Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN TUTORIAL KELOMPOK XVIII BLOK GERIATRI SKENARIO 2

INKONTINENSIA URIN PADA PASIEN LANJUT USIA

Disusun Oleh : Nur Nubli Julian Annisa Hidayati Endika Rachmawati Ikvin Muttathiin Khodijah Yahya Novita D C Nunik Wijayanti W Rifki Effendi S Siti Okti A Titis Ummi N J Sukma Hapsari (G0008034) (G0008054) (G0008092) (G0008108) (G0008116) (G0008142) (G0008144) (G0008158) (G0008170) (G0008176) (G0008242)

Tutor :Prof. Dr. Os Hartanto,dr. NIP: 1947 0318 1976 091 001 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 1530% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Masalah inkontinensia urin ini angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Pada pembelajaran KBK-PBL (Kurikulum Berbasis Kompetensi Problem Based Learning), skenario dalam tutorial diharapkan dapat menjadi trigger atau pemicu untuk mempelajari ilmu-ilmu dasar biomedis dan klinik sesuai dengan sasaran pembelajaran yang sudah ditetapkan. Sasaran pembelajaran yang telah ditentukan antara lain: proses penuaan, status kesehatan geriatri, pemeriksaan klinis geriatri, menyusun data dari symptom, pemeriksaan fisik, prosedur klinis dan pemeriksaan laboratorium untuk mengambil kesimpulan suatu diagnosis penyakit geriatri, serta melakukan penatalaksanaan kasus penyakit geriatri. Berdasarkan hal di atas, penulis berusaha untuk mencapai dan memenuhi sasaran pembelajaran tersebut selain melalui tutorial tetapi juga melalui penulisan laporan ini. Penulisan laporan ini diharapkan dapat dijadikan bahan pembelajaran mahasiswa yang bersangkutan dan bahan evaluasi sejauh mana pencapaian sasaran pembelajaran yang sudah didapatkan.

B. Rumusan Masalah 1. Apakah hubungan riwayat stroke dengan inkontinensia alvi ataupun inkontinensia urin? 2. 3. 4. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan? Apa saja diagnosis banding dari tanda-tanda dan keluhan pada lansia tersebut? Bagaimana penatalaksanaannya?

C. Tujuan Penulisan 1. Mengetahui hubungan riwayat stroke dengan inkontinensia 2. Mengetahui pathogenesis dan patofisiologi dari gambaran klinis, hasil pemeriksaan fisik dan penunjang penderita 3. Mengetahui diagnosis penyakit dan prosedur penegakan diagnosis penyakit pada penderita 4. Mengetahui penatalaksanaan penyakit pada penderita

D. Manfaat Penulisan Penulisan laporan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran mahasiswa untuk mencapai sasaran pembelajaran yang sudah ditetapkan dan sebagai tolak ukur tercapainya sasaran pembelajaran tersebut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. INKONTINENSIA URIN Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 1530% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Masalah inkontinensia urin ini angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian bawah. Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami inkontinensia, tetapi tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan bagian normal proses menua (Setiati dan Pramantara. 2007) 1. Klasifikasi a. Inkontinensia Urin Akut Reversibel Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya. Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut. Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan

terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic narcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic. Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat dilihat akronim di bawah ini : D Delirium R Restriksi mobilitas, retensi urin I Infeksi, inflamasi, Impaksi P Poliuria, pharmasi (Setiati dan Pramantara. 2007). b. Inkontinensia Urin Persisten Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis. Kategori klinis meliputi : 1.) Inkontinensia urin stress Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan

intraabdominal, seperti pada saat batuk, bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia di bawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak. 2.) Inkontinensia urin urgensi : Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan berkemih. Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overactivity). Masalahmasalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin.

Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai ikontinensia urin tipe lain sehingga penanganannya tidak tepat. 3.) Inkontinensia urin overflow : Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung kemih yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh. 4.) Inkontinensia urin fungsional : Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran urin akibat faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia berat, masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang menyebabkan kesulitan unutk pergi ke kamar mandi, dan faktor psikologis. Seringkali inkontinensia urin pada lansia muncul dengan berbagai gejala dan gambaran urodinamik lebih dari satu tipe inkontinensia urin. Penatalaksanaan yang tepat memerlukan identifikasi semua komponen (Darmojo dan Hadimartono, 1999).

