Anda di halaman 1dari 4

Edisi No 07 Vol XXXV - 2009 - Studi Kasus

Penanganan Bayi yang Lahir dari Ibu HIV Positif di RSUD TC Hillers, Maumere, NTT
YUNITA SUSANTO PUTRI*, ASEP PURNAMA**, MARIO B. NARA**

*Puskesmas Boru **Tim PMTCT RSUD TC Hillers

Pendahuluan
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat ditularkan dari ibu hamil positif HIV kepada anaknya pada saat kehamilan, persalinan, ataupun menyusui. Pada kebanyakan kasus, HIV paling banyak ditularkan pada trimester ketiga kehamilan ataupun pada saat proses kelahiran.1,2 Di Asia dan Australia, sebanyak 25 30 penularan dapat terjadi bila tidak dilakukan intervensi.3 Sedangkan penelitian di Amerika dan Eropa mengatakan bahwa penularan dapat terjadi pada 1520% kasus.4 Faktor yang mempengaruhi penularan dari ibu ke bayi meliputi jumlah CD4 ibu yang rendah, ketuban pecah dini, kelahiran prematur, chorioamnionitis, merokok, atau penggunaan obat-obatan kontraindikasi selama kehamilan tanpa sepengetahuan tenaga medis.3 Di Indonesia, masalah penularan HIV dari ibu ke bayi dikhawatirkan semakin banyak karena pesatnya peningkatan kasus HIV/AIDS di kalangan pengguna narkoba suntikan sejak 1999 yang bisa berakibat terjadinya penularan HIV ke pasangan seksualnya.1,2 Strategi Penanggulangan AIDS Nasional 2003-2007 menegaskan bahwa pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan sebuah program prioritas, sehingga penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah (PMTCT: Prevention Mother to Child Transmission). Dewasa ini semakin maju upaya intervensi untuk mengurangi risiko penularan HIV ke bayi dari ibu yang diketahui HIV positif. Kemajuan ini membawa harapan, tetapi untuk mencegah bayi agar tidak terinfeksi HIV, sebaiknya dilakukan strategi untuk mencegah perempuan tidak terinfeksi HIV, ataupun strategi mengurangi risiko penularan HIV ke bayi jika terdapat perempuan yang tidak mengetahui dirinya terinfeksi HIV.1 Berikut akan dibahas kasus penanganan bayi yang lahir dari ibu HIV positif di RSUD TC Hillers Maumere NTT. Kasus ini merupakan program PMTCT pertama yang dilakukan di RSUD TC Hillers.

Air dan Manusia Indonesia


Laurentius Aswin Pramono1
Edisi No 04 Vol XXXVI - 2011 - Kolom

Hari Air Dunia akan jatuh pada 22 Maret mendatang, sudahkah kita ambil bagian dalam penghematan air bersih?

Tak ada yang dapat memungkiri kenyataan bahwa air merupakan komoditas yang sangat vital dalam kehidupan manusia. Bayangkan, dunia tanpa air tentu tidak akan ada peradaban dan kemajuan yang diraih manusia saat ini. Yang ada hanya kematian. Manusia memang tak bisa lepas dari air. Bahkan, air itu sendiri merupakan bagian terbesar dalam tubuh manusia. Sebuah data mengatakan bahwa manusia dapat bertahan hidup satu bulan tanpa makanan, namun hanya seminggu tanpa air! Agar sehat, manusia butuh minum 2 liter air sehari. Rata-rata manusia minum sebanyak 75.000 liter air sepanjang hidupnya. Itu baru berbicara soal minum, belum yang lain-lain. Berapa jumlah air yang diperlukan untuk kehidupan? Bagaimana dengan kebutuhan total seluruh umat manusia di bumi ini? Kebutuhan air yang sangat besar memunculkan banyak persoalan. Kekurangan air di berbagai

daerah di seluruh dunia adalah hal yang paling utama. Ya, dengan jumlah penduduk mencapai 7 miliar jiwa per tahun 2011 ini, air menjadi semakin sulit. Mengutip pernyataan Chris Johns dalam Editorial National Geographic Indonesia edisi April 2010, hingga tahun 2025, sebanyak 1,8 miliar orang akan hidup di daerah yang langka air. Dalam edisi tentang air Dunia yang Dahaga itu, diulas pula perjuangan masyarakat di daerah Timur Tengah dan negara-negara Afrika untuk mendapatkan air bersih yang semakin sulit dan saya memandangnya sangat menyengsarakan. Meskipun sebagian besar dari bumi ini disusun oleh air, hanya sebagian kecil yang dapat dinikmati karena manusia tidak dapat minum dan menggunakan air asin (air laut). Sementara itu, walaupun dikatakan bahwa jumlah air di bumi selalu tetap dari awal pembentukan sampai saat ini, jumlah demand bertambah, dan proses mengembalikan air ke dalam bentuk siap pakai juga sangat panjang. Saya jadi tertarik untuk membahas air karena kurangnya peran serta motivasi tenaga medis dan kesehatan masyarakat dalam menyosialisasikan penghematan air. Padahal, ketiadaan air bersih

