Anda di halaman 1dari 8

KEBIJAKAN KUOTA SEBAGAI SALAH SATU LANGKAH ALTERNATIVE DALAM UPAYA MENGHAPUSKAN BIAS GENDER DAN MENINGKATKAN PARTISIPASI

POLITIK PEREMPUAN

Politik pada hakekatnya adalah upaya untuk merebut peran kekuasaan, termasuk akses dan kontrol dalam pengambilan keputusan . Hingga saat ini, kondisi perpolitikan yang ada Indonesia masih sangatlah didominasi oleh laki laki, baik di tingkat yang paling sederhana yaitu keluarga, tingkat masyarakat hingga tingkat politik formal. Gambaran umum dari partisipasi perempuan pada politik perempuan dan politik di Indonesia memperlihatkan representasi yang rendah dalam tingkat pengambilan keputusan baik di tingkat eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun birokrasi pemerintahan dan kehidupan politik lainnya. Selain itu, partisipasi mereka di bidang politik selama ini, jika itu memang ada , hanya terkesan memainkan peran sekunder. Mereka hanya dilihat sebagai pemanis dan penggembira. Tercatat pada pemilu perdana di era reformasi yaitu pemilu tahun 1999, terdaftar hanya terdapat 13 % caleg perempuan di berbagai partai, dan yang ada di posisi teratas dan punya peluang untuk terpilih hanya sekitar 4,3 %. Kebanyakan dari calon perempuan berada dalam nonor buntut yang punya peluang sedikit untuk terpilih . Selain itu dari hasil pemilu tercatat pemimpin perempuan juga sangatlah minim. Dari 48 partai yang ada hanya empat partai yang dipimpin oleh perempuan, yaitu MKGR (Mien Sugandi), PDI P (Megawati), PNI Soepeni (Soepeni), PKNI (Clara Sitompul)1. Sementara itu, untuk partai partai Islam, keterwakilan perempuan masih sering berbenturan dengan banyak perdebatan apakah agama mengijinkan keterlibatan perempuan di politik. Sementara itu, tercatat pada hasil pemilu tahun 2004, pada lembaga legislative yaitu pada Dewan Perwakilan Rakyat terdapat hanya 11% perempuan yang berhasil menduduki kursi
1

Ani Widyani Soetjipto. Politik Perempuan Bukan Gerhana. 2005. Hal 33

legislative, sementara untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di seluruh Indonesia berdasarkan hasil pemilu hanya terdapat 10% wanita yang berhasil menduduki gedung perwakilan. Sementara untuk Calon anggota legislative perempuan dari semua parpol ,pencapaian angka 32, 3 %, merupakan suatu angka yangcukup menggembirakan2 Ide bahwa politik bukan wilayah bagi perempuan, adalah ide yang selalu didengungkan selama berabad abad dan ternyata memang sangat efektif untuk membatasi perempuan untuk tidak memasuki wilayah politik. Terminology privat dan public yang erat kaitannya dengan konsep jender, peran jender, bias jender dan stereotype,maupun kemiskinan dan sistem sosial telah menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan di antara perempuan dan laki laki. Bias Gender merupakan istilah yang sering disandingkan dengan istilah yang lain yakni stereotype peran seksual (sex role stereotyping). Bias Gender adalah prasangka yang dibuat tanpa pengetahuan yang memadai atau bukti bukti kuat, terhadap seseorang atau sekelompok masayarakat yang didasarkan pada peran dan posisi jender laki laki dan perempuan. Bias Gender bisa juga berarti perlakuan tidak setara dalam memberikan kesempatan kerja atau jabatan (promosi, upah, keuntungan dan hak hak istimewa), dan harapan harapan terhadap sikap dan tingkah laku yang didasarkan pada jenis kelamin seorang karyawan atau sekelompok karyawan.3 Sementara itu kata stereotype menurut Webters Ninth New Collegiate Dictionary (terbitan tahun 1984) adalah gambaran mental yang distandarisasi dan diterima sebagai sesuatu yang wajar dan kemudian direpresentasikan dalam pendapat yang sangat menyederhanakan penilaian yang tidak kritis4. Jika dikaitkan dengan peran seksual maka berarti ciri ciri atau

