Anda di halaman 1dari 4

Rata-rata kebutuhan konsumsi gula perkapita/tahun nasional 14,83 kg (Kaman Nainggolan, 2000).

Kebutuhan ini terus meningkat dari tahun ke tahun, karena perubahan kualitas hidup yang lebih baik. Setara dengan meningkatnya jumlah penduduk, pemerintah memperkirakan kebutuhan konsumsi gula tahun 2010 sekitar 2,7 juta ton. Namun produksi gula kristal putih nasional pada tahun bersangkutan hanya 2,3 juta ton, berarti 400.000 ton lebih rendah dari target. Pada tahun 2010 juga terjadi kekurangan gula (untuk konsumsi dan industri), sehingga Indonesia harus mengimpor 2,5 juta ton, setara gula kristal rafinasi. Tahun ini diperkirakan akan mengimpor lebih tinggi, maka devisa negara akan berkurang untuk kepentingan ini. Dari segi budidaya, turunnya produksi tebu akan memberikan akibat penurunan pendapatan petani. Dampaknya daya beli petani ikut menurun. Penurunan produksi bisa disebabkan oleh penerapan teknologi budidaya penngunaan varietas bibit yang sudah > 20 tahun tidak diperbaiki. Menurut pengakuan Penyuluh Pertanian di beberapa kabupaten propinsi Jawa Timur, petani tebu melakukan metoda keprasan 7 hingga 15 kali, sehingga pertumbuhan tanaman tebu di lapangan makin menunjukkan bentuk mengecil dengan istilah tebu cacing. Tentu saja keadaan ini mengakibatkan turunnya rendemen atau kadar gula. Menurunnya pendapatan dan daya beli petani menyebabkan turunnya laju pertumbuhan ekonomi pedesaan. Terjadi inflasi akibat kondisi tersebut akan membuat makin terpuruknya ekonomi masyarakat setempat. Pemicu lain banyak program tentang per-gula-an yang belum efektif. Hingga saat ini belum ada pihak yang berani menjalankan prinsip menejemen usaha, memilih strategi menanam investasi pada saat harga jatuh, memperoleh keuntungan produksi dengan melakukan panen ketika harga tinggi, yang seharusnya hal ini juga merupakan pembelajaran. Di sisi lain buruknya kinerja pabrik gula sering dijumpai kualitas rendemen lebih rendah. Indikator yang sudah nyata ini juga sering dibantah dengan alasan 1) mesin yang sudah usang, 2) infrasruktur dasar yang ada di kebun tebu buruk dan tidak layak, 3) pola giling yang tidak berdasarkan urutan pertanaman, melainkan lebih bergantung siapa yang mempunyai akses ke pabrik. Banyak yang lugu sering mendapat giliran tidak menentu. Masa tunggu yang relatif panjang menyebabkan keterlambatan dan rusaknya tebu secara fisiologis dan berdampak pada penurunan rendemen yang diterima. Menejemen ini sering diabaikan dan terus berulang dari tahun ke tahun. Alih-alih membuat manusia semakin kreatif untuk memuntahkan penyebab masalah yang paling gampang, 2 tahun terakhir kita mendapat ujian anomali iklim. Dengan sertamertanya kita bisa berkata petani kesulitan panen karena kebun tebunya tergenang air, tanaman yang tergenang air menyebabkan kandungan air meningkat dan proses pemasakan secara fisiologis terganggu dan kualitas produksi menurun. Komentar spontan yang lain, pada saat musim hujan tebu sulit dipanen, sehingga ongkos panennya menjadi mahal. Nah, bagaimana kita membuat kesimpulan, kalau sebenarnya kita juga tahu bahwa petani tidak mau memperbaiki bibit karena bibit mahal, meratoon lebih dari anjuran, karena biaya bongkar ratoon tidak mencapai Nilai Tukar Petani untuk kebutuhan sehari-hari mereka

