Anda di halaman 1dari 11

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROSES REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI ACEH PASCA BENCANA

Fadjri Alihar Pusat Penelitian Kependudukan LIPI

1. Latar Belakang
Bencana gempa bumi dan gelombang tsunami yang melanda wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam pada akhir tahun yang lalu (26 Desember 2004) telah mengakibatkan kerugian yang sangat besar tidak hanya kerusakan harta benda dan infrastruktur, melainkan juga telah menelan korban jiwa manusia yang cukup besar pula. Diperkirakan jumlah korban yang meninggal mencapai 117 ribu jiwa, sedangkan penduduk yang hilang mencapai 114 ribu jiwa. Bencana tersebut juga telah mengakibatkan banyaknya penduduk di daerah bencana mengungsi yang jumlahnya mencapai 450 ribu jiwa. Bencana tersebut ternyata tidak hanya mengakibatkan terjadinya kerusakan fisik, melainkan juga telah menyisakan berbagai trauma yang sangat berat bagi masyarakat Aceh. Hal ini mengingat banyak diantara masyarakat atau keluarga di Aceh yang tidak hanya kehilangan tempat tinggal, melainkan juga telah kehilangan berbagai anggota keluarganya, seperti anak, orang tua, saudara serta kerabat dekat lainnya. Bencana ini juga telah mengakibatkan terjadinya perubahan struktur keluarga (demografi) dalam masyarakat Aceh karena banyaknya anak-anak yang menjadi yatim-piatu atau orang tua kehilangan anakanaknya, bahkan ada beberapa keluarga yang hilang sama sekali. Bencana tersebut juga telah mengakibatkan satu generasi masyarakat Aceh hilang. Diperlukan sebuah pemikiran untuk menggali dan menata kembali sumberdaya manusia (SDM) yang saat ini masih tersisa di Aceh. Dampak dari bencana tsunami tersebut juga telah mengakibatkan hancurnya komonitas dan berbagai kelembagan serta pranata sosial masyarakat Aceh. Disamping itu, tatanan keagamaan yang merupakan bagian penting dari lingkungan masyarakat Aceh juga mengalami kerusakan. Hal ini terlihat dari banyaknya pemukiman penduduk dan rumah-rumah ibadah yang rusak dan hancur dilanda gelombang tsunami. Berbagai kajian sangat dibutuhkan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat Aceh seperti sediakala agar mereka memiliki semangat untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Berbagai infrastruktur yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi yang rusak atau hancur harus diprioritaskan untuk segera diperbaiki dan dibangun kembali agar memberikan multiplier effect bagi kegiatan-kegiatan masyarakat lainnya. Dalam rangka melakukan proses rehabilitasi dan rekonstruksi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pasca bencana telah melibatkan berbagai kegiatan Departement dan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND). Hanya saja terlihat sama sekali tidak ada koordinasi yang jelas antara satu departemen dengan departemen

