Anda di halaman 1dari 22

Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan bagi kepentingan umum sepanjang sejak diundangkan menggantikan Peraturan Menteri dalam Negeri No. 15 tahun 1975 menimbulkan kontroversi hukum seperti pendahulunya. Sekalipun memiliki pijakan konstitusionalitas, namun ditinjau dari bentuk, format, substansi, penegaan hukum tidak memenuhi persyaratan sebagai produk hukum yang baik dan benar. Salah satu kegagalan dalam proses pembentukan hukum peraturan presiden ini mengabaikan variabel non hukum yang justru sangat besar relevansi dan pengaruhnya terhadap variabel hukum dengan mendasarkan teori Autopoeticnya Niklas Luhmann.

Konsekuensi baik yuridik, non yuridik yang harus dihadapi oleh pemerintah sebagai pelaksana kegiatan pengadaan tanah ketidakmampuan

operasional/implementatif kaidah hukum, resistensi masyarakat yang tinggi atas keberlakuannya, mandegnya proyek pembangunan yang telah

direncanakan. Mengacu pada ketentuan Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen keempat dinyatakan bahwa: bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untaian kata ini mengandung makna bahwa di dalamnya memberikan kewenangan pada pemerintah untuk

Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum

memanage sumber daya alam yang terkandung di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diabdikan bagi kesejahteraan segenap rakyat Indonesia.

B. Rumusan Masalah Sebelum kita membahas permasalahan yang lebih lengkap mengenai pengadaan tanah bagi kepentingan umum, agar tidak keluar jauh dari pembahasan, hendaknya kita mengetahui rumusan masalahnya, anatara lain : 1. Apa yang dimaksud dengan pengadaan tanah bagi kepentingan umum? 2. Apa dasar konstitusional pengaturan tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum seperti yang diatur pada Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006? 3. Prinsip apa yang digunakan dalam pengadaan tanah 4. Apa wadah/format hukum yang tepat menurut teori hukum pengkaidahan mengenai pengadaan tanah bagi kepentingan umum?

C. Tujuan Masalah Setelah mengerjakan dan membahas tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum, diharapakan kita dapat mengetahui:
1. Pengertian dari pengadaan tanah;

Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum

2. Dasar hukum pengadaan tanah; 3. Pengertian kepentingan umum; 4. Prinsip dalam kegiatan pengadaan tanah;
5. Kelemahan pengaturan pengadaan tanah;

6. Serta pewadahan yang tepat mengenai kaidah pengadaan tanah.

Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Pengertian melacak dasar konstitusional dimaknai sebagai sebuah upaya hukum melalui serangkaian studi dokumen terkait yakni mulai dari konstitusi Undang-undang Dasar 1945 beserta peraturan perundang pelaksanannya diikuti dengan pengkajian fakta empiri fenomena pengadaan tanah. Tentu dipertanyakan apa perlunya dilakukan pengkajian atas fakta empiri aktivitas pengadaan tanah?, bukanlah sudah jelas dari sekian banyak aktivitas pengadaan tanah banyak terjadi penyimpangan?. Jusru jawaban atas pertanyaan tersebut perlu dilakukan pengkajian variabel-variabel non hukum apa yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan bagi kepentingan umum. Satjipto Rahardjo (2007) memberikan pencerahan pada pengkaji hukum seputar pandangannya terhadap Undang-undang Dasar 1945 bahwa Undang-undang Dasar 1945 bukan teks biasa, melainkan alam pikiran dari wakil bangsa yang menjelajahi sekian ranah kehidupan manusia baik sosial, kultural, politik, ekonomi dan sebagainya yang menurut Ronald Dworkin (1996) yang harus dibaca secara filosofis, disebut moral reading (Satjipto Rahardjo, 2007:33-34). Konsep dasar hak menguasai tanah oleh negara (HMN) termuat dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum

Menurut Pasal 2 UUPA, HMN hanya memberi wewenang kepada negara untuk mengatur: a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Peraturan perundang-undangan di bidang agrarian, memberi kekuasaan yang besar kepada negara untuk menguasai semua tanah yang ada di wilayah Indonesia, sehingga berpotensi melanggar hak ulayat dan hak perorangan atas tanah. Oleh karena itu, di kalangan ahli hukum timbul gagasan untuk membatasi wewenang negara yang bersumber pada HMN. Beberapa kesalahan pemaknaan oleh negara dalam hal ini dilakukan oleh institusi pemerintah telah diteliti oleh Mohammad Bakri (2006) dalam disertasinya mengemukakan keharusan pembatasan hak menguasai tanah oleh negara dalam hubungannya dengan hak Ulayat dan hak perorangan atas tanah (Mohammad Bakri, 2006:52). Kewenangan yang dimiliki oleh negara atas pengelolaan bumi, kekayaan alam yang pada realita dilaksanakan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah melalui kebijakan-kebijakan (policy making/beleid maken) dilandasi nilai-nilai filosofi Pancasila seperti; ke Tuahanan, kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan. Nilai-nilai sebagaimana disebut menurut segolongan ahli
5

Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum

hukum merupaka serangkaian nilai-nilai fundamental (a fundamental values) karena bisa diketemukan di semua sistem hukum di dunia Soedikno Mertokoesoemo, 1966:35-36, Satjipto Rahardjo seperti dikutip oleh E Fernando M Manullang, 2007:98, John Rawls, 1971, sepert dikutip E Fernando M Manullang, 2007:99, Satjipto Rahardjo, 2006:60, Munir Fuady, 2007:118-127. Hal esensial yang dapat diambil dari beberapa pandangan hali hukum sebagaimana disebut di atas adalah: a. Agar aturan hukum formal mencapai keadilan formal harus ada ketentuan yang mengatur bagaimana memberlakukan manusia dalam kasus-kasus tertentu, harus jelas sasaran pemberlakuannya, harus secara tidak memihak dan tanpa diskriminasi; b. Dibangunnya rule of moral dari sila-sila Pancasila sepert dikaji secara ilmiah mendalam oleh Notonegoro (1979,1984) misalnya sikap mau mendengar keluh-kesah kawula negara, berani mengakui kesalahan/berani secara jujur bertanggung jawab dan berjanji untuk tidak mengulangi kekeliruan, menentang sikap-tindak penyimpangan pengelolaan negara, mendahulukan kepentingan yang luas daripada kepentingan diri sendiri atau golongan, menolak kewenangan dan tidak semata-mata mengemukakan kelebihan, meletakkan kewenangan sebagai amanah bukan sebagai dasar kekuasaan untuk menindas. Nilai-nilai (values) demikian, menurut beberapa pakar sebagai penanding rule of law/yang banyak disimpangi atau hanya dipandang performa belaka;

Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum c. Kegagalan logika dengan pendekatan formal logis dengan menggunakan

tiga model logika; silogisti, proposisi, predikat seperti didewakan oleh ET Feteris (1994) yang disitir oleh Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005:13-15. Mengapa demikian?. Jawaban yang dapat dikemukakan adalah positivism hukum didasarkan pada hubungan sebab-akibat (cause and effect) seperti pada silogisme, mengabaikan fakta non-yuridik budaya, sosialekonomi, politik, terpancang pada ketentuan hukum positif-tertulis dengan kata lain hukum negara (state law) mengabaikan hukum rakyat (folk law) yang senyatanya lahir, tumuh dan berkembang pada komunitas yang bersangkutan. Dengan menggunakan pendekatan kajian dengan socio-legal berkeyakinan memberikan alternatif menjebol kebuntuan keberlakuan kaidah pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan bagi kepentingan umum. Salah satu cara berakhirnya hak atas tanah adalah apabila terjadinya pembebasan hak atas tanah tersebut. Pembebasan hak atas tanah selama ini telah mengalami perubahan, yaitu semula diatur dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974 tentang Tata Cara Pembebasan Hak Atas Tanah. Kemudian pada Tahun 1993 diubah dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam dictum pertimbangan mengenai Keppres Nomor 55 Tahun 1993 ini dinyatakan bahwa: Pembangunan nasional, khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum, memerlukan bidang tanah yang cukup dan untuk itu

Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum

pengadaannya perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya. Pelaksanaan pengadaan tanah tersebut dilakukan dengan memperhatikan peran tanah dalam kehidupan manusia dan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Dengan demikian, atas dasar pertimbangan tersebut pengadaan tanah untuk kepentingan umum diusahakan dengan cara yang seimbang dan untuk tingkat pertama ditempuh dengan cara musyawarah langsung dengan para pemegang hak atas tanah. Bertitik tolak dari pertimbangan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan yaitu: (a) Pelaksanaan pengadaan atas tanah harus dilakukan dengan sebaik-baiknya; (b) Dilaksanakan dengan memperhatikan peran tanah dalam kehidupan manusia;
(c) Prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah; diusahakan

dengan cara seimbang; dan (d) Dilaksanakan dengan prinsip musyawarah pada tahap pertama.

Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum

BAB III PEMBAHASAN

A. Pengertian Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah (Ps.1 Perpres No. 65 Tahun 2006). Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah milik dengan cara memberikan imbalan kepada pihak pemilik tanah. Pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan non pemerintah dilakukan langsung antara pihak yang membutuhkan tanah dengan pemilik tanah dengan cara musyawarah untuk memperoleh kesepakatan harga Setelah diperoleh kata sepakat tentang harga tanah dibuatkan akta jual beli atau pelepasan hak yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang. Sedangkan dalam hal pengadaan tanah oleh pemerintah atau pemerintah daerah untuk pelaksanaan

pembangunan demi kepentingan umum dapat dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, atau juga dengan pencabutan hak atas tanah.

Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum

Berdasarkan beberapa rumusan di atas, dapat diketahui bahwa istilah pengadaan tanah lahir karena keterbatasan persediaan tanah untuk

pembangunan, sehingga untuk memperolehnya perlu dilakukan dengan memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah itu atau kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah. Singkatnya, istilah pengadaan tanah pada prinsipnya hanya dikenal dalam peroleh tanah yang dikuasai oleh seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak. Menurut John Salindeho (Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, 2004), mengatakan bahwa sebelum Keppres No. 55 Tahun 1993 ditetapkan belum ada definisi kepentingan umum yang baku. Secara sederhana dapat diartikan bahwa kepentingan umum dapat saja dikatakan untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan sosial yang luas. Namun rumusan itu terlalu umum, tidak ada batasnya. Selanjutnya John Salindeho membuat rumusannya sendiri mengenai kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, dan hankamnas atas dasar asas-asas Pembangunan Nasional dengan mengindahkan Ketahanan Nasional serta Wawasana Nusantara. Yang menjadi masalah adalah: kepentingan umum siapa, bila suatu kegiatan sudah terwujud dan ternyata kemanfaatannya tidak dapat dirasakan oleh masyarakat? Oleh karena itu, Maria SW Sumohardjono mengusulkan agar konsep kepentingan umum, selain harus memenuhi peruntukannya, juga harus dapat dirasakan kemanfaatannya (social profitable atau for public use, atau actual used by the public). Agar unsur kemanfaatan ini dapat dipenuhi,
10

Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum

artinya dapat dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan dan/atau secara langsung, untuk penentuan suatu kegiatan seyogyanya melalui penelitian yang terpadu. Dalam Keppres No. 55/1993 telah memberikan klarifikasi dan definisi yang tegas mengenai kepentingan umum yaitu:
(1) kepentingan seluruh masyarakat,

(2) kegiatan pembangunan yang dilakukan dimiliki oleh pemerintah dan (3) tidak dipergunakan untuk mencari keuntungan. Dengan demikian, interpretasi tentang kegiatan termasuk dalam kategori kepentingan umum dibatasi pada terpenuhinya ketiga unsur tersebut secara kumulatif.