menjadi salah satu faktor risiko berbagai penyakit. Dengan kata lain, masalah kesehatan dapat muncul akibat kekurangan air bersih! Salah satu penyakit yang muncul karena kelangkaan air bersih adalah diare akut, penyakit yang ditularkan dengan jalur fekal-oral di mana ketiadaan air bersih memadai membuat masyarakat tak kenal budaya cuci tangan sebelum makan. Fenomena yang diperburuk sikap dan perilaku terhadap self-hygiene ini mengakibatkan begitu banyak kematian sia-sia di seluruh dunia, terutama pada anak-anak di daerah miskin dan pedalaman. Sesungguhnya, tenaga medis dan kesehatan masyarakat tak hanya kesehatan lingkungan punya peran yang sangat besar dalam permasalahan air bersih. Saya melihat jarang program kesehatan yang memperhatikan urusan air bersih. Malah, salah satu perusahaan air minum swasta yang mengiklankan urusan air bersih katong bisa pakai air lagi, tentu dengan embelembel kerja sama dengan berbagai lembaga terkait. Tuluskah kepedulian mereka? Saya langsung teringat Pulau Molo Maru, bagian dari Kepulauan Tanimbar, di mana kami, para dokter PTT, pernah dikirim ke daerah tersebut untuk bakti sosial dalam rangka pembukaan kecamatan baru. Daerah ini begitu miskin dan terpencil, tanpa sarana air bersih yang memadai. Banyak sekali masyarakat yang harus mengangkut air ke sana kemari untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Saya jadi tak tega mandi menghabiskan air saat tinggal di sana. Program air bersih harus melibatkan kerja sama antar-instansi pemerintah. Juga pemerintah daerah yang bersangkutan. Bentuk program bisa bermacam-macam, antara lain program kampanye penghematan, sistem daur ulang, tata kelola bangunan dan kota/kabupaten yang lebih ramah air, tata kelola sistem saluran air yang baik, serta edukasi sejak usia dini mengenai peran dan penghematan air. Pada tingkat individu dan kelompok, sosialisasi bisa dilakukan mulai dari diri sendiri, keluarga, lingkungan RT/RW, dan sekolah. Tenaga kesehatan, yang setiap hari berurusan dengan pasien dan limbah klinis, juga perlu menerapkan cuci tangan bersih, namun tetap berazaskan prinsip-prinsip penghematan. Saya melihat ketujuh langkah cuci tangan tidak saja efektif dalam menurunkan jumlah mikroorganisme, tetapi sekaligus juga dalam penghematan jumlah air yang terpakai. Sebagai tenaga medis dan kesehatan masyarakat, kita wajib turut serta dalam upaya penghematan air bersih. Sudah sepatutnya kita mengenali beberapa kiat penghematan air yang dapat kita sosialisasikan ke masyarakat luas. Beberapa kiat sederhana di tingkat individu dan kelompok yang dapat kita mulai, antara lain memasang water meter untuk memantau penggunaan air rumah tangga, perbaiki setiap kebocoran pada saluran air, pilih shower daripada bathtup, tadah air dingin saat menunggu air hangat, jangan biarkan air mengalir sia-sia saat menyabuni tangan, menggosok gigi atau bercukur, isi mesin cuci sampai penuh baru mencuci pakaian -itu akan menghemat air yang digunakan-, gunakan air bekas berendam, mencuci baju, atau mencuci piring untuk menyiram tanaman kebun, jangan sering-sering tanpa keperluan yang jelas- menekan flush pada toilet satu kali flushing toilet menghamburkan air sebanyak 9 liter. Manusia Indonesia masih lebih beruntung dibandingkan Nigeria, Etiopia, atau ratusan juta penduduk dunia di belahan Afrika. Kita memiliki sistem air minum negara yang cukup baik, cukup merata, meskipun kesenjangan air bersih tetap saja ada. Manusia Indonesia dianugerahi mata air bersih, sumber-sumber alam yang kaya, serta hasil-hasil alam yang produktif sampai saat ini. Air bersih kadang dipandang sepele oleh kita di daerah perkotaan karena kita belum

pernah merasakan kemiskinan akan air. Drama kekurangan air harus kita atasi bersama-sama dengan aksi keprihatinan. Mulai hari ini, marilah kita sebagai tenaga kesehatan, melakukan penghematan air bersih. Mulai dari diri sendiri, keluarga, sekolah, dan masyarakat. Mulai dari hal sederhana sampai yang besar, demi masa depan kita bersama.

Epidemiolog, Residen Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.

Anda mungkin juga menyukai