yang lain dalam kegiatan pembangunan Aceh kembali. Masing-masing departemen cenderung mengedepankan ego sektoralnya, sehingga berdampak terhadap kemajuan proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Seharusnya masing-masing departemen tersebut harus berkolaborasi dan bersinergi serta duduk bersama untuk menyatukan berbagai visi dan program demi kelangsungan pembangunan kembali Aceh. Selain itu, masing-masing departemen terlihat lebih mengedepankan pendekatan proyek dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan selalu menonjolkan aspek pembiayaan pembangunan fisik saja, sementara pembangunan masyarakatnya sama sekali tidak pernah disentuh. Hal ini merupakan paradigma pembangunan yang selama ini diterapkan, aspek pembangunan fisik lebih penting daripada pembangunan non-fisik. Paradigma tersebut juga telah memberikan semacam aksioma bahwa apabila pembangunan fisik telah diselesaikan, maka selesailah semua persoalan yang ada. Sebagai akibatnya berbagai persoalan sosialbudaya muncul kemudian ketika proses pembangunan tersebut selesai dilakukan. Ketika semua persoalan ini muncul terlihat pemerintah tidak siap menghadapinya dan untuk mengatasinya biasanya pemerintah melakukan metode kambing hitam dengan jalan menyalahkan pihak-pihak tertentu. Dalam menangani berbagai kegiatan pembangunan pasca bencana di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam paradigma-paradigma pembangunan yang memarginalkan masyarakat harus segera ditinggalkan. Berbagai proses rehabilitasi dan rekontruksi yang akan dilakukan harus melibatkan seluruh komponen masyarakat dengan segala aspek sosial-buidayanya. Oleh karena itu, diperlukan sebuah pemahaman yang konprehensif terhadap berbagai karakter sosial-budaya suatu masyarakat, terutama dalam melakukan berbagai kegiatan pembangunan tidak hanya di Aceh, melainkan di daerah lainnya di Indonesia. Dengan sentuhan aspek sosial-budaya tersebut kiranya masyarakat dapat dengan cepat memahami dan menyerap berbagai kegiatan pembangunan yang akan dilakukan di daerahnya. Makalah ini mencoba memberikan pemikiran bahwa dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca bencana dapat dilakukan dan dikelola secara bersamasama tidak hanya lintas sektoral, melainkan juga harus melibatkan seluruh masyarakat (stakeholders) yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pengelolaan bersama ini kiranya sangat diperlukan karena kegiatan pembangunan yang dilakukan mencakup aspek yang sangat luas dari kehidupan masyarakat Aceh. Dengan demikian berbagai aspirasi yang muncul dari masyarakat dapat dengan cepat diserap dan ditanggapi dalam proses rehabilitasi dan rekontruksi tersebut. Ada beberapa aspek yang akan dilihat dari makalah ini, pertama, peta sosial-budaya dan demografi masyarakat Aceh sebelum dan sesudah bencana tsunami sebagai bahan pertimbangan bagi relokasi pengungsi dan resettlement dan kedua, rencana tataruang dan badan otorita khusus (BOK) Aceh

2. Relokasi Pengungsi dan Resettlement


Salah satu kendala utama dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca bencana adalah tidak tersedianya data-data yang berkaitan dengan berbagai persoalan sosial-budaya. Padahal data tersebut sangat diperlukan apabila Aceh akan dibangun kembali sesuai dengan adat-istiadat masyarakat Aceh yang bersifat

religius-islami. Data sosial-budaya tersebut mutlak tersedia dan diperlukan jika pemerintah menginginkan pembangunan kembali Aceh tidak menyimpang dari nilai-nilai sosial-budaya yang dianut masyarakat Aceh. Hanya saja hingga minggu ketujuh pasca bencana tsunami di Aceh ternyata datadata sosial-budaya dan demografi tiap-tiap daerah (kabupaten) bencana belum tersedia, apalagi dipetakan secara terperinci. Untuk memperoleh data-data tersebut kiranya ada dua cara yang dilakukan yaitu pertama, pemetaan dengan menggunakan sistem informasi geografi (GIS), terutama untuk mengetahui secara cepat berbagai kerusakan fisik. Kedua, melakukan survai dengan metoda rapid assessment, terutama untuk mengumpulkan data-data sosial, budaya, ekonomi dan demografi. Survai tersebut dapat dengan cepat dilakukan karena data-data sebelum bencana tsunami dapat diperoleh melalui Biro Pusat Statistik (BPS) maupun dari bank data (Web) dari masing-masing daerah bencana.

