Bersama Pisau Analisis Ibnu Khaldun

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 6

Bersama Pisau Analisis Ibnu Khaldun Ibnu Khaldun menjelaskan dalam karya monumentalnya Muqoddimah (1332-1402) bahwa secara

alamiah perilaku kultural dan organis bangsa taklukan terimplimentasikan pada imitasi dan identifikasi ideologis, pemikiran dan perilaku bangsa penakluk. Tercerap pandangan hirarkis bahwa kemenangan bangsa penakluk ideologis, bukan karena Jamilah :1989 hal 72) Akibatnya, tranformasi dan penetrasi kultural yang sepihak tidak dapat terelakkan. Pra-asumsi ceroboh menjadi aksioma bahwa revitalisasi identitas kultural bangsa taklukan akan dapat teraih jika cermin-cermin kultural bangsa penakluk termanifestasikan sepenuhnya pada perilaku budaya bangsa taklukan. Kondisi ini menumbuhkan sekelompok besar kalangan terdidik yang memiliki-sebagaimana diterangai Dr. Sayid Husein Naserkepribadian setengah hati. Aktualisasi kecendekiaan mereka tak ubahnya dua mata pisau tumpul dan tajam pada satu tangkai. Mata pisau tajam adalah sikap kritis terhadap kemampuan restoratif warisan Islam sehingga berujung pada sikap apologis. Sementara mata pisau tumpul berupa implikasi mentalitas kalah mereka terhadap bangsa penakluk. (Nashr : 1971) Tampaknya tengara ilmiah Ibnu Khaldun berlaku bagi umat Islam kini. Proses kolonialisme Eropa pada sebagian besar negeri-negeri Islam tak terhindarkan telah melahirkan sekian banyak sarjana muslim yang tercerahkan akal dan jiwanya. Perbudakan politik di sepanjang dua abad berimplikasi pada perbudakan kultural. Patok-patok ideologis Barat mewarnai kiprah pemikiran umat dalam pelbagai segi kehidupan meski kolonialisme klasik telah berakhir. Walhasil, wacana pemikiran dan problema yang mengiringinya hanya sekedar gerbong kesekian yang ditarik lokomotif Barat melalui rel yang sama. Ada kebanggaan prestisius di kalangan umat saat mengkonsumsi produk-produk dilatari oleh faktor kualitas kultural dan

solidaritas fisik dan efesiensi organisasi. (Maryam

budaya tadi. Akibatnya, negeri-negeri muslim lebih merupakan muara bagai berhimpunnya pelbagai anak sungai pemikiran dan produk budaya Barat. Kini secara ideologis, kita tidak mendapatkan negara-negara muslim yang mensandarkan diri secara substantif pada sistem Islam. Upaya eksperimentatif beberapa negara berakhir dengan kegagalan karena konspirasi internal dan eksternal. Kemenangan mutlak partai Islam FIS dalam pemilu di Aljazair berakhir mengenaskan. Militer dengan dukungan negara-negara Barat membatalkan secara sepihak kemenangan FIS. Di Turki, dengan dalih menjaga ideologi sekuler, Militer melakukan kudeta untuk ketiga kalinya terhadap pemerintahan koalisi yang terpilih secara demokratis setelah kemenangan tipis partai Refah pimpinan DR. Najmuddin Erbakan. Berbeda dengan Aljazair, Erbakan mampu menahan diri sehingga pertumpahan darah dapat dihindari. (Thahhan :2000) Sudan harus menanggung derita embargo internasional teramat berat karena komitmen politiknya untuk menegakkan Islam. Didalam negeri, Sudan menghadapi pemberontakan dari kekuatan Kristen dan Paganis di wilayah selatan yang mendapat dukungan kuat AS dan Barat. Terakhir, koalisi Hasan Turabi dan Jendral Umar Bashir pecah. Dari sudut pemikiran, muncul dua kecenderungan pemikiran dominan sebagai akibat kekalahan ideologis tadi. Pertama, sekelompok besar kalangan awam dan cendekiawan yang hanya mengenal Islam semata sebagai urusan pribadi. Mereka tunduk mutlak pada Barat dalam rekonstruksi ideologis, budaya dan ekonomi. Kedua, Kalangan terdidik yang masih mencintai Islam sekian produk (Jabir Al Alwani : namun bersikap apolegetik. Mereka mencoba menerima sumber al-Quran dan jika memungkinkan dari Sunnah.

pemikiran baru Barat dan mencoba mencari pembenarannya dari sumber1989) Dalam perspektif pengkayaan khazanah dan belajar dari pengalaman, tentu cara ini dapat diterima karena hikmah adalah milik kaum Muslimin. Namun, problemanya adalah ketika reinterpretasi ini mengorbankan prinsipprinsip Islam. Setidaknya tindakan negatif ini diperlihatkan beberapa

cendekiawan muslim dalam meresepsi isu gender dan pembaharuan Islam secara substantif.

