Penelitian mengenai pendidikan guru reguler maupun guru pendidikan kebutuhan khusus telah mengidentifikasi banyak masalah dan faktor yang mempengaruhi perkembangan dan hasil dari program-program yang bertujuan untuk mendidik para pendidik33 bagi siswa yang berkebutuhan khusus. Program pendidikan guru yang efektif dan tepat harus mempertimbangkan berbagai permasalahan dengan cakupan yang luas. Tidak cukup dengan hanya membuat daftar bidang pengetahuan yang diharapkan dikuasai oleh para calon pendidik. Beberapa isu berkaitan dengan hubungan antara sistem pendidikan masyarakat dan kualifikasi yang harus dimiliki oleh guru pendidikan kebutuhan khusus. Program pendidikan bagi guru pendidikan kebutuhan khusus yang berkembang di satu masyarakat pada periode tertentu dalam sejarah terkait dengan konteks tertentu dan mungkin tidak cocok untuk masyarakat lain atau waktu lain dalam sejarah. Perspektif tentang pengetahuan, belajar dan mengajar merupakan isu-isu lainnya yang sangat penting untuk perancangan dan implementasi program pendidikan bagi guru pendidikan kebutuhan khusus. Isu-isu dan faktor-faktor yang relevan dengan program pendidikan bagi guru pendidikan kebutuhan khusus serta beberapa analisis tentang dampak komponen-komponen tertentu dalam program pendidikan guru akan disajikan di bawah ini, bersama dengan sekilas pandang tentang tren-tren program pendidikan guru di dunia barat.
33 Seorang pendidik di kebanyakan negara akan menjadi guru. Namun, seorang pendidik dapat juga menjadi seorang profesional yang terlibat dalam program pengembangan atau program pembelajaran dengan bidang cakupan yang lebih luas daripada yang biasanya dipahami sebagai pengajaran. Makalah ini akan menggunakan kedua istilah tersebut dengan arti yang sama dalam pengertian yang luas. 34 WHO sedang dalam proses finalisasi Klasifikasi Internasional tentang impairment, disability dan Handicap yang direvisi dari tahun 1980. Menurut manual tahun 1980, impairment adalah suatu abnormalitas struktur dan penampilan tubuh, atau gangguan organ atau fungsi sistem. Disability merupakan konsekuensi dari impairment dalam hal kinerja fungsional dan aktivitas. Handicap mencakup kerugian yang dialami individu sebagai akibat dari impairment dan disability.
saling ketergantungan antara layanan untuk penyandang cacat dan perkembangan profesi pendidikan kebutuhan khusus tidak diragukan lagi. Sebagian orang mengatakan bahwa layanan untuk penyandang cacat menentukan perkembangan profesi ini, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa kualifikasi dan pelatihan untuk para profesional mempengaruhi perkembangan layanan tersebut. Ravneberg (1999) memberikan contoh tentang saling ketergantungan tersebut dalam analisisnya tentang perkembangan pendidikan kebutuhan khusus sebagai profesi di Norwegia pada akhir tahun 1800 hingga 1991. Dia menggambarkan bagaimana pendidik khusus pada mulanya dipandang sebagai guru saja. Secara berangsur-angsur mereka menduduki posisi yang cenderung lebih Mengarah pada perawatan atau terapi. Peranan tersebut terkait dengan proses segregasi; proses yang ditandai dengan upaya untuk mendiagnosis siswa-siswa yang dianggap tidak layak untuk belajar di sekolah reguler. Kebijakan integrasi, yang telah diimplementasikan secara bertahap sejak tahun 1970-an, menuntut bahwa guru reguler bertanggung jawab atas kegiatan pendidikan untuk siswa penyandang cacat juga. Pendidik khusus menjadi aktif dalam bidang lain dan mengambil posisi yang menekankan pada konseling, konsultasi dan inovasi. Akhirnya, fokusnya berpaling ke pencegahan masalah-masalah individu dan ke sistem persekolahan dalam sistem inklusif. Wacana tentang normalitas dan penyimpangan, dan bagaimana penyimpangan didefinisikan dan ditempatkan dalam sistem sekolah telah berpengaruh pada perkembangan profesi ini. Wacana kedua, tentang diferensiasi dan segregasi, juga telah mempengaruhi perkembangan tersebut. Wacana ketiga yang berpengaruh adalah tentang partisipasi dan inklusi.