B. Dasar Hukum Pengadaan Tanah Aktivitas pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan secara teoritik didasarkan pada azas/prinsip tertentu dan terbagi menjadi dua subsistem: a. Pengadaan tanah oleh pemerintah karena kepentingan umum.
b. Pengadaan tanah oleh pemerintah karena bukan kepentingan umum

(komersial) [Oloan Sitorus, 1995:7 dan 2004:5]. Dasar hukum pengadaan tanah di Indonesia sebagai peraturan pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria adalah:

11

Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum

(1) Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 15 Tahun 1975 tentang ketentuan-ketentuan mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah. (2) PMDN No. 2 Tahun 1976 Tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah oleh Pihak Swasta. (3) PMDN No. 2 Tujuan 1985 tentang Tata Cara Pengadaan Tanah untuk Keperluan Proyek Pembangunan di Wilayah Kecamatan, serta berbagai peraturan pelaksanaan lainnya. Ketiga peraturan di atas dinyatakan tidak berlaku setelah berlakunya Keputusan Presiden (Keppres) No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum beserta

pelaksanaannya, yaitu Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Preside (Keppres) No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, direvisi dengan Pertauran Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

C. Prinsip (Principles) Dalam Kegiatan Pengadaan Tanah Prinsip (principles) atau azas-azas secara konteks hukum pengadaan tanah menurut (Soemardjono, 2005:90-91, Oloan Sitorus, 2004:11-13) mencakup:

12

Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum

a. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun harus ada landasan haknya. b. Semua ha katas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa (ini kaitannya dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD yuncto Pasal 1 dan 2 UU Pokok Agraria). c. Cara untuk memperoleh tanah yang sudah dihaki oleh

seseorang/badan hukum harus melalui kata sepakat antar pihak yang bersangkutan (kaitannya dengan UU No, 39 Tahun 1999 tentang HAM) d. Dalam keadaan yang memaksa artinya jalan lain yang ditempuh gagal, maka presiden memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan hak tanpa persetujuan subyek hak menurut UU No. 21 Tahun 1961. Menurut Boedi Harsono (Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, 2004) dan Boedi Harsono (2005) paling tidak ada 7 (tujuh) asas-asas hukum yang harus diperhatikan dalam perolehan (pengadaan) tanah, yaitu:
1. Penguasaan dan pengunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan

apapun harus ada landasan haknya. Dalam UUPA, hak itu berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan dan hak-hak sekunder yang ada. Penguasaan dan penggunaan tanah yang dilandasi salah satu hak di atas dilindungi oleh hukum dari gangguan pihak manapun, baik dari sesama anggota masyarakat, bahkan dari pihak penguasa/pemerintah, jika gangguan itu
13

Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum

tidak dasar hukumnya yang sah. Upaya penanggulangan gangguan dari pihak sesama anggota masyarakat dapat dilakukan dengan: a. gugatan perdata ke pengadilan; b. meminta bantuan Bupati/Walikota yang bersangkuta bagi pihak yang menggunakan tanah secara illegal, seperti diatur dalam Undangundang No. 51/Prp Tahun 1960; c. tuntutan pidana bagi okupon. 2. Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa. Ini berarti, bahwa setiap hak atas tanah selain bersifat pribadi (dalam arti memberi kewenangan kepada pemegang hak yang bersangkutan untuk memanfaatkan tanah yang dihaki itu untuk diri dan keluarganya), sekalipun juga mengandung unsur kebersamaan (dalam arti bahwa dalam pemanfaatannya harus memperhatiikan juga kepentingan umum, kepentingan bersama). Karena itulah disebutkan dalam Pasal 6 UUPA bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Jika terjadi pertentangan antara kepentingan pribadi yang punya tanah dengan kepentingan bersama, maka kepentingan bersamalah yang harus didahulukan. 3. Cara memperoleh tanah yang sudah dihaki seseorang harus melalui kata sepakat antara para pihak yang bersangkutan, menurut ketentuan yang berlaku. Tegasnya, dalam keadaan biasa, pihak yang mempunyai tanah tidak boleh dipaksa untuk menyerahkan tanahnya.

