Anda di halaman 1dari 21

DAMPAK PEMBUANGAN LIMBAH TEKSTIL PT.

KAHATEX KE ALIRAN SUNGAI DI DAERAH RANCAEKEK

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar AMDAL

Disusun oleh: Eva Anriani Lubis (0905719)

JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2011

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sektor industri tekstil yang kian berkembang seiring dengan perkembangan zaman cenderung menimbulkan permasalahan baru bagi kawasan disekitarnya. Kompleksitas masalah yang ditimbulkan oleh adanya industri tekstil tersebut diantaranya mengenai pembuangan dri limbah tekstil tersebut. Pada dasarnya, yang menjadi masalah bukanlah mengenai industri tekstil nya itu sendiri, melainkan pengelolaan limbah sisa produksi yang tidak sesuai dengan prosedur yang ada. Pengelolaan limbah yang tidak sesuai prosedur ini menyebaban beberapa dampak negatif terutama disekitar lingkungan disekitar industri tekstil tersebut. Hal ini karena limbah tersebut berupa logam berat yang tentu saja merusak lingkungan. Selain itu, berdirinya industri-industri tekstil juga berpengaruh terhadap sector ekonomi, kependudukan, sosial-budaya dan sector-sektor lainnya. Hal-hal yang disebutkan diatas menggelitik penulis untuk melakukan penelitian mengenai Dampak Pembuangan Limbah Tekstil PT. KAHATEX ke Aliran Sungai Daerah Rancaekek.

B. Rumusan masalah bagaimana dampak pembuangan limbah tekstil PT. KAHATEX ke daerah aliran sungai daerah Rancaekek terhadap berbagai aspek kehidupan, baik terhadap ekosistem, perekonomian, kependudukan, maupun sosial budaya?

C. Tujuan 1. Untuk mengetahui dampak dari pembuangan limbah tekstil PT. KAHATEX terhadap ekosistem, perekonomian, kependudukan, maupun sosial budaya 2. Sebagai rekomendasi untuk pemerintah Kabupaten Bandung dalam penanggulangan masalah limbah industri

D. Manfaat Observasi 1. Mengetahui dan menganalisis masalah yang ada dan mengkaji dampak yang ditimbulkan oleh pembuangan limbah tekstil PT. KAHATEX ke aliran sungai di daerah Rancaekek 2. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai dampak apa saja yang telah ditimbulkan oleh pembuangan limbah tekstil dan sekaligus memudahkan pemerintah dalam memberikan upaya-upaya yang harus dilakukan pemerintah daerah Kecamatan Rancaekek dalam penanggulangan masalah limbah industry tekstil 3. Sebagai pedoman untuk penelitian lebih lanjut 4. Sebagai bahan pembelajaran terhadap penulis

E. Metode Penenlitian Proses penelitian dilakukan mulai dari pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara, obsevvasi, dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan cara pengorganisasian, pengelompokan, dan/ atau pengklasifikasian data menurut indicator yang relevan yang telah ditentukan, kemudian dilakukan analisis deskriptif dan kualitatif serta elaborasi seperlunya.