Defisit atau kekurangan kebutuhan gula di dalam negeri yang relatif masih cukup besar saat ini menuntut adanya upaya upaya serius peningkatan produksi guna menutup kesenjangan kearah keseimbangan supply dan demand Neraca Gula Nasional. Dengan kemampuan produksi tahun 2009 sebesar 2,6 juta ton, maka untuk mencapai target/sasaran pemenuhan kebutuhan yang diperkirakan mencapai 5,7 juta ton ditahun 2014 mendatang masih memerlukan tambahan 3,1 juta ton. Untuk itu upaya peningkatan produksi mutlak harus dilakukan baik melalui ekstensifikasi atau perluasan yang dibarengi investasi pembangunan pabrik gula baru maupun melalui intensifikasi dalam upaya peningkatan produktivitas hasil per satuan luas termasuk rehabilitasi / peningkatan kapasitas pabrik pabrik gula yang sudah ada. Agribisnis pergulaan nasional dalam hal ini usahatani tebu didalam negeri sampai saat ini sebagian besar masih bertumpu pada tebu rakyat yang diusahakan oleh para petani sebagai pelaku usaha pemasok bahan baku tebu. Sehingga upaya-upaya untuk mendorong peningkatan produksi tidak akan terlepas dari keterlibatan, kemampuan dan kemauan petani untuk tetap mengelola dan mengembangkan usahatani tebunya secara baik dan berkesinambungan. Salah satu instrument untuk mendorong petani tetap menanam tebu adalah adanya jaminan harga terutama pada saat masa puncak produksi yang dituangkan dalam bentuk Harga Pokok Produksi (HPP) melalui Keputusan Pemerintah yang didasarkan antara lain pada hasil perhitungan Biaya Pokok Produksi (BPP) gula petani disamping perhitungan faktor lain seperti kondisi pergulaan nasional yang memungkinkan penetapan HPP tersebut relatif dapat mengakomodasikan harapan konsumen maupun produsen secara seimbang.Penentuan BPP, dilakukan melalui survai ke lapangan (pabrik gula dan petani) untuk mendapatkan data yang akurat. Dengan data yang diambil dari lapangan diharapkan akan diperoleh struktur biaya yang lebih obyektif tentang kinerja usahatani tebu dalam hal ini adalah biaya yang digunakan petani untuk memproduksi gula, berupa komponen sewa lahan, biaya garap, bibit, pupuk dan bahan lain untuk pengendalian OPT, biaya tebang angkut, bunga dan biaya lain yang terkait dengan usahatani tebu petani seperti penerima tetes, bagian tetes petani yang dijadikan komponen untuk mengkoreksi biaya produksi. Dengan demikian BPP adalah merupakan besarnya nilai uang yang digunakan untuk memproduksi setiap 1 kg gula di tingkat petani dan produksi gula bagian petani. Survai BPP dilakukan terhadap 16 pabrik gula yang terdiri dari 14 PG di Wilayah Jawa, 2 PG di Wilayah Sumateradan 2 PG di Wilayah Sulawesi. Survai dilakukan oleh Tim yang berasal Perguruan Tinggi (IPB dan UGM), Lembaga Penelitian (P3GI), PSEKP - Kementerian Pertanian, Puslitbangbun - Kementerian Pertanian, Ditjen IAK Kementerian Perindutrian, Ditjen Perdagangan Dalam Negeri - Kementerian Perdagangan, Ditjen Perdagangan Luar Negeri - Kementerian Perdagangan, Ditjen P2HP - Kementerian Pertanian, Ditjen. Perkebunan - Kementerian Pertanian dan Sekretariat Dewan Gula Indonesia. Mewakili perusahaan pengelola, dan memiliki petani tebu rakyat. Adapun PG contoh sebagai lokasi survai ditetapkan dengan kriteria sbb : Rendemen 2009, dengan alasan semakin tinggi rendemen biaya semakin rendah Klasifikasi rendemen dibagi menjadi 3 yaitu : a. b. c. tinggi 7,30 sedang 6,80 7,29 dan rendah < 6,80%

Mewakili wilayah administratif : Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, , Sumatera, dan Sulawesi.

Petani contoh diambil berdasarkan wilayah kerja PG, tipologi lahan (sawah, tegal) dan katagori tanaman (tanaman pertama (PC), tanaman keprasan (RC). Penentuan jumlah petani yang diwawancarai tergantung dari luas areal TR setiap PG. Setiap petani mewakili 250 ha. Khusus untuk PG Cintamanis dan Camming, jumlah petani contoh ditetapkan sejumlah 10 orang.