2 3

Ibid. Hal 266 270 (berupa table/ data KPU) Jurnal Perempuan. Tahun 2006. No.48 . hal 57 Ibid. hal 58

karateristik yang dirujuk pada seseorang atau sekelompok masyarakat yang didasarkan pada jenis kelamin biologis mereka. Bias gender ataupun stereotype adanya peran seksual telah mengakibatkan adanya pemisahan antara ruang public dan ruang privat. Ruang public adalah tempat dan milik laki laki, baik secara sosial dan politik maupun ekonomi. sementara ruang privat adalah ranah perempuan, tempat mereka hadir dan beraktivitas. Yang biasanya dianggap sebagai ranah public adalah lembaga lembaga public seperti partai politik, parlemen dan lainnya. Sebaliknya keluarga, merawat suami, memandikan anak, merapihkan rumah adalah bagian ruang privat yang tidak asing lagi bagi perempuan. Dengan adanya pemisahan ruang gerak bagi perempuan dan laki laki terjadi pemarjinalisasian dan pengucilan perempuan dari kehidupan politik formal. Ini artinya, keberadaan perempuan dalam kehidupan politik (ruang public) memperlihatkan gambaran yang tidak menggembirakan . Akar dari semua bentuk bentuk ketidaksetaraan gender hingga saat ini disinyalir, karena adanya budaya patriarki yang menghambat semua ruang gerak perempuan termasuk dari bidang politik. Dalam artian konvensional, politik hanya dilihat semata mata sebagai kegiatan How to Exercise The Power yang membatasi lingkup aktivitas politik hanya semata mata pada aktivitas seperti voting (pemungutan suara), lobby (lobi), campaign (kampanye), dari yang lain sejenisnya. Tapi bentuk politik yang konvensional inilah yang menjadi hambatan bagi wanita untuk ikut berperan aktif, karena ranah (ruang gerak) wanita sudah dieksklusifkan pada ranah privat. Melihat kondisi perempuan yang telah disubordinasikan ini, perlu adanya perempuan ataupun pemerhati perempuan yang seharusnya peduli terhadap kesetaraan gender atau hak hak politik perempuan untuk terjun pada ranah politik. Karena politik bukan hanya diartikan sebagai aktivitas yang berlangsung dalam wilayah institusi public seperti parpol, pemerintah,
3

kelompok kepentingan dan organisasi masyarakat. Tetapi politik juga adalah Personal is Political atau pribadi sebagaimana slogan yang dikumandangkan oleh kaum feminis radikal5. sehingga lewat gagasan ini persoalan perempuan bisa dijangkau sampai pada ranah privat, hingga pada masalah yang paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Terlebih sebagai suatu negara demokrasi, Indonesia seharusnya mampu mewujudkan makna dari kata demokrasi. Yaitu dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Hal ini berarti partisipasi luas diperlukan dari setiap individu dalam masyarakat untuk ikut terlibat dalam proses politik dan penentuan kebijakan. Partisipasi ini tentunya tidak boleh diartikan secara terbatas bagi golongan tertentu dalam masyarakat, apalagi mendeskritsikan peran kaum perempuan. Walaupun saat ini, hak hak politik perempuan sudah banyak diakui, namun adanya hak hak politik tersebut tidak menjamin adanya pemerintahan atau sistem politik yang demokrasi, dimana partisipasi politik perempuan diperhitungkan. Kondisi perpolitikan di Indonesia masih sangatlah diwarnai dengan bias gender .Ada beberapa bentuk bias gender dalam politik, pertama adalah bentuk pembicaraan politik yang selalu berkaitan dengan The Exercise of Power yang pada dasarnya selalu merujuk pada semua aktivitas yang terjadi dan berlangsung di ranah public yang notabene dunianya laki laki. Kedua, munculnya pemikiran politik modern yang menekankan pentingnya kewarganegaraan universal yang akan memperluas hak semua orang untuk terlibat dalam partisipasi politis. Namun, setelah diperiksa sejenak ternyata di sisi lain nilai nilai dan norma yang universal tersebut sangat berkarakter maskulin, bahkan militeristik, seperti kebanggaan persaudaraan keutamaan laki laki , rasionalitas, kemandirian, keagresifan, kekuatan, kekompetifan dan kekuatan tawar menawar di antara aktor aktor yang independen ; wacana yang berkembang juga selalu didasarkan pada rasionalitas.