Orientasi ideologi
Nilai-nilai dan keyakinan tentang pengajaran dapat diklasifikasikan menurut bermacammacam orientasi di dalam pendidikan guru. Orientasi-orientasi tersebut dapat ditandai dengan fokusnya pada keahlian dan pengetahuan guru tentang mata-mata pelajaran inti di sekolah (orientasi akademik), dengan penekanan pada keterampilan mengajar teknis (orientasi teknis), dengan fokus pada berpikir dan kognisi (orientasi praktisi reflektif), dengan fokus pada belajar mengajar sebagai proses pengembangan pribadi (orientasi pribadi) atau dengan menciptakan pemahaman tentang konteks sosial sekolah dan konsekuensi sosial dari tindakan mereka sebagai guru (orientasi inovator atau emansipasi). Tiap orientasi menawarkan suatu perspektif tertentu tentang penyiapan profesi guru. Pendidikan guru mengandung aspek-aspek dari kesemuanya itu, tetapi ada perbedaan dalam penekanan dan fokusnya (Calderhead & Shorrock 1997; Schwarz 1996). Suatu orientasi dapat dipandang sebagai didasari oleh faktor sosial budaya seperti situasi dan kebijakan pendidikan masyarakat dan situasi penyandang cacat di masyarakat yang bersangkutan. Sebuah orientasi dapat didasarkan atas pandangan tentang pengetahuan apa yang dipandang berharga atau baik, dan perilaku guru yang bagaimana yang dianggap pantas di masyarakat. Misalnya, guru mungkin diharapkan untuk berpikir kritis tentang pengajarannya atau mereka mungkin diharapkan terutama untuk menyampaikan pengetahuan dalam mata-mata pelajaran inti seperti yang disajikan dalam kurikulum pendidikan dan buku teks resmi. Suatu orientasi dapat juga didasarkan atas apa yang diyakini sebagai yang terbaik dalam mempersiapkan guru, seperti keyakinan yang kuat
akan belajar keterampilan-keterampilan teknis atau keyakinan yang kuat akan refleksi (berpikir dan kognisi).
Kata mahasiswa digunakan untuk orang yang belajar untuk menjadi guru.
Bahasa Norwegia: yrkesutdanning. Bahasa Inggris: craft. Bahasa Norwegia: profesjonsrettet utdanning 38 Bahasa Norwegia: pstandskunnkap 39 Bahasa Norwegia: ferdighetskunnskap 40 Bahasa Norwegia: fortrolighetskunnskap
atau keterampilan adalah penguasaan teknik-teknik tertentu. Satu contoh jenis pengetahuan ini, yang juga dihasilkan dari studi yang disebutkan di atas, adalah teknik untuk menghentikan serangan fisik dari klien yang mempunyai masalah perilaku (Alsterdal 1999). Pengetahuan familiaritas adalah aspek pengetahuan yang sulit dijelaskan, seperti kemampuan untuk menangani suatu situasi yang unik atau kemampuan untuk mengenali wajah. Pengetahuan ini dibangun dari pengalaman, tetapi lebih dari sekedar pengalaman. Ada orang yang dapat belajar dari pengalaman, tetapi ada pula yang tidak. Satu contoh pengetahuan seperti ini dari studi Alsterdal (1999) adalah seorang pegawai yang mampu mencegah seorang klien yang memiliki masalah perilaku untuk tidak menjambak rambut orang lain. Pegawai tersebut telah mengenal pola perilaku klien itu, dan telah belajar cara menghentikan perilaku tersebut, tetapi dia tidak dapat menjelaskan secara pasti apa yang telah diamatinya sehingga dapat menentukan pilihan tentang apa yang harus dilakukannya itu. Dia belum tentu mampu membimbing klien yang sama dalam situasi yang lain atau mencegah klien lain menjambak rambut orang. Jadi, pengetahuan familiaritas ini hanya berlaku untuk tugas-tugas tertentu, tidak berlaku umum. Ketiga aspek tersebut berkembang dalam interaksi (Alsterdal 1999). Schn (1983;1987) berargumen bahwa pengetahuan faktual tidak dapat dipergunakan sebagai resep untuk praktek seorang guru. Seorang guru senantiasa dihadapkan pada situasi-situasi yang unik. Dia mendefinisikan atau mengkonseptualisasikan situasi, memilih apa yang akan diperlakukan sebagai masalah, menetapkan batas-batas perhatian dan menggunakan kumpulan contoh-contoh yang ada, serta menerapkan pemahaman dan tindakannya. Program pendidikan bagi guru pendidikan kebutuhan khusus seyogyanya dirancang sedemikian rupa Sehingga mencakup kesemua aspek pengetahuan profesional itu.
