Anda di halaman 1dari 8

Akuntabilitas Publik Dalam Pengelolaan dan Pengawasan Keuangan Daerah1 Oleh : Ihyaul Ulum MD.

2
Jika ada pertanyaan, produk apa yang saat ini paling laris, maka jawabannya adalah otonomi daerah. Ia telah menjadi semacam new product dari sebuah industri bernama pemerintah yang begitu masuk di pasar langsung memperoleh tanggapan sangat tinggi dari para konsumen. Otonomi daerah menjadi sesuatu yang marketable dari berbagai sisi dan bidang kajian. Di satu pihak, otonomi daerah memberikan harapan baru terhadap tumbuhnya kesadaran untuk membangun daerah secara lebih optimal, tidak lagi terkonsentrasi di pusat. Namun di pihak lain, otonomi daerah menghadirkan kekhawatiran munculnya desentralisasi masalah dan desentralisasi kemiskinan. Selain itu, otonomi daerah juga menumbuhkan ketakutan akan munculnya raja-raja kecil di daerah, di samping kengerian beralihnya bahaya laten ekonomi (baca : korupsi, kolusi, nepotisme) dari pusat ke daerah. Bersamaan dengan itu, akuntabilitas publik (public accountability) dewasa ini juga menjadi kajian dan fokus bahasan yang marak. Berkembangnya kajian tentang akuntabilitas publik ini terutama setelah berhasilnya gerakan reformasi yang menuntut adanya keterbukaan (transparansi) manajemen sektor pemerintahan di Indonesia selain kebijakan otonomi daerah menyusul dikeluarkannya Undang-undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Kertas kerja untuk sumbang saran dalam rangka penerbitan Bulletin CITRA Laboratorium Akuntansi Fakultas Ekonomi UMM, 5 April 2001. Ihyaul Ulum MD adalah mantan pegiat pers mahasiswa DIMEK FE UMM, kini tercatat sebagai staff pengajar di jurusan akuntansi FE UMM.
2

Ihyaul Ulum MD, Jl. MT. Haryono X/159 Malang. 553997

Akuntabilitas (accountability) secara harfiah dapat diartikan sebagai "pertanggungjawaban". Sugijanto, et al (1995:6) mengutip Patricia Douglas menguraikan fungsi accountability tersebut meliputi tiga unsur: (1) providing information about decisions and actions taken during the course of operating entity; (2) having the internal parties review the information, and (3) taking corrective actions where necessary. Jadi, suatu entitas (atau organisasi) yang accountable adalah entitas yang mampu menyajikan informasi secara terbuka mengenai keputusan-keputusan yang telah diambil selama beroperasinya entitas tersebut, memungkinkan pihak luar (misalnya legislatif, auditor, atau masyarakat secara luas) mereview informasi tersebut, serta bila dibutuhkan harus ada kesediaan untuk mengambil tindakan korektif. Konsep akuntabilitas tersebut senada dengan apa yang dikemukakan oleh Stewart (Triyuwono, 1999:2-3 dalam Nurcholis, 2000) yang merinci tingkatan akuntabilitas menjadi lima jenis, yakni: (1) Accountability for Probity and Legality; (2) Process accountability; (3) Performance accountability; (4) Programme Accountability; and (5) Policy accountability. Accountability for Probity berkaitan dengan penghindaran

terhadap kejahatan jabatan (malfeasance) khususnya untuk meyakinkan bahwa dana telah digunakan dengan benar dan dengan cara yang benar. Sedangkan Accountability for Legality menekankan bahwa kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang tidak melampaui batas. Process accountability berkaitan dengan apakah terdapat

prosedur-prosedur yang memadai yang diterapkan untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas tertentu, serta usaha untuk meyakinkan apakah aktivitas-aktivitas tertentu dilakukan sesuai dengan yang telah ditetapkan sebelumnya. Performance,

