Anda di halaman 1dari 4

Asosiasi yang mirip antara sakit kepala dan nyeri muskuloskeletal dilaporkan dalam studi populasi skala besar

dari Swedia dan pada studi Genetic Epidemiology of Migraine (GEM).studi GEM didasarkan pada sampel wakil sejumlah 6491 orang dewasa dari 2 kabupaten di Belanda. Pada studi ini, para migraineur lebih mungkin memiliki nyeri muskuloskeletal kronis dibandingkan dengan non-migraineur (OR = 1.7 [1.5 sampai 2.1]), yang didefinisikan sebagai nyeri pada punggung bawah, bahu, leher, atau ekstremitas atas selama 12 bulan sebelumnya, yang bertahan setidaknya 3 bulan. Migraneur juga cenderung lebih sering melaporkan diagnosis dokter berupa asma (OR =1,6 [1.1 sampai 2.4]). Kami menyajikan data tambahan (yang tidak dipublikasikan) dari survey populasi besarberhubungan dengan kemunculan berulang dari diagnosis arthritis dan chronic daily headache (CDH) atau migrain. Pada kohort ini, prevalesni yang disesuaikan untuk diagnosis arthritits yang dilaporkan sendiri oleh penderita lebih tinggi pada kelompok CHD dibandingkan dengan yang non CDH. (Gambar 1: overall OR = 1.9 [1.7 sampai 2.1]) dan lebih tinggi pada kelompok migrain dibanding yang non migrain (OR = 1.6 [1.5 sampai 1.7]). Menariknya, kelompok yang melaporkan diagnosis arthritis menurutu dokter cenderung lebih memiliki anak dengan sakit kepala hebat dibandingkan kelompok tanpa arthritis. (Gambar 2.: OR = 1.5 [1.4 sampai 1.7]), bahkan setelah menyesuaikan adanya sakit kepala pada kedua orang tua. Pada studi prospektif berdasarkan suatu subset pada studi kohort ini, diagnosis arthritis juga memprediksi adanya insiden CDH 1 tahun, walau asosiasi ini dilemahkan karena adanya penyesuaian indeks masa tubuh (IMT). Hal ini menunjukkan bahwa, setidaknya pada populasi ini, obesitas mungkin menjelaskan beberapa hubungan antara at\rthritis dan CDH. Walaupun data populasi terbaik menunjukkan hubungan antara sakit kepala dan komorbid nyeri lain yang berhubungan dengan nyeri muskuloskeletal ataqu arthrits, kami memperhatikan beberapa studi dari resiko cardiovaskuler mengindikasikan bahwa pada migraneur lebih cenderung melaporkan nyeri dada (chest pain) atau angina, walaupun kasus migraneur tidak termasuk dalam peningkatan resiko infark miokardataupun penyakit jantung koroner pad studi ini. Kesimpulannya, studi epidemiologi dari orang dewasa ini mendukung pendapat bahwa gangguan nyeri berulang lebih sering daripada yang diharapkan, dengan bukti terbaik untuk gangguan nyeri spesifik yang berhubungan nyeri muskuloskeletal atau arthritis.

MOOD ATAU GANGGUAN KECEMASAN DAN NYERI KRONIS

Terdapat bukti melimpah berhubungan dengan komorbiditas dari nyeri kronis dan depresi atau gangguan kecemasan dari kedua sampel baik klinis dan populasi. Karenanya, adanya komorbid depresi dan atau kecemasan baik penyebab maupun konsekuensi dari nyerimungkin meningkatkan kemungkinan perkembanan kondisi nyeri tambahan. Pada seksi berikut ini kami mengulas studi epidemiologi kunci yang menyajikan bukti berhubungan dengan hubungan kompleks mood atau gangguan kecemasan dan nyeri kronis terutama sakit kepala kronis. Tabel 3 dan 4 adlah studi terkini dari sampel representativ sejumlah 3032 sampel dari orang Amerika dewasa dan menyajikan bukti berhubungan dengan studi cross sectional kejadian berulang tiga kondisi nyeri umum (arthritis, back pain, migrain) dan 3 DSM-III gangguan psikiatri (serangan panik, depresi, gangguan kecemasan umum). Kekuatan hubungan antara nyeri dan gangguan psikiatri kurang lebih sama antara masing-masing keadaan (tabel 3. Sebagai contoh, hubungan yang disesuaikan antara depresi dan masing-masing kondisi nyeri berkisar dari OR = 2.1 smapi 2.4, antara serangan panik dan masing-masing konsisi nyeri OR = 2.5 sampai 3.1, dan antara gangguan kecemasan dan masing-masing kondisi nyeri OR 2.8 sampai 3.2 (Tabel 3: Model 1). Secara khusus, memiliki kondisi nyeri multipel terlihat memiliki hubungan yang lebih kuat dengan gangguan mood tersebut daripada hanya memiliki satu kondisi nyeri. Data dari National Comorbidity Survey Replication mendeskripsikan hubungan cross sectional antara mood atau gangguan penggunaan obat-obatan, nyeri spinal kronjis, dan nyeri kronis lain pada orang dewasa. Partisipan merupakan sampel representative nasional dari 5692 orang dewasa. Komorbid gangguan mental didiagnosis berdasarkan kriteria DSM IV, dan termasuk di dalamnya gangguan mood, gangguan kecemasan, dan gangguan penggunaan obat-obatan. Pada studi ini, yang fokus terhadap nyeri spinal kronis, mereka dengan nyeri spinal kronis cenderung lebih memiliki gangguan mood (OR = 2.5 [1.9 sampai 3.2]), gangguan kecemasan (OR = 2.3 [1.9 sampai 2.7]), dan penggunaan obat-obatan (terutama penyalahgunaan atau ketergantungan alkohol) (1.6 [1.2 sampai 2.2]). Sebagai tambahan, nyeri spinal kronis juga dihubungkan dengan nyeri kronis lain (OR = 4.8 [3.9 sampai 5.8]), termasuk arthritis (OR = 3.9 [3.2 sampai 4.7]), migrain (OR = 5.2 [4.1 sampai 6.4]), sakit kepala lain (OR = 4.0 [2.9 sampai 5.3]), dan nyeri kronis lain (OR = 3.7 [2.9 sampai 4.7]). Hubungan cross sectional tersebut menunjukkan komorbiditas amtara gangguan nyeri kronis dan gangguan mood atau kecemasan, walaupun tidak ada interferen perihal temporalitas yang dapat dibuat berdasarkan data tersebut. Dua studi longitudinal kunci oleh Von Korff dan koleganya menyajikan data tambahan sehubungan degan derajat dimana garis dasar nyeri