Memfasilitasi refleksi
Refleksi telah memperoleh banyak perhatian dalam kaitannya dengan pengetahuan guru, pendidikan guru dan pertumbuhan profesional. Schn adalah salah seorang penulisnya yang berpengaruh. Refleksi dapat dipahami sebagai kemampuan untuk mengenali suatu masalah, untuk mengajukan hipotesis, untuk menyelidikinya, menganalisisnya, membuat keputusan dan mengevaluasi apakah prosesnya dapat diperbaiki atau tidak. Schn telah mengidentifikasi dua bentuk refleksi: refleksi dalam tindakan dan refleksi tentang tindakan. Refleksi dalam tindakan adalah proses memonitor dan mengadaptasikan perilaku seseorang terhadap suatu situasi. Bagi seorang guru, ini akan terjadi pada saat dia berinteraksi dengan siswa di kelas. Refleksi tentang aksi adalah evaluasi setelah kejadian di kelas, menganalisis di mana kesulitan muncul, mempertimbangkan bagaimana kesulitan tersebut dapat ditangani, dan merencanakan tindakan selanjutnya (Calderhead & Shorrock 1997). Schn menyarankan agar mentor41 mengkomunikasikan pengetahuan, pemahaman dan keterampilan praktisnya dengan bekerja bersama dengan siswa dalam memecahkan masalah, dengan membicarakan kemajuan pekerjaannya dan dengan membicarakan cara alternatif bagi siswa untuk mempersepsi situasi tertentu (Calderhead & Shorrock 1997). Namun, implementasi pendidikan guru untuk mendidik guru yang reflektif ternyata tidak
41 Guru atau dosen yang mengawasi dan membimbing mahasiswa atau siswa dalam hal pengalaman sekolah/kuliahnya sehari-hari.
mudah (Wood & Bennett 2000; Calderhead & Shorrock 1997). Diskusi dan partisipasi aktif tampaknya merupakan metode yang khas untuk ini. Aktivitas yang dimaksudkan untuk meningkatkan dorongan untuk menyelidiki dan menambah pengetahuan dan pemahaman, interaksi berbasis wacana dan berpusat pada mahasiswa telah diperkenalkan dalam program pendidikan di banyak negara barat. Di Jurusan Pendidikan Kebutuhan Khusus di Universitas Oslo, tren selama tiga atau empat tahun terakhir ini adalah mengurangi jam perkuliahan dan meningkatkan waktu untuk kegiatan mahasiswa yang ditujukan untuk meningkatkan refleksi dan asesmen diri. Mahasiswa telah terlibat lebih banyak dalam pemecahan masalah secara aktif dan mengurangi mendengarkan perkuliahan secara pasif (Lauvs & Vea 2000). Melalui konseling yang cukup, pendidik guru dapat mendorong para mahasiswa mengembangkan teori praktek profesionalnya sendiri (Lauvs & Handal 2000). Pendidik guru perlu membangkitkan dan kemudian menggunakan ide-ide mahasiswa yang ada sebagai dasar untuk membantu mereka membangun pemahaman baru. Menurut beberapa penelitian, diskusi kelompok di kalangan mahasiswa dapat berfungsi sebagai pendukung penting (Hawkey 1995 dalam Calderhead 1997).