B. HIPERTROFI PROSTAT JINAK Berdasarkan angka otopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang

akan terjadi perubahan patologik anatomik. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut di atas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik (Yatim, 2004). 1. Etiologi Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen, karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer. Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan maka efek perubahan juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. (Yatim, 2004) 2. Gambaran klinik Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda obstruksi jalan kemih berarti penderita harus menunggu pada permulaan miksi, miksi tersebut menetes pada akhir, pancaran miksi menjadi lemah, dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan hipersensitivitas otot detrusor berarti bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan, dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh (Yatim, 2004). Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin di dalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi maka pada suatu saat vesika tidak mampu lagi

menampung urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter, withdraw ureter, hidronephrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus selalu mengedan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonephritis. Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan prostat. Pada perabaan melalui colok dubur harus diperhatikan konsistensi prostat, adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat diraba. Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih seteleh miksi. Sisa urin >100 cc dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada hipertrofi prostat. Derajat berat obstruksi dapat pula diukur dengan mengukur pancaran urin pada waktu miksi, disebut uroflowmetri. Angka normal pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/detik dan pancaran maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan pancaran menurun antara 6-8 ml/detik, sedang maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau kurang. Kelemahan detrusor dan obstruksi infravesika tidak dapat dibedakan dengan pengukuran pancaran kemih 3. Diagnosa banding. Proses miksi tergantung pada kekuatan kontraksi detrusor, elastisitas leher kandung kemih dengan tonus ototnya, dan resistensi urethra. Setiap kesulitan miksi disebabkan oleh salah satu dari ketiga faktor tersebut. Kelemahan detrusor dapat disebabkan oleh kelainan saraf (kandung kemih neurologik) misalnya pada lesi medula spinalis, neuropati diabetes, bedah radikal yang mengorbankan

persarafan di daerah pelvis, penggunaan obat penenang, obat penghambat reseptor ganglion, dan parasimpatolitik. Kekakuan leher vesika disebabkan oleh proses fibrosis, sedangkan resistensi urethra disebabkan oleh pembesaran prostat jinak atau ganas, tumor di leher kandung kemih, batu di urethra, atau striktur urethra. Kelainan tersebut dapat dilihat dengan sistoskopi. (Yatim, 2004).

BAB III PEMBAHASAN


Pada orang normal rangsangan untuk refleks berkemih diatur oleh sistem saraf autonom yang berpusat pada medulla spinalis segmen sacral II-IV (NILCLMS Sacral II-IV). Sementara itu, sistem saraf simpatis berperan dominan pada fase pengisian kandung kemih (vesica urinaria). Sistem saraf ini diperankan oleh saraf -adrenergik yang bertugas membuat sphynxter vesicae berkontraksi dan -adrenergik yang membuat musculus detrussor urine berelaksasi (Setiati dan Pramantara, 2007). Saat kandung kemih terisi setengah dari volume tampung maksimalnya yaitu sekitar 150300 ml maka akan timbul rangsangan afferent yang diperankan sistem saraf parasimpatis. Rangsang ini diterima oleh ganglion spinalis kemudian dibawa oleh nervus splanchnicus pelvicus ke medulla spinalis segmen sacral II-IV untuk kemudian dibawa oleh nervus yang sama menuju ganglion terminal ke efektor berupa musculus detrussor urine dan sphynxter vesicae (sphynxter urethra interna). Musculus detrussor urine akan berkontraksi dan musculus sphynxter vesicae akan berelaksasi. Pada saat ini jika tidak terjadi inhibisi maka urin akan keluar sewaktu-waktu karena refleks yang timbul bersifat tidak sadar (autonom). Tapi kejadian ini dapat dicegah akibat adanya serabut inhibisi yang berasal dari korteks berjalan melalui traktus kortikospinalis menuju segmen sacral II-IV yang akan menyebabkan terjadinya kontraksi musculus sphynxter urethra eksterna sehingga secara sadar pengeluaran urin dapat ditahan sampai tercapai tempat berkemih yang sesuai. Menurut Kane et al (1989) dalam buku Geriatri terbitan FK-UI, inkontinensia urin dibedakan menjadi tipe kronik dan akut berdasarkan penyakit penyerta dan penggunaan obat-obatan yang muncul bersamaan dengan terjadinya inkontinensia. Inkontinensia urin akut bersifat reversible bila penyakit lain atau obat-obatan yang menyebabkan dihilangkan. Misalnya pada kasus infeksi saluran kemih bagian bawah, kasus penggunaan obat diuretik dan hipnotik sedative, pada penyakit gagal jantung kongestif dan pada kondisi delirium. Para ahli banyak menggunakan singkatan DRIP untuk etiologi dari inkontinensia urin tipe akut. Pada inkontinensia urin kronik,