14

Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum 4. Dalam keadaan yang memaksa, jika jalan musyawarah tidak dapat

menghasilkan kata sepakat, untuk kepentingan umum, Penguasa (dalam hal ini Presiden Republik Indonesia) diberi wewenang oleh hukum untuk mengambil tanah yang diperlukan secara paksa, tanpa persetujuan yang empunya tanah, melalui acara pencabutan hak.
5. Baik dalam acara perolehan tanah atas dasar sepakat, maupun dalam

acara pencabutan hak, kepada pihak yang telah menyerahkan tanahnya wajib diberikan imbalan yang layak, yang bukan hanya meliputi tanah bangunan dan tanaman milik pemegang hak atas tanahnya, melainkan juga kerugian-kerugian yang dideritanya sebagai akibat penyerahan bidang tanahnya. Misalnya berupa yang, fasilitas dan/atau tanah pengganti, sedemikian rupa hingga keadaan sosial dan keadaan ekonominya tidak menjadi mundur. Mengenai asas imbalan yang layak tampaknya merupakan asas yang universal. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sebagai berikut:
a. dalam Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1973

dimuat persyaratan bahwa: dengan tindakan pencabutan itu hendaknya pemilik/pemegang hak atas tanah tidak mengalami kemunduran, baik dalam bidang sosial maupun pada tingkat ekonominya.
b. dalam Inpres No. 9 Tahun 1973 digariskan petunjuk, bahwa: harus

diusahakan sedemikian rupa, agar mereka yang dipindahkan itu tetapi

15

Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum

dapat menjalankan kegiatan usaha/mencari anfkah kehidupan yang layak seperti semula.
c. dalam Keppres No. 53 Tahun 1989 yang kemudian diubah dengan

Keppres No. 98 Tahun 1993, digariskkan kewajiban bagi perusahaan kawasan industri dalam usahanya memperoleh tanah dari rakyat: untuk memerhatikan kepentingan bekas pemilik yang tanahnya dipergunakan untuk kawasan industri, dengan cara memberi ganti rugi yang layak berdasarkan musyawarah atau memberi penggantian tanah di lokasi lain yang nilainya seimbang dengan tanah yang dibebaskan. 6. Biarpun dalam pencabutan hak untuk kepentingan umum, pihak yang mempunyai tanah tidak dapat menolak pengambilannya, karena dalam hidup bermasyarakat kepentingan umum harus didahulukan daripada kepentingan pribadi, namun mengenai bentuk dan jumlah imbalan yang ditetapkan oleh penguasa, ia masih diberi kesempatan untuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, yang keputusannya mengikat semua pihak yang bersangkutan. 7. Rakyat yang diminta menyerahkan tanahnya untuk proyek-proyek pembangunan berhak untuk memperoleh pengayiman dari para aparat pamong praja dan pamong desa.

D. Kelemahan Pengaturan Pengadaan Tanah

16

Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum

Simpulan yang dapat diambil dari Peraturan Menteri Keuangan No. 58/PMK.02/2008 bahwa persoalan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan bagi kepentingan umum hanyalah berakar pada pengalokasan anggaran untuk pembayaran ganti rugi kepada subyek eks pemegang hak atas tanah. Tak pernah terfikirlah bagaimana implikasi sosial-ekonomi-budaya perubahan hidup eks pemegang ha katas tanah sesudah tanahnya diambil oleh pemerintah. Bagaimana akibat dari pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan terhadap petani yang kehilangan tanahnya harus berubah menjadi non petani: buruh tani, buruh pabrik, penarik becak, buruh bangunan yang sebelumnya tak pernah terbayangkan olehnya? Apakah tidak atau sengaja mengabaikan kalkulasi kerugian akibat pengadaan tanah terhadap perubahan tata guna lahan yang semula sawah beririgasi tehnis yang dahulu dibiayai dengan hutang luar negeri menjadi peruntukan lain misalnya bendungan pengairan,

prasaran/sarana jaringan transportasi darat. Berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melakukan perubahan peta tata ruang nasional/provinsi/kabupaten/kota sebagai akibat dari pengadaan tanah atau sebaliknya. Berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh pihak yang memerlukan tanah untuk pengamanan infrastruktur yang akan atau sedang dibangun oleh apparatus keamanan akibat mendapatkan resistensi atau penolakan warga masyarakat karena sebab tertentu? Tak pelak lagi jika persoalan ini didekati dengan pendekatan legal-positivistik secara tegas penulis nyatakan

sesungguhnya akan sia-sia bekala karena ketidakmampuannya mengungkap

17

Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum

akar persoalan mengapa setiap aktivitas pengadaan tanah pada tataran implementatif mengalami resistensi dari publik.