Ibid. hal hal 26 - 27

Ketiga, masih berlakunya nuansa seksisme dalam teori teori politik. Hal ini merupakan hasil dari konstruksi sosial yang dibuat manusia. Perempuan dianggap terlalu emosional, tidak rasional untuk membuat keputusan atau kebijakan yang penting dan strategis. Perempuan lebih dipandang sebagai orang yang menakutkan , dan dinilai lebih memilih politik status quo daripada perubahan yang reformis, apalagi watak dasarnya adalah aktor politik yang lebih senag bermain aman aman saja.Terakhir, teori teori ilmu politik dan metodologi politik yang konvensional juga memandang rendah atau bahkan mengabaikan akibat akibat dari hubungan keyakinan dan ketidaksetaraan gender dalam masyarakat.6 Dari kondisi ini dapat dilihat bahwa, dunia politik tidaklah memandang suatu kesetaraan Gender bagi perempuan adalah hal yang sangat mendesak dan penting untuk diperjuangkan. Masih banyak bentuk bentuk bias jender yang berlaku di Indonesia dan harus diselesaikan agar perempuan dapat memperoleh kesetaraan serta mampu masuk dalam dunia perpolitikan Indonesia. Upaya upaya penyetaraan gender, memang saat ini sudah dilakukan oleh beberapa pihak, terutama pemerintah. Pemerintah telah berupaya menetapkan Affirmative Action atau kebijakan strategis yang bersifat sementara. Affirmative Action merupakan bentuk dliskriminasi positif yang umumnya diterapkan untuk membuka peluang dan kesempatan bagi kelompok minoritas dalam sebuah masyarakat, dalam hal ini perempuan.tujuannya agar tercapai angka proporsional keterwakilan perempuan dalam lembaga lembaga strategis terutama lembaga legislatif dan partai politik. Salah bentuk affirmative action adalah kebijakan kuota. Kuota merupakan presentase minimal yang ditujukan untuk menjamin keseimbangan jumlah antara laki laki dan perempuan dalam jabatan politik dan secara signifikan dapat merubah kebijakan kebijakan politik.7

6 7

Jurnal perempuan. Tahun 2006. No. 48 hal 58 - 59 Ibid. Hal 92 - 93

Kebijakan kuota sudah diberlakukan di Indonesia sejak 18 Februari 2003, ketika DPR mengesahkan UU Pemilu. Dalam UU tersebut, dicantumkan kuota 30 % perempuan dalam pasal 65 (1). Secara lengkap psal itu berbunyi, bahwa setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR , DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten atau Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang kurangnya 30 %8.namun pemberlakuan kuota ini, juga pada kenyataannya belum mampu menyelamatkan keterwakilan perempuan di lembaga politik. Menurut Ani Soetjipto dari Universitas Indonesia sistem kampanye dari pintu ke pintu, keterbatasan dana, dan konstruks sosial budaya yang masih memandang sebelah mata kaum perempuan, Serta keputusan parpol dalam menetapkan caleg yang diajukan pada lembaga legislatif juga menjadi masalah yang mempersulit keterwakilan perempuan di lembaga politik. Untuk itulah, selain upaya pemerintah diperlukan juga kesadaran dari seluruh parpol yang ada di Indonesia untuk merangsang partisipasi politik perempuan seperti mengadakan gerakan Gender Sensitivity Training (pelatihan kepekaan jender), identifikasi dukungan bagi perempuan,Kegiatan lobi, kampanye dan advokasi bekerja sama dengan LSM dan pemerintah,dll.Terlebih lagi diperlukan adanya gerakan dari perempuan sendiri untuk berupaya meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik sehingga kesetaraan gender bisa terjadi dan hak hak bagi wanita bisa diperjuangkan dengan lebih baik.

KESIMPULAN Kesetaraan gender merupakan salah satu isu politik yang mendapat perhatian terutama oleh para perempuan, yang umumnya mempunyai jenjang pendidikan dan latar belakang kondisi keluarga yang cukup baik. Sensitivitas isu gender ini terletak pada sejauh mana partisipasi
8

Ibid Hal 175

perempuan diperhitungkan dalam lembaga lembaga pengambil keputusan. Hingga saat ini bias gender serta pola maskulinitas dalam lembaga perpolitikan, masih cukup banyak terjadi di dalam masyarakat, hal hal inilah yang menghambat perempuan bisa leluasa mengaspirasikan apa yang menjadi kebutuhan mereka dalam lembaga perpolitikan. Upaya upaya yang dilakukan pemerintah seperti menciptakan kuota hanya merupakan salah satu langkah untuk menciptakan kesetaraan gender, perlu dilakukan upaya upaya lain yang juga melibatkan parpol dan seluruh elemen masyarakat mulai dari yang elit sampai di daerah pelosok, terutama di kalangan perempuan untuk menghapuskan bias gender dan meningkatkan partisipasi politik perempuan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA Fakih, Mansour.DR.1996.Analisis Gender dan Transformasi Sosial.Yogyakarta : Pustaka Pelajar Ollenburger, Jane C. dan Moore, Helen A. 1996. Sosiologi Wanita.Jakarta ; PT. Rineka Cipta Soetjipto, Ani Widyani. 2005. Politik Perempuan Bukan Gerhana.Jakarta : Kompas Jurnal Perempuan .No.48. Juli 2006.

Artikel Koran : Kompas, selasa 7 April 2009 Kompas, selasa 10 Maret 2009

Anda mungkin juga menyukai