atau depresi dapat mempengaruhi resiko berkembangnya kondisi nyeri baru. Studi pertama adalah studi longitudinal 3 tahun dari 803 orang dewasa pendaftar Group Health untuk mengukur faktor-faktor yang berhubungan dengan onset dari nyeri kronis. Partisipan dinilai dengan dasa r untuk nyeri kronis, depresi, dan faktor lain. Pada follow up 3 tahun, dasar depresi ternyata tidak berhubungan dengan nyeri TMD, back pain, atau nyeri abdominal, walau hal ini berhubungan dengan insidensi sakit kepala hebat dan nyeri dada. Terutama memiliki kondisi nyeri mendasar adalah suatu prediktor yang lebih konsisten dari kondisi nyeri baru dibandingkan depresi mendasar, dengan resiko signifikan untuk onset back pain baru (OR = 2.1), sakit kepala (OR = 4.3), nyeri abdominal (OR = 6.3) dan nyeri TMD (OR = 3.7). Hasil yang sama ditemukan pula pada studi nasional cross sectonal besar yang melihat farktor prediktor kesembuhan nyeri kronis pada fasilitas kesehatan primer. Di antara mereka yang memiliki nyeri mendasar persisten, faktor resiko yang paling konsisten pada pasien yang tidak sembuhpada follow up satu tahun pada dasarnya adalah adanya dua atau lebih situs nyeri (OR = 2.69 [1/7 sampai 4.0]). Di antara mereka yang awalnya bebas dari nyeri persisten, faktor resiko terkuat untuk insidensi nyeri adalah adanya depresi mendasar atau kecemasan (O = 2.4 [1.5 sampai 3.8]) dan ketidakmampuan peran kerja (OR = 2.41 [1.6 sampai 3.7]). Karenanya, studi longitudinal ini (dan juga yang lainnya) mennjukkan bahwa depresi mendasar mempengaruhi resiko insidensi nyeri pada sejumlah tipe. Bagaimanapun juga, kemauan untuk melaporkan gejala adalah keterbatasan metodologi potensial pada kedua studi baik longitudinal maupun cross sectional.

KESIMPULAN DAN SARAN UNTUK PENELITIAN MENDATANG Pada kesimpulan, baik pada anak-anak dan orang dewasa, mereka dengan migrain atau sakit kepala yang sering berada pada kelompok dengan peningkatan resiko kejadian berulang nyeri non-sakit kepala sebagaimana dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki saki kepala, dengan data terbaik berhubungan dengan nyeri muskuloskeletal atau arthritis. Kemungkinan nyeri komorbid mungkin berhubungan dengan seringnya atau tingkat keparahan kondisi tersebut. Keberadaan kondisi nyeri multipel adalah faktor prognostik negatif untuk kesebuhan nyeri. Sebagaimana telah didiskusikan pada pendahuluan, terdapat beberapa hipotesis penjelasan dominan (tidak secara ekslusif satu sama lain) untuk kejadian berulang kondisi nyeri kronis. Komorbid nyeri kromis dapat merefleksikan penyebab tidak langsung sederhana dimana satu kondisi dapat menyebabkan atau menguatkan kondisi kedua. Faktor endogen maupun eksogen berdama seperti faktor resiko pekerjaan atau stressor hidup- atau faktor genetik

yang termasuk dalam modulasi nyeri endogen- mungkin berkontribusi pada perkembangan atau eksaserbasi kondisi nyeri kronis multipel. Penelitian mendatang dapat lebih menjamin pengertian tingkat dimana komorbid tersebut dijelaskan berupa faktor eksogen versus faktor endogen dan pada tingkat dimana nyeri kronis multipel, sebagai contoh fenotip, dideterminasi secara genetik. Studi prospektif adalah desain optimal untuk membedakan kausalitas tak langsung dari mekanisme genetikd an lingkungan yang muga berkaitan. Ancaman utama dalam validitas studi yaitu berupa ketidakpastian fenotipe nyeri dan kemauan untuk melaporkan nyeri tersebut.

Anda mungkin juga menyukai