Anda di halaman 1dari 3

Gemuruh Bisnis Telur Puyuh Peternak burung puyuh makin betah menjalankan usaha dengan pola kemitraan Layaknya

bisnis peternakan ayam petelur, pola kemitraan kian merebak di kalangan peternak burung puyuh. Lebih banyak peternak puyuh yang bergabung dalam pola ini, dengan alasan adanya kepastian harga. Pihak inti menyediakan DOQ (Day Old Quail/puyuh umur sehari), pakan, dan obatobatan, sementara plasma (peternak) membayar dengan menjual telur kepada inti. Seperti halnya PT Peksi Guna Raharja (Peksi) yang sudah menerapkan pola ini sejak 1997. Peksi merupakan satu-satunya perusahaan di Jogjakarta yang mengembangkan pola kemitraan usaha peternakan puyuh. Menurut Manajer Produksi Peksi, Tri Hertyasno SPt, geliat bisnis telur puyuh awal tahun ini meningkat cukup signifikan. Ia menjelaskan, tahun lalu peternak puyuh yang bermitra dengan Peksi hanya 400 orang dengan populasi 1 juta ekor. Saat itu produksi baru 3,8 juta butir/minggu. Namun mulai Januari 2010, jumlah mitra mencapai 700 orang. Populasi melonjak menjadi 1,8 juta ekor dan produksi telur 7 juta butir/minggu. Kepastian Harga Salah satu pendorong para peternak memilih masuk ke pola kemitraan adalah kepastian harga. Tri mengatakan, Peksi membeli telur puyuh dari plasma dengan harga kontrak. Dengan fluktuasi harga telur yang susah diprediksi seperti sekarang, peternak merasa lebih aman bermitra. Contohnya saat harga telur di pasaran RP 139,-/butir, Peksi tetap membeli seharga Rp 150,-/butir, tuturnya. Otomatis saat harga telur puyuh di pasaran turun, Peksi mensubsidi harga telur yang dibeli dari peternak. Kondisi ini bisa terjadi berbulan-bulan. Ia menceritakan, krisis harga telur puyuh pernah terjadi sejak November 2009 lalu. Meski kini membaik sejak April 2010. Produksi telur pun meningkat drastis sejalan dengan bertambahnya populasi dan jumlah peternak. Harga telur akhir tahun lalu hanya Rp 130/ butir, terangkat sedikit Rp 139/butir pada April. Kini harga telah naik menjadi Rp 150/ butir. Selama periode itu kami merugi Rp 1 miliar lebih. Tapi kami tetap bertahan karena tak ingin plasma ambruk dan mengafkir semua puyuhnya, ungkap Tri. Bayangan Tri, jik sampai produksi telur kemitraan puyuh turun akibat afkir besar-besaran, akan sulit digenjot kembali. Butuh waktu untuk membesarkan DOQ hingga bisa bertelur,katanya. Tantangannya adalah selama menanti produksi naik kembali, dikhawatirkan agen dan pelanggan yang biasa mengambil telur beralih orang lain. Selama ini pelanggan telur Peksi tersebar di berbagai kota seperti daerah sepanjang Pantura (Pantai Utara Jawa), Banyumas, Bandung, Cirebon, dan Jadebotabek (Jakarta Depok Bogor Tangerang Bekasi). Hal ini masuk akal, sebab pola kemitraan puyuh semacam Peksi mulai tumbuh juga di Jawa

Timur. Beda dengan pengepul biasa, kemitraan lebih mampu memobilisasi pasokan dan produksi. Sehingga mau tak mau supaya tidak terlibas kami utamakan kontinuitas pasokan pada pelanggan, meski harus nombok selama harga tidak menguntungkan, terangnya gamblang. Kini dengan harga telur yang membaik mendorong bertambahnya produksi telur. Peksi harus memutar akal untuk memperluas pasar, membuat segmen pasar baru, dan melakukan langkah menuju harga yang lebih baik (price making). Bukan hanya diam menanti harga membaik, tegas Tri. Pola Distribusi Soal pemasaran, Tri menjelaskan, Dulu penjualan ke kota besar seperti Jakarta dan Bandung dipercayakan 100% pada agen. Sehingga pihaknya buta peta pasar yang sebenarnya di kota itu. info pasar berkait dengan peta pesaing, peta penggunar, permintaan dan harga diperoleh Peksi dari agen-agen itu, bukan dari sumber primer. Kecepatan maupun akurasi informasi kadang menyulitkan Peksi untuk segera melakukan antisipasi jika terjadi penurunan harga, kata Tri. Ia menyimpulkan, tanpa mengecilkan peran para agen, sudah saatnya Peksi proaktif membangun pola distribusi dan informasi pasar yang lebih baik. Kita ingin bergerak lebih tepat sasaran dan lebih cepat. Karena apa yang kita lakukan berkaitan dengan nasib ratusan peternak mitra, tuturnya. Kini selain mengandalkan agen, Peksi juga agresif masuk ke pasar-pasar kulakan maupun retailer di Bandung dan Jadebotabek. Pengalaman itu membuat Peksi menambah kantor perwakilan yang juga berperan sebagai depo. Peksi sudah punya depo di Cengkareng dan Cirebon. Tahun ini sudah membuka satu lagi di Cikampek. Depo-depo itu bertugas memberi info harga riil, memetakan suplai, dan berburu celah pasar, terangnya blak-blakan. Tingkatkan Kualitas Meningkatkan kualitas telur merupakan salah satu langkah untuk memasuki pasar tertentu. Tren kebutuhan konsumen saat ini menginginkan telur puyuh berukuran lebih besar, kerabang kuat, dan penampilan telur yang lebih baik. Telur besar biasanya diperdagangkan dengan model kiloan, terang Tri Hertyasno. Ia menjelaskan, pasar telur besar atau kiloan dulunya merupakan pasar spesifik untuk telur puyuh asal Jawa Timur. Pasar potensial bagi telur besar ini adalah Bandung. Melihat peluang penjualan dari segmen itu, Peksi tahun ini memulai pembelian dari peternak maupun penjualan telur pola timbangan. Sebelumnya, Peksi selalu membeli dan menjual dalam satuan butiran. Walaupun belum 100% diterapkan karena masih ada pedagang telur yang belum siap, kata Tri. Pembelian pola kiloan ternyata memacu peternak untuk memberi ransum yang lebih baik bagi puyuh piaraannya. Intinya supaya puyuh bertelur besar, ungkap Tri. Efeknya adalah kualitas kerabang semakin baik sehingga memudahkan saat seleksi untuk pengepakan, meminimalkan telur bucek (penyok ataupun retak), dan kerusakan saat transportasi. Telur yang masuk kategori baik per kg-nya berisi rata-rata 94 96 butir, meskipun ada juga yang berisi 89 93 butir. Harganya Rp 13.225/kg atau Rp 1 lebih tinggi ketimbang yang dijual dengan pola butiran, kata Tri. Meskipun selisihnya sedikit, namun peternak yang memiliki prestasi setoran telur berkualitas, tertib, dan konversi pakan rendah akan mendapatkan tambahan insentif maksimal Rp 12/butir.

Selengkapnya baca di Majalah TROBOS Edisi Juni 2010

Anda mungkin juga menyukai