Islam

yang kebablasan. Ijtihaj tercela ini telah mendekonstruksi prinsip-prinsip

Pun dengan perilaku dan produk budaya. Pelbagai produk budaya dan perilaku imitasi Barat laris dikonsumsi di negeri-negeri Islam. Model franchise semisal Mac Donalds, Fried Chicken serta pelbagai merek dan minuman berkarbonasi bertebaran bukan sebab kualitas namun lebih karena pencitraan prestisius produk. Maryam Jamilah dalam Islam and Modern Man (1990) mendeskripsikan kegelisahan intelektualnya melihat fenomena ini. Saya memasuki toko mainan di Lahore untuk mencari boneka buat anak kecil saya. Semua boneka yang tersedia berambut pirang, hidung mancung, mata biru dan berpakaian mini. Apakah tidak ada boneka Pakistan? Sergah saya. Saya tentu ingin boneka yang mencerminkan tradisi dan realitas kultural. Tidak ada. Kenapa? sahut saya. Penjual dengan heran menjawab,Bakalan tidak laku. Bahkan di tahun 1990-an, Boneka Barbie telah menjadi ideologi imitasi dan produk kultural yang sangat laku di pelbagai negeri Muslim. Anarkisme Ilmiah Sekularisme Visi sekularisme sebagai pola hubungan masyarakat kini menjadi kehendak sosial dan legal. Sebaliknya, konsepsi alternatif yang berpijak pada asas agama dipandang reaksioner. Tuduhan negatif ini tidak pelak mencerminkan otoritarianisme wacana atau primordialisme ilmiah. Walhasil, metodologi ilmiah yang berlaku lebih merupakan justifikasi ketimbang upaya pencarian kebenaran. Maryam Jamilah mensinyalir kediktatoran ilmiah ini tidak terlepas dari aliansi sistematik Kolonial dengan meninggalkan sekelompok elit pribumi yang teralienasikan dari Islam melalui jalur pendidikan. Mereka ini kelak mewarisi negeri baik secara kultural maupun ideologi pendidiknya. (Maryam Jamilah : 1989, hal 91)) Mengutip Sayyid Qutb, inilah bahaya imperialisme sesungguhnya.(Abu Marzuq :1990)

Realitas

sekular tampak menonjol dalam kehidupan kampus di tanah air

antara tahun 80 hingga 90-an. Masyarakat kampus tidak terbiasa dididik untuk memahami dan berinteraksi dengan nilai Islam secara benar. Mereka tumbuh dalam lingkungan dan pola pendidikan yang tidak Islami. Akibatnya, ekses-ekses negatifpun muncul, seperti : 1. Sikap berpikir ilmiah yang cenderung sekular. 2. Kebebasan berpikir yang menafikan nilai-nilai wahyu. 3. Kegiatan pendidikan yang tidak sesuai dengan nilai keluhuran akhlak. 4. Kegiatan ekstra kurikuler yang tidak bermanfaat. (Manhaj Jihaz Tullabi : 1994) Disisi lain, kultur represi dan depolitisasi yang dikembangkan Rejim Orde

Baru semakin meminggirkan peran partisipatif dan korektif mahasiswa terhadap lingkungan. Ironisnya, implikasi pewarisan semangat tiran yang ternyata kemudian dimiliki mahasiswa. Perilaku ini tampak jelas dalam praktek orientasi mahasiswa baru oleh para seniornya setiap tahunnya. Para mahasiswa menikmati benar kultur otoritarianisme ini -kendati secara konsepsional menentangnya- dan bahkan perlu melembagakannya. Ketika masih kuliah di Fakultas Sastra, penulis diwajibkan mengambil mata kuliah Sejarah Pemikiran Modern (SPM). Mata kuliah ini adalah bagian dari kelompok MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum). Menilik dari kategorisasinya, jenis mata kuliah ini dimaksudkan untuk membekali mahasiswa dengan pelbagai teori dasar rekonstruksi pemikiran yang berlabel modern. Salah satu teori modern yang dituturkan adalah konsepsi manusia super (Ubermann)nya Nietsze. Dia menegaskan bahwa rekonstruksi masyarakat super harus berpijak pada penciptaan manusia super. Manusia model ini dapat terwujud jika memenuhi beberapa syarat, dua diantaranya adalah Anti Christ dan Anti Feminism. Logika sederhana kita semestinya bakal menolak teori rekonstruksi ini dalam sudut apapun. Ada banyak kelemahan esensial teori ini. Misalnya, isu Anti Feminism dan anti Tuhan. (Mulyono :1990)