Masalah Implementasi
Asumsi mendasar dalam beberapa bidang, di antaranya bidang pendidikan, adalah bahwa guru-guru yang memahami teori, telah belajar konsep-konsep yang relevan, telah memahami kompleksitas situasi mengajar dan telah belajar mengenai praktek-praktek yang baik akan memanfaatkan pengetahuan tersebut. Akan tetapi, penelitian menunjukkan bahwa mengetahui tidak berarti melakukan (Schwartz 1996, hal 6). Guru tidak selalu melaksanakan apa yang diketahuinya. Ini disebut masalah implementasi. Di dalam literatur, ada tiga kemungkinan penjelasan tentang masalah implementasi ini. Ketiga penjelasan tersebut adalah sebagai berikut: 1) dipertahankannya keyakinan tentang pengajaran dan pekerjaan serta peran guru, 2) dipertahankannya penggunaan konsepkonsep sehari-hari, dan 3) adaptasi guru pemula terhadap budaya profesional dan kenyataan praktek yang mereka temukan sebagai guru.
Orang muda yang memasuki pendidikan guru telah lebih banyak melihat guru bekerja daripada melihat kelompok pekerjaan lain (Lortie 1975). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keyakinan yang dibawa mahasiswa ke dalam pelatihan prajabatan, yang diperoleh melalui pengalaman hidupnya, sejauh tertentu tetap dipertahankan selama masa pelatihannya (Richardson 1996). Daya terima terhadap pendekatan-pendekatan mengajar yang berorientasi konstruktivisme, misalnya, menurun akibat keyakinan yang kuat dari mahasiswa bahwa peran guru adalah memberikan pengetahuan kepada siswa dengan cara pengajaran langsung (Richardson 1996). Alasan mengapa mahasiswa dan guru pemula cenderung menerapkan pengetahuan yang telah mereka dapatkan sebelum memasuki pendidikan guru, mungkin karena orang memegang berbagai keyakinannya dalam rumpun-rumpun, dan tiap rumpun di dalam sistem keyakinan itu mungkin terlindung dari rumpun lain (Richardson 1996:103 didasarkan atas Green 1971). Jadi, keyakinan yang tidak sesuai mungkin berada dalam rumpun yang berbeda. Keyakinankeyakinan yang bertentangan tentang obyek atau ide yang sama, yang diperoleh selama pengalaman hidup sebelumnya dan yang diperoleh dari pendidikan guru dapat digunakan secara bergantian, tergantung pada konteksnya. Penjelasan lain yang terkait erat untuk masalah implementasi tersebut, yang didasarkan atas pandangan Vygotsky tentang perkembangan konsep, menyatakan bahwa guru pemula mungkin menggunakan dua cara untuk membangun pengetahuan kependidikannya: konsep spontan dan konsep keilmuan. Konsep spontan atau konsep keseharian muncul dalam konteks penggunaannya. Pemikiran individu berkembang dari fenomena yang dialaminya berulang kali dalam konteks yang spesifik, ke kategori yang dapat digeneralisasikan. Di pihak lain, konsep keilmuan diperoleh dari pengajaran formal, yang diawali dengan pemahaman analitik. Ide-ide dipandang dalam kaitannya dengan konsep-konsep lain, tidak dikaitkan dengan pengalaman konkret. Bila kedua cara yang bertentangan untuk mengkonstruksi pengetahuan ini digabungkan, maka terbentuklah apa yang disebut sebagai konsep yang benar, dan konsep tersebut dapat digunakan dalam pemikiran praktis. Dalam sebuah penelitian tentang perolehan pengetahuan dalam pengajaran membaca, mahasiswa memperluas penggunaan istilah-istilah kependidikannya yang relevan, tetapi ini tampaknya tidak menghasilkan pemahaman yang lebih dalam (Roskos & Walker 1993:425). Roskos dan Walker berpendapat bahwa ini mungkin mencerminkan apa yang oleh Vygotsky diistilahkan sebagai konsep semu atau konsep peralihan, bayangan konsep yang digunakan terutama untuk berkomunikasi dengan orang lain, tidak berfungsi sebagai cerminan pemikiran