E. Pewadahan yang Tepat Mengenai Kaidah Pengadaan Tanah Pewadahan penulis maknai sebagai wujud formal dari sebuah produk hukum yang mengatur tentang sesuatu hal terkait dalam suatu tata urutan kaidah. Langkah untuk mencapai maksud tersebut dilakukan pengkajian kesesuian kaidah dimaksud dalam sistem hukum positif. Menurut Undangundang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia dinyatakan: Pasal 36 (1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun sama-saman dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum. (2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang secara melawan hukum. (3) Hak milik mempunayi fungsi sosial. Pasal 37

18

Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum

(1) Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian sesuai denga ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain. Mengacu pada Pasal 36 dan Pasal 37 Undang-undang No. 39 Tahun 1999, maka yang tepat pewadahan kaidah hukum yang mengatur mengenai pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum berupa undangundang. Mengapa demikian?, alasannya karena masalah ha katas tanah merupakan sesuatu yang bersifat fundamental serta merupakan bagian dari hak azasi manusia. Tidak dibenarkan hak atas tanah seseorang termasuk di dalamnya hak Adat (Ulayat) atas tanah diambil oleh pihak lai apalagi secara paksa dengan mengabaikan aspirasi si subyek hak atas tanah.

19

Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan 1. Dasar konstitusional Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 adalah nilainilai yang terkandung di dalam Pancasila dan Pasal 33 Ayat (3) Undangundang Dasar 1945; Pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan bagi kepentingan umum sepanjang sejak diundangkan menggantikan konrtroversi hukum seperti pendahulunya. Sekalipun memiliki pijakan konstitusional, namun ditinjau dari bentuk, format, substansi, penegakan hukum tidak memenuhi persyaratan sebagai produk hukum yang baik dan benar. Nilai-nilai luhur UUD 1945 tentang moral, keadilan, kemanusiaan, kesejahteraan harus diaktualisasikan pada peraturan perudangan tentang pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan. 2. Pewadahan yang tepat menurut teori hukum pengaturan mengenai pengaan tanah untuk kepentingan pembangunan bagi kepentingan umum adalah undang-undang.

20

Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum

B. Saran 1. Agar dalam penyusunan kaidah hukum harus didahului dengan kajian akademik yang transparan berupa naskah akademik, penjagaan aspirasi pemangku kepentingan untuk memberikan apresiasi secara luas, perumusan kaidah, sosialisasi, perumusan final. 2. Perlibatkan secara proporsional dan aktif semua pemangku

kepentingan untuk bersama-sama wakil rakayat menyusun kaidah hukum dengan membebaskan/melepaskan diri dari intervensi

kepentingan dari luar, kepentinga kelompok/golongan maupun kepentingan pribadi.


3. Dalam kerangka reforma agrarian diperlukan upaya yang terencana

untuk merevisi pasal-pasal krusial dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 yang menyangkut: hak menguasai negara, dasar/prinsip hukum Adat, hak Ulayat, fungsi sosial tanah. 4. Penghormatan dan pengakuan adanya keberagaman sebagai sebuah karunia Allah SWT pada bangsa Indonesia dengan konsekuensi keberagaman pula kaidah hukum yang mengaturnya. 5. Menempatkan eks pemegang hak atas tanah sebagai korban pembangunan untuk kepentingan umum harus diakhiri, sebaliknya hak-hak mereka harus dipulihkan serta mendapatkan perlindungan hukum secara proporsional.

21

Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum

DAFTAR PUSTAKA
Salle, Prof. Dr. H. Aminuddin, S.H.,M.H. dkk. 2010. Hukum Agraria. Makassar: AS Publishing. Supriadi, S.H., M.Hum. 2009. Hukum Agraria. Cetakan ketiga. Jakarta: Sinar Grafika.

22

Anda mungkin juga menyukai