BAB II LANDASAN TEORI

A. MENGENALI LIMBAH Limbah tekstil merupakan limbah yang dihasilkan dalam proses pengkanjian, proses penghilangan kanji, penggelantangan, pemasakan, merserisasi, pewarnaan, pencetakan dan proses penyempurnaan. Proses penyempurnaan kapas menghasil kan limbah yang lebih banyak dan lebih kuat dari pada limbah dari proses penyempurnaan bahan sistesis. Gabungan air limbah pabrik tekstil di Indonesia rata-rata mengandung 750 mg/l padatan tersuspensi dan 500 mg/l BOD. Perbandingan COD : BOD adalah dalam kisaran 1,5 : 1 sampai 3 : 1. Pabrik serat alam menghasilkan beban yang lebih besar. Beban tiap ton produk lebih besar untuk operasi kecil dibandingkan dengan operasi modern yang besar, berkisar dari 25 kg BOD/ton produk sampai 100 kg BOD/ton. Informasi tentang banyaknya limbah produksi kecil batik tradisional belum ditemukan. Serat buatan dan serat alam (kapas) diubah menjadi barang jadi tekstil dengan menggunakan serangkaian proses. Serat kapas dibersihkan sebelum disatukan menjadi benang. Pemintalan mengubah serat menjadi benang. Sebelum proses penenunan atau perajutan, benang buatan maupun kapas dikanji agar serat menjadi kuat dan kaku. Zat kanji yang lazim digunakan adalah pati, perekat gelatin, getah, polivinil alkohol (PVA) dan karboksimetil selulosa (CMC). Penenunan, perajutan, pengikatan dan laminasi merupakan proses kering. Sesudah penenunan serat dihilangkan kanjinya dengan asam (untuk pati) atau hanya air (untuk PVA atau CMC). Penghilangan kanji pada kapas dapat memakai enzim. Sering pada waktu yang sama dengan pengkanjian, digunakan pengikisan (pemasakan)

dengan larutan alkali panas untuk menghilangkan kotoran dari kain kapas. Kapas juga dapat dimerserisasi dengan perendaman dalam natrium hidroksida, dilanjutkan pembilasan dengan air atau asam untuk meningkatkan kekuatannya. Penggelantangan dengan natrium hipoklorit, peroksida atau asam perasetat dan asam borat akan memutihkan kain yang dipersiapkan untuk pewarnaan. Kapas memerlukan pengelantangan yang lebih ekstensif daripada kain buatan (seperti pendidihan dengan soda abu dan peroksida). Pewarnaan serat, benang dan kain dapat dilakukan dalam tong atau dengan memakai proses kontinyu, tetapi kebanyakan pewarnaan tekstil sesudah ditenun. Di Indonesia denim biru (kapas) dicat dengan zat warna. Kain dibilas diantara kegiatan pemberian warna. Pencetakan memberikan warna dengan pola tertentu pada kain diatas rol atau kasa. Larutan penghilang kanji biasanya langsung dibuang dan ini mengandung zat kimia pengkanji dan penghilang kanji pati, PVA, CMC, enzim, asam. Penghilangan kanji biasanya memberi kan BOD paling banyak dibanding dengan proses-proses lain. Pemasakan dan merserisasi kapas serta pemucatan semua kain adalah sumber limbah cair yang penting, yang menghasilkan asam, basa, COD, BOD, padatan tersuspensi dan zatzat kimia. Proses-proses ini menghasilkan limbah cair dengan volume besar, pH yang sangat bervariasi dan beban pencemaran yang tergantung pada proses dan zat kimia yang digunakan. Pewarnaan dan pembilasan menghasilkan air limbah yang berwarna dengan COD tinggi dan bahan-bahan lain dari zat warna yang dipakai, seperti fenol dan logam. Di Indonesia zat warna berdasar logam (krom) tidak banyak dipakai. Proses pencetakan menghasilkan limbah yang lebih sedikit daripada pewarnaan. Ada beberapa jenis limbah, diantaranya: 1. Logam berat terutama As, Cd, Cr, Pb, Cu, Zn.

2. Hidrokarbon terhalogenasi (dari proses dressing dan finishing) 3. Pigmen, zat warna dan pelarut organic 4. Tensioactive (surfactant) Sebenarnya ada beberapa cara agar limbah sisa industri tidak menjadi boomerang bagi lingkungan sekitar, diantaranya: 1. Langkah pertama untuk memperkecil beban pencemaran dari operasi tekstil adalah program pengelolaan air yang efektif dalam pabrik, menggunakan : Pengukur dan pengatur laju alir Pengendalian permukaan cairan untuk mengurangi tumpahan Pemeliharaan alat dan pengendalian kebocoran Pengurangan pemakaian air masing-masing proses Otomatisasi proses atau pengendalian proses operasi secara cermat Penggunaan kembali alir limbah proses yang satu untuk penambahan (make-up) dalam proses lain (misalnya limbah merserisasi untuk membuat penangas pemasakan atau penggelantangan) Proses kontinyu lebih baik dari pada proses batch (tidak kontinyu) Pembilasan dengan aliran berlawanan 2. Penggantian dan pengurangan pemakaian zat kimia dalam proses harus diperiksa pula: Penggantian kanji dengan kanji buatan untuk mengurangi BOD Penggelantangan dengan peroksi da menghasilkan limbah yang kadarnya kurang kuat daripada penggelantangan pemasakan hipoklorit Penggantian zat-zat pendispersi, pengemulsi dan perata yang menghasilkan BOD tinggi dengan yang BOD-nya lebih rendah.