10

sifatnya persisten yang bisa digolongkan ke dalam 4 macam, yakni inkontinensia kronik tipe stress, tipe luapan, tipe fungsional dan tipe urgensi. Inkontinensia tipe stress biasanya lebih banyak terjadi pada wanita akibat peningkatan tekanan intraabdominal diiringi dengan kelemahan otot-otot dasar panggul. Kelemahan ini berhubungan dengan proses persalinan yang telah dialami dan hilangnya efek proteksi dari estrogen. Inkontinensia tipe luapan terjadi apabila terdapat sumbatan pada urethra, biasanya pada pria akibat adanya pembesaran kelenjar prostat. Inkontinensia tipe urgensi diakibatkan karena ketidakmampuan menahan kencing akibat kerusakan jaras inhibisi pada korteks yang banyak terjadi pada pasien stroke. Inkontinensia tipe fungsional diakibatkan oleh faktor psikologis, mental dan lingkungan. Pada pasien laki-laki, umur 75 tahun dalam skenario, pemeriksaan fisik rectal touch prostat didapatkan dalam batas normal dan hasil USG didapat prostat tidak membesar sehingga kemungkinan diagnosis untuk inkontinensia urin tipe luapan dapat dihilangkan. Namun berdasarkan riwayat penyakit stroke yang pernah diderita pasien 2 tahun lalu, kemungkinan besar pasien mengalami inkontinensia urin tipe urgensi. Stroke adalah suatu penyakit serebrovakuler yang terjadi akibat adanya penyumbatan pada pembuluh darah yang memvaskularisasi otak. Stroke dapat menyebabkan kerusakan pada area korteks serebri sesuai dengan area korteks yang terkena. Apabila stroke ini mengenai area korteks dimana pusat inhibisi untuk refleks berkemih berada, maka akan mengganggu berjalannya refleks ini sehingga pasien dapat mengalami inkontinensia urin. Hal ini akan menyebabkan pasien tidak mempunyai kemampuan untuk menahan keinginan berkemih sesaat setelah sensasi berkemih muncul. Akibat stroke yang diderita pasien juga mengalami defisit neurologis berupa kesulitan berjalan. Indeks Activity Daily Living (ADL) pasien pasca stroke juga menunjukkan adanya ketergantungan sedang (10) menjadi ketergantungan ringan (18). Kesulitan berjalan didukung dengan adanya ketergantungan sedang ke ringan ikut menjadi faktor yang meningkatkan resiko terjadinya inkontinensia urin pada pasien karena membuat pasien menjadi sulit untuk mencapai tempat berkemih dengan mudah. Berdasarkan data dari skenario juga disebutkan bahwa pasien sering tidak bisa tidur dan mengonsumsi obat tidur. Setelah diperiksa ternyata Geriatric Depression Scale pasien

11

bernilai 11, yang berarti pasien mengalami mild depression. Salah satu hal yang mungkin mencetuskan terjadinya depresi adalah karena istri pasien telah meninggal 1,5 tahun lalu. Stroke yang diderita pasien juga bisa menyebabkan terjadinya depresi pada pasien. Depresi ini pada akhirnya juga menyebabkan terjadinya inkontinensia tipe fungsional pada pasien. Dari skenario juga dikatakan bahwa pasien dirawat oleh putrinya dengan kamar mandi yang terpisah dari kamar pasien. Hal ini berarti faktor lingkungan juga memegang peranan yang signifikan dalm mencetuskan terjadinya inkontinensia urin pada pasien geriatrik. Karena pusat pengaturan refleks kemih dan defekasi sama, maka inkontinensia urin yang diderita pasien juga menyebabkan terjadinya inkontinensia alvi sehingga pasien tidak mampu menahan buang air besar sejak 2 minggu lalu. Meskipun diagnosis terjadinya inkontinensia urin kronik tipe urgensi dan fungsional telah dapat ditetapkan namun keluhan utama yang membuat pasien datang ke rumah sakit harusnya menjadi perhatian utama sebelum hal yang lain. Pada skenario pasien datang dengan keluhan anyang-anyangen dan sakit saat kencing. Jika melihat riwayat bahwa pasien telah mengalami ngompol sejak 3 bulan lalu dan tidak mampu menahan buang air besar 2 minggu lalu, berarti dapat dipikirkan bahwa higienitas saluran urogenital pasien kemungkinan kurang sehingga mempermudah timbulnya infeksi saluran kemih bawah. Infeksi ini yang akhirnya membuat pasien menjadi anyang-anyangen dan sakit saat kencing akibat iritasi pada saluran kemihnya. Adanya infeksi ini sebenarnya dapat dipastikan dengan melakukan pemeriksaan kultur untuk menemukan adanya bakteri dalam urin pasien. Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan dengan mengobati keluhan utama yang dirasakan terlebih dahulu, yaitu menyembuhkan anyang-anyangen dan rasa sakit saat kencing akibat adanya infeksi saluran kemih. Pengobatan dapat menggunakan antibiotik spektrum luas karena bakteri yang menyebabkan infeksi belum diketahui jenisnya. Sambil menyembuhkan keluhan utama yang dialami, pasien terus dievaluasi sampai penyebab utama dari penyakitnya ditemukan. Pada kasus ini ditemukan bahwa pasien mengalami inkontinensia urin tipe urgensi dan fungsional maka terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan dalam tatalaksana pasien. Untuk inkontinensia tipe urgensi