Teori Nietsze ini jelas lebih merupakan imajinasi sosial ketimbang realitas sosial. Rekonstruksi masyarakat ideal ini dalam pandangannya dapat dengan eliminasi partisipasi sekelompok besar elemen diwujudkan

masyarakat, yakni perempuan. Nietsze memandang lingkup relasi komunal antar pelbagai elemen masyarakat adalah konflik dan perseteruan, bukan keseteraan, keadilan dan humanitas. Jika demikian, manusia bakal menangguk kalkulasi kerugian sosial dan ekonomis besar. Bertalian dengan peran perempuan, Dr. Muhammad Thahhan (2000) menegaskan bahwa kebangkitan sebuah ideologi tidak bakal terealisasi jika menganggurkan sebagian besar komponen masyarakat. Permasalahannya sebenarnya tidak terletak pada content (muatan) filosofis teori tersebut, namun lebih karena hilangnya sikap kritis kita. Akibatnya, kita tidak mampu membuat disparitas antara inspirasi sampah dengan yang bermanfaat. Kita seolah gagap sehingga mengadaptasi semua produk pemikiran tanpa sensitivitas dan selektifitas. Padahal dua komponen tadi adalah keniscayaan bagi intelectual exercise (pembelajaran intektual) kita. Sementara suara-suara kritis seperti lolongan anjing di padang pasir alias tidak bermanfaat saat menghadapi otoritarian dan anarkisme ilmiah. Kritisisme Historis Sekularisme Dalam pandangan Muhammad Qutb (1981), anarkisme ilmiah tercipta karena cara pandang yang keliru mengenai akar sejarah sekularisme. Sekularime tumbuh karena dua faktor utama : Pertama, sebagai fenomena logis ajaran Kristiani yang memberi dua ruang kuasa. Kuasa raja di bumi dan kuasa Tuhan di langit. Hal inilah oleh kalangan Protestan diklaim sebagai etika Kristen yang memberi spirit Renaissance.

Kedua, Respon praktek Inkuisisi relijius Gereja dalam membasmi anasiranasir kemurtadan dan heretik di kalangan ilmuwan ilmuwan dan rakyat jelata. Gereja telah menggali lubang kebencian rakyat dan para intelektual dalam waktu sangat lama sehingga menuai benih dendam. Perobohan penjara Bastille sebagai simbol kezaliman bangsawan dan gereja adalah momentum akhir konflik antar keduanya. Fakta sejarah inilah yang menimbulkan kebencian dan permusuhan eksesif massa terhadap segala institusi gereja dan simbol-simbolnya dalam kehidupan sosial. Kesumat komunal ini melebar kepada penyingkiran segala agama seiring bangkitnya kolonialisme Baru Eropa pada abad 18. Tidak hanya sekularisme versus gereja, namun juga Islam vis a vis sekularisme. Disinilah kegarangan telah melampaui batas dalam rasional ketika diwujudkan pada penolakan membabi buta terhadap Islam dan setiap upaya perwujudannya politik. Padahal sejarah Islam tidak mengenal pergolakan ala Eropa abad pertengahan. Eropa telah memaksa umat Islam terlibat dalam pertengkaran internal mereka sehingga seolah-olah kita menghadapi problema domestik serupa mereka. Seperti laiknya seorang tetangga yang memaksa tetangga lainnya bertengkar dengan alsan sang tetangga pertama tadi terbiasa bertengkar dengan isterinya dan anggota keluarga lainnya. Celakanya, karena kita sering mendengar pertengkaran itu saban hari menjadikan kitapun ikut tertarik dengan kelaurga kita sendiri. Walhasil, diagnosa yang bertengkar itupun salah

menghasilkan upaya kuratif yang salah pula. Akibatnya, propanganda Barat berupa pencapaian ilusif ideologi pertumbuhan ekonomi dan modernisasi tidak mampu direalisasikan di negeri-negeri muslim. 75 tahun sekularisme Turki ternyata tidak mampu mengubah wajah Turki dari statusnya sebagai negara berkembang.

Anda mungkin juga menyukai