3. Zat pewarna yang sedang dipakai akan menentukan sifat dan kadar limbah proses pewarnaan. Pewarna dengan dasar pelarut harus diganti pewarna dengan dasar air untuk mengurangi banyaknya fenol dalam limbah. Bila digunakan pewarna yang mengandung logam seperti krom, mungkin diperlukan reduksi kimia dan pengendapan dalam pengolahan limbahnya. Proses penghilangan logam menghasilkan lumpur yang sukar diolah dan sukar dibuang. Pewarnaan dengan permukaan kain yang terbuka dapat mengurangi jumlah kehilangan pewarna yang tidak berarti. 4. Pengolahan limbah cair dilakukan apabila limbah pabrik mengandung zat warna, maka aliran limbah dari proses pencelupan harus dipisahkan dan diolah tersendiri. Limbah operasi pencelupan dapat diolah dengan efektif untuk menghilangkan logam dan warna, jika menggunakan flokulasi kimia, koagulasi dan penjernihan (dengan tawas, garam feri atau poli-elektrolit). Limbah dari pengolahan kimia dapat dicampur dengan semua aliran limbah yang lain untuk dilanjutkan ke pengolahan biologi. Jika pabrik menggunakan pewarnaan secara terbatas dan menggunakan pewarna tanpa krom atau logam lain, maka gabungan limbah sering diolah dengan pengolahan biologi saja, sesudah penetralan dan ekualisasi. Cara-cara biologi yang telah terbukti efektif ialah laguna aerob, parit oksidasi dan lumpur aktif. Sistem dengan laju alir rendah dan penggunaan energi yang rendah lebih disukai karena biaya operasi dan pemeliharaan lebih rendah. Kolom percik adalah cara yang murah akan tetapi efisiensi untuk menghilangkan BOD dan COD sangat rendah, diperlukan lagi pengolahan kimia atau pengolahan fisik untuk memperbaiki daya kerjanya. Untuk memperoleh BOD, COD, padatan tersuspensi, warna dan parameter lain dengan kadar yang sangat rendah, telah digunakan pengolahan yang lebih unggul yaitu dengan menggunakan karbon aktif, saringan pasir, penukar ion dan penjernihan kimia.

Industri tekstil tidak banyak menghasilkan banyak limbah padat. Lumpur yang dihasilkan pengolahan limbah secara kimia adalah sumber utama limbah pada pabrik tekstil. Limbah lain yang mungkin perlu ditangani adalah sisa kain, sisa minyak dan lateks. Alternatif pemanfaatan sisa kain adalah dapat digunakan sebagai bahan tas kain yang terdiri dari potongan kain-kain yang tidak terpakai, dapat juga digunakan sebagai isi bantal dan boneka sebagai pengganti dakron. Lumpur dari pengolahan fisik atau kimia harus dihilangkan airnya dengan saringan plat atau saringan sabuk (belt filter). Jika pewarna yang dipakai tidak mengandung krom atau logam lain, lumpur dapat ditebarkan diatas tanah. Jika lumpur mengandung logam, maka ia harus disimpan ditempat yang aman, sampai ada suatu tempat pengolahan limbah berbahaya yang dikembangkan di Indonesia, dan yang ada pada saat ini adalah Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B-3) di Cilengsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