pedagogis mahasiswa itu sendiri. Pola budaya lembaga pendidikan (misalnya yang terkait dengan sistem nilai, pandangan dunia, organisasi sosial, keterampilan teknis, sistem perekonomian, sistem politik, bahasa yang dipergunakan, sistem estetika, proses sosialisasi dan pendidikan yang menentukan transmisi pengetahuan dan tradisi) mempengaruhi pemanfaatan pengetahuan kependidikan yang diperoleh dalam program pendidikan guru. Guru pemula mendapati bahwa dia harus menyesuaikan diri dengan norma-norma perilaku atau ekspektasi yang ditentukan oleh universitas atau lembaga pendidikan guru atau sistem sekolah (Schwartz 1996). Kenyataan praktis lingkungan sekolah, keyakinan yang dianut oleh teman sejawat, ekspektasi atau tuntutan dari senior atau atasan dapat mempengaruhi pilihan tindakan dan bahkan pemikiran guru pemula. Sosialisasi profesional merupakan proses yang kompleks dan sejauh tertentu tidak disadari oleh guru tersebut. Program pendidikan guru tidak dapat menghapus dampak pengaruh ini tetapi dapat berupaya untuk mempersiapkan mahasiswa untuk kenyataan di masa datang.
pengalaman di sekolah dengan mengurangi aktivitas di universitas atau lembaga pendidikan keguruan (Calderhead & Shorrock 1997). Sebagian orang memandang perkuliahan yang berbasis universitas sebagai terlalu akademis. Negara-negara lain (seperti Perancis dan Italia) telah mengikuti tren yang sebaliknya. Di Norwegia sebagian besar aktivitas yang terjadwal dilaksanakan di universitas atau lembaga pendidikan keguruan, tetapi dengan semakin memberi penekanan pada penggunaan contoh-contoh autentik dari sekolah dan tempat lainnya. Para mahasiswa di Jurusan Pendidikan Kebutuhan Khusus, Universitas Oslo, selama beberapa tahun terakhir ini telah terlibat dalam proyek-proyek kemitraan antara universitas dan institusi lain di luar universitas (Hagtvet, Horgen, Horn, Lassen, Lauvs & Lyster 2001). Guru reguler dan pendidik khusus di lapangan menjadi mentor bagi para mahasiswa di kelas atau dalam pekerjaan menangani klien, tetapi dosen universitas juga dilibatkan. Pengalaman di sekolah dipandang sebagai peluang untuk memberi mahasiswa kesempatan untuk berpraktek, berlatih dan menerapkan pengetahuan dan keterampilanya di bawah pengawasan (Schwartz 1996). Ini dapat juga menjadi kesempatan untuk terekspos pada nilai-nilai dan praktek-praktek, cara berpikir dan bertindak yang berlaku di dalam sistem persekolahan dan di sekolah tertentu, dan memberi kesempatan untuk berefleksi dalam praktek dan tentang praktek. Namun, ada juga yang mengklaim bahwa penulis telah gagal memahami makna belajar melalui praktek (Mc Intyre 1995). Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, unsur belajar yang sangat penting untuk mengajar adalah mengenali, mempertanyakan dan jika perlu memodifikasi prakonsepsi, keyakinan dan konsep-konsep yang ada. Tindakan mentoring dapat berupa modeling, memberikan dukungan atau bantuan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, membimbing, menjelaskan, menunjukkan minat, berdiskusi, menunjukkan dilema-dilema, mengkonfrontasi prakonsepsi tentang pengajaran dll. Tidak banyak penelitian yang telah menganalisis interaksi antara mentor dan mahasiswa, dan bagaimana dan apa yang dipelajari mahasiswa dari pengalaman mentoring itu (Stanulis & Russell 2000). Pendidikan guru berbasis sekolah pada tahap awal dengan guru sekolah melakukan pekerjaan mentoring telah menunjukkan beberapa keterbatasan kualitatif yang serius. Hakikat keahlian guru sekolah itu sangat kompleks dan sulit untuk mengakses keahlian semacam ini. Akan jauh lebih mudah bagi guru untuk berbicara dengan