Ihyaul Ulum MD, Jl. MT. Haryono X/159 Malang. 553997

programme, dan policy accountability berturut-turut menekankan pada kinerja, program, dan kebijakan dari suatu entitas yang disampaikan kepada publik. Karena akuntabilitas juga menyangkut fungsi pengawasan, maka informasi yang disajikan kepada publik tersebut harus dimungkinkan untuk dapat diaudit oleh aparat pengawasan fungsional. Dalam kaitan ini akuntansi pemerintahan sebagai penyedia informasi (terutama yang besifat keuangan) dari aktivitas penggunaan resources oleh entitas pemerintah (sektor publik) memegang peranan yang sangat signifikan. Karena tujuan akuntansi (pelaporan keuangan) seringkali diturunkan dari tujuan entitas, maka tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat (publik) merupakan landasan pelaksanaan akuntansi pemerintahan (nonprofit organization). Informasi Akuntansi Pemerintahan Akuntansi pemerintahan memiliki tiga tujuan utama yakni sebagai sarana (1) pertanggungjawaban, (2) manajerial, dan (3) pengawasan. Berdasarkan tujuan-tujuan ini maka dapat diidentifikasi beberapa pihak yang membutuhkan informasi akuntansi pemerintahan sebagai berikut : (Wirakusumah dan Dewi, 1992 sebagaimana dikutip Nurcholis, 2000). Pertama, pihak-pihak yang terpilih dan ditunjuk untuk merancang dan mengesahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah yang meliputi Menteri Keuangan dan Bappenas, serta anggota DPR/DPRD. Mereka membutuhkan informasi/laporan sebagai hasil realisasi dari perencanaan pendapatan dan belanja negara/daerah untuk menilai efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan negara/daerah dari anggaran yang dibuat dan juga untuk dipergunakan sebagai dasar dalam perencanaan untuk periode berikutnya. Kedua, adalah pihak eksekutif (presiden, menteri-menteri, gubernur, bupati/ walikota) yang dipilih dan diangkat untuk

Ihyaul Ulum MD, Jl. MT. Haryono X/159 Malang. 553997

menjalankan pemerintahan. Disamping untuk menjalankan fungsi perencanaan dan pengendalian keuangan, mereka mutlak membutuhkan informasi akuntansi pemerintahan untuk tujuan manajerial. Dengan ini diharapkan mereka dapat menggunakan dan mengalokasikan sumberdaya (yang sifatnya selalu terbatas) secara optimal. Ketiga, adalah para aparat pengawasan fungsional yang di

Indonesia meliputi: Bapeka, Menko Wasbang, BPKP, Inspektorat Jenderal Departemen, Inspektorat Wilayah Propinsi, dan Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kotamadya yang semuanya bertanggungjwab untuk meyakinkan bahwa penggunaan uang negara/daerah telah dilakukan sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku. Sebagai aparat fungsional, mereka melakukan fungsi auditing. Dengan demikian akuntansi pemerintahan yang diselenggarakan harus auditable. Keempat, adalah penerima produk dan jasa (layanan) yang diberikan pemerintah. Mereka ini adalah masyarakat luas yang berhak mendapatkan layanan dari (atau menjadi konsumen) PDAM, PLN, perlindungan keamanan, layanan pendidikan dan kesehatan, dll. Kelima, adalah kelompok penyedia dana untuk pembelanjaan negara. Mereka adalah: pembayar pajak, para karyawan, bank, pemerintah negara lain, serta beberapa organisasi masyarakat. Keenam, adalah adalah sejumlah peneliti dan lembaga-lembaga pendidikan yang membutuhkan laporan dari pemerintah (sektor publik) untuk tujuan analisis atau penelitian ilmiah dalam rangka turut serta memberikan masukan dalam memperbaiki kesejahteraan sosial. Apabila akuntabilitas publik berjalan dengan baik, keenam pihak yang membutuhkan informasi dari produk akuntansi pemerintahan tersebut harus dapat mengakses informasi yang