B. LIMBAH DI RANCAEKEK Permasalahan lingkungan di wilayah Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat sudah berlangsung sejak sekitar tahun 1991, dimana pada tahun tersebut sebagian warga masyarakat di Kecamatan Rancaekek mengeluhkan telah terjadinya pencemaran Kali Cikijing yang diduga disebabkan karena adanya pembuangan air limbah sisa proses produksi oleh kegiatan industri yang berlokasi di wilayah Kabupaten Sumedang. Dalam Laporan Akhir Pekerjaan Penyusunan Feasibility Study IPAL Gabungan Industri di Wilayah Rancaekek Kabupaten Sumedang Tahun 2003, BPLHD Propinsi Jawa Barat mencatat ada 22 industri yang terdapat di Wilayah Rancaekek, terdiri dari 18 buah industri tekstil, 1 buah industri minuman, 1 buah industri jala, 1 buah industri PCB dan 1

buah industri penyamakan kulit. Dari 22 industri tersebut sebagian besar menghasilkan limbah cair dengan total 759 liter/detik atau 5,31 ton/hari. Sedangkan debit limbah cair dari 22 industri di wilayah Rancaekek adalah 65.618 m3/hari. Dalam laporan tersebut ditulis, bahwa kontributor debit limbah cair terbesar adalah PT Kahatex yaitu sebanyak 21.108 m3/hari. Dengan demikian PT Kahatex yang mempekerjakan 35 ribu pekerja ini berkontribusi sebesar 32,2% dan 21 industri lainnya berkontribusi sebesar 67,8% yang dialirkan ke badan air penerima di enam sungai. (BPLHD Jawa Barat, 2003). Pengembangan industri di sentra produksi pertanian memang cenderung menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. Kenyataan di Kecamatan Rancaekek, pembangunan industri menyebabkan penurunan produksi pertanian, dan berkurangnya luasan areal pertanian. Hal ini diduga karena kegiatan pertanian di wilayah tersebut memanfaatkan pengairan dari drainase yang melewati lokasi industri di bagian hulunya. Sistem pertanian menjadi terancam menggunakan pengairan yang tercemar, terutama saat debit kering, karakteristik air saluran tidak sesuai lagi untuk kegiatan pertanian. Kondisi ini terlihat jelas ketika Tahun 2010 penulis dari Ecotas Group bersama tim monitoring BWWS dan BPLHD Provinsi Jawa Barat melakukan survei ke wilayah Rancaekek. Terlihat air di Sungai Cikijing berwarna hitam pekat, berbau menyengat, dan berasap. Apalagi saat itu bagian tanggul sungai jebol sehingga mengakibatkan hektaran sawah dan kolam ikan terendam air limbah. Tentunya hal ini sangat beresiko fatal, sebab tumbuh-tumbuhan, termasuk padi, memiliki reaksi yang cukup besar dalam menerima perubahan atau gangguan akibat pencemaran lingkungan termasuk oleh air limbah industri. Sebuah pemandangan yang miris di wilayah sentra pertanian yang menjadi pemasok utama padi di Jawa Barat. Dalam menanggulangi permasalahan Limbah Cair Industri di Rancaekek, sejak Tahun 1991, Pemerintah Kabupaten Bandung telah berusaha melakukan berbagai upaya