Berbagai data yang terkumpul, baik melalui GIS maupun survai kemudian diolah dan dianalisis secara cepat, terutama untuk menentukan profil daerah bencana secara umum. Proses penanganan daerah bencana yang satu dengan daerah bencana yang lain tentunya akan berbeda sesuai dengan tingkat kerusakan yang dialami daerah yang bersangkutan. Hanya saja data yang memuat profil daerah tersebut tidak cukup untuk melakukan sebuah proses rehabilitasi dan rekonstruksi daerah bencana sebelum mengetahui berbagai perilaku sosial-budaya masyarakatnya. Perlu dicatat bahwa bencana tsunami yang terjadi telah mengakibatkan hancurnya komonitas dan kelembagaan sosial masyarakat Aceh. Keadaan ini tentunya berdampak terhadap berubahnya sistem kekerabatan dan kegotongroyongan masyarakat. Bencana tersebut juga telah mengakibatkan terjadinya perubahan demografi masyarakat Aceh, baik secara kuantitas maupun kualitas. Seperti diketahui secara kuantitas bencana tersebut telah mengakibatkan jatuhnya korban manusia sekitar 240 ribu jiwa, baik yang meninggal dunia dan hilang. Demikian pula banyak diantara masyarakat yang mengungsi karena tempat tinggal mereka semula rusak atau hancur dan kebanyakan tidak mungkin ditempati lagi. Banyaknya jumlah penduduk yang menjadi korban juga telah mengakibatkan terjadinya perubahan struktur keluarga dalam masyarakat dan ini tentunya berdampak terhadap masa depan sumberdaya manusia (SDM) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Penurunan kualitas SDM masyarakat Aceh tersebut juga diperparah dengan banyaknya jumlah guru dan dosen yang meninggal. Selain itu, banyak sarana dan prasarana pendidikan yang rusak atau hancur. Seperti diketahui jumlah gedung sekolah yang rusak mencapai sekitar 1.586 buah yang meliputi sekolah, madrasah dan perguruan tinggi atau sekitar 23,5 persen dari seluruh lembaga pendidikan sebelum bencana. Sementara itu jumlah lembaga pendidikan non formal yang rusak sebanyak 2.197 lembaga yang terdiri dari lembaga pendidikan anak dini usia (PADU), pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), lembaga kursus, pondok pesantren, madrasah diniyah, dan taman pendidikan Alquran (TPA). Berbagai data tentang keadaan sosial-budaya, ekonomi serta demografi yang telah dikumpulkan oleh beberapa lembaga, baik pemerintah maupun non

pemerintah paling tidak dapat dijadikan sebagai data awal yang dimasukkan didalam GIS. Data yang lebih lengkap tentunya akan dikumpulkan dari lapangan dengan menggunakan pendekatan survai. Kombinasi kedua data tersebut kiranya dapat memperkaya khasanah pengetahuan tentang berbagai kondisi sosialbudaya, ekonomi dan demografi masyarakat Aceh, terutama setelah terjadi bencana. Setelah semua data sosial-budaya, ekonomi dan demografi terkumpul dan digabung dengan data GIS tentunya dengan mudah dilakukan kegiatan yang harus dilakukan secara tepat pada suatu daerah. Diharapkan dengan bantuan GIS tersebut semua kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh pasca bencana dapat dilakukan dengan sasaran yang tepat, baik secara kuantitas maupun kualitas. Artinya kegiatan yang dilakukan sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan dan kerusakan yang terjadi dilapangan. Selain itu, berbagai kegiatan yang dilakukan sesuai dengan kondisi dan aspirasi sosial-budaya masyarakat Aceh. Demikian pula dalam melakukan relokasi pengungsi dan resettlement tentunya data yang ada didalam GIS dapat dimanfaatkan untuk menentukan letak dan posisi bagi pemukiman penduduk dan peruntukannya, terutama bagi kegiatan sosial kemasyarakatan. Masyarakat Aceh yang sangat kental dengan nuansanuansa sosial-budaya yang bersifat religius-islami tentunya membutuhkan ruang (space) yang sangat spesifik. Penentuan berbagai lokasi relokasi dan resettlement masyarakat Aceh pasca bencana tsunami dalam pelaksanaannya harus bisa berkolaborasi dengan masyarakat lokal. Atau dengan kata lain pengelolaan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan masalah relokasi dan resettlement dapat dilakukan bersama-sama dengan masyarakat lokal. Hanya saja berbagai permasalahan yang muncul dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca bencana sebenarnya tidak terlepas dari paradigma pembangunan yang diterapkan selama ini, dimana peran pemerintah sangat dominan (state based management), mulai dari perencanaan sampai ke pelaksanaannya. Padahal dalam pengelolaan pembangunan suatu daerah, apalagi di daerah bencana seperti di Aceh berbagai unsur sosial kemasyarakatan, khususnya masyarakat lokal mutlak diikutsertakan sebagai unsur (stakeholders) yang paling dekat dengan kawasan tersebut. Pengelolaan daerah bencana (dissarter management) yang dilakukan selama ini di Indonesia ternyata mempunyai karakteristik permasalahan yang relatif hampir sama. Hal ini merupakan implikasi dari keseragaman pendekatan yang dilakukan, mulai dari tingkat kebijakan sampai pada pelaksanaan di lapangan. Sebagai akibatnya banyak kegiatan di daerah bencana, terutama dalam penyaluran bantuan dan relokasi pengungsi ternyata banyak yang tidak memenuhi sasaran. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa pemerintah tidak siap dan sama sekali tidak mempunyai manajemen, terutama menghadapi bencana-bencana yang terjadi secara mendadak dan berskala besar. Jika saja bantuan asing tidak segera masuk ke Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam kemungkinan jumlah korban akan semakin besar. Oleh karena itu, diperlukan sebuah pendekatan sosial yang berbasis masyarakat (social community approach) agar semua proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dapat berjalan sebagaimana mestinya. Pendekatan sosial kemasyarakatan tersebut terutama dilakukan dengan jalan memperkuat peranan dan tanggung

