Anda di halaman 1dari 2

Ber-Islam Secara Kaffah

Selasa, 02 Maret 2010 08:38

Sering kali saya diajak oleh seseorang menjadi Islam secara kaffah, artinya ber-Islam secara sempurna. Ajakan itu memang benar, dan begitulah seharusnya yang dijalankan. Ber-Islam harus sesempurna mungkin, untuk menggapai keselamatan dan kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akherat kelak. Orang yang beriman, dan benar-benar beriman, akan bercita-cita menjalankan Islam secara sempurna atau kaffah itu. Namun persoalannya, bagaimana sesungguhnya yang disebut sebagai Islam kaffah itu. Jawabnya, tentu tidak semudah yang dibayangkan. Kesulitan itu bukan disebabkan oleh Islam yang tidak jelas, tetapi karena wilayah keberagamaan itu sendiri yang sedemikian luas. Keber-Islaman tidak saja bisa dilihat dari penampilan dan pakain seseorang. Sebab Islam tidak hanya bisa dilihat dari yang tampak, tetapi juga menyangkut persoalan di hati, pikiran, dan perbuatan. Aspek yang tampak, misalnya potongan pakaiannya, asesoris, potongan rambutnya dan sejenisnya itu, memang bisa digunakan untuk mengenali keber-Islaman seseorang, tetapi sesungguhnya juga tidak selalu. Saya pernah ketemu orang yang memakai songkok hitam dan baju koko. Semula saya mengira, ia seorang muslim. Tetapi ternyata, ia seorang pendeta. Benar pakaian menggambarkan identitas seseorang, namun sesungguhnya tidak cukup mengenali orang hanya dari pakaiannya saja. Apalagi di zaman sekarang ini, jenis pakaian bisa dibeli dari mana-mana, dan bahkan juga bisa dipinjam. Contoh kongkrit, lihat saja seorang pejabat, tatkala berkunjung ke Aceh, akan menyesuaikan diri, menggunakan pakian adat Aceh. Besuknya pergi ke Makassar, pakaiannya akan berganti dengan pakaian Makassar. Hari berikutnya, diundang dzikir bersama, maka baju koko, celana putih, dan songkok, akan dipakaianya. Soal pakaian mudah disesuaikan. Demikian pula ibu-ibu pejabat yang menyertainya. Tatkala ikut berkunjung ke pesantren, maka kerudungnya dipakai seolah-olah ia seorang muslimah yang taat. Besuknya ia mengunjungi tempat lain, misalnya dalam kegiatan peresmian sesuatu yang tidak bernuansa Islam, maka kerudungnya dicopot, menyesuaikan tempat dan keadaan. Karena itu melihat keber-Islaman seseorang hanya dari pakaiannya jelas tidak mencukupi. Keber-Islam seseorang seharusnya dilihat dari aspek yang lebih luas dan sempurna, ialah dari hati, ucapan, dan juga perbuatan. Terkait dengan perbuatan hati, -----dalam Islam, ada konsep-konsep untuk mengukur keberagamaan seseorang yang tidak mudah dikenali, seperti tentang ikhlas, sabar, syukur, tawakkal, ridho, dan seterusnya. Semua amal tergantung dari niatnya, misalnya harus sungguh-sungguh dan juga ikhlas. Beramal tidak boleh dicampur dengan riya. Jika demikian, amalnya tidak akan memberi mafaat bagi dirinya. Masih terkait dengan ikhlas, ternyata gejala itu tidak mudah dikenali secara tepat. Orang yang mengaku ikhlas, malah bisa jadi justru sebaliknya, tidak ikhlas. Keikhlasan seseorang sebenarnya tidak ada yang tahu, kecuali Dzat Yang Maha Tahu. Orang disebut ikhlas dan dikatakan ke mana-mana bahwasanya ia seorang mukhlis, ternyata tidak selalu begitu. Bisa jadi, apa yang dilakukan oleh seseorang hanya pura-pura, agar kekurangannya tertutupi olehnya. Namun menuduh tidak ikhlas juga tidak selayaknya dilakukan, sebab siapapun juga tidak boleh suudhon.

1/2

Ber-Islam Secara Kaffah

Selasa, 02 Maret 2010 08:38

Contoh sederhana lainnya, seseorang setiap waktu sholat selalu berjama'ah ke masjid, agar disebut sebagai seorang yang taat. Memang, seharusnya setiap waktu sholat, sebagai seorang muslim harus memenuhi panggilan adzan ke masjid. Tetapi, kehadirannya di masjid harus semata-mata lillahi ta-ala, sebagai wujud kecintaannya pada perintah Allah. Sholat berjama'ah tidak sepatutnya, hanya agar dianggap sebagai orang yang taat dan khusu'. Sekali lagi keber-Islaman seseorang tidak saja terlihat dari yang tampak, melainkan juga pada wilayah batin, sehingga sulit dikenali, termasuk oleh dirinya sendiri, dan apalagi oleh orang lain. Oleh karena itu Islam kaffah sesungguhnya sulit dikenali secara tepat, karena hal itu menyangkut wilayah yang luas dan dalam, yaitu meliputi baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Kalaupun seseorang disebut atau dimasukkan kategori Islam kaffah, mungkin itu sebatas menurut ukuran seseorang, dan sesungguhnya belum tentu, pada kenyataannya benar. Penilaian itu, boleh-boleh saja dilakukan, asal tidak mengganggu apapun, termasuk terhadap orang yang sedang dinilai itu. Oleh karenanya, terkait dengan persoalan itu, hal yang perlu dihindari adalah, munculnya perasaan bahwa dirinya adalah paling berkualitas keber-Islamannya. Sedang orang lain masih rendah. Sedemikian luas Islam itu, hingga masuk di ranah hati, sehingga orang lain, bahkan dirinya sendiri pun belum tentu mengetahuinya. Oleh karena itu, hal yang kiranya penting adalah, bagaimana agar kita semua, selalu berusaha menjadi Islam kaffah itu, atau menjadi muslim terbaik, dan mudah-mudahan berhasil. Wallahu a'lam

2/2

Anda mungkin juga menyukai