penyelesaian. Termasuk koordinasi dengan Bupati Sumedang tempat dimana industri pencemar berada, serta meminta bantuan Gubernur Jawa Barat untuk menyelesaikan permasalahan pencemaran tersebut. Bahkan untuk menemukan solusi yang lebih tepat, Pemkab Bandung melakukan jajak pendapat dengan cara menyebarkan questioner kepada 225 responden (warga masyarakat) yang terkena dampak pencemaran di Desa Bojongloa, Desa Linggar, Desa Jelegong dan Desa Sukamulya. Hasilnya sebanyak 26% warga menginginkan ganti rugi akibat terjadinya gagal panen, 22% menginginkan penyediaan sarana air bersih, 22% menginginkan penyediaan sarana kesehatan, medis dan obatobatan, 14% menginginkan normalisasi/pengerukan Kali Cikijing, 8% menginginkan optimalisasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), dan 6% warga menginginkan kesempatan bekerja di Perusahaan. Kemudian pada tahun 2001, dibentuk tim fasilitasi penyelesaian sengketa lingkungan yang dikoordinasikan oleh BPLHD Jawa Barat. Kesepakatanpun tercapai pada Tahun 2002 antara masyarakat Kecamatan Rancaekek yang diwakili oleh TGPLKR dengan pihak industri (PT Kahatex, PT Five Star, dan PT Insan Sandang) yang dituangkan dalam sebuah Dokumen Kesepakatan. Beberapa isi kesepakatan tersebut adalah: (1) pihak industri berkewajiban untuk melaksanakan optimalisasi IPAL sesuai dengan standar teknis yang direkomendasikan oleh BPLHD Jawa Barat, (2) pihak industri bersedia memberikan kompensasi untuk pelaksanaan normalisasi Sungai yakni masing-masing PT Kahatex Rp 100.000.000, PT Insan Sandang Internusa Rp 8.000.000, dan PT Five Star Rp 7.500.000, (3) pihak industri diwajibkan untuk mengelola lumpur dari IPAL sesuai dengan pedoman teknis yang berlaku bagi limbah B3, (4) pihak industri berkewajiban menyediakan air bersih kepada warga masyarakat Rancaekek selama pelaksanaan normalisasi Sungai Cikijing.

Nyatanya, kesepakatan tersebut tidak berjalan sesuai dengan harapan. Tahun 2007, hasil analisa kualitas air limbah di outlet PT Kahatex dan PT Insan Sandang yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menunjukan pelanggaran baku mutu.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. METODE Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara. Untuk melengkapi kajian, pengumpulan data juga dilakukan dengan observasi analisis dokumen dan wawancara dengan penduduk disekitar industri tekstil yakni di kampung Cikijing Desa Linggar, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung. Dalam penelitian ini juga digunakan jenis penelitian deskriptif, yaitu jenis penelitian yang hanya menggambarkan, meringkas berbagai kondisi dan situasi yang ada. Penulis mencoba menjabarkan kondisi dari objek penelitian dan menhubungkan variabelvariabel dan selanjutnya akan dihasilkan deskripsi tentang objek penelitian.

B. Tempat Wilayah penelitian dilakukan di Kampung Cikijing Desa Linggar Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung. Khususnya daerah aliran sungai dan sekitarnya.

C. Waktu Waktu pelaksanaan observasi dilaksanakan selama satu bulan, yaitu pada bulan Mei 2011.

BAB IV HASIL PENELITIAN

Dari hasil penelitian yang dilakukan, dapat diketahui bahwa limbah tekstil yang sebagian besar dihasilkan oleh PT. KAHATEX ini sangat membawa dampak terhadap beberapa apek kehidupan. Baik terhadap ekosistem, perekonomian, kependudukan, maupun sosial budaya.

A. Dampak Terhadap Ekosistem Berdasarkan observasi yang dilakukan, sungai yang dijadikan tempat pembuangan limbah tekstil menjadi berwarna hitam pekat. Tentu saja warna hitam ini disebabkan karena adanya senyawa logam berat yang terkandung didalam limbah yersebut. Berdasarkan hasil wawancara, limbah tersebut telah mencemari ratusan hektar sawah penduduk di daerah Rancaekek, Kabupaten Bandung. Bila dijumlahkan secara keseluruhan areal sawah yang tercemar pabrik tersebut mencapai lebih dari 400 hektar.
pada awal-awal tahun didirikannya pabrik tersebut pada tahun 1989 tingkat pencemaran memang masih terkendali dan belum parah seperti sekarang. Namun dalam perkembangannya kemudian tingkat pencemaran yang ditimbulkan oleh pabrik tekstil tersebut semakin parah hingga tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Pencemaran tertinggi terjadi melalui pembuangan limbah cair ke Sungai Cikijing yang merupakan anak Sungai Citarum. Air yang bersumber dari sungai itulah yang kemudian mengaliri ratusan hektar sawah hingga ikut tercemar limbah pabrik. Akibat paling parah dari pencemaran tersebut, ratusan hektar sawah tersebut hingga saat ini sulit untuk bisa ditanami karena tak bisa tumbuh.