jawab masyarakat lokal. Berbagai ancaman yang muncul dalam setiap proses pembangunan kembali Aceh kiranya dapat dihindari dan diantisipasi apabila peran masyarakat lokal diperkuat dengan mengikutsertakan mereka dalam setiap proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk mewujudkan pengelolaan pembangunan kembali Aceh pasca bencana kiranya peran berbagai komponen masyarakat (stakeholders) mutlak ditempatkan pada posisi yang semestinya. Hal ini sebagai perwujudan dari proses penyesuaian dari perubahan politik dan sosial budaya yang terjadi ditengah masyarakat sekarang ini. Oleh karenanya dalam setiap proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan Aceh pasca bencana kiranya berbagai aspirasi yang berkembang didalam masyarakat harus diperhatikan secara seksama. Hal ini mengingat bahwa masyarakat Aceh merupakan masyarakat yang baru saja tertimpa bencana dan jangan sampai mereka terpinggirkan oleh konspirasi pebangunan itu sendiri.

3. Tataruang dan Badan Otorita Khusus Aceh


Meulaboh termasuk salah satu daerah di pantai barat Aceh yang paling parah diterjang gelombang tsunami. Namun karena cepatnya pemerintah menyediakan dan mendatangkan berbagai peralatan berat, sehingga kota Meulaboh termasuk salah satu daerah bencana yang paling cepat kembali melakukan berbagai aktivitas kegiatan perekonomian, seperti pedagangan. Kurang dari 2 minggu pasca bencana diberbagai tempat di Meulaboh telah tumbuh pasar-pasar dan warung tradisional yang melayani berbagai kebutuhan masyarakat. Dalam rangka membenahi dan membangun kembali (rekonstruksi) terlihat pemerintah daerah Kabupaten Aceh Barat bergerak terlalu cepat dan bahkan melalui pejabat Bupatinya Syahbuddin, BP telah meminta pihak swasta dari Jakarta yaitu perusahaan multi nasional Artha Graha untuk segera membuat Cetak Biru tata ruang kota Meulaboh. Banyak kalangan menilai permintaan pejabat Bupati Aceh Barat tersebut sangat tergesa-gesa, sementara kota Banda Aceh saja sebagai ibukota Provinsi NAD dan pusat pemerintahan, kegiatan yang dilakukan masih sebatas dalam pembersihan kota. Rasanya terlampau naf dan terkesan sangat terburu-buru jika saat ini Bupati Aceh Barat Syahbuddin BP sudah menawarkan kepada Artha Graha untuk membuat sebuah cetak biru rencana tata ruang kota Meulaboh. Hal ini mengingat pembuatan cetak biru tataruang tersebut harus terintegrasi dengan daerahdaerah lainnya yang terkena bencana. Padahal sebelumnya pemerintah melalui Wakil Presiden Jusuf Kalla telah menegaskan bahwa pembuatan cetak biru rencana tataruang Propinsi NAD pasca bencana diserahkan kepada Bappenas dan Bappeda Aceh dengan melibatkan dua perguruan tinggi daerah yaitu Universitas Syah Kuala dan IAIN Ar-Raniry. Pernyataan dari Syahbuddin BP selaku pejabat Bupati Aceh Barat kiranya tidak perlu diperdebatkan terlampau jauh, tetapi perlu dicatat bahwa para ulama di Aceh yang tergabung dalam Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU) telah menolak apabila cetak biru tataruang Propinsi NAD pasca bencana dibuat oleh pihak swasta. Penolakan tersebut kiranya mempunyai makna yang sangat dalam bahwa Aceh jangan sampai diacak-acak oleh orang luar. Biarkan orang Aceh yang mengatur kehidupannya sendiri seperti sediakala.

