Anda di halaman 1dari 4

Efektifitas Metode e-Recruitment Edisi 50 Mei 2008 Kandidat tidak hanya mendapat kesempatan untuk mengenal lebih dekat

perusahaan sebelum wawancara, tapi juga mendapat gambaran yang detail mengenai pekerjaan yang ditawarkan. Hampir setiap pelaku rekrutmen di perusahaan setuju, bahwa hal tersulit dari pekerjaannya adalah menemukan kandidat yang berkualitas. Keadaan ini tentunya cukup ironis jika dibandingkan dengan jumlah tersedianya tenaga pencari kerja di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah angkatan kerja pada Agustus 2007 tercatat sebanyak 109,94 juta orang atau bertambah sebesar 1,81 juta orang ketimbang angkatan kerja pada Februari 2007 yang mencapai 108,13 juta. Jika dibandingkan dengan kondisi Agustus 2006, jumlah angkatan kerja meningkat sebesar 3,55 juta orang. Sementara tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Agustus 2007 mencapai 9,11% atau mengalami penurunan dibandingkan Februari 2007 yang mencapai 9,75%. Dengan menurunnya angka penggangguran, jumlah pengangguran berdasarkan survei Agustus 2007 turun sebanyak 536,78 ribu orang jika dibanding dengan kondisi Februari 2007. Dari 10,55 juta orang pada Februari 2007 menjadi 10,01 juta pada Agustus 2007 atau mengalami penurunan sebesar 920,86 ribu orang jika dibandingkan dengan kondisi Agustus 2006 sebesar 10,93 orang. Namun, kendati angka pengangguran menurun, penurunan jumlah pengangguran tidak sebanding dengan penambahan angkatan kerja. Tidak mengherankan jika data BPS ini mengungkapkan pula adanya sekitar 1,2 juta atau sekitar 11.7% dari penduduk di Indonesia merupakan pengangguran yang putus asa dalam mencari kerja. Keputusasaan ini membuat mereka tidak ingin mencoba mencari pekerjaan. Pembahasan mengenai kesenjangan antara ketersediaan tenaga kerja dengan sulitnya mendapatkan kandidat yang berkualitas tentu membutuhkan ulasan mendalam dari berbagai perspektif. Majalah Human Capital sendiri pernah beberapa kali menurunkan tulisan terkait tema menarik ini. Namun kali ini, pertanyaan yang akan diulas adalah bagaimana menjaring kandidat yang berhasil tidak hanya secara kuantitas, tapi juga kualitas. Meskipun tidak sepenuhnya mewakili kondisi di Indonesia, salah satu survey tentang e-recruitment yang dilakukan Society Human Resource Management tahun 2007 dapat dijadikan acuan awal. Usaha menjaring kandidat secara online termasuk salah satu industri di area e-commerce yang tumbuh dan menjamur secara cepat. Sejak pertengahan 1990, beberapa metode e-recruiting seperti job boards dan pencantuman lowongan kerja baik melalui website perusahaan ataupun website khusus, mulai diperkenalkan di Amerika dan sejak saat itu langsung berkembang seantero dunia. Namun sejalan dengan perkembangannya, e-recruiting dengan menggunakan website perusahaan dianggap sebagai metode yang paling efektif. Kandidat tidak hanya mendapat kesempatan untuk mengenal lebih dekat perusahaan sebelum wawancara, tapi juga