Menurut salah seorang narasumber, sudah berulangkali melakukan teguran bahkan mempermasalahkan pencemaran ini hingga ke tingkat DPR Pusat tetapi selalu mentok karena banyak birokrat dan anggota dewan yang membekingi pabrik itu. Untuk mengatasi masalah tersebut, pihak Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung terpaksa mencari solusi lain dengan menjalin kerjasama dengan Balai Penelitian Tanah IPB Bogor untuk meneliti dan mengatasi lahan sawah yang tak bisa ditanami itu. Hasil penelitian balai tersebut masih ada hingga sekarang dan terbukti bahwa tanaman mati memang akibat tercemar limbah pabrik. Karena pihak pabrik hingga saat ini tak beritikad baik untuk mengurangi pencemaran yang ditimbulkannya, terpaksa para petani menempuh upaya lain yaitu dengan mencuci terlebih dahulu sawah mereka dengan air yang disedot dari dalam tanah baru setelah itu sawah ditanami benih dan bisa tumbuh secara normal. Rekomendasi tersebut diberikan oleh tim peneliti Balai Penelitian Tanah tadi, tapi ongkos produksi yang harus dipikul para petani menjadi membengkak karena mereka harus mendatangkan air yang tak tercemar guna mencuci lahan sawah sebelum ditanami. Namun, Ketika masalah tersebut dikonfirmasikan kepada manajemen Kahatex, tak seorang pun yang bersedia memberi komentar dengan alasan tak kompeten. Sedangkan pimpinan Kahatex tak bersedia diwawancarai. Berdasarkan keterangan dari warga setempat, PT. KAHATEX ini sering kali membuang limbahnya secara diam-diam. Tampak warna hitam berarak. Bau busuk perlahan-lahan menguar ke udara. Uap tipis terlihat bergetar di sekeliling aliran hitam. Aliran limbah hitam pekat inilah yang membuat udara di atas jembatan terasa hangat. Padahal jaraknya dengan permukaan sungai 2-3 meter. Mennurutnya, biasanya, limbah tersebut digelntorkan pukul 01.00 waktu setempat. Memang tak hanya PT. KAHATEX,

tapi kontribusi buangan PT.KAHATEX ini pling besar terhadap pencemaran sungai di Rancaekek. Gelontoran air lindi dari pipa pembuangan tanpa melalui instalasi pengolah air limbah (IPAL) itulah yang dituding sebagai biang keladi pencemaran di sungai-sungai yang melalui Rancaekek. Akibatnya, "Padi tak mau tumbuh. Kalaupun tumbuh, bulir-bulir padinya lebih banyak yang tak berisi. Kondisi begini bisa disaksikan di Desa Linggar, Jelegong, Bojongloa,kecamatan Rancaekek. Buangan limbah juga membuat warga di sekitar aliran sungai hidup tak nyaman. Titin, ibu rumah tangga yang berdiam di dekat Sungai Cikijing, mengeluh soal bau busuk. "Kalau datangnya malam hari, bisa membangunkan orang tidur," ujarnya. Belum lagi kalau sungai meluap akibat banjir. Bisa dipastikan limbah yang terangkat naik ikut memenuhi jalan dan pekarangan rumah, membuat gatal dan perih di kulit. Air tanah yang keluar dari sumur milik warga tak luput tercemar. Untuk memperoleh air bersih, mereka harus menggali lebih dalam. Itu pun airnya belum tentu jernih, tapi berwarna kuning dan berbau. Hingga kini, situasi di sana tak banyak berubah. Limbah tetap menggenangi Sungai Cikijing, Citarik, dan Citarum yang melewati Rancaekek.

B. Dampak Terhadap Perekonomian Walaupun membawa pengaruh negatif terhadap ekosistem, kehadiran industri tekstil yang salah satu nya PT. KAHATEX ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi warga sekitarnya. Industri tekstil ini telah menciptakan lapangan pekerjaan bagi warga di sekitar industri tekstil tersebut. Sehingga tidak heran jika sebagian besar warga sekitarnya bekerja sebagai karyawan/ buruh di industri tekstil tersebut.