Para ulama Aceh menghimbau agar semua rencana yang menyangkut pembuatan cetak biru tataruang Propinsi NAD harus melibatkan berbagai stakeholders dari masyarakat lokal. Artinya dalam pembuatan cetak biru rencana tataruang tersebut harus melibatkan seluruh komponen masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh harus diberi ruang untuk berbicara dan berpatisipasi secara aktif, terutama dalam menentukan tempat-tempat yang sensitif, terutama yang berkaitan dengan penentuan batas-batas rumah dan tanah. Demikian pula dengan penentuan lokasi tempat-tempat ibadah, seperti mesjid, mushala, meunasah serta tempat-tempat pendidikan agama yang sifatnya informal lainnya. Cetak biru tataruang yang nantinya akan dibuat jangan sampai mencabut masyarakat dari akar ke-Acehannya, sehingga mereka kehilangan jati diri. Oleh karena itu, cetak biru tataruang yang akan dibuat seyogiyanya menggambarkan sebuah pemukiman yang penuh dengan nuansa-nuansa Islami. Pemukiman tersebut harus dirancang sedemikian rupa agar memberi ketenangan dan ketentraman bagi masyarakat, walaupun mereka baru tertimpa musibah. Berbagai pendataan dan pemetaan tentang tempat-tempat kegiatan sebelumnya yang bersifat religius mutlak dilakukan untuk menata kembali ruang paling tidak mendekati pemukiman penduduk sebelum terjadi bencana. Kondisi-kondisi psikologis seperti ini perlu diciptakan untuk membangkitkan semangat masyarakat Aceh yang selamat untuk kembali menjalani kehidupan seperti semula. Harus diingat pula bahwa pola pemukiman penduduk di Aceh juga tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur kekeluargaan. Artinya banyak diantara kelompok masyarakat Aceh lebih senang bertempat tinggal berdekatan dengan saudarasaudaranya. Hal ini bisa disimak ketika salah seorang anggota jemaah haji asal Aceh dari Kloter I, H. Amiruddin yang baru sampai di Banda Aceh berkesempatan mengunjungi bekas rumahnya yang telah menjadi puing di Ulee Lheue (Kompas, 22 Januari 2005). Pada saat itu H. Amiruddin dengan nada sedih menujukkan lapak rumahnya yang tinggal lantai yang sudah rata dengan tanah. Beliau juga menunjukkan lokasi rumah orang tua dan saudaranya yang tidak jauh dari rumahnya. Semua ini menunjukkan bahwa pola pemukiman penduduk di Aceh bersifat kekeluargaan. Oleh karena itu, dalam membuat rencana tataruang untuk daerah-daerah yang terkena bencana di Aceh faktor-faktor kekeluargaan tersebut harus diadopsi agar masyarakat Aceh menemukan kembali marwah dan martabatnya. Pemikiran yang disampaikan oleh para ulama Aceh bahwa proses pembuatan cetak biru rencana tataruang daerah Aceh memerlukan perencanaan yang serius dan pemikiran yang matang kiranya mutlak harus mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Pembuatan cetak biru tataruang tersebut tidak boleh dilakukan dengan tergesa-gesa apalagi dengan mengesampingkan peran rakyat Aceh karena bagaimanapun juga berbicara tentang Aceh tentu orang Aceh sendirilah yang paling mengetahuinya. Jangan sampai pembuatan cetak biru tataruang tersebut menimbulkan kekecewaan dan gejolak baru pada rakyat Aceh. Oleh karenanya, kredibilitas pemerintah sangat dipertaruhkan, apakah memihak rakyat Aceh atau bukan?. Hanya saja beberapa hari yang lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika bertemu dengan Perdana Menteri Singapura menyatakan bahwa pembuatan cetak