mendapat gambaran yang detail mengenai pekerjaan yang ditawarkan. Seperti yang sering terjadi, title yang sama pada perusahaan yang berbeda, dapat memiliki job description dan target kerja yang berbeda. Dari segi biaya, penggunaan website milik perusahaan sendiri juga lebih menguntungkan. Dengan leluasa, rekruter dapat mencantumkan lowongan kerja sebanyak dan selama yang diinginkan tanpa terbatas ongkos berlangganan yang biasa dibayarkan untuk servis website khusus rekrutment.dan relatif lebih murah dibandingkan cara lainnya. Survey yang dilakukan oleh Society Human Resource Management tersebut juga mencoba melihat beberapa aspek terkait dengan penggunaan e-recruiting oleh praktisi rekrutmen. Termasuk perbandingan dengan berbagai tradisional rekrutmen lainnya, dari segi keberhasilannya hingga biaya yang dikeluarkan. Hasil yang didapat dikelompokkan dalam dua katagori, yaitu perusahaan yang sudah dan belum memiliki layanan e-recruitment dalam website perusahaannya. Seperti yang diduga, penggunaan alat bantu yang canggih seperti e-recruiting sangat membantu perusahaan menjalankan proses rekrutment yang cepat, efektif dan secara konsisten menghasilkan. Pencantuman lowongan kerja di website khusus, secara langsung memberikan jumlah kandidat yang lebih banyak terjaring. Hasil ini berlaku untuk katagori perusahaan yang sudah dan belum memiliki website perusahaan yang memiliki navigasi lowongan kerja. Terlihat pula dalam survey ini, meskipun perusahaan telah memiliki e-recruiting di website perusahaan, hasil maksimal akan didapat jika dikombinasikan dengan model tradisional seperti iklan. Namun jika dilihat dari kualitas, kedua katagori secara signifikan menunjukkan bahwa metode referral atau referensi lebih menghasilkan. Kondisi ini dapat dimengerti, sebab secara tidak langsung, orang yang memberikan referensi biasanya karyawan perusahaan telah melakukan seleksi untuk melihat kecocokan antara kandidat dengan pekerjaan yang ditawarkan. Tidak hanya secara keahlian dan pengetahuan, tapi bahkan kesesuaian budaya kerja. Berdasarkan pembahasan diatas, para rekruter memiliki pilihan metode yang dapat digunakan sesuai kebutuhan. Saat kualitas yang dituju, maka e-recruitment dapat diandalkan. Namun untuk pekerjaan spesifik tidak ada salahnya melibatkan karyawan perusahaan untuk turut menyumbangkan referensi.

Apakah Rekrutmen Berdasarkan IPK Masih Efektif? Edisi 48 Maret 2008 Seorang Vice President di sebuah bank asing sempat berkomentar, Untung dulu saya melamar ke perusahaan ini. Awalnya saya hampir mencoba bekerja di bank lokal, namun niat tersebut saya urungkan, setelah melihat standart IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) minimum yang diminta. Komentar diatas akhir-akhir ini kembali banyak terlontar. Seberapa relevan sebenarnya, IPK dijadikan dasar dalam merekrut seseorang? Seperti kasus diatas, yang bersangkutan sebelumnya mengecap kuliah di universitas lokal. Berbekal hasil yang kurang bagus, dia kemudian melanjutkan sekolah di Australia. Disana pun dia tidak termasuk murid unggulan dan lulus dengan grade yang secukupnya. Setelah kembali ke Indonesia, justru dia lebih percaya diri menjajal perusahaan asing, yang menurutnya menghargai lebih pada kemampuannya berbahasa asing. Namun setelah bergabung, justru dia merasa mendapat kesempatan besar untuk belajar serta berkembang hingga mencapai kesuksesan sekarang. Kebayang kalau dulu Bill Gates dan Quentin Tarantino harus lulus dan dapat IPK tinggi, mungkin belum tentu ada Microsoft atau film bermutu dari mereka, lanjutnya. Kompleksitas IPK Kita semua tahu, bahwa IPK, terutama di Indonesia, tidak secara langsung berkaitan dengan kesuksesan seseorang dalam bekerja di masa mendatang. Tidak jarang pekerja yang dulunya mahasiswa teladan, saat bekerja kurang sukses. Secara lebih ekstrim, seperti yang diungkap diatas, ada pula cerita legenda Bill Gates, Quentin Tarantino dan Dave Thomas, yang dulu merupakan mahasiswa dropout, namun saat ini terbukti kecerdasannya dan telah menjadi salah satu dari bilioner terkenal di dunia. Tentunya perumpanan diatas tidak dapat di teirma begitu saja, sebab kenyataannya di Indonesia dan juga negara lain, IPK tetap dijadikan tolak ukur seleksi. Salah satu alasan yang dikemukakan para tim rekrutmen adalah karena IPK paling tidak menjadi ukuran komitmen seseorang dalam menjalankan tugas belajarnya. Sehingga diharapkan, dedikasi tersebut dapat terulang kembali saat yang bersangkutan bekerja dalam perusahaan. IPK sendiri sering disebut menyesatkan. Standarisasi terhadap ketidakstandarisasian perguruan tinggi merupakan salah satu contoh pelik. Sampai saat ini, masih ada rasa ketidakyakinan bahwa nilai 3 (skala 4), dari sebuah perguruan negeri terkemuka akan sama dengan angka yang berasal dari perguruan tinggi lainnya, meskipun berasal dari fakultas yang sama. Masih banyak isu bahwa beberapa universitas berusaha menabur angka tinggi mahasiswanya, untuk mendongkrak popularitas. Toh ternyata hal ini tidak dapat menipu, karena saat bekerja, kualitas sebenarnya dari orang itu akan terlihat. Selain itu, IPK sudah terlanjur dianggap sebagai perwakilan dari Intelligence Quotient atau IQ. Tentu ini sangat menyesatkan, karena IPK dapat berasal dari banyak hal dan tidak secara langsung mencerminkan kecerdasan anak. Bahkan IPK dapat pula menjadi pilihan, dimana

