Anda di halaman 1dari 4

Natural Disaster Reduction Day 11 Oktober 2006 MENGGAGAS PENDIDIKAN KESIAPSIAGAAN BENCANA Heru Susetyo Visiting Researcher Disaster

Prevention Research Institute Kyoto University/ Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Antara tanggal 12 19 September 2006 lalu, empat orang mahasiswa Kyoto University yang tergabung dalam KIDS (Kyoto University Institution for Disaster School) ditemani seorang professor-nya (sensei) datang menyambangi daerah mantan lokasi bencana alam, Aceh dan Yogyakarta. Tidak sekedar datang, kedatangan mereka adalah untuk memberikan pendidikan kesiapan menghadapi gempa (disaster education) kepada siswa-siswa sekolah di Aceh dan Yogyakarta. Tak kurang dari lima Sekolah Dasar mereka datangi di Aceh dan dua lagi di Yogyakarta. Tahun 2005, mereka melakukan hal yang sama kepada siswa SD dan SMP di Medan dan Banda Aceh. Dalam pendidikan interaktif yang berdurasi satu setengah jam tersebut, Shinnosuke Chojin dan kawan-kawannya memerankan tokoh Doraemon dan Nobita (dua tokoh animasi Jepang yang sangat populer di kalangan anak Indonesia) lengkap dengan kostumnya, serta beberapa tokoh fiktif lainnya. Melalui gambar-gambar kreatif dan bahasa yang mudah dipahami anak-anak, mereka mengajarkan tentang fenomena mengapa gempa bumi dan tsunami terjadi, apa yang harus dilakukan ketika terjadi gempa bumi dan tsunami terjadi, serta apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko ketika terjadi gempa bumi dan tsunami. Sepintas lalu, apa yang mereka lakukan adalah suatu hal yang amat biasa. Yang dapat dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Masalahnya adalah, belum banyak orang terpikir untuk melakukannya. Apalagi untuk mengemasnya dalam suatu kurikulum pendidikan kesiapsiagaan bencana yang integratif. Padahal, Indonesia dikenal sebagai negeri yang rawan bencana. Pengurangan Resiko Bencana Terkait dengan pendidikan kesiapsiagaan bencana, Majelis Umum PBB melalui resolusi No. 44/ 236 tanggal 22 Desember 1989 menetapkan bahwa setiap hari Rabu kedua bulan Oktober sebagai Hari Pengurangan Resiko Bencana Internasional (International Day for Natural Disaster Reduction). Mandat dari resolusi ini adalah memperingatinya setiap tahun antara tahun 1990 1999 yang juga ditetapkan sebagai Dekade Internasional untuk Pengurangan Resiko Bencana Alam (International Decade for Natural Disaster Reduction). Pada tahun 2001, Majelis Umum PBB melalui resolusi No. 56/ 195 tanggal 21 Desember 2001 kembali menetapkan hari Rabu kedua di bulan Oktober sebagai

International Day for Natural Disaster Reduction. Sasaran dari peringatan ini adalah sebagai sarana untuk meningkatkan kesadaran global untuk pengurangan resiko bencana, termasuk di dalamnya adalah pencegahan (prevention), mitigasi (mitigation), dan kesiapsiagaan (preparedness) bencana. Bagaimana dengan di Indonesia? Kita belum pernah mendengar bahwa hari pengurangan resiko bencana tersebut diperingati secara luas di Indonesia. Barangkali, hanya para aktivis kemanusiaan yang bergerak di bidang bantuan dan pelayanan korban bencana saja yang memaknainya. Padahal, sekali lagi, Indonesia adalah negeri yang amat rawan bencana yang mestinya memiliki perhatian lebih serius. Tidak sekedar perhatian terhadap hari pengurangan bencana, juga terhadap program-program kesiapsiagaan menghadapi bencana. Pendidikan Kesiapsiagaan Bencana Salah satu yang bisa dilakukan mulai sekarang adalah menggagas dan melaksanakan pendidikan kesiapsiagaan bencana (disaster preparedness education). Suatu aktivitas yang dapat dilakukan mulai dari yang sederhana hingga yang terintegrasi dan merupakan bagian tak terpisahkan dari manajemen bencana (disaster management). Manajemen bencana (disaster management) sendiri dikenal memiliki siklus yang terbentuk atas empat aktivitas masing-masing adalah mitigation, preparedness, response, dan recovery. Mitigation diartikan sebagai setiap aktivitas yang dilakukan untuk mengeliminasi atau mengurangi tingkat resiko bencana dalam jangka panjang terhadap manusia maupun harta benda. Preparedness adalah setiap aktivitas sebelum terjadinya bencana yang bertujuan untuk mengembangkan kapabilitas operasional dan memfasilitasi respon yang efektif ketika suatu bencana terjadi. Response adalah setiap aktivitas yang dilakukan sebelum, selama, ataupun seketika setelah terjadi suatu bencana yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa, meminimalisir kerusakan terhadap harta benda, dan meningkatkan efektifitas program-program perbaikan. Sementara itu, recovery adalah aktivitas jangka pendek untuk memulihkan fasilitas kehidupan masyarakat (life support system) agar dapat kembali beroperasi secara normal (Morrisey, 2004). Mitigation dan preparedness adalah aktivitas yang beririsan. Walsh (2005) menyebutkan bahwa mitigation dan juga planning (perencanaan) adalah elemen utama dalam preparedness. Pendidikan kesiapsiagaan bencana dilakukan sebagai bagian dari mitigation yang otomatis juga merupakan bagian dari preparedness. Ragam pendidikan yang dilakukan dapat berupa integrasi konsep-konsep pencegahan bencana ke dalam kurikulum pendidikan di sekolah. Apakah di sekolah dasar, menengah, hingga tinggi. Dapat berupa melaksanakan training untuk siswa, guru, ataupun karyawan sekolah. Materinya dapat berupa peningkatan ketrampilan menghadapi bencana (emergency response skill) ataupun perencanaan menghadapi bencana (disaster preparedness planning). Bagi masyarakat