biru tataruang Aceh pasca bencana akan selesai dalam waktu 2 sampai 3 minggu mendatang (Kompas, 2 Februari 2005). Pernyataan presiden tersebut kiranya telah menimbulkan pertanyaan, pertama apakah dalam waktu sesingkat itu sebuah cetak biru tataruang Aceh bisa diselesaikan, kedua, bagaimana peran para tokoh masyarakat Aceh seperti yang diminta oleh para ulama Aceh dan ketiga, bagaimana peran perguruan tinggi daerah seperti Universitas Syah Kuala dan IAIN Ar-Raniry dalam pembuatan cetak biru tersebut. Sekali lagi berbagai himbauan yang disampaikan oleh para ulama Aceh dalam pembuatan cetak biru rencana tataruang Aceh pasca bencana seyogiyanya harus ditanggapi pemerintah secara arif dan kepala dingin. Saat ini merupakan waktu yang tepat bagi pemerintah dalam menangani rekonstruksi Aceh pasca bencana secara serius. Keseriusan ini kiranya sangat diperlukan untuk mencairkan pandangan bahwa pemerintah selama ini tidak pernah mampu menyelesaikan berbagai kasus di Aceh secara tuntas. Dalam rekonstruksi tersebut, pemerintah harus berangkat dengan kebijakan co-management dengan melibatkan seluruh potensi masyarakat Aceh dalam membangun kembali daerahnya. Pemerintah pusat dan pihak swasta jangan pernah merasa bisa membangun kembali Aceh bisa dilakukan dengan sendirian. Tanpa partisipasi masyarakat Aceh proses rekonstruksi Aceh akan mengalami hambatan yang sangat besar. Kebijakan dengan menggunakan pendekatan target yang selama ini diterapkan pemerintah dalam setiap kegiatan pembangunan harus segera ditinggalkan, apalagi dalam menangani daerah bencana. Dalam situasi seperti sekarang ini yang dibutuhkan bukanlah berapa jumlah infrastruktur yang dibangun, melainkan lebih ditekankan apakah infrastruktur yang dibangun tersebut memenuhi aspirasi dan dapat dipergunakan oleh masyarakat. Beberapa media massa akhir-akhir ini memberitakan bahwa banyak diantara pengungsi di Aceh yang tidak mau dipindahkan ke tempat (rumah) penampungan yang telah dibangun pemerintah. Mereka lebih senang tinggal di tenda-tenda pengungsi dengan fasilitas seadanya. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa pemerintah tidak pernah memahami dan menyadari bahwa karakter sosial-budaya masyarakat Aceh yang mungkin tidak bisa beradaptasi dengan model rumah yang dibangun pemerintah karena mereka terbiasa hidup bersama secara mengelompok dekat sanak keluarganya. Faktor yang lain kemungkinan tempat penampungan yang dibangun tersebut jauh dari tempat kerja dan tempat sekolah anak-anak para pengungsi. Penyamarataan (unifornitas) dalam penanganan relokasi pengungsi dan rekonstruksi di Aceh sekali lagi menunjukkan bahwa pemerintah bekerja selalu menggunakan pedekatan target, aspek kuantitas lebih penting daripada aspek kualitasnya. Selain pembuatan cetak biru rencana tataruang Aceh, pemerintah juga berencana membuat Badan Otorita Khusus (BOK) Aceh dengan maksud untuk mempercepat proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca bencana. Hanya saja untuk mewujudkan pembentukan BOK tersebut terdapat pro dan kontra dikalangan pejabat pemerintah. Namun Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa proses pembentukan BOK Aceh akan selesai awal bulan Maret ini. Ada beberapa alasan pemerintah berencana membetuk BOK Aceh, antara lain pertama, hampir semua kegiatan pemerintahan di Aceh lumpuh. Hal ini mengingat sebagian besar gedung perkantoran pemerintah daerah rusak dan hancur. Kedua, banyak sumberdaya manusia khususnya pegawai negeri sipil (PNS)