Pengumpulan data diperoleh melalui wawancara dengan petani secara berkelompok (Focus Group Discusion). Wawancara ini dilaksanakan terhadap masing-masing grup contoh petani yang mewakili wilayah kerja (rayon) dan diwawancarai oleh anggota tim survey. Data yang diperoleh dari petani responden untuk setiap kategori (PC, Ratoon, tegalan PC, tegalan ratoon) dirata-rata untuk menghasilkan nilai komponen BPP tiap kategori dimasing-masing PG. Dari nilai BPP untuk setiap kategori di masing-masing PG kemudian dihitung dengan merata-rata secara tertimbang dengan bobot timbangan luas lahan pada kategori tersebut. BPP nasional dihitung dengan merata-rata secara tertimbang BPP PG dengan bobot timbangan luas lahan tebu rakyat pada PG tersebut.

Hasil perhitungan BPP tahun 2010 untuk wilayah Jawa sebesar Rp. 6.281,- per kg, BPP wilayah Sumatera sebesar Rp. 5.359,- per kg dan BPP Sulawesi sebesar Rp. 5.265,- per kg. Sehingga diperoleh BPP secara Nasional sebesar Rp. 6.246,- per kg dibulatkan menjadi Rp. 6.250,- per kg. Diharapkan dalam waktu dekat Pemerintah dapat segera menetapkan Harga Pokok Produksi (HPP) tahun 2010 yang mendasari perhitungan BPP, guna dijadikan patokan atau acuan pada pelaku usaha pergulaan nasional.

ola Kerjasama Pemasaran Gula Petani


Monday, 29 June 2009 11:39 |
Jakarta : Kebijakan pergulaan mengacu pada berbagai kepentingan, seperti Menjaga dan meningkatkan pendapatan petani, Meningkatkan kinerja industri gula, Menjaga usaha perdagangan gula tetap menarik, Menjaga stabilitas harga gula di tingkat konsumen, serta Meningkatkan kinerja industri pengguna.

Untuk meningkatkan pendapatan petani pada musim giling tebu tahun 2009 dan sekaligus menjaga stabilitas harga gula di tingkat konsumen, maka telah ditetapkan patokan harga gula kristal putih di tingkat petani tahun 2009 adalah Rp. 5.350,- per kilogram. Penentuan ini telah mempertimbangkan biaya produksi petani dan harga yang terjangkau di tingkat konsumen.

Pemasaran gula petani tahun 2009 diusulkan untuk menggunakan : (a). Gula Petani dimana petani bersepakat untuk melakukan jual beli gula dengan pedagang/investor diketahui oleh PTPN/RNI, dan (b). Gula PTPN/RNI dimana petani bersepakat untuk melakukan jual beli gula dengan PTPN/RNI + Bulog.

a. Gula Petani

Petani berse pakat mengi kat kerjas ama pembelian gula tani dengan pedagang / investor diketahui PTPN/RNI melalui sistem dana talangan. Pedagang/investor membayar gula petani sebagai dana talangan sesuai HPP Gula Tani yang ditetapkan Pemerintah dan gula dilelang secara periodik sesuai kesepakatan bersama. Selisih lebih dari harga lelang akan dibagi dengan profit sharing 60% petani & 40% investor, dan harga yang diterima petani minimal sama dengan harga pembelian gula milik PTPN/RNI oleh Bulog Pedagang/Investor bersama distributor (D2 & D3, dst) dan pengecernya (Ec) memberikan komitmen untuk turut menjaga stabilitas harga jual di tingkat konsumen. b. Gula PTPN / RNI

Petani sepakat untuk melakukan jual beli gula dengan PTPN/RNI + Bulog PTPN/RNI + Bulog membayar gula petani dengan harga patokan dan ketentuan yang disepakati bersama. PTPN/RNI memberi kuasa kepada Bulog untuk melakukan distribusi dan penjualan kepada pedagang / investor dengan mekanisme alokasi yang dapat menjaga stabilitas pasokan gula antar waktu dan antar wilayah. Pedagang / investor bersama distributor (D2 & D3, dst) dan pengecer (Ec) memberikan komitmen untuk turut menjaga stabilitas harga jual di tangan konsumen. PTPN/RNI + Bulog bilamana diperlukan dapat melakukan intervensi pasar dalam bentuk merubah harga penjualan kepada pedagang untuk menjaga stabilitas harga konsumen. Terakhir Diperbarui ( Tuesday, 16 June 2009 )

Anda mungkin juga menyukai