12

penatalaksanaan meliputi latihan mengenal sensasi berkemih dan obat-obatan untuk merelaksasi kandung kemih. Obat-obatan yang bisa digunakan adalah dari golongan antikolinergik, agonis -adrenergik dan golongan antagonis -adrenergic.

Antikolinergik dapat mencegah terjadinya terjadinya rangsang berkemih oleh sistem saraf simpatis, tetapi perlu hati-hati untuk terjadinya retensi urin. agonis -adrenergik akan merelaksasi kandung kemih sedangkan agonis -adrenergic akan menjaga kontraksi sphynxter urethra sewaktu fase pengisian (Pranarka, 2000). Untuk inkontinensia tipe fungsional penatalaksanaanya dengan melakukan penjadwalan berkemih, penyesuaian lingkungan tempat berkemih dalam hal ini dilakukan dengan membuat letak kamar mandi dan kamar pasien berada dalam satu ruangan dan mendesain rumah sesuai kondisi pasien yang mengalami kesulitan berjalan dengan menambahkan pegangan pada tembok, penggunaan pakaian dalam dan kain penyerap khusus dan obat-obatan seperti yang digunakan pada tipe urgensi (Darmojo dan Hadimartono, 1999).

13

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN


A. KESIMPULAN 1. Pasien laki-laki, umur 75 tahun dalam skenario menderita inkontinensia urin kronis tipe urgensi dan fungsional. 2. Etiologi inkontinensia urin tipe urgensi adalah stroke yang telah diderita 2 tahun yang lalu. 3. Etiologi inkontinensia urin tipe fungsional adalah depresi yang disebabkan oleh istri pasien yang telah meninggal dan faktor lingkungan yang berhubungan dengan letak tempat berkemih. 4. Inkontinensia urin pada pasien mengakibatkan terjadinya inkontinensia alvi dan keluhan anyang-anyangen serta sakit waktu kencing. 5. Penatalaksanaan pada pasien dilakukan dengan mengatasi keluhan anyanganyangen terlebih dulu sambil dilakukan evaluasi untuk menemukan diagnosis inkontinensia urin yang diderita. B. SARAN 1. Perlu dilakukan pemeriksaan kultur urin untuk mengetahui adanya infeksi saluran kemih pada pasien. 2. Pemberian obat-obatan antikolinergik pada pasien harus dimonitor secara ketat supaya tidak menimbulkan terjadinya retensi urin. 3. Perlu diadakan modifikasi dari rumah tempat pasien tinggal meliputi: kamar mandi yang berada dalam satu ruangan, penggunaan lantai yang tidak licin serta pemasangan pegangan pada dinding di sekitar rumah. 4. Perlu peran serta psikiater untuk mengatasi depresi yang dialami pasien. 5. Perlu dukungan keluarga dan lingkungan agar penatalaksanaan pada pasien dapat berjalan dengan baik.

14

Daftar Pustaka
Darmojo R.B., dan Hadimartono H. 1999. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Balai Penerbit FKUI : Jakarta. Kane RL., Ouslander JG., Abrass IB. 1989. Incontinence. Esentials of clinical geriatrics, 2nd ed. Mc graw-Hill. pp: 124-133 Pranarka, Kris. 2000. Inkontinensia Urin dalam Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI Setiati S., Pramantara IDP. 2007. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih Hperaktif dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 3 edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. pp1392-1399 Yatim, F. 2004. Pengobatan Terhadap Penyakit Usia Senja, Andropause dan Kelainan Prostat. Pustaka Populer Obor : Jakarta.

15

Anda mungkin juga menyukai