yang meninggal atau hilang. Bahkan ketika bencana tsunami yang lalu ada beberapa kepala daerah dan walikota yang meninggal. Ketiga, walaupun pemerintah daerah di Propinsi NAD sebagian masih bisa berjalan, namun tidak bisa berjalan secara optimal karena banyak diantara aparatur pemerintahannya, khususnya di daerah bencana masih mengalami trauma (shock). Sementara ini, untuk membantu pemerintah daerah Provinsi NAD dalam menjalankan roda pemerintahan serta penanggulangan bencana, pemerintah telah menempatkan Menko Kesra selaku Ketua Harian Bakornas Penanggulangan Bencana di Banda Aceh. Tugas utamanya adalah mengkoordinir berbagai bantuan yang datang dari dalam dan luar negeri, terutama selama masa tanggap darurat. Kehadiran Menko Kesra selaku Ketua Harian Bakornas Penanggulangan Bencana di Aceh tentunya bukan untuk selamanya dan kemungkinan terbatas hanya untuk masa tanggap darurat saja karena tugas-tugasnya selaku menteri bisa terbengkalai. Berdasarkan pertimbangan inilah kiranya pemerintah berencana membentuk BOK Aceh sebagai perpanjangan tangan pemerintah dengan tujuan mempercepat eskalarasi rekonstruksi dan pembangunan di daerah Provinsi NAD pasca bencana. Terlepas dari pro dan kontra pembentukan BOK seperti halnya pembuatan cetak biru tataruang Aceh kiranya ada beberapa yang harus diperhatikan, pertama, program dan kegiatannya harus mengacu kepada nilai-nilai lokal yang bersifat relegius-Islami. Kedua, sumberdaya manusia (SDM) yang nantinya menjadi motor penggerak BOK Aceh harus merekrut putra-putra terbaik yang berasal dari Aceh. Kebijakan masa lalu yang memarginalkan SDM lokal (Aceh) jangan diulangi lagi, terutama dalam proses rekruitment tenaga-tenaga professional yang akan mengisi BOK Aceh. Ketiga, BOK yang akan dibentuk harus bisa bekerjasama dan bersinergi dengan berbagai instansi atau dinas-dinas yang telah ada di Aceh. Karena bagaimanapun juga mereka telah mempunyai pengalaman menangani berbagai kegiatan pembangunan di Aceh, seperti Dinas Prasarana Wilayah yang biasa menangani berbagai kegiatan pembangunan jalan, jembatan dan pemukiman. Untuk dapat mengontrol kinerja BOK Aceh kiranya harus diberi target waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya, misalnya selama 5 tahun. Target waktu tersebut perlu dibuat agar proses kerja BOK Aceh tidak berlarut-larut yang bisa menghabiskan dana yang sangat besar. Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, BOK Aceh harus mendapat pengawasan dari satu badan yang ditunjuk pemerintah secara khusus. Evaluasi tahunan harus dilakukan, terutama untuk meningkatkan kinerja BOK Aceh, khususnya bagi mereka yang menduduki jabatan eksekutif. Selain itu, dibutuhkan berbagai kajian sosial-budaya untuk mendukung tugas-tugas BOK Aceh karena berbagai kegiatan yang dilakukan berkaitan dengan kepentingan orang banyak. Mengingat tingkat kerusakan yang disebabkan oleh bencana gempa dan gelombang tsunami di Aceh sangat parah kiranya pemerintah harus mengambil langkah yang tepat untuk menanganinya secara cepat. Pemerintah kiranya tidak bisa membiarkan Aceh berada dalam keadaan darurat secara terus menerus. Perlu atau tidaknya BOK dibentuk di Aceh semuanya ini tergantung pada penilaian pemerintah terhadap kondisi riil dilapangan, apakah proses rekonstruksi Aceh bisa diserahkan kepada pemerintah daerah Provinsi NAD atau pemerintah perlu membentuk badan khusus seperti BOK untuk mempercepat proses pembangunan