umum, ragam pendidikan dapat berupa penyuluhan interaktif yang dilakukan secara reguler ataupun melaksanakan latihan pencegahan bencana (disaster drill) secara rutin yang melibatkan unsur masyarakat umum, LSM, pemerintah, lembaga kesehatan-pemadam kebakaran, palang merah, angkatan bersenjata hingga pekerja kantor dan para profesional. Sebagai perbandingan, latihan pencegahan bencana (disaster drill) telah dilakukan secara komprehensif di seluruh Jepang sejak tahun 1971. Tujuannya adalah untuk mengetahui dan memverifikasi kesiapan aparat, lembaga terkait dan masyarakat dalam penanganan bencana. Latihan ini dilakukan baik secara nasional (setiap tanggal 1 September) yang dipimpin langsung oleh Perdana Menteri Jepang dan diikuti semua komponen penanganan bencana terkait. Di tingkat prefectures (setingkat propinsi), maupun city (shi) disaster drill ini juga dilaksanakan dengan melibatkan pemerintah lokal, perusahaan swasta, dan penduduk sekitar. Total partisipan yang terlibat setiap tahunnya sekitar 1.9 juta jiwa. Hampir di setiap kota besar dan prefectures di Jepang terdapat pusat pelatihan pencegahan bencana (bousaikan/ bousaisenta). Pusat pelatihan ini menyediakan latihan dan simulasi secara cuma-cuma kepada setiap warga negara maupun para pengunjung. Ragam simulasi yang disediakan meliputi simulasi gempa bumi (jishin), simulasi typhoon (taihu), simulasi pemadaman api menggunakan fire extinguisher, simulasi penyelamatan ketika kebakaran, game mengendarai helikopter (dengan helikopter betulan) untuk mengevakuasi korban bencana, dan lain-lain. Tidak sekedar menyediakan tempat. Bagi pelajar usia SD (shogakko) adalah suatu kewajiban untuk mendatangi, mengenal, dan mengikuti simulasi pencegahan bencana di pusat pencegahan bencana terdekat. Semua telah diintegrasikan dengan kurikulum belajar di SD. Sehingga tak heran, sebagian besar pengunjung pusat pencegahan bencana adalah anak-anak usia SD. Bagi karyawan perusahaan swasta, beberapa bulan sekali dilakukan latihan evakuasi. Sirene dibunyikan, para pegawai disuruh berlindung di balik meja, kemudian setelah relatif aman baru diminta menuruni tangga melalui tangga darurat. Sekarang Juga Masalahnya sekarang, bukanlah ragam pendidikan apa yang harus diintrodusir dan masuk pada klasifikasi manajemen bencana yang mana. Namun, lebih pada apa saja yang telah kita lakukan dalam pendidikan kesiapsiagaan bencana ini. Sebagai perbandingan, mahasiswa-mahasiswa Jepang tersebut di atas datang dari Kyoto ke Aceh dan Yogya dengan biaya dan tabungan sendiri, juga dengan fasilitas, dan perlengkapan yang mereka buat sendiri. Mereka juga tak memiliki klasifikasi pendidikan khusus di bidang ini. Kebanyakan malah mahasiswa jurusan teknik sipil. Mereka juga memaksakan belajar bahasa

Indonesia dalam waktu singkat hanya supaya penyuluhan-nya tentang pendidikan kesiapan menghadapi gempa dapat dipahami oleh anak-anak Indonesia. Kata kuncinya memang hanya satu : kepedulian. Nah, apa yang telah kita lakukan? Tak perlulah kita membandingkan dengan Jepang ataupun Amerika Serikat yang telah lama memiliki program-program pendidikan kesiapsiagaan bencana. Negara-negara kecil di Karibia telah lama memiliki kurikulum integratif kesiapsiagaan bencana dalam pendidikan formalnya. Sama halnya dengan negara Colombia dan India. Momentum Hari Pengurangan Resiko Bencana Internasional (Natural Disaster Reduction Day) yang tahun 2006 ini jatuh pada 11 Oktober 2006, adalah saat berharga bagi bangsa dan negara ini untuk menggagas dan melaksanakan pendidikan kesiapsiagaan bencana melalui semua saluran dan fasilitas yang memungkinkan. Bencana alam memang sering tak bisa dicegah, namun manusia tetap bertanggungjawab untuk melakukan tindakan-tindakan mengurangi resiko bencana. Sebagai wujud kepeduliannya, minimal terhadap generasi yang akan datang. Sekarang juga. --Heru Susetyo Ohbaku International House A-312 Sanbanwari Gokasho Uji 611 011 KYOTO- JAPAN h-susetyo@drs.dpri.kyoto-u.ac.jp Sumber internet : Heru Susetyo. (2006). Menggagas Pendidikan Kesiapsiagaan Bencana. [online]. Tersedia : http://indodisaster.multiply.com/journal/item/5/MENGGAGAS_PENDIDIKAN_KESIA PSIAGAAN_BENCANA [20 September 2011]

Anda mungkin juga menyukai