nada autoritatif dan dengan menggunakan istilah-istilah yang umum tentang praktek yang baik daripada mengemukakan pertimbangan-pertimbangan situasional yang kompleks yang menginformasikan praktek yang sesungguhnya, motivasi, kesabaran dan waktu yang diperlukan untuk mengungkapkan keahliannya yang sesungguhnya (Mc Intyre 1995:38). Keahlian guru terdiri dari kecakapan dalam mempersiapkan pelajaran dan ketepatan dalam pengambilan keputusan di kelas, yang tergantung pada pengetahuan dan keterampilan yang dikembangkan selama bertahun-tahun. Sulit bagi guru untuk mengetahui aspek apa dari keahliannya yang relevan bagi para pemula yang pengetahuan dan keterampilannya masih terbatas (Mc Intyre 1995). Para dosen di universitas juga harus menyadari kekurangan-kekurangan dalam interaksi mentoring, seperti betapa sulitnya untuk tidak mengungkapkan interpretasi pribadi tentang mahasiswa, walaupun mentor tidak bermaksud demikian. Penting untuk menciptakan lingkungan yang benar-benar mendukung dan menantang di mana guru, mahasiswa dan dosen saling belajar.
Universitas dapat mengatur agar guru dan mahasiswa memperoleh informasi tentang temuan-temuan penelitian dan berbagai pendekatan pendidikan. Peran mereka adalah untuk meraih ilmu, pemahaman, penyelidikan rasional, dan refleksi (Kirk 1996). Ini dipandang sebagai suatu kontribusi khusus yang dapat diberikan oleh universitas dalam pendidikan guru, mencegah agar pendidikan profesi tidak menjadi pelatihan kejuruan dan menghindari pelatihan yang dapat membuat guru menjadi konservatif dan tidak imajinatif.
Kata penutup
Untuk mengembangkan kurikulum bagi pendidikan guru dibutuhkan keputusankeputusan mengenai tujuan umum dan tujuan khusus pendidikan, bidang-bidang studi utama dalam kurikulum, isi pendidikan yang harus disampaikan dalam masing-masing bidang studi, jenis-jenis pengalaman belajar, sistem evaluasi, dan pola umum kurikulum (Taba 1962). Sebagaimana dijelaskan di atas, faktor ideologi dan sosial budaya merupakan prasyarat dan kondisi mendasar untuk kebijakan dan implementasi praktis pendidikan guru di masyarakat. Kualifikasi yang diinginkan dan dibutuhkan oleh guru pendidikan kebutuhan khusus tergantung pada berbagai faktor kontekstual. Hasil dari suatu program yang mendidik guru pendidikan kebutuhan khusus dipengaruhi oleh ideologi dan pengalaman mahasiswa yang telah mereka miliki sebelumnya serta jenis kesempatan belajar yang mereka dapatkan melalui program ini dan mata kuliah yang tercantum dalam kurikulum.
Daftar Pustaka
Alsterdal, L; (1999), Det tredje yet. Yrkesdyktighet og omsorgskunnskap. (The Third Eye. Professional Ability/Competence and Care-giving Knowledge) Oslo, kommuneforlaget. Anderson, L.M., Smith, D.C. & Peasley, K. 2000. Integrating learner and learning concerns: prospective elementary science teachers paths and progress. Teaching and Teacher Education, 16:547-574. Befring, E. 1997. the enrichment perspective. A special educational approach to an inclusive school. Remedial and Special Education, 18:182-187. Calderhead, J. & Shorrock, S.B. (1997). Understanding Teacher Education, Case Studies in the Professional Development of Beginning Teachers. London, The Falmer Press. Dale, E.L. (1993). Den profesjonelle skole. (The Professional School). Oslo, Ad Notam Gyldendal. Froestad, J. 1996. Den offentlige handikappolitikk, Et bidrag til de funksjonshemmdes frigjring? (The public handicap policy . A contribution to the emancipation of the disabled.) Spesialdedagogikk, 7:3-13. Granzon, B. & Josefson, I. 1988 (Eds.). Knowledge, Skill and Artificial Intelligence. Berlin, Springer Verlag.