Ihyaul Ulum MD, Jl. MT. Haryono X/159 Malang. 553997

mereka perlukan berkaitan dengan manajemen sektor pemerintahan (publik) dengan ongkos yang minimal (bilamana perlu costless). PENGAWASAN KEUANGAN NEGARA (DAERAH) Pemberlakukan UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah jelas akan membawa dampak perubahan dalam pola pengelolaan (manajemen) pemerintahan daerah. Sebagaimana disebutkan pada pasal 7 UU tersebut, kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain (seperti kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, sistem administrasi dan ekonomi negara, pendayagunaan sumberdaya alam dan teknologi tinggi strategis, konservasi, dan standardisasi nasional). Otonomi daerah tidak ada artinya jika tanpa disertai

dengan pelimpahan kewenangan keuangan dari pusat ke daerah. Sehingga UU No 25/1999 secara tegas mengatur tentang hal tersebut. Dengan diberlakukannya UU tersebut, maka daerah harus mampu menggali sendiri sumber-sumber pembiayaannya. Sumber-sumber keuangan daerah menurut UU. No 25 Tahun 1999 terdiri dari (a) Pendapatan Asli Daerah (PAD), (b) Dana Perimbangan, (c) Pinjaman daerah dan (d) Lain-lain pendapatan yang sah (hibah dan dana darurat). Masalah kebocoran adalah masalah yang sangat serius di dalam pengelolaan keuangan negara di Indonesia. Namun selama ini masalah itu lebih banyak disoroti dari aspek moralnya. Tidak banyak pihak yang menyadari bahwa masalah kebocoran sebagai sebuah persoalan kegagalan administrasi, sebenarnya lebih banyak berkaitan dengan metode pengelolaan, metode pembukuan, dan metode pengawasan keuangan negara itu sendiri. Dari keseluruhan delapan (8) item persyaratan akuntansi pemerintahan yang ditetapkan oleh PBB, tiga (3) diantaranya mengatur tentang pengawasan keuangan negara. Hal ini

Ihyaul Ulum MD, Jl. MT. Haryono X/159 Malang. 553997

menunjukkan bahwa faktor akurasi informasi dan akuntablitas publik menjadi sesuatu yang teramat mendasar dalam pengelolaan keuangan negara. Ketiga persyaratan tersebut antara lain (Sugijanto, at all, 1995:7) : Pertama, The accounts must be maintained in a manner that will clearly identify the objects and purposes for which funds have been received and expended and the executive authorities who are responsible for custody and use of funds in program execution; Perkiraan-perkiraan harus diselenggarakan dengan suatu cara yang menunjukkan secara jelas obyek dan tujuan penerimaan dan penggunaan dana serta pejabat yang bertanggungjawab atas penyimpanan dan penggunaannya. Kedua, Accounting systems must be maintained in a way that will facilitate audit by external review authorities, and readily furnish the information needed for executive audit; Sistem akuntansi harus diselenggarakan dengan cara yang memungkinkan pemeriksaan oleh aparat pengawasan ekstern, dan menyediakan informasi yang dibutuhkan untuk pemeriksaan. Ketiga, Accounting systems must be developed in manner that will permit effective administrative control of funds and operations, program management, and internal audit and appraisal; Sistem akuntansi harus dikembangkan dengan cara yang memungkinkan pengawasan administratif yang efektif atas dana-dana dan kegiatan-kegiatan, manajemen program, pemeriksaan intern, dan penilaian. Perdefinisi, pengawasan adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan secara terus menerus atau berkesinambungan untuk mengamati, memahami dan menilai setiap pelaksanaan kegiatan tertentu sehingga dapat dicegah atau diperbaiki kesalahan atau penyimpangan yang terjadi. Pengawasan Keuangan Negara adalah segala tindakan untuk menjamin agar pengelolaan keuangan negara berjalan sesuai dengan tujuan, rencana, dan aturanaturan yang telah digariskan (Revrisond Baswir, 1995:118). Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui bahwa tujuan pengawasan keuangan negara adalah : (1) untuk menjaga
Ihyaul Ulum MD, Jl. MT. Haryono X/159 Malang. 553997

