegiatan eksplorasi minyak bumi (Boediono, 2007; Yanti, 2008). Kegiatan eksplorasi minyak bumi, selalu diiringi dengan resiko kegagalan seperti tidak ditemukannya minyak, dan resiko ini perlu diminimalisir. Penyebab kegagalan ini diantaranya adalah tidak adanya informasi lengkap tentang kematangan termal dari sampel geologi, korelasi minyak-batuan induk atau

korelasi minyak-minyak. Peranan informasi ini dalam eksplorasi minyak dapat dijelaskan secara singkat melalui kematangan termal yang merupakan tingkatan reaksi yang dipengaruhi panas yang mampu mengkonversi materi organik sedimenter menjadi petroleum (minyak). Kematangan termal suatu sampel geologi dapat diketahui dengan berbagai macam indikator atau parameter, salah satunya dengan memanfaatkan hasil kajian biomarka yang dikenal dengan parameter kematangan biomarka (biomarker maturity parameter) (Peters dan Moldowan,1993). Parameter ini didasarkan pada konfigurasi isomer, aromatisasi, kelimpahan hidrokarbon rantai pendek dan proses cracking (Killops dan Killops, 1993). Berdasarkan parameter ini, kandungan biomarka yang menjadi indikator kematangan dalam sampel geologi dapat memberikan informasi matang tidaknya sampel tersebut sehingga menjadi bahan pertimbangan layak tidaknya dilakukan eksploitasi minyak selama kegiatan eksplorasi minyak berlangsung. Hal ini dapat dilihat dari penelitian sampel sedimen yang diambil dari sumur 1 Merkuri, berlokasi di dataran tinggi Exmouth Australia Barat (Larcher, 1987) yang

memberikan informasi melalui ekstrak sampel sedimen, dalam hal mana sedimen yang lebih matang mengandung moretana dengan konfigurasi 22S, sedangkan konfigurasi 22R lebih banyak terdapat dalam sedimen yang belum matang. Informasi lainnya tentang korelasi minyak dengan batuan induknya atau minyak dengan minyak didasarkan pada prinsip bahwa komposisi senyawasenyawa organik yang terdapat dalam suatu batuan induk akan ditransmisikan ke dalam minyak. Jika diketahui komposisi senyawa-senyawa organik dalam suatu sampel minyak sama dengan yang terdapat pada ekstrak suatu batuan induk, maka sampel minyak tersebut diduga kuat berasal dari batuan induk tersebut. Hal ini akan membantu menentukan batuan induk manakah yang menghasilkan minyak dari beberapa batuan induk yang ada (Cole et al., 1995). Penjelasan singkat di atas menunjukkan bahwa informasi tersebut memainkan peranan yang sangat penting untuk meminimalisir resiko kegagalan dalam eksplorasi minyak. Untuk memperoleh informasi ini, maka dilakukan pengkajian geokimia organik terhadap minyak mentah dan batuan induk hasil kegiatan eksplorasi. Pengkajian geokimia organik ini diawali dari

dikembangkannya teknik analisis Kromatografi Gas-Spektrometri Massa (KGSM) secara komersial dan adanya penelitian perintis seperti yang dilakukan oleh Seifert dan Moldowan pada pertengahan tahun 1970an (Hunt et.al., 2002). Obyek kajian geokimia organik berupa senyawa penanda biologi atau biomarka. Biomarka (juga dikenal dengan istilah fosil kimia, penanda molekuler) adalah senyawa organik spesifik tersusun dari atom karbon, hidrogen, dan atom-atom lainnya yang berasal dari produk bahan alam yang mengalami perubahan secara reduktif atau oksidatif melalui proses diagenesis dan katagenesis. Adanya proses ini menyebabkan terjadinya perubahan gugus fungsi, pemutusan ikatan dan perubahan stereokimia, namun struktur dasarnya masih terpelihara dalam lapisan sedimen sehingga memungkinkan untuk ditelusuri senyawa prekursornya (Simoneit, 2004). Senyawa prekursor ini memiliki konsentrasi lebih tinggi daripada senyawa yang berada dalam lapisan sedimen, minyak mentah atau ekstrak batuan induk (Hunt, et al., 2002). Biomarka dalam geokimia organik dapat dikelompokkan menjadi tiga fraksi utama, yaitu fraksi netral, asam, dan polar sebagaimana telah dilakukan

oleh Burhan et al. (2002) yang menganalisis sampel batuan pasir (sandstone) yang berasal dari deposit sulfur Beeri Israel. Biomarka yang termasuk fraksi netral dapat dikelompokkan lagi menjadi hidrokarbon alifatik, hidrokarbon aromatik, alkohol, dan keton. Informasi yang didapatkan dari analisis dan kajian kandungan biomarka fraksi netral antara lain sumber atau asal usul bahan organik sedimenter, umur, lingkungan pengendapan, dan kematangan termal sampel geologi, misalnya sampel core dari kegiatan eksplorasi minyak. Informasi ini sangat membantu meminimalisir resiko kegagalan dalam kegiatan eksplorasi minyak. Salah satunya kegiatan eksplorasi minyak oleh VICO di sumur Badak 1/208 Muara Badak, kutai Kartanegara Kalimantan Timur.

1.2 Permasalahan Berdasarkan uraian di atas masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan bahwa bagaimana karakter sampel core yang diambil dari kedalaman 9200 kaki (sampel core I) dan 10550 kaki (sampel core II) berdasarkan profil kandungan biomarka fraksi netral.

1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi core yang berasal dari Badak 1/208 Muara Badak, Kutai Kartanegara Kalimantan Timur melalui profil kandungan biomarka fraksi netral.

1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

(meminimalisir resiko kegagalan) pada kegiatan eksplorasi minyak oleh VICO di sumur Badak 1/208 Muara Badak, Kutai kartanegara-Kalimantan Timur.

(Halaman ini sengaja dikosongkan)

Anda mungkin juga menyukai