Hagtvet, B., Horgen, T., Horn, E., Lassen, L., Lauvs, K & Lyster, S. 2001. Profrsjonsutdanning i spenningsfeltet mellom teori og hndverk. (Professional Education in the Tension between Theory and Crafts) (Unpublished) Ingstad, B. & Whyte, S.R. 1995. Disability and Culture. Los Angeles, University of California Press. Kirk, G. 1996. Partnership: The Sharing of Culture?. In J. McCall & R.M.. Mackay (Eds). ATEE 21st Annual Conference, 35-48. Glasgow, Scotland, University of Strathclyde, Faculty of Education, Jordanhill Campus. Lauvs, K & Vea, G.D. (2000), Studenter utvikler sin rdgivingskompetanse. Jakten p den gode undervisning. (Students developing their counselling competence. Hunting for the good education.) Spesialpedagogikk, 10:3-10. Lauvs, P. & Handal, G (2000), Veiledning og praktisk yrkesteori. (Supervision and Practical Theory pf Profession). Oslo, Cappelen Akademisk. Lortie, D. C. 1975. School Teacher. A Sociological Study. Chicago, The University of Chicago Press. McIntyre, D. 1995. Initial teacher education and the work of teachers, In J. Rudduck (Ed). An Education that Empowers. A Collection of Lectures in Memory of Lawrence Stenhouse. Clevedon, England, Multilingual Matters:29-43. Palmer, D. J. & Hall, R. (1999). Teacher training in special education. In C.R. Reynolds & E. Fletcher-Janzen (Eds). Encyclopedia of Special Education (2nd edition). A reference for the education of the handicapped and other exceptional children and adults, 1691-1693. New York: John Wiley and Sons. Powell, R. 2000. Case-based teaching in homogeneous teacher education contexts: A study of preservice teachers situative cognition. Teaching and Teacher Education, 16:389-410. Ravneberg, B. (1999). Normalitetsdiskurser og profesjonalseringsprosesser. En studie av den sepesialpedagogiske yrkesutvikling. 1880-1990. (Discourses and Normality and Professionalization Process. A Study of the Development of the Profession of Special Needs Education. 1889 1990.) Institutt for administrasjon og organisasjonsvitenskap. Universitetet i Bergen. Rapport nr 69. Richardson, V. 1996. The role of attitudes and beliefs in learning to teach. In J. Sikula, T.J. Buttery & E. Guyton (Eds). Handbook of Research on Teacher Education: a Project of the Association of Teacher Education (2nd edition). New York, Macmillan Library Reference, USA:102-119. Roskos, K. & Walker, B 1993. An analysis of preservice teachers pedagogical concept in the teaching of problem readers. Yearbook of the National Reading Conference:418-428. Schwartz, H. 1996. The Changing Nature of Teacher Education. In J. Sikula, T. J. Buttery & E. Guyton (Eds). Handbook of Research on Teacher Education: a Project of the Association of Teachers Educators (2nd edition). New York, Macmillan Library Reference, USA :3-13. Schn, D. (1983) The reflective practitioner: How professionals think in action, New York, Basic Books.
Schn, D. (1987). Educating the Reflective Practitioner: Toward a new Design for Teaching and Learning in the Professions. San Francisco, Jossey-Bass.
Steanulis, R.N. & Russell, D. (2000), Jumping in: Trust and communication in mentoring student teachers. Teaching and Teacher Education, 16:65-80 Taba, H. (1962). Curriculum Development. Theory and Practice. New York, Harcourt, Brace and World. Wood, E. & Bennet, N. (2000). Changing Theories, Changing Practice: Exploring Early Childhood Teachers Professional Learning. Teaching and Teacher Education, 16:635-647. York,J.L. & Reynolds. M.C. (1996). Special Education and Inclusion. In J. Sikula, T.J. Buttery & E. Guyton (Eds). Handbook of Research on Teacher Education: a Project of the Association of Teacher Educators. (2nd edition). New York, Macmillan Library Reference, USA:820-836.