C. Dampak Terhadap Kependudukan Karena banyaknya lapangan pekerjaan yang tercipta dari industri tekstil yang salah satu nya dari PT. KAHATEX, menyebabkan warga yang berasala dari luar daerah pun banyak yang bermigrasi ke daerah Rancaekek untuk bekerja sebagai karyawan/buruh pabrik tekstil tersebut. Ini menyebabkan rancaekek semakin padat Banyaknya pendatang baru ini dapat dilihat dari banyaknya kontrakan yang berdiri di daerah Rancaekek yang bisanya dihuni oleh para migran yang berasal dari berbagai daerah luar Bandung. Seperti Garut, Tasikmalaya, Jawa timur, Jawa Tengah, bahkan yang berasal dari seberang pulau seperti Sumatera. Tentu saja hal ini menimbulkan masalah baru Rancaekek kini menjadi daerah yang padat.

D. Dampak Sosial Budaya Akibat dari pembuangan limbah tekstil PT. KAHATEX ini, sawah-sawah yang ada di daerah sekitarnya menjadi tidak produktif. Ini menyebabkan warga Rancaekek kehilangan mata pencahariannya sebagai petani, sehingga mendorong warga Rancaekek menjadi karyawan/buruh pabrik. Dengan kata lain, adanya PT. KAHATEX ini menimbulkan perubahan sosial budaya dari masyarakat. Dimana yang awalnya mayoritas bermata pencaharian sebagai petani, beralih menjadi karyawan/buruh pabrik. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Indonesia merupakan negara agraris, dimana sebagian besar warganya bermata pencaharian sebagai petani. Namun, seiring berjalannya zaman, seiring dengan banyak bermunculan industri-industri termasuk industri tekstil, ciri bangsa sebagai bangsa agraris ini semakin memudar dikarenakan semakin banyak warga nya yang beralih profesi menjadi karyawan/buruh pabrik.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan Banyaknya Industri tekstil dikawasan Rancaekek yang salah satunya adalah PT. KAHATEX telah mempengaruhi beberapa aspek kehidupan masyarakat disekitarnya. Banyak dampak positif dari adanya industri tekstil tersebut, misalnya terciptanya lapangan pekerjaan, namun, disisi lain, adanya industri tekstil tersebut membawa dampak negatif terhadap alam dan lingkungan sekitar. Hal ini dikarenakan mekanisme pembuangan limbah dari industri tekstil tersebut belum memenuhi standar yang telah ditetapkan.

B. Rekomendasi Dari hasil penelitian yang dilakukan mengenai dambak pembuangan limbah tekstil PT. KAHATEX ke daerah aliran sungai daerah Rancaekek, ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan untuk penataan pembuangan limbah tekstil tersebut. Diantaranya: 1. Penataan kembali prosedur pembuangan limbah tekstil

DAFTAR PUSTAKA Sumber Tulisan:

BPLHD Jabar (2003), Laporan Akhir Pekerjaan Penyusunan

Feasibility Study IPAL Gabungan Industri di Wilayah Rancaekek Kabupaten Sumedang Propinsi Jawa Barat.

BPLHD Jabar (2007), Laporan Akhir Upaya Pemulihan Lahan

Pertanian akibat Pencemaran Limbah Industri dengan Teknologi Bioremediasi di Wilayah Rancaekek Kabupaten Bandung.

Ecotas Group (2010), Notulensi rapat pembahasan penyelesaian kasus

Rancaekek yang dilaksanakan pada tanggal 17 Juni 2010 di BPLHD Provinsi Jawa Barat.

http://shantybio.transdigit.com/?Biology_-

_Dasar_Pengolahan_Limbah:PENGOLAHAN_DAN_PEMANFAATAN_LIMBAH_ TEKSTIL

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/07/07/LIN/mbm.2003

0707.LIN88833.id.html

http://www.gatra.com/2004-07-28/artikel.php?id=42461

Anda mungkin juga menyukai