mahasiswa yang sebenarnya cerdas, memilih untuk tidak menggunakan kemampuan secara maksimal dalam mencapai nilai tertinggi di perguruan tinggi. Belum lagi kemudian ditemukan kalau Emotional Quotient atau EQ lebih menentukan keberhasilan seseorang dalam bekerja. Lalu bagaimana, apakah selanjutnya IPK harus dikeluarkan dari salah satu persyaratan dalam proses rekrutmen dan seleksi? Tampaknya di lapangan tidak semudah itu. Para recruiter menyatakan bahwa IPK tetap diperlukan. Paling tidak sebagai salah satu cara untuk melakukan pra-seleksi, terutama saat jumlah pelamar mencapai puluhan atau bahkan ratusan. Sehingga proses menjadi lebih fokus. Penerapan yang bijaksana Recruiter masih menganggap kalaupun tidak benar 100%, IPK masih mampu paling tidak menggambarkan 80% dari nilai yang didapat. Di luar itu, recruiter mengandalkan data hasil psikotes serta wawancara mendalam untuk mendapat profile sebenarnya dari kandidat. Paling tidak, ada satu hal yang bisa langsung dihubungkan dari IPK, yaitu motivasi, sebab seperti diungkapkan diatas, bisa dianggap lulusan dengan IPK tinggi telah berusaha untuk pencapaiannya itu. Kondisi berbeda akan didapat, jika kandidat berasal dari perguruan tinggi yang langsung berhubungan dengan kebutuhan perusahaan. Misalnya, perusahaan telekomunikasi, akan dengan lebih tenang mengambil mahasiswa lulusan IPK tinggi dari sekolah tinggi telekomunikasi. Disini IPK merupakan pencerminan dari hard skill dan sekolah tersebut memberikan bekal dimana yang dapat diterapkan secara langsung oleh mahasiswa tersebut sejak hari pertama mulai bekerja. Akhirnya semua akan tergantung pada kebijakan recruiter masing-masing perusahaan. Beberapa diantaranya menerapkan batasan untuk hanya menyeleksi mahasiswa lulusan universitas tertentu. Tetap ada yang meleset, tapi paling tidak mereka bisa berharap 70% hasilnya akan sama. Sekali lagi, tetap ada ruang untuk mahasiswa lulusan baru dengan IPK tidak mencukupi standart yang diminta, untuk lewat lobang jarum seleksi. Beberapa nilai tambah, seperti kasus diatas, keunggulannya adalah kemampuan berkomunikasi dalam bahasa asing. Selain itu, aktifitas bermanfaat saat kuliah serta kondisi lainnya yang di dapat dari wawancara akan membantu recruiter untuk tidak kehilangan kandidat yang berpotensi hanya gara-gara IPK.

Anda mungkin juga menyukai