agar anggaran yang disusun benar-benar dapat dijalankan; (2) untuk menjaga agar kegiatan pengumpulan penerimaan dan pembelanjaan pengeluaran negara sesuai dengan anggaran yang telah digariskan; dan (3) untuk menjaga agar pelaksanaan APBN benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu aspek dari kegiatan pengawasan adalah pelaksanaan pemeriksaan yang secara umum diartikan sebagai suatu proses yang sistematis untuk mengidentifikasikan masalah, analisa dan evaluasi yang dilakukan secara independen dan konstruktif serta dengan pemberian pendapat atau apabila dipandang perlu rekomendasi (Usman Damanik, 2000). Tujuannya adalah untuk menilai apakah pelaksanaan kegiatan yang sesungguhnya telah sesuai dengan yang seharusnya. Seiring dengan otonomi daerah, untuk menekan beralihnya KKN dari pusat ke daerah dan untuk tidak mendesentralisasi masalah, maka pengawasan terhadap keuangan daerah harus dilakukan secara lebih serius dan cermat. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir kekhawatiran beralihnya budaya KKN di tingkat pusat ke daerah-daerah. Tantangan pemerintah daerah adalah mengembangkan inovasi untuk membangun efektivitas, akuntabilitas dan keterbukaan untuk mencapai efisiensi pada pelayanan masyarakat. Hal itu tak mungkin dilakukan tanpa menghilangkan budaya korupsi. Pemerintah daerah mempunyai kesempatan lebih baik dan luas untuk melayani masyarakat dengan semangat keterbukaan, disiplin dan transparansi fiskal, asal optimalisasi pengawasan terhadap korupsi terus ditingkatkan. Korupsi akan mempengaruhi alokasi sumberdaya daerah dan kualitas penampilan pemerintah daerah. Konsekuensi korupsi adalah inefisiensi dan penurunan kualitas pelayanan publik, peningkatan polarisasi (pertentangan) sosial, penurunan investasi dan pertumbuhan ekonomi daerah. Oleh sebab itu, penanggulangan korupsi harus merupakan agenda utama yang paling krusial untuk mencapai pemerintahan daerah yang lebih efektif, adil dan efisien.

Ihyaul Ulum MD, Jl. MT. Haryono X/159 Malang. 553997

Korupsi pada level pemerintahan daerah dapat muncul dalam beberapa bentuk. Tipe utama korupsi di pemerintahan daerah adalah dari sisi (a) penerimaan; (b) permintaan / pemerasan uang suap; (c) patronase (pemberian perlindungan); (d) nepotisme; (e) pencurian atau penggangsiran barang-barang publik untuk kepentingan pribadi. Penggangsiran barang-barang publik diantaranya dilakukan melalui swastanisasi perusahaan publik secara spontan dan tidak transparan, penggunaan peralatan atau sumberdaya keuangan publik untuk kepentingan individu, pemilikan dana perusahaan daerah yang tidak terkontrol, memperoleh kredit tanpa mau mengembalikan, membayar gaji kepada orang yang tidak memberi kontribusi. (f) korupsi politik, misalnya perilaku curang/politik uang pada pemilihan anggota legislatif ataupun pejabat-pejabat eksekutif, dana ilegal untuk pembiayaan kampanye, penyelesaian konflik parlemen melalui cara-cara ilegal dan lobbying (teknik lobi yang menyimpang); dan (g) clientelism (pola hubungan langganan) (de Asis, 2000 seperti dikutip Anang Arief Susanto, 2001). Dalam konteks pengawasan keuangan daerah ini, maka hal yang mendasar adalah akuntabilitas dari setiap penyelenggara sektor publik. Dari sisi pemerintah, kiranya sudah saatnya dipertimbangkan untuk tidak lagi menggunakan T-Account dalam pencatatan akuntansinya, dan mulai menerapkan Double Entry Accounting System yang relatif lebih auditable. Meskipun memang akan banyak kendala yang dihadapi terutama berkaitan dengan kesiapan sumberdaya manusia di sektor pemerintahan. -----

Ihyaul Ulum MD, Jl. MT. Haryono X/159 Malang. 553997

Anda mungkin juga menyukai