Aceh kembali. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan jika pemerintah ingin membentuk suatu badan yang independen seperti Badan Otorita dengan tujuan mempercepat proses rekonstruksi Aceh, antara lain : 1. 2. 3. 4. Memperkuat peranan dan tanggung jawab konstituen lokal Menata ulang kebijakan dan institusi Menerapkan prinsip-prinsip good governance Memperkuat fiskal daerah dan pendanaan jangka panjang

4. Penutup
Sebagai penutup kiranya dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi, pemerintah harus bisa melibatkan dan berkolaborasi bersama masyarakat lokal dengan mengacu pada berbagai nilai sosial-budaya yang hidup ditengah-tengah masyarakat Aceh. Peluang pembangunan (rekonstruksi) Aceh harus bisa dimanfaatkan pemerintah sebagai sarana untuk menyerap dan mendengarkan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat Aceh. Penderitaan masyarakat Aceh saat ini kiranya sungguh maha berat, namun yang lebih penting lagi jangan tambah penderitaannya dengan cara tidak mendengarkan keluhan dan pendapat mereka.

DAFTAR RUJUKAN
Adan, Gazali Abbas. 2002. Win-win Solution Penyelesaian Aceh dalam Musni Umar (penyunting). Aceh : Win-win Solution. Jakarta : Forum Kampus Kuning. Alam, Dipo. 2002. Pendekatan Sosial Budaya dan Ekonomi Dalam Penyelesaian Aceh dalam Musni Umar (penyunting). Aceh : Win-win Solution. Jakarta : Forum Kampus Kuning. Barber, Richard, eds. 2000. Aceh : The untold story. Bangkok :SCHRA Biro Pusat Statistik. 2000. Sabang Dalam Angka. Sabang. Kantor Pusat Statistik. Biro Pusat Statistik. 2000. Kabupaten Aceh Utara Dalam Angka. Lhok Seumawe. Kantor Pusat Statistik. Biro Pusat Statistik. 2000. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Aceh Utara 1993-2003. Lhok Seumawe. Kantor Pusat Statistik. Hasan, Ibrahim. 1990. Bangun Jalan Timbulkan Produksi Berhasil Kembangkan D.I. Aceh. Businese News. 1.2.90 Hurguronje, Snouck. 1906. The Achenese. Leiden : Late E.J. Bril. Kompas. 1999. Propinsi D.I. Aceh, Alamnya Kaya Tetapi Warganya.. Kompas, tanggal 12 Juli 1999 Kompas. 2002 Pasukan TNI Kepung GAM di Kabupaten Utara, Kompas, tanggal 9 Nopember 2002. Metareum, Ismail Hasan. 2002. Penyelesaian Masalah Aceh dalam Musni Umar (penyunting). Aceh : Winwin Solution. Jakarta : Forum Kampus Kuning. Republik Indonesia. 1999. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan Desentralisasi. : Jakarta : Kantor Sekretaris Negara R.I.

10

Republik Indonesia. 2001. Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang Penetapan Perpu No. 1. 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang. Jakarta : Kantor Sekretaris Negara R.I. Republik Indonesia. 2001. Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Jakarta : Kantor Sekretaris Negara R.I. Republik Indonesia. 2001. Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Jakarta : Kantor Sekretaris Negara R.I. Said, Mohammad. 1985. Aceh Sepanjang Abad. Medan : Harian Waspada Sihbudi, Riza, dkk. 2001. Bara Dalam Sekam ; Identifikasi Masalah dan Solusi atas Konflik-konflik di Aceh, Maluku, Papua dan Riau. Jakarta : Mizan Pustaka.